Membeli Karena Kasihan

 Pertanyaan

Assalamualaikum ustadz.
Transaksi jual beli (barang, makanan, dll) yg didasarkan atas kasihan kepada penjual, mungkin karena dagangannya tidak laku atau baru sedikit terjual padahal si pembeli belum/tidak membutuhkan yg dibeli tersebut, apakah transaksi tersebut dibolehkan ustadz ?


 Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Tidak masalah, rasa iba bukan pembatal jual beli bukan pula jual beli menjadi haram.

Asalkan rukun-rukun terpenuhi maka sah:

1. Ada barang
2. Pemilik dan penjual barang
3. Pembeli barang
4. Serah terima atau ijab qabul

Wallahu A’lam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Suami Memeriksa HP Istri

Pertanyaan

Assalammu’alaikum ust, Afwan minkum izin bertanya..

Ada titipan pertanyaan ke ana dari teman kantor :

Istri saya bekerja di instansi pemerintah, dalam setahun ada dinas keluar 4 kali, sangat bercampur baur atau ikhtilat, maraknya kini dikalangan PNS yaitu selingkuh atau zina membuat suami khawatir akan pelanggaran agama Allah yg dilakukan istrinya seperti :

✓ Tidak bisa jaga pandangan
✓ Chat dgn lawan jenis yg cair supel hingga bercanda
✓ dan hal2 lain yg dilarang agama.
✓ dan lebih parah lagi adalah selingkuh.

Sikap suami yg membuka HP istri mencari tahu pelanggaran diatas demi untk menjaga istri dari pelanggaran agama apakah dibenarkan??

Kadang sang istri tidak terima hingga suka memvonis suami nya adalah posesif… Padahal suami sdh mengatakan ancaman Allah bagi suami Dayyuts jadi harus bersikap demikian menjaga istri dan keluarga ini dari pelanggaran Agama Allah Krn itu tanggungjwbnya sbg pemimpin yg diperintah Allah dalam QS At Tahrim ayat 6

Gimana menurut ust ??

Mohon pencerahannya , Jazakallah khaiiran


Jawaban

Wa’alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh

Para ulama mengkategorikan suami yang mengotak atik isi HP istri atau kebalikannya adalah tajassus (mencari-cari atau mengkorek-korek kesalahan). Hal ini terlarang berdasarkan ayat walaa tajassasuu (janganlah kamu saling mencari-cari kesalahan). (QS. Al Hujurat: 12)

Dahulu Umar bin Khattab Radhiallahu ‘Anhu pernah mencoba melakukan nahi munkar karena terdengar suara wanita dan laki-laki sedang tertawa di sebuah rumah, naluri Umar bin Khattab Radhiallahu ‘Anhu sebagai khalifah tentunya ingin mencegah hal itu. Ketika Beliau jalan menuju rumah tersebut, Abdurrahman bin ‘Auf Radhiallahu ‘Anhu mencegahnya dan menasihati umar dengan ayat walaa tajassasuu ..

Apa yang dilakukan suami untuk memprotek istrinya dari maksiat tentunya sangat bagus dan memang sudah tugas suami untuk itu. Namun untuk sampai memastikan istrinya sudah bermaksiat atau tidak, harus ada bukti kuat, tidak cukup kekhawatiran semata, lalu diambil tindakan jika terbukti. Jika baru sebatas kekhwatiran lalu berlanjut pada kecurigaan, karena terbawa oleh berita tentang seringnya perselingkuhan terjadi di dunia kerja, sementara bukti bahwa istrinya melakukan perselingkuhan belum ada maka ini masuk kategori zhan (prasangka).

Imam ‘Abdurrauf Al Munawi Rahimahullah menjelaskan:

والظن تهمة تقع في القلب بلا دليل

Zhan adalah tuduhan yang terjadi dalam hati tanpa adanya dalil. (Imam Al Munawi, Faidhul Qadir, 5/157, Abu Thayyib, ‘Aunul Ma’bud, 13/177)

Sementara Imam Badruddin Al ‘Aini Rahimahullah mengutip perkataan Imam Al Qurthubi:

المراد بالظن هنا التهمة التي لا سبب لها كمن يتهم رجلا بالفاحشة من غير أن يظهر عليه ما يقتضيها

Maksud dari zhan di sini adalah tuduhan yang tidak memiliki sebab, sebagaimana menuduh seorang laki-laki yang melakukan kekejian yang tidak tampak, yang akhirnya dia menetapkanya. (Imam Badruddin Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 32/251)

Oleh karena itu para ulama memberikan nasihat bahwa dalam nahi munkar itu ada beberapa syarat:

– Kemungkaran tersebut memang benar-benar munkar yang disepakati, bukan hal yang masih diperdebatkan kemungkarannya
– Kemungkaran itu nampak, nyata, bukan samar dan dicari-cari
– Yakin bahwa kemungkaran itu bisa dihilangkan atau diminimalisir. Jika justru melahirkan kemungkaran baru yang lebih besar dan lebih berkepanjangan maka terlarang melakukan nahi munkar.

Bagi suami hendaknya melakukan pengawasan, nasihat, dan arahan dulu, sampai benar-benar terbukti istri melakukan kemungkaran barulah diambil tindakan yang lebih pas.

Demikian. Wallahu A’lam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Menyikapi Perintah Atasan yang Menuruh Maksiat

 Pertanyaan

Assalammu’alaikum ust Farid Nu’man yang In Syaa Allah dicintai Allah Krn Ilmunya…. Afwan jiddan ganggu lagi ust

Ada titipan pertanyaan dari teman yg bagus :

beliau seorang karyawan, Dalam dunia pekerjaan yg dilakukan nya kadang saat diluar negeri lagi dinas kantor harus menyambut tamu asing dgn menyediakan minuman alkohol, dia sulit untk menolak ikut serta Krn tuntutan pekerjaan dari atasannya, bahkan pernah bicara langsung ke atasan untk tidak ikut minum minuman khamar ini tp atasan menolak bahkan mengancam potong gaji, Itu resiko yg akan diterima. Bila Cari kerjaan lain saat ini susah… Menurut ust apa yg harus saya lakukan dalam fiqih Islam mengenai ini, apa saya harus melawan dgn resiko potong gaji bahkan PHK ?? Atau seperti apa ust ??

Mohon dalil2 dan fatwa ulamanya untk menguatkan saya dalam mengambil keputusan terbaik …

Mohon pencerahannya ust

Jazakallah khaiiran


 Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Apa yang dilakukannya tentu tidak dibenarkan, apa pun alasannya. Allah Ta’ala berfirman:

لا تعاونوا على الإثم والعدوان

Janganlah saling menolong dalam dosa dan pelanggaran (QS. Al Maidah: 2)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata:

وينهاهم عن التناصر على الباطل والتعاون على المآثم والمحارم

Allah ﷻ melarang mereka menolong dalam kebatilan, dan saling menolang dalam dosa dan perkara-perkara yang haram. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/13)

Imam Al Baghawi Rahimahullah mengatakan:

قيل: الإثم: الكفر، والعدوان: الظلم، وقيل: الإثم: المعصية، والعدوان: البدعة

Dikatakan bahwa maksud Al Itsmu (dosa) adalah kekufuran. Maksud Al ‘Udwaan adalah kezaliman. Dikatakan pula Al Itsmu adalah maksiat, dan Al ‘Udwaan adalah bid’ah. (Ma’aalim At Tanziil, 2/9)

Seorang karyawan mentaati atasan dalam hal-hal yang baik, tidak apa-apa, khususnya yang memang menjadi job description-nya. Tapi jika untuk menyiapkan maksiat, maka tidak boleh.

Dalam hadits:

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ

“Dengar dan taat atas seorang muslim (kepada pemimpin) adalah pada apa yang disukai dan dibencinya, selama tidak diperintah maksiat. Jika diperintah untuk maksiat, maka jangan didengar dan jangan ditaati.” (HR. Bukhari No. 7144)

Maka, membantu terwujudnya maksiat apalagi khamr adalah Ummul Khabaits (Induknya kejahatan) sebagaimana disebutkan dalam hadits lainnya. Kaidah fiqih menyebutkan:

ما ادى الى الحرام فهو حرام

Apa-apa yang mengantarkan kepada keharaman maka hal itu juga haram. (Imam Izzuddin bin Abdussalam, Qawaid Al Ahkam fi Mashalihil Anam, 2/184)

Di sisi lain seorang muslim harus punya wibawa, Allah Ta’ala berfirman:

وَأَنتُمُ ٱلۡأَعۡلَوۡنَ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ “…

dan kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman. (QS. Ali ‘Imran, Ayat 139)

Menyediakan khamr bagi mereka adalah bentuk perendahan diri di hadapan orang kafir. Dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah tertulis:

اتفق الفقهاء على أنه يحرم على المسلم حرا كان أو عبدا أن يخدم الكافر، سواء أكان ذلك بإجارة أو إعارة، ولا تصح الإجارة ولا الإعارة لذلك؛ لأن في ذلك إهانة للمسلم وإذلالا له، وتعظيما للكافر، واحتجوا بقوله تعالى: {ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا}

Para fuqaha sepakat haram atas seorang muslim -baik orang merdeka atau budak- melayani orang kafir, baik itu dengan akad ijarah (sewa atas jasa) dan i’arah (pinjaman), keduanya tidak sah, sebab di dalamnya terdapat penghinaan dan perendahan bagi seorang muslim dan pengagungan kepada orang kafir. Mereka berhujjah dengan firman-Nya: “Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman.” (QS. An Nisa: 141).

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 19/38).

Namun, karena posisi kita lemah, sebagai karyawan biasa dan tidak ada power mengarahkan. Maka, semoga Allah ﷻ memaafkannya jika terpaksa, posisi kehidupan kita terancam, dan hati kita membenci hal itu dan tetap tidak meridhainya. Ibaratnya ada kemungkaran di mata kita tapi kita lemah, maka ubahlah dengan hati dengan membencinya.

Jika kita ingin resign, dan mencari yang lebih bebas dari hal itu, dan lebih menenangkan hati dalam bekerja, tentu itu yang wajib, lebih utama, dan lebih selamat, karena akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Semoga Allah ﷻ ganti dengan yang lebih baik.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Shalawat di Bulan Sya’ban

Pertanyaan

Assalamu’alaikum ustadz. Mohon penjelasan mengenai anjuran perbanyak shalawat di Bulan Sya’ban


Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Secara khusus, tidak ada dalil tentang anjuran bershalawat di Bulan Sya’ban. Namun berdasarkan dalil umum, para ulama menganjurkan perbanyak bershalawat di waktu-waktu istimewa termasuk di bulan Sya’ban.

Dalam kitab Al Yaqut wal Marjan fi Fadhli Syahri Sya’ban, Syaikh Abu Bakar Al Farfuri Al Malibari mengatakan bahwa menurut Imam Al Qasthalani ayat perintah bershalawat kepada nabi turun di bulan Sya’ban. Beliau juga berkata:

Al ‘Allamah Al Fasyani berkata: Ibnu Ash Shaif Al Yamani berkata: dikatakan bahwa sesungguhnya bulan Sya’ban adalah bulan ber shalawat kepada Nabi ﷺ karena ayat tentang perintah bershalawat kepada Nabi (Al Ahzab: 56) turun di bulan tersebut. (Al Yaqut wal Marjan fi Fadhli Syahri Sya’ban, hal. 24-25. Cet. 4 )

Wallahu A’lam.

Baca juga: Kalimat Shalawat Selain Dari Sunnah Nabi

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top