Geleng-Geleng Kepala Saat Berdzikir

💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalmualaikum ustdz.

Afwan mau tanya,,kalou dzikir la ilaha illalloh dengan menggeleng gelengkan kepala,,hukumnya apa?dan mohon penjelasannya ustadz,,🙏🙏 (Umar)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Ya, mungkin kita pernah lihat ada orang yang menggeleng2kan kepalanya saat berdzikir. Sebagian ada yang melakukannya secara spontanitas saja, seperti orang yang menggigil dan tidak bisa dihindari. Sebagian orang ada yang melakukan secara sengaja dan sadar untuk mencapai kekhusyu’an.

Secara khusus tidak ada dalil Al Quran dan As Sunnah tentang berdzikir dengan menggeleng2kan kepala. Oleh karenanya hal ini DIPERSELISIHKAN ULAMA.

📌 Pihak yang membolehkan

Mereka mengatakan hal itu boleh, JIKA ITU TIDAK DIANGGAP BAGIAN DARI DZIKIR, itu sebagai cara saja untuk lebih konsentrasi, maka tidak apa-apa bahkan dianjurkan.

Hal ini berdasarkan dalil umum, yaitu ayat berikut:

ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.

(QS. Ali ‘Imran, Ayat 191)

Imam Muhammad al Khalili asy Syafi’i Rahimahullah menjelaskan ayat di atas:

علمت أن الحركة في الذكر والقراءة ليست محرمة ولا مكروهة، بل هي مطلوبة في جملة أحوال الذاكرين من قيام وقعود وجنوب وحركة وسكون وسفر وحضرة وغنى وفقر

Aku mengetahui bahwa gerakan dalam berdzikir dan membaca Al Quran bukanlah suatu hal yang haram dan makruh, bahkan itu hal yang dituntut secara umum diberbagai kondisi orang yang berdzikir baik dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring, bergerak, diam, perjalanan, mukim, kaya, dan fakir.

(Fatawa al Khalili ‘alal Madzhab asy Syafi’i, jilid. 1, hal. 36)

Beliau juga berkata:

وأما الاهتزاز في حالة الذكر فمندوب إليه؛ لما روى الحافظ أبو نعيم أحمد بن عبد الله الأصفهاني بسنده عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه أنه وصف الصحابة يوما فقال: كانوا إذا ذكر الله مادوا كما تميد الشجر في اليوم الشديد الريح وجرت دموعهم على ثيابهم قال أهل اللغة: ماد يميد إذا تحرك، ومادت الأغصان تميد تمايلت. قال شيخنا العارف جمال الدين عبد الله بن حسام الدين خليل الاسترابادي البسطامي قدس الله تعالى روحه: وهذا صريح على أن الصحابة رضي الله عنهم كانوا يتحركون في الذكر حركة شديدة يمينا وشمالا؛ لأنه شبه حركتهم بحركة الشجر يوم الريح، ومن المعلوم أن الشجر في يوم الريح يتحرك حركة شديدة، فثبت مطلقا إباة الميلان بهذا الأثر على أن الرجل غير مؤاخذ بما يتحرك ويقعد ويقوم ويلبث على أي نوع كان لا يكون منهيا عنه، ولم يرد عنه صلى الله عليه وسلم نهي عن الحركة في الذكر، ولو كان فيها كراهة لبينها لأمته فيما ورد عنه

Ada pun menggoyangkan badan di saat dzikir adalah hal yang dianjurkan. Berdasarkan riwayat dari Abu Nu’aim Ahmad bin Abdillah al Ashfahani dengan sanadnya dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, bahwa suatu hari ia menceritakan keadaan sahabat nabi: “Para sahabat jika berdzikri kepada Allah bergerak-gerak sebagaimana bergerak-geraknya pohon di hari yang begitu kenang anginnya, air mata mereka mengalir sampai pakaian mereka. Ahli bahasa mengatakan “maada yamiidu artinya bergerak/mengayun.” Syaikh kami, al ‘Arif Jamaluddin Abdillah bin Husamuddin al Khalil -semoga Allah sucikan ruhnya- mengatakan: “Hal ini begitu jelas bahwa para sahabat nabi Radhiallahu ‘Anhum melakukan gerakan dalam berdzikir dengan gerakan yang kuat ke kiri dan kanan, karena gerakan mereka diserupakan dengan gerakan pohon di hari berangin kencang, maka gerakan ini telah kuat secara mutlak berdasarkan atsar bahwa seseorang yang bergerak-gerak dalam keadaan duduk dan berdiri dan gerakan apa pun tidaklah terlarang, dan tidak ada riwayat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang melarang gerakan saat berdzikir, seandainya hal itu dibenci niscaya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akan menjelaskannya kepada umatnya. (Ibid, jilid. 2, hal. 259)

Imam Fakhruddin ar Razi Rahimahullah mengatakan:

المؤمن إذا سمع ذكر الله اهتز ونشط

Orang beriman itu jika mendengar dzikrullah maka dia akan bergerak – gerak dan semangat. (Tafsir Ar Razi, jilid. 5, hal. 294)

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:

هذا إن جاء تلقائيًّا فهذا ما فيه بأس؛ لأن بعض الناس يستعين -مثلًا- بالهز على التلاوة. وإن جاء تعبديًّا فإنه لا يجوز، وهو بدعة، ومع ذلك نحن نحث الذين يهتزون تلقائيًّا أن يعودوا أنفسهم على ترك الهز؛ لأنه قد يقتدي بهم غيرهم، ويظن أن هذا أمر مشروع

Jika gerakan ini terjadi spontanitas maka TIDAK APA-APA, sebab sebagian manusia ada yang terbantu – misalnya- dalam membaca Al Quran dengan bergerak-gerak. Namun jika itu dianggap IBADAH maka tidak boleh, itu bid’ah. (Liqa Bab al Maftuh, 150/25)

📌 Pihak yang melarang

Mereka mengatakan menggerakkan badan saat dzikir adalah MENYERUPAI YAHUDI. Ini terlarang.

Sebagian ulama menyebutkan bahwa penamaan YAHUDI karena mereka suka bergerak-gerak (YATAHAWWADUUN) saat membaca Taurat.

وَقَالَ أَبُو عَمْرِو بْنُ الْعَلَاءِ: لِأَنَّهُمْ يَتَهَوَّدُونَ، أَيْ: يَتَحَرَّكُونَ عِنْدَ قِرَاءَةِ التَّوْرَاةِ

Abu Amr bin al ‘Ala mengatakan: “Karena mereka yatahawwaduun, yaitu bergerak-gerak saat membaca Taurat. (Tafsir Ibnu Katsir, jilid. 1, hal. 285)

Imam Ibnu Katsir, dalam tafsirnya terhadap ayat berikut:

۞وَإِذۡ نَتَقۡنَا ٱلۡجَبَلَ فَوۡقَهُمۡ كَأَنَّهُۥ ظُلَّةٞ وَظَنُّوٓاْ أَنَّهُۥ وَاقِعُۢ بِهِمۡ خُذُواْ مَآ ءَاتَيۡنَٰكُم بِقُوَّةٖ وَٱذۡكُرُواْ مَا فِيهِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

Dan (ingatlah) ketika Kami mengangkat gunung ke atas mereka, seakan-akan (gunung) itu naungan awan dan mereka yakin bahwa (gunung) itu akan jatuh menimpa mereka. (Dan Kami firmankan kepada mereka), “Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu, serta ingatlah selalu (amalkanlah) apa yang tersebut di dalamnya agar kamu menjadi orang-orang bertakwa.”

(QS. Al-A’raf, Ayat 171)

Beliau mengutip dari Abu Bakar bin Abdillah:

فَلَمَّا نَشَرَ الْأَلْوَاحَ فِيهَا كِتَابُ اللَّهِ كَتَبَهُ بِيَدِهِ، لَمْ يَبْقَ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ جَبَلٌ وَلَا شَجَرٌ وَلَا حَجَرٌ إِلَّا اهْتَزَّ، فَلَيْسَ الْيَوْمَ يَهُودِيٌّ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ صَغِيرٌ، وَلَا كَبِيرٌ، تُقْرَأُ عَلَيْهِ التَّوْرَاةُ إِلَّا اهْتَزَّ وَنَفَضَ لَهَا رَأْسَهُ. [أَيْ: حَرَّكَ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {فَسَيُنْغِضُونَ إِلَيْكَ رُءُوسَهُمْ} [الْإِسْرَاءِ:51] أَيْ يُحَرِّكُونَهَا]

Ketika Taurat sudah disebarkan, di dalamnya terdapat ketetapan Allah Dia tulis dengan tanganNya, maka membuat semua gunung, pohon, bebatuan bergetar. Maka, tidaklah Yahudi hari ini di semua permukaan bumi baik anak kecil dan dewasanya melainkan bergerak-gerak saat dibacakan Taurat kepada mereka, dan menggerak-gerakkan kepalanya, sebagaimana firman Allah: “mereka menggeleng-gelengkan kepalanya kepadamu.” (QS. Al Isra: 51).

(Ibid, jilid. 3, hal. 500)

Inilah pendapat dari Al Lajnah ad Daimah, Syaikh Bakr Abu Zaid, dan lainnya.

Silahkan ambil pendapat yang sekirannya lebih kuat dan jangan ingkari yang lainnya. Semoga kita bisa berlapang dada dalam perbedaan ini dan perbedaan fiqih lainnya.

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Wafat Belum Berbai’at Kepada Pemimpin Matinya Jahiliyah?

💢💢💢💢💢💢💢

📌 Sebagian orang ada yang memahami seperti ini, sehingga mereka menganggap kafir orang yang tidak berbai’at dengan pimpinan kelompok mereka.

📌 Mereka beralasan dengan hadits berikut:

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallalalhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa yang mati dan dilehernya tidak ada bai’at maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Muslim No. 1851)

📌 Maksud “jahiliyah” dalam hadits ini adalah BUKAN JAHILIYAH ORANGNYA seperti sangkaan mereka, tapi jahiliyah dalam arti seolah dia mati di zaman jahiliyah, zaman di mana tidak ada pemimpin. Begitulah penjelasan para ulama.

📌 Imam An Nawawi dalam Syarah-nya atas Shahih Muslim, tentang makna miitatan jahiliyah berikut:

هِيَ بِكَسْرِ الْمِيم ، أَيْ : عَلَى صِفَة مَوْتهمْ مِنْ حَيْثُ هُمْ فَوْضَى لَا إِمَام لَهُمْ

Dengan huruf mim dikasrahkan (jadi bacanya miitatan bukan maitatan), artinya kematian mereka disifati sebagaimana mereka dahulu tidak memiliki imam (pada masa jahiliyah).

(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 12/238)

📌 Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menjelaskan:

وَالْمُرَادُ بِالْمِيتَةِ الْجَاهِلِيَّةِ وَهِيَ بِكَسْرِ الْمِيمِ أَنْ يَكُونَ حَالُهُ فِي الْمَوْتِ كَمَوْتِ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ عَلَى ضَلَالٍ وَلَيْسَ لَهُ إمَامٌ مُطَاعٌ لِأَنَّهُمْ كَانُوا لَا يَعْرِفُونَ ذَلِكَ ، وَلَيْسَ الْمُرَادُ أَنْ يَمُوتَ كَافِرًا بَلْ يَمُوتَ عَاصِيًا

Dan yang dimaksud dengan miitatan jahiliyah dengan huruf mim yang dikasrahkan adalah dia mati dalam keadaan seperti matinya ahli jahiliyah yang tersesat di mana dia tidak memiliki imam yang ditaati karena mereka tidak mengenal hal itu, dan bukanlah yang dimaksud matinya kafir tetapi mati sebagai orang yang bermaksiat.

(Fathul Bari, 13/7)

📌 Imam Al Waqidi mencatat ada 7 orang sahabat nabi yang tidak memberikan bai’at pada Khalifah Ali Radhiallahu ‘Anhu yaitu: Sa’ad bin Abi Waqqash, AbdullaH bin Umar, Shuhaib bin Sinan, Zaid bin Tsabbit, Muhammad bin Maslamah, Salamah bin Aqwa’ dan Usamah bin Zaid Radhiallahu ‘Anhum. (Tarikh Ar Rusul, 4/429)

📌 Imam Ath Thabari menceritakan, bahwa Ali Radhiallah ‘Anhu berkata pada Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiallahu ‘Anhu: “Berbai’atlah Engkau!” Sa’ad menjawab: “Aku tidak akan berbai’at sebelum orang-orang semua berbai’at. Tapi demi Allah tidak ada persoalan apa-apa bagiku.” Mendengar itu Ali berkata: “Biarkanlah dia.”
Lalu Ali menemui Ibnu Umar dan berkata yang sama, maka jawab Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma: “Aku tidak akan berbai’at sebelum orang-orang semua berbai’at.” Jawab Ali: “Berilah aku jaminan.” Jawab Ibnu Umar : “Aku tidak punya orang yang mampu memberi jaminan.” Lalu Al Asytar berkata: “Biar kupenggal lehernya!” Jawab Ali : “Akulah jaminannya, biarkan dia.” (Imam Ibnu Hazm, Al Fashl fil Milal wal Ahwa’ An Nihal, 4/103)

📌 Penjelasan ulama dan kenyataan sejarah ini menunjukkan kelirunya pihak yang mengkafirkan orang yang tidak berbai’at kepada pemimpin.

📌 Zaman ini implementasi bai’at sudah terpenuhi dengan orang-orang yang memilihmya saat pemilihan, atau ketika seorang pemimpin sudah dilantik dan tidak ada yang menentangnya.

Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam.

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Salah Satu Tanda Taqwa: Menafkahi Keluarga

💢💢💢💢💢💢💢

📌 Allah ﷻ menceritakan salah satu ciri orang bertaqwa adalah dalam surat Al Baqarah, ayat 3

📌 Bunyinya:

وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ

dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka

📌 Salah satu makna ayat tersebut seperti penjelasan Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu :

نفقة الرجل على أهله

Nafkah seorang laki-laki (suami) kepada keluarganya

(Al Mawardi, An Nukat wa Al’ Uyun, jilid. 1, hal. 70)

📌 Imam Al Qurthubi Rahimahullah menjelaskan alasannya:

لأن ذلك أفضل النفقة

Karena nafkah kepada keluarga adalah sebaik-baiknya nafkah (infaq). (Al Jami’ Li Ahkamil Quran, Jilid. 1, hal. 155)

📌 Apa yang dikatakan oleh Imam Al Qurthubi Rahimahullah berdasarkan hadits berikut:

دينار أنفقته في سبيل الله ودينار أنفقته في رقبة ودينار تصدقت به على مسكين ودينار أنفقته على أهلك أعظمها أجرا الذي أنفقته على أهلك

Dinar yang kau infakkan fisabilillah, dinar yang kau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang kau pakai untuk bersedekah ke orang miskin, dan dinar yang kau nafkahkan untuk keluargamu, maka pahala yang paling besar adalah dinar yang kau nafkahkan untuk keluargamu.

(HR. Muslim No. 995)

📌 Maka – wahai para suami- jangan remehkan masalah nafkah (yang halal) kepada keluarga.

📌 Sebab, ini bukan hanya tuntutan fungsional di masyarakat sebagai suami, tapi juga menjadi tolok ukur ketaqwaan bagi Anda.

Wallahu A’lam.

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Air Musta’mal Terkumpul Sampai Dua Qullah, Bolehkah Buat Bersuci?

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh. Saya mau bertanya : Apakah dua jenis air musta’mal ketika di satukan volume nya sampai dua qullah hukum nya menjadi suci dan mensucikan atau tetap musta’mal.? Terimakasih Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh. Usep, Ciamis, (+62 821-1535-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Definisi Air musta’mal, dijelaskan oleh Syaikh Sa’diy Abu Habib dalam Qamus Al Fiqhiy:

Air musta’mal menurut Hanafiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Zhahiriyah, adalah air yang lepas (menetes) dari anggota badan orang yang berwudhu dan orang yang mandi.

(Syaikh Sa’diy Abu Habib, Al Qamus Al Fiqhiy, Hal. 263)

Sederhananya kalau kita berwudhu biasanya banyak air menetes dari anggota tubuh kita, baik saat wudhu atau setelahnya, begitu juga saat mandi wajib. Itulah air musta’mal.

Lalu, bagaimana status air musta’mal? Apakah suci dan mensucikan? Atau suci tapi tidak mensucikan?

Ternyata para ulama berbeda pendapat. Berikut ini uraian Imam Ibnu Hazm Rahimahullah dalam Al Muhalla:

Imam Malik berkata: “Boleh berwudhu dengannya jika tidak ada air yang lain dan tidak usah tayammum.”

Imam Abu Hanifah berkata: “Tidak boleh berwudhu dan mandi menggunakan air yang telah digunakan wudhu dan mandi sebelumnya …”

Imam Asy Syafi’iy berkata: “Tidak sah berwudhu dgn air yang sudah dipakai untuk wudhu dan mandi walau itu air suci semuanya.” Para sahabatnya (Syafi’iyah) mengatakan bahwa orang yang mencelupkan tangannya ke bejana untuk wudhu, dia ambil air untuk kumur, menghirup air ke hidung, mencuci wajah, lalu dia memasukkan tangannya ke bejana lagi, maka haram wudhu dengan air tersebut. Karena air tersebut menjadi musta’mal. (Imam Ibnu Ham, Al Muhalla, 1/183-184)

Sementara Imam Ibnu Hazm Rahimahullah sendiri membolehkan air musta’mal dijadikan buat wudhu dan mandi. Beliau berkata:

Wudhu dengan air musta’mal itu BOLEH, begitu pula mandi junub, baik ada air yang lain atau tidak. Itu adalah air yang dipakai untuk wudhu baik shalat wajib atau sunnah, atau untuk mandi junub atau lainnya, ini berlaku baik yg wudhu laki-laki atau perempuan. (Ibid, 1/182)

Dalam Al Mausu’ah disebutkan bahwa mayoritas madzhab menyatakan tidak sahnya bersuci dengan air musta’mal kecuali Malikiyah:

“Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Hambaliyah) menetapkan bahwa air musta’mal itu suci, tapi tidak dapat mensucikan yang lain. Malikiyah berbeda dengan ini, mereka membolehkan tapi makruh jika masih ada air lain, tapi jika tidak ada air lain maka tidak masalah.”

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 4/21)

Syaikh Wahbah Az Zuhailiy Rahimahullah menyebutkan tentang pendapat Syafi’iyyah: “Kesimpulannya, tidak sah bersuci dengan air musta’mal yang sedikit untuk keperluan menghilangkan hadats dan membersihkan najis. Jika seorang yang berwudhu memasukkan tangannya ke air yang sedikit (misal di gayung, pen) setelah mencuci wajahnya, maka air yang tersisa tersebut adalah musta’mal.”

(Syaikh Wahbah Az Zuhailiy, Al Fiqhu Asy Syafi’iyyah Al Muyassar, 1/82)

Namun dari sumber yg lain disebutkan bahwa Imam Abu Hanifah dan Imam Asy Syafi’iy Rahimahumallah termasuk yang berpendapat boleh dan sah berwudhu dengan air musta’mal.

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan bahwa internal madzhab Syafi’i memang ada dua pendapat. (Al Majmu’ Syarh al Muhadzdab, 1/150)

Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim Abadi Rahimahullah menjelaskan:

وذهب جماعة من العلماء كعطاء وسفيان الثوري والحسن البصري والزهري والنخعي وأبي ثور وجميع أهل الظاهر ومالك والشافعي وأبي حنيفة في إحدى الروايات عن الثلاثة المتأخرين إلى طهارة الماء المستعمل للوضوء

Jamaah para ulama seperti ‘Atha, Sufyan Ats Tsauri, Al Hasan Al Bashri, Az Zuhri, An Nakha’i, Abu Tsaur, semua ahli zhahir (tekstualis), Malik, Asy Syafi’iy, Abu Hanifah pada salah satu riwayat dari tiga riwayat kalangan generasi muta’akhirin (belakangan), mereka berpendapat bahwa sucinya air musta’mal untuk berwudhu.

(Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, 1/93)

Sehingga dari keterangan Imam Abu Thayyib menunjukkan umumnya para imam perintis madzhab adalah membolehkan. Alasannya adalah hadits Shahih Bukhari, dari Abu Juhaifah Radhiallahu ‘Anhu yang menceritakan para sahabat menggunakan air bekas wudhu nabi untuk mengusap diri mereka, juga dari Abu Musa dan Bilal Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. memerintahkan Abu Musa dan Bilal untuk meminum sisa wudhu Beliau, juga mengusap wajah mereka berdua dengannya. (Ibid, 1/93)

Bagaimana jika air musta’mal mencapai dua qullah?

Terkumpulnya air musta’mal sampai dua qullah, itu menjadi suci dan mensucikan menurut madzhab Syafi’i. Walau hal ini sangat sulit terjadi.

Imam Al Bujairimiy Rahimahullah – dia Syafi’iyah- mengatakan bahwa air musta’mal jika disatukan (dikumpulkan) dan mencapai dua qullah, maka itu suci dan (Imam Al Bujairimiy, Hasyiyah Al Bujaimiry ‘alal Khathib, 1/87)

Syaikh Wahbah Az Zuhailiy Rahimahullah menyebutkan bahwa jika air musta’mal telah mencapai dua qullah, yang shahih adalah itu thahur (suci dan mensucikan). (Syaikh Wahbah Az Zuhailiy, Al Fiqh Asy Syafi’iyyah Al Muyassar, 1/81)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top