Arti Fitnah Menurut Islam

💢💢💢💢💢💢💢💢

Istilah fitnah berasal dari bahasa Arab, dan sudah menjadi bahasa Indonesia.

Fitnah dalam bahasa Indonesia artinya perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang). (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Misal, seseorang berkata: “Si Fulan difitnah oleh mereka”, maksudnya Si Fulan telah dirugikan kehormatannya sebab disebarkan berita bohong tentang dirinya oleh mereka.

Ada pun dalam bahasa Arab, fitnah memiliki beberapa makna sesuai konteksnya masing-masing.

1. Fitnah adalah kesyirikan

Hal ini tercantum dalam beberapa ayat Al Quran. Di antaranya:

وَٱقۡتُلُوهُمۡ حَيۡثُ ثَقِفۡتُمُوهُمۡ وَأَخۡرِجُوهُم مِّنۡ حَيۡثُ أَخۡرَجُوكُمۡۚ وَٱلۡفِتۡنَةُ أَشَدُّ مِنَ ٱلۡقَتۡلِۚ وَلَا تُقَٰتِلُوهُمۡ عِندَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ حَتَّىٰ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِيهِۖ فَإِن قَٰتَلُوكُمۡ فَٱقۡتُلُوهُمۡۗ كَذَٰلِكَ جَزَآءُ ٱلۡكَٰفِرِينَ

Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui mereka, dan usirlah mereka dari mana mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu, maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang kafir.

(QS. Al-Baqarah, Ayat 191)

Orang Indonesia sering mengutip ayat ini bahkan telah menjadi pepatah di negeri ini, “Fitnah Lebih Kejam Dari Pembunuhan”. Tapi, dengan makna fitnah dalam bahasa Indonesia seperti di KBBI di atas. Tentunya bukan itu arti yang diinginkan ayat tersebut.

Arti fitnah dalam konteks ayat tsb, adalah kesyirikan. Sehingga maksudnya adalah dosa kesyirikan lebih besar dibanding dosa membunuh.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

وَقَالَ أَبُو الْعَالِيَةِ، وَمُجَاهِدٌ، وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ، وَعِكْرِمَةُ، وَالْحَسَنُ، وَقَتَادَةُ، وَالضَّحَّاكُ، وَالرَّبِيعُ ابن أَنَسٍ فِي قَوْلِهِ: {وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ من الْقَتْلِ} يقول الشرك أشد من القتل

Berkata Abul ‘Aliyah, Mujahid, Sa’id bim Jubeir, ‘Ikrmah, Al Hasan, Qatadah, Adh Dhahak, Ar Rabi’ bin Anas, tentang firmanNya: “Fitnah lebih kejam dari pembunuhan”, artinya KESYIRIKAN lebih kejam dari pembunuhan.

(Tafsir Ibnu Katsir, 1/525)

Imam Al Qurthubi Rahimahullah menjelaskan dari para ulama:

أي شركهم بالله وكفرهم به أعظم جرما و أشد من القتل الذي عيروكم به

Yaitu kesyirikan mereka kepada Allah dan kekafiran mereka, adalah kejahatan yang lebih besar dan lebih kejam dibanding pembunuhan yang mana mereka telah mengejek kalian dengan pembunuhan itu.

(Tafsir Al Qurthubi, 2/106)

Ayat lainnya:

وَقَٰتِلُوهُمۡ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتۡنَةٞ وَيَكُونَ ٱلدِّينُ لِلَّهِۖ فَإِنِ ٱنتَهَوۡاْ فَلَا عُدۡوَٰنَ إِلَّا عَلَى ٱلظَّٰلِمِينَ

Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti, maka tidak ada (lagi) permusuhan, kecuali terhadap orang-orang zhalim.

(QS. Al-Baqarah, Ayat 193)

Fitnah dalam ayat ini pun juga berarti kesyirikan. Imam Al Qurthubi Rahimahullah mengatakan:

قال ابن عباس و قتادة و الربيع و السدي و غيرهم : الفتنة هنا الشرك و ما تابعه من أذى المؤمنين

Berkata Ibnu Abbas, Qatadah, Ar Rabi’, As Suddi, dan lainnya: arti fitnah di sini adalah kesyirikan dan apa saja yang mengikutinya berupa gangguan kepada orang-orang beriman.

(Tafsir Al Qurthubi, 2/108)

💢💢💢💢💢💢💢💢

2. Fitnah adalah ujian, siksaan, kesulitan, bencana (bala)

Ini adalah makna yang paling sering muncul. Beberapa ayat pun menunjukkan makna ini.

Di antaranya:

وَٱتَّقُواْ فِتۡنَةٗ لَّا تُصِيبَنَّ ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمۡ خَآصَّةٗۖ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ

Dan peliharalah dirimu dari FITNAH yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.

(QS. Al-Anfal, Ayat 25)

Fitnah dalam ayat ini artinya ikhtibar wa mihnah (ujian dan siksaan, bencana). Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

يحذر تعالى عباده المؤمنين فتنة أي اختبارا ومحنة يعم بها المسيء وغيره لا يخص بها أهل المعاصي ولا من باشر الذنب بل يعمها حيث لم تدفع وترفع

Allah Ta’ala memperingatkan hamba-hambaNya yang beriman tentang FITNAH, yaitu ujian dan bencana yang berlaku secara merata baik kepada pelaku keburukan dan lainnya, yang tidak terbatas hanya kepada pelaku maksiat dan dosa tapi terjadi secara merata karena mereka tidak mencegah dan menghilangkannya.

(Tafsir Ibnu Katsir, 4/37)

Ayat lainnya:

أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ

Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji?

(QS. Al-Ankabut, Ayat 2)

Arti wa hum laa yuftanuun? (dan mereka tidak diberikan Fitnah?) adalah ujian dan bencana.

Dalam Tafsir al Muyassar disebutkan:

أظَنَّ الناس إذ قالوا: آمنا، أن الله يتركهم بلا ابتلاء ولا اختبار؟

Apakah manusia menyangka saat mereka berkata KAMI BERIMAN, Allah membiarkan mereka begitu saja dengan tanpa adanya bencana dan ujian?

(Tafsir Al Muyassar, Hal. 396)

Ayat lainnya:

وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَآ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞ وَأَنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥٓ أَجۡرٌ عَظِيمٞ

Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah FITNAH dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.

(QS. Al-Anfal, Ayat 28)

Fitnah dalam ayat ini adalah ikhtibar (ujian) dan ibtila (cobaan). (Tafsir Al Muyasssar, Hal. 180)

Imam Ibnu Katsir mengatakan ikhtibar dan imtihan (ujian, bencana). (Tafsir Ibnu Katsir, 4/42)

💢💢💢💢💢💢💢

3. Fitnah bermakna syahwat

Sering para ulama mengatakan, “Dilarang berduaan dengan bukan mahram, untuk menghindar fitnah”

“Boleh memandang wajah wanita selama aman dari fitnah”

“Tidak apa-apa mendengar suara wanita selama aman dari fitnah” dan yang semisal ini.

Fitnah dalam konteks ini bermakna syahwat, atau pendahuluan menuju zina.

Imam Ibnu Hajar Al Haitami Rahimahullah ditanya tentang wanita yang keluar rumah di zaman itu menuju masjid, pasar, dengan penampilan aneh-aneh; membuka wajah, tangan, pakai perhiasan, pakai parfum, apakah boleh bagi penguasa melarang mereka keluar rumah?

Beliau menjawab, bahwa Imam Al Haramain menyebutkan adanya ijma’ bolehnya wanita keluar rumah dan wajah mereka terbuka dan kaum laki-lakinya hendaknya menundukkan pandangan. Namun ada data yang berbeda dari Al Qadhi ‘Iyadh yang mengatakan ijma’ ulama justru melarang itu.

Lalu Beliau melanjutkan:

أن محله حيث لم يريدوا كراهة التحريم ما إذا لم يترتب على خروجهن خشية فتنة وأما إذا ترتب ذلك فهو حرام بلا شك …

والمراد بالفتنة الزنا ومقدماته من النظر والخلوة واللمس وغير ذلك

Maksud para ulama dalam hal ini adalah tidaklah makruh tahrim, selama tidak dikhawatirkan keluarnya kaum wanita melahirkan fitnah. Ada pun jika memunculkan fitnah maka itu haram tanpa ragu lagi…

Yg dimaksud FITNAH adalah zina dan berbagai pendahuluannya baik berupa memandang, berduaan, menyentuh, dan selainnya.

(Al Fatawa Al Kubra Al Fiqhiyah, 1/204)

Imam Al Bujairimi Rahimahullah mengatakan:

(وإن أمن الفتنة) هي ميل النفس ودعاؤها إلى الجماع أو مقدماته

(Jika aman dari fitnah) yaitu kecenderungan jiwa dan ajakannya kepada jima’ dan pendahuluannya.

(Hasyiyah Al Bujairimi, 3/272)

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🌷🍀🌿🌳🌸🌻🍁

✍ Farid Nu’man Hasan

Makhluk yang Paling Buruk Menurut Islam

💢💢💢💢💢💢💢💢

1⃣ Musyrikin dan Ahli Kitab

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ وَٱلۡمُشۡرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَٰلِدِينَ فِيهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمۡ شَرُّ ٱلۡبَرِيَّةِ

Sungguh, orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka itu adalah seburuk-buruknya makhluk.

(QS. Surat Al-Bayyinah, Ayat 6)

Dalam ayat ini disebutkan dua golongan manusia yang disebut dengan seburuk-buruknya makhluk, yaitu Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan Musyrikin. Kenapa? Karena mereka berada pada puncak kemaksiatan yaitu kekafiran.

Maka, Allah Ta’ala menyebut mereka dengan innaladzina kafaruu : “sesungguhnya orang-orang kafir…”

Kata MIN dalam kalimat min ahlil kitab wal musyrikin, bukan bermakna tab’idhiyah (sebagian ahli kitab dan musyrikin). Tapi, itu bermakna penegas dan penjelas bahwa mereka adalah kafir, bukan bermakna sebagian mereka saja yg kafir.

Hal ini sama dengan ayat berikut:

فَٱجۡتَنِبُواْ ٱلرِّجۡسَ مِنَ ٱلۡأَوۡثَٰنِ

“.. maka jauhilah olehmu (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu”… (QS. Al-Hajj, Ayat 30)

Kalimat: minal autsaan, bukan bermakna sebagian berhala. Tapi, semua aktifitas penyembahan kepada berhala itu najis dan jauhi.

Oleh krn itu Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

يخبر تعالى عن مآل الفجار من كفرة أهل الكتاب والمشركين المخالفين لكتب الله المنزلة وأنبياء الله المرسلة أنهم يوم القيامة في نار جهنم خالدين فيها أي ماكثين لا يحولون عنها ولايزولون

Allah Ta’ala mengabarkan tentang akibat yang diterima orang-orang berdosa, berupa kekafiran ahli kitab dan musyrikin yang menyelisihi kitab-kitab Allah, dan menyelisihi para nabi. Bahwa mereka hari kiamat nanti di neraka jahanam kekal abadi, yaitu mereka menjadi orang-orang yang menetap di sana, tidak berubah dan terus menerus.

(Tafsir Ibnu Katsir, 8/457)

💢💢💢💢💢💢💢💢

2⃣ Orang yang membangun masjid di atas kubur lalu membuat patung orang shalih di dalamnya lalu menyembahnya

Inilah yang dilakukan orang-orang jahiliyah sebelum Islam. Jika ada orang shalih wafat, maka di kuburnya dijadikan tempat ibadah, lalu untuk mengenang orang shalih itu mereka membuat patungnya, perlahan-lahan mereka menyembahnya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

أُولَئِكِ إِذَا مَاتَ مِنْهُمْ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا ثُمَّ صَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّورَةَ أُولَئِكِ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ

“Mereka itulah, yang apabila ada hamba shalih atau laki-laki shalih diantara mereka yang meninggal dunia, mereka bangun masjid di atas kuburannya itu dan membuatkan patung dari orang yang meninggal itu di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk disisi Allah “.

(HR. Bukhari no. 1341)

Hal ini bisa saja terjadi di masa sekarang, di masa Islam. Oleh karena itu Islam melarang mendirikan masjid di atas kuburan, dan membuat patung dan menyimpannya di rumah seorang muslim, sebagai upaya menutup seluruh pintu fitnah kesyirikan sekecil apa pun pintu itu.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:

والأحاديث في هذا الباب كثيرة ، وقد نص الأئمة من علماء المسلمين من جميع المذاهب الأربعة وغيرهم على النهي عن اتخاذ المساجد على القبور وحذروا من ذلك . عملا بسنة الرسول صلى الله عليه وسلم ، ونصحا للأمة وتحذيرا لها أن تقع فيما وقع فيه من قبلها من غلاة اليهود والنصارى وأشباههم من ضلال هذه الأمة

Hadits-hadits dalam masalah ini begitu banyak, dan telah ada perkataan ulama kaum muslimin di semua madzhab yang empat dan lainnya tentang larangan dan peringatan mendirikan masjid di kuburan. Hal ini dalam rangka mengamalkan sunnah Rasulullah ﷺ, sekaligus nasihat dan memperingatkan umat dari sikap ekstrim yang terjadi dimasa lalu yang dilakukan golongan tersesat dari umat ini baik kaum Yahudi, Nasrani, dan lainnya.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 26312)

Bagaimana jika kasusnya masjid lebih dulu ada, lalu ada orang shalih yg di kubur di samping masjidnya?

Hal ini sudah terjadi sejak masa salaf, dilakukan dan dialami pembesar-pembesar ulama. Ini tidak masalah, asalkan kubur tersebut di luar batas masjid, baik dibatasi oleh pagar atau dinding. Tidak masalah pula shalat di dalam masjid tersebut.

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah – yg sering disebut tokohnya kaum wahabi zaman ini pun membolehkan hal itu, Beliau berkata:

يقول السائل: إنه يوجد في قريتنا مسجد جامع، وهذا المسجد يقع وسط المقابر التي تحيط به من الشمال والجنوب، والمسافة بينه وبين الجهة الشمالية متران، وكذلك الجنوبية متران، وأن تلك المقابر في طريقها للتوسع، كما أن بعض المصلين هداهم الله يجعلون تلك المقابر مواقف لسياراتهم، أخبرونا جزاكم الله عنا كل خير في الحكم في مثل ذلك ولكم جزيل الشكر والتقدير؟
الجواب : لا حرج في بقاء المسجد المذكور؛ لأن العادة جارية أن الناس يدفنون حول المساجد، فلا يضر ذلك شيئا، والمقصود أن الدفن حول المساجد لا بأس به لأنه أسهل على الناس فإذا خرجوا من المسجد دفنوه حول المسجد، فلا يضر ذلك شيئا ولا يؤثر في صلاة المصلين.
لكن إذا كان في قبلة المسجد شيء من القبور فالأحوط أن يكون بين المسجد وبين المقبرة جدار آخر غير جدار المسجد أو طريق يفصل بينهما، هذا هو الأحوط والأولى ليكون ذلك أبعد عن استقبالهم للقبور.
أما إن كانت عن يمين المسجد أو عن شماله، أي عن يمين المصلين، أو عن شمالهم فلا يضرهم شيئا، لأنهم لا يستقبلونها; لأن هذا أبعد عن استقبالها وعن شبهة الاستقبال.
أما بالنسبة لإيقاف السيارات فلا يجوز إيقافها على القبور، بل توقف بعيدا عن القبور، في الأراضي السليمة التي ليس فيها قبور، لأنه لا يجوز للناس أن يمتهنوا القبور، أو تكون السيارات على القبور، فهذا منكر ولا يجوز، ومن الواجب أن يبعدوها عن القبور، وأن تكون في محلات سليمة ليس فيها قبور، وإذا تيسر تسويرها بما يمنع استطراقها وامتهانها فهو أحوط وأسلم لأن المسلم محترم حيا وميتا، ولهذا نهى الرسول صلى الله عليه وسلم أن يصلى إلى القبور وأن يقعد عليها.

Perkataan penanya: “Di desa kami terdapat Masjid Jami’, dan masjid tersebut berada di tengah-tengah sekeliling komplek pekuburan, dari bagian timur dan selatan. Jarak antara kuburan tersebut dengan bagian timur masjid adalah dua meter, di bagian selatan juga dua meter. Sesungguhnya komplek kuburan tersebut jalannya akan diperluas, sebagaimana yang mereka beritakan keada kami bahwa sebagian jamaah shalat –semoga Allah memberi petunjuk kepada mereka- menjadikan pekuburan tersebut sebagai tempat parkir mobil-mobil mereka. Dari kami, semoga Allah Ta’ala memberikan balasan kepada Anda dengan semua kebaikan dalam menjelaskan hukum masalah ini, dan terima kasih sebanyak-banyaknya buat Anda.

Jawab (Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz):

Tidak apa-apa berada di masjid tersebut, sesungguhnya kebiasaan yang berlangsung, bahwa manusia menguburkan mayit di sekitar masjid, dan hal itu sama sekali tidak membawa mudharat. Maksudnya menguburkan mayit di sekitar masjid adalah tidak apa-apa, sebab itu lebih mudah bagi manusia, ketika mereka keluar dari masjid mereka menguburkannya di sekitar masjid. Hal itu sama sekali tidak membawa mudharat, dan tidak berpengaruh apa-apa bagi shalat orang yang shalat. (baca: tetap sah)

Tetapi jika (kubur) di bagian kiblat masjid, maka untuk lebih hati-hati hendaknya di antara masjid dan kuburan itu dibuat dinding lagi selain dinding masjid, atau jalanan yang memisahkan antara keduanya. Hal ini lebih hati-hati dan lebih utama, dengan demikian agar mereka lebih jauh dari menghadap kuburan.

Ada pun jika kuburan tersebut berada di sebelah kanan atau kirinya, yakni di sebelah kanan yang shalat, maka itu sama sekali tidak memudharatkan mereka, sebab mereka tidak menghadap kepadanya. Keadaan itu jauh dari menghadap ke kuburan dan jauh pula dari keadaan yang serupa dengan menghadap.

Terkait dengan parkiran mobil, maka tidak boleh memarkir mobil di atas kuburan-kuburan, tetapi hendaknya menjauh darinya, di tempat yang bersih yang tidak terdapat kuburan. Karena tidak boleh bagi manusia menghina (merendahkan) kuburan, atau meletakkan mobil-mobil di atas kubur, ini munkar dan tidak boleh. Wajib menjauhkannya dari kubur, dan memindahkannya ke tempat yang bersih yakni bebas dari kubur. Dan jika memungkinkan, hendaknya dihindari dari pembuatan jalan dan apa-apa yang merendahkan kuburan, dan itu lebih hati-hati da selamat, sebab seorang muslim mesti dihormati baik ketika hidup dan mati. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang shalat keada kuburan dan duduk di atasnya.

(Syaikh Ibnu Baaz, Fatawa Nur ‘Alad Darb, Pertanyaan No. 133)

Wallahu a’lam

💢💢💢💢💢💢💢

3⃣ Orang yang merasakan kiamat

Dalam banyak ayat, di banyak surat, Allah Ta’ala menceritakan kedahsyatan dan kengerian peristiwa kiamat. Sangat logis jika peristiwa yang paling menyeramkan itu dialami oleh manusia-manusia yang paling buruk.

Dalam hadits disebutkan:

قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مِنْ شِرَارِ النَّاسِ مَنْ تُدْرِكْهُمْ السَّاعَةُ وَهُمْ أَحْيَاءٌ

Ibnu Mas’ud mengatakan, aku mendengar Nabi ﷺ bersabda; “Manusia yang paling buruk adalah manusia yang mendapati hari kiamat ketika dia masih hidup.”

(HR. Bukhari no. 7067)

Hadits lainnya:

لَا تَقُومُ السَّاعَةُ إِلَّا عَلَى شِرَارِ الْخَلْقِ هُمْ شَرٌّ مِنْ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ

“Hari Kiamat itu tidak akan menimpa kecuali atas makhluk yang paling buruk. Mereka lebih jahat daripada orang-orang yang hidup di masa jahiliyah.”

(HR. Muslim no. 1924)

Sedangkan kaum muslimin dan mukminin, tidak merasakan peristiwa itu. Sebagaimana hadits berikut:

… إِذْ بَعَثَ اللَّهُ رِيحًا طَيِّبَةً فَتَأْخُذُهُمْ تَحْتَ آبَاطِهِمْ فَتَقْبِضُ رُوحَ كُلِّ مُؤْمِنٍ وَكُلِّ مُسْلِمٍ وَيَبْقَى شِرَارُ النَّاسِ يَتَهَارَجُونَ فِيهَا تَهَارُجَ الْحُمُرِ فَعَلَيْهِمْ تَقُومُ السَّاعَةُ

“… tiba-tiba Allah mengirim angin sepoi-sepoi lalu mencabut nyawa setiap orang mu`min dan muslim dibawah ketiak mereka, dan orang-orang yang tersisa adalah manusia-manusia buruk, mereka melakukan hubungan badan secara tenang-terangan seperti keledai kawin. Maka atas mereka itulah kiamat terjadi.”

(HR. Muslim no. 2137)

Demikian. Wallahu A’lam

💢💢💢💢💢💢💢💢

4⃣ Orang Khawarij

Rasulullah ﷺ menyebut bahwa mereka suburuk-buruknya makhluk.

Rasulullah ﷺ bersabda:

هُمْ شَرُّ الْخَلْقِ وَالْخَلِيقَةِ

Mereka seburuk-buruknya makhluk dan akhlak mereka sangat buruk.

(HR. Muslim no. 1067)

Rasulullah ﷺ menyebut mereka Kilabun Naar (Anjing-anjing neraka).

Dalam sebuah riwayat shahih disebutkan:

حدثنا عبد الرزاق أخبرنا معمر قال سمعت أبا غالب يقول لما أتي برءوس الأزارقة فنصبت على درج دمشق جاء أبو أمامة فلما رآهم دمعت عيناه فقال كلاب النار ثلاث مرات هؤلاء شر قتلى قتلوا تحت أديم السماء وخير قتلى قتلوا تحت أديم السماء الذين قتلهم هؤلاء قال فقلت فما شأنك دمعت عيناك قال رحمة لهم إنهم كانوا من أهل الإسلام قال قلنا أبرأيك قلت هؤلاء كلاب النار أو شيء سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إني لجريء بل سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم غير مرة ولا ثنتين ولا ثلاث قال فعد مرارا. (مسند أحمد بن حنبل)

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdur Razzaq telah mengabarkan kepada kami Ma’mar berkata; Saya mendengar Abu Ghalib berkata;

“Saat kepala-kepala kelompok Azariqah didatangkan dan dipasang ditangga Damaskus, datanglah Abu Umamah. Saat melihat mereka ia meneteskan air mata dan berkata; Anjing-anjing neraka -sebanyak tiga kali- mereka adalah seburuk-buruk korban yang dibunuh dibawah kolong langit, dan sebaik-baik korban yang dibunuh dibawah kolong langit adalah orang-orang yang mereka bunuh.”

Saya bertanya; ” Kenapa kau meneteskan air mata?”

Ia menjawab; “Sebagai rasa kasih sayang terhadap mereka, dulu mereka adalah orang-orang Islam.”

Kami bertanya; “Atas dasar apa saat kau menyebut mereka; Anjing-anjing neraka, ataukah sesuatu yang kau dengar dari Rasulullah ﷺ ?”

Ia berkata; “Sesungguhnya aku (kalau tanpa alasan) tentunya gegabah, tapi aku mendengarnya dari Rasulullah ﷺ bukan hanya sekali, dua kali, tiga kali. Ia mengulanginya berkali-kali.”

(HR. Ahmad no. 22183. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad no. 22183)

Dalam kenyataannya, kaum khawarij memang sangat sadis kepada umat Islam. Mereka menghalalkan darah dan harta kaum muslimin, sebab mereka mengkafirkannya.

Tentang khwarij sudah kami bahas berapa bulan lalu.

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌴🌵

✍ Farid Nu’man Hasan

Serba Serbi Amar Ma’ruf Nahi Munkar

💢💢💢💢💢💢💢

📌 Kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Imam Ibnu Daqiq al ‘Id Rahimahullah:

فهو أمر إيجاب بإجماع الأمة وقد تطابق الكتاب والسنة على وجوب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر وهو أيضا من النصيحة التي هي الدين

Menghilangkan kemungkaran adalah hal yang wajib berdasarkan ijma’ umat ini. Hal itu sejalan dengan Al Quran dan As Sunnah tentang wajibnya amar ma’ruf nahi munkar dan itu bagian dari nasihat dan itu adalah bagian dari agama.

📌 Jangan Menunggu Sempurna

Imam Ibnu Daqiq al ‘Id:

قال العلماء: ولا يشترط في الآمر بالمعروف والناهي عن المنكر أن يكون كامل الحال، ممتثلاً ما يأمر به. مجتنباً ما ينهى عنه بل عليه الأمر. وإن كان مرتكباً خلاف ذلك لأنه يجب عليه شيئان: أن يأمر نفسه وينهاها. وأن يأمر غيره وينهاها. فإذا أخذ بأحدهما لا يسقط عنه الآخر

Para ulama mengatakan: menjadi sempurna itu bukanlah syarat dalam amar ma’ruf nahi munkar yang mengharuskan dia mesti sudah menjalankan apa yang dia katakan dan menjauhi apa yang dia larang. Jika dia melakukan apa-apa yang menyelisihi ajakannya sendiri maka dia wajib melakukan dua hal: amar ma’ruf nahi munkar kepada dirinya, dan juga kepada orang lain. Jika dia sudah melakukan salah satunya, maka tidaklah gugur terhadap satunya lagi.

📌 Bukan Hanya Tugas Penguasa dan Ulama

Imam Ibnu Daqiq al ‘Id :

قالوا: ولا يختص الأمر بالمعروف والنهى عن المنكر بأصحاب الولاية بل ذلك ثابت لآحاد المسلمين وإنما يأمر وينهى من كان عالماً بما يأمر به وينهى عنه فإن كان من الأمور الظاهرة مثل: الصلاة والصوم والزنا وشرب الخمر ونحو ذلك، فكل المسلمين علماء بها وإن كان من دقائق الأفعال والأقوال وما يتعلق بالاجتهاد ولم يكن للعوام فيه مدخل فليس لهم إنكاره بل ذلك للعلماء

Mereka (para ulama) mengatakan bahwa amar ma’ruf nahi munkar tidaklah khusus bagi penguasa saja, tapi ini berlaku bagi individu muslim mana pun. Sesungguhnya amar ma’ruf nahi munkar ini kewajiban bagi yang tahu jika ada hal yang memang mesti di perintah dan dicegah. Jika mencakup hal-hal yang sudah jelas seperti shalat, puasa, puasa, minum khamr, zina, dan semisalnya, maka semua umat Islam sudah tahu hal itu. Ada pun untuk ucapan dan perbuatan yang rumit yang membutuhkan ijtihad maka itu bukan bagiannya orang awam untuk amar ma’ruf nahi munkar tapi domainnya para ulama.

📌 Kemungkaran yang diingkari hanyalah hal yang disepakati kemungkarannya

Imam Ibnu Daqiq al ‘Id:

والعلماء إنما ينكرون ما أجمع عليه أما المختلف فيه فلا إنكار فيه لأن على أحد المذهبين: أن كل مجتهد مصيب وهو المختار عند كثير من المحققين. وعلى المذهب الآخر: أن المصيب واحد والمخطئ غير متعين لنا والإثم موضوع عنه لكن على جهة النصيحة للخروج من الخلاف فهو حسن مندوب إلى فعله برفق

Para ulama hanyalah mengingkari apa-apa yang telah ijma’ (kemungkarannya), sedangkan perkara yg masih diperselisihkan tidak boleh ada pengingkaran dalam hal itu. Sebab, bagi seseorang ada dua madzhab yang berlaku: 1. Seluruh Mujtahid itu benar. Inilah yang dipilih oleh banyak muhaqqiq (peneliti). 2. Yang benar hanya satu yang lainnya salah, namun tidak tentu yg mana, dan dosa tidak berlaku. Tapi dia dinasihati agar keluar dari perselisihan. Ini adalah hal yang bagus dan diajurkan melakukannya dengan lembut.

📚 Imam Ibnu Daqiq al ‘Id, Syarah al Arbain an Nawawiyah, Hal. 112 – 113

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Apakah Adzan Dua Kali di Shalat Jum’at Itu Bid’ah?

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum.., ana dapat kiriman artikel isinya membid’ahkan azan dua kali di shalat Jumat.. Mohon pencerahannya tadz..

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh
Bismillahirrahmanirrahim…

Masalah ini memang ada dua pendapat secara global, dan kedua pendapat tersebut hendaknya kita ketahui agar kita bisa lapang dada.

Pendapat Pertama: Azan pertama dalam shalat Jumat sehingga ada dua kali azan adalah bid’ah.

Hal ini dikatakan oleh Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma. Alasannya sederhana, yaitu azan ini tidak ada di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Imam Ibnu Rajab mengatakan:

وروى وكيع في كتابه عن هشام بن الغاز ، قال : سألت نافعاً عن الأذان يوم الجمعة ؟ فقالَ : قالَ ابن عمر : بدعةٌ ، وكل بدعة ظلالة ، وإن رآه الناس حسناً

Waki’ meriwayatkan dalam kitabnya, dari Hisyam bin al Ghaz, dia berkata: Aku bertanya kepada Nafi’ tentang azan (tambahan) di hari Jumat. Beliau menjawab: “Itu bid’ah, setiap yang bid’ah itu sesat walau dipandang bagus oleh manusia. (Fath al Bari, 5/452)

Ini juga menjadi pendapatnya ‘Atha bin Abi Rabah, Beliau mengingkari azan tersebut. Menurutnya yang dilakukan oleh Utsman Radhiallahu ‘Anhu adalah mengajak manusia berdoa, bukan azan, menurutnya orang pertama yang menambah azan tersebut adalah Al Hajjaj. (Ibid, 5/451)

Sedangkan Imam asy Syafi’i berkata:

وَقَدْ كَانَ عَطَاءٌ يُنْكِرُ أَنْ يَكُونَ عُثْمَانُ أَحْدَثَهُ وَيَقُولُ أَحْدَثَهُ مُعَاوِيَةُ، وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ‏. ]قَالَ الشَّافِعِيُّ‏]‌‏:‏ وَأَيُّهُمَا كَانَ فَالْأَمْرُ الَّذِي عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أَحَبُّ إلَيَّ

‘Atha mengingkari bahwa hal itu dilakukan Utsman, dia mengatakan itu dimulai oleh Mu’awiyah. Wallahu A’lam. Yang mana pun dari keduanya (baik dari Utsman ataukah Muawiyah), aku lebih suka apa yang terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (yaitu sekali azan). (Al Umm, 2/389)

Dari sini kita paham bahwa Imam asy Syafi’i tidak menyalahkan azan dua kali, hanya saja dia lebih suka yang sekali. Sementara Imam Abul Hasan al Mawardi, salah satu tokoh madzhab Syafi’i mengatakan:

فأما الاذان الثاني فمحدث، فعله عثمان بن عفان ليتأهب الناس لحضور الخطبة عند اتساع المدينة وكثرة أهلها

Ada pun azan kedua adalah muhdats (bid’ah), apa yang dilakukan oleh Utsman Radhiyallahu ‘Anhu agar orang mampu bersiap – siap menghadiri khutbah karena kota Madinah waktu itu semakin luas dan banyak penduduknya. (An Nukat wa al ‘Uyun, 6/9)

Sedangkan Syaikh al Albani mengkritik keras pihak yang melakukan azan dua kali dengan sebutan taklid buta, menurutnya mereka tidak melihat alasan Utsman Radhiallahu ‘Anhu dan hikmahnya. Utsman melakukan itu karena penduduk semakin banyak dan rumah berjauhan, pantaslah jika azan sekali tidak bisa dicapai oleh semuanya. Hal itu, di zaman ini sudah tidak terjadi karena adanya pengeras suara dan penduduk berdekatan sehingga suara azan sekali sudah cukup terdengar. (al Ajwibah an Nafi’ah, Hal. 20-21)

Pendapat Kedua. Azan dua kali dalam shalat Jumat, BUKAN BID’AH tapi SUNNAH yaitu sunnahnya salah satu Khulafa ar Rasyidin, yaitu Utsman bin Affan Radhiallahu ‘Anhu.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk mengikuti sunnahnya dan sunnah Khulafa ar Rasyidin. Bahkan sebagian riwayat menyebut sudah ada sejak masa khalifah Umar Radhiallahu ‘Anhu.

Syaikh Muhammad Shalih al Munajjid mengatakan:

وهذا الأذان ليس من البدع المحدثة بل هو سنة من سنن الخليفة الراشد عثمان بن عفان رضي الله عنه والتي أمر النبي صلى الله عليه وسلم بلزومها في قوله : ” عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي

Adzan ini bukanlah bid’ah, justru ini sunnah di antara sunnahnya Khalifah ar Rasyid, Utsman bin Affan Radhiallahu ‘Anhu di mana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memerintahkan untuk berpegang kepada sunnahnya dalam hadits: “Hendaknya kalian di atas sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin setelahku. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 13478)

Syaikh Anwarsyah Al Kasymiri mengoreksi pihak yang membid’ahkan dengan mengatakan:

قلت: وعلى مَنْ يَدَّعِي الإِحداثَ أن يُجيب عما في «الموطأ» لمالك -ص 36 – : أنهم كانوا في زمن عمر بن الخطاب يُصلُّون يومَ الجُمعة حتى يخرجَ عمرُ بن الخطاب، فإِذا خرج عمر وجلس على المنبر وأَذَّن المؤذنون. وقال ثعلبة: «جلسنا نتحدثُ فإِذا سَكَت المؤذنونَ وقام عمرُ يخطبُ أَنْصَتْنا فلم يتكلمْ مِنَّا أَحَدٌ». اهـ فإن قوله: سكت المؤذنون، وأذن المؤذنون، بصيغة الجَمْع يدلُّ على تَعَدُّدِ الأذانين في عهده رضي الله تعالى عنه

Aku berkata: kepada pihak yang membid’ahkan jawabannya ada dalam Al Muwaththa, hal. 36, bahwa mereka di zaman Umar bin al Khathab Radhiallahu ‘Anhu shalat di hari Jumat sampai Umar bin al Khatab datang. Begitu Umar datang dan duduk di mimbar maka azanlah para muadzin.” Tsa’labah berkata: “Kami duduk dan ngobrol, jika para muadzin sudah berhenti dan Umar berdiri untuk khutbah maka kami diam dan tidak ada satu di antara kami yang ngobrol… dst.” Ucapannya “para muadzin sudah berhenti “, “para muadzin azan”, dengan bentuk kata jamak menunjukkan bahwa adzan Jumat dimasanya (Umar bin al Khathab) itu berbilang (bukan hanya sekali). (Faidh al Bari, 2/433)

Hadits yang dimaksud adalah:

عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ الزَّوْرَاءُ مَوْضِعٌ بِالسُّوقِ بِالْمَدِينَةِ

Saib bin Yazid berkata, “Adalah azan pada hari Jumat, permulaannya adalah apabila imam duduk di atas mimbar, yakni pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar Radhiallahu ‘anhuma. Maka pada masa Utsman Radhiallahu ‘Anhu dan orang-orang sudah banyak, ia menambahkan azan yang ketiga diatas Zaura’.” Berkata Abu Abdillah, Zaura’ adalah suatu tempat di pasar di kota Madinah. (HR. Bukhari no. 912)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

فإنَّه من يَعِشْ منكم بَعْدي فسَيَرى اختلافاً كثيراً، فعليكُم بسنَّتي وسُنَّةِ الخُلفاءِ، المَهديِّينَ الرَّاشدينَ، تَمَسَّكوا بها وعَضُّوا عليها بالنَّواجذِ

Sesungguhnya siapa di antara kamu yang hidup setelah aku wafat, niscaya akan banyak melihat perselisihan, maka peganglah sunnahku dan sunnah para khalifah yang telah mendapatkan petunjuk (Khulafa’ ar Rasyidin), peganglah kuat-kuat dan gigit dengan geraham kalian. (HR. Abu Daud no. 4607, dishahihkan oleh Imam at Tirmidzi, Imam Ibnu Hibban, dll)

Dalam hadits disebutkan dengan istilah “azan ketiga”, sebab iqamah dalam banyak hadits juga disebut azan, sehingga totalnya tiga azan. Apa yang dilakukan Utsman Radhiallahu ‘Anhu diikuti manusia diseluruh negeri di masanya, Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:

والذي يظهر أن الناس أخذوا بفعل عثمان في جميع البلاد إذ ذاك لكونه خليفة مطاع الأمر

Yang nampak adalah manusia mengambil (mengikuti) perbuatan Utsman ini di semua negeri karena posisinya sebagai khalifah yang ditaati perintahnya. (Fath al Bari, 2/394)

Al Hafizh juga mengomentari pembid’ahan-nya Ibnu Umar sebagai berikut:

فيحتمل أن يكون قال ذلك على سبيل الإنكار ويحتمل أنه يريد أنه لم يكن في زمن النبي صلى الله عليه وسلم وكل ما لم يكن في زمنه يسمى بدعة لكن منها ما يكون حسنا ومنها ما يكون بخلاف ذلك

Apa yang dikatakannya dipahami sebagai pengingkaran, dan dimaknai bahwa itu belum terjadi di masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tiap hal yang belum terjadi di masanya dinamakan bid’ah tetapi di antaranya ada yang HASAN (bagus) dan ada yang menyelisihi hal itu. (Ibid)

Maka, siapa yang di masjidnya shalat Jumat dengan sekali azan dan sekali iqamah maka dia telah mengikuti sunnah. Siapa yang masjidnya shalat Jumat dengan dua kali azan dan sekali iqamah maka dia telah mengikuti sunnah salah satu khalifah yang empat, yang oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam perintahkan untuk diikuti. Keduanya masih on the track sunnah. Seandainya itu bid’ah, sudah pasti sahabat nabi lainnya akan mengingkarinya, tapi mereka mendiamkannya sehingga para ulama menyebutnya ijma’ sukuti (kesepakatan diam-diam).

Imam Badruddin al ‘Aini menjelaskan:

وموافقة سَائِر الصَّحَابَة بِهِ بِالسُّكُوتِ وَعدم الْإِنْكَار، فَصَارَ إِجْمَاعًا سكوتيا

Apa yang dilakukan Utsman disepakati oleh semua sahabat secara diam-diam dan tidak ada yang mengingkarinya, maka ini menjadi ijma’ sukuti. (‘Umdah al Qari, 6/211)

Hal ini juga dikatakan Al Lajnah Ad Daimah kerajaan Arab Saudi mengatakan kebolehan azan dua kali ini adalah IJMA’ SUKUTI (kesepakatan diam-diam) para sahabat nabi.

Dalam fatwa yang ditanda tangani Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ini tertulis:

وقد علق القسطلاني في شرحه للبخاري على هذا الحديث بأن النداء الذي زاده عثمان هو عند دخول الوقت، وسماه ثالثًا باعتبار كونه مزيداً على الأذان بين يدي الإمام والإقامة للصلاة ، وأطلق على الإقامة أذاناً تغليباً ، بجامع الإعلام فيهما، وكان هذا الأذان لما كثر المسلمون فزاده اجتهاداً منه، ووافقه سائر الصحابة له بالسكوت وعدم الإنكار ؛ فصار إجماعاً سكوتياً

Al Qasthalani telah memberikan komentar terhadap hadits ini dalam Syarah (penjelasan)nya terhadap Shahih Bukhari , bahwa adzan tersebut dilakukan ketika waktu sudah masuk. Hal ini dinamakan adzan ketiga karena sebagai adzan tambahan atas adzan ketika imam naik mimbar dan iqamat untuk shalat. Secara mutlak iqamat adalah adzan, karena pada keduanya menghimpun adanya pemberitahuan shalat. Adzan ini terjadi pada saat kaum muslimin banyak jumlahnya, tambahan azan tersebut merupakan ijtihad, dan disepakati oleh semua sahabat, mereka mendiamkannya dan tidak mengingkarinya. Maka hal ini menjadi ijma’ sukuti. (Fatawa Al Lajnah ad Daimah, 8/199)

Alasan adanya azan tambahan tersebut karena manusia saat itu semakin banyak. Sekali azan ternyata tidak cukup bagi mereka untuk mendatangi masjid, akhirnya Utsman Radhiallahu ‘Anhu berijtihad untuk di adakan azan yang pertama sebagai panggilan bagi mereka. Zaman ini penduduk lebih banyak lagi, seakan kondisi hari ini justru lebih beralasan lagi untuk melakukan azan tersebut. Oleh karenanya sampai hari ini Masjid al Haram dan Masjid an Nabawi melakukan azan jumat dua kali, plus iqamah.

Syaikh Shalih Fauzan memiliki penjelasan yang bagus:

الأذان الأول سنة الخلفاء الراشدين، فقد أمر به عثمان رضي الله عنه في خلافته لما كثر الناس وتباعدت أماكنهم، فصاروا بحاجة إلى من ينبههم لقرب صلاة الجمعة، فصار سنة إلى يومنا هذا، والنبي صلى الله عليه وسلم يقول: عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين. وعثمان من الخلفاء الراشدين وقد فعل هذا وأقره الموجودون في خلافته من المهاجرين والأنصار، فصار سنة ثابته. والذي نراه أن الأمر واسع فمن أذن أذانا واحداً فهو بذلك متأسٍ برسول الله صلى الله عليه وسلم ومقتدٍ بأبي بكر وعمر ، ومن أذن أذانين فهو بذلك مقتد بالخليفة الراشد عثمان بن عفان ومن وافقه من المهاجرين والأنصار.

Azan pertama adalah sunnahnya Khulafa ar Rasyidin, Utsman Radhiallahu ‘Anhu telah memerintahkannya di masa kekhalifahannya disebabkan banyaknya penduduk dan tempat mereka berjauhan, hal itu menjadi diperlukan untuk memberitahu mereka agar mendatangi shalat Jumat, maka hal ini menjadi SUNNAH SAMPAI HARI INI. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Hendaknya kalian di atas sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin setelahku.” Utsman termasuk Khulafa ar rasyidin, dia telah melakukan hal ini dan disetujui orang-orang saat itu baik Muhajirin dan Anshar maka itu menjadi sunnah yang kuat. Kami lihat permasalahan ini masalah yang lapang saja, siapa yang azannya sekali maka dia punya dasar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, diikuti Abu Bakar, dan Umar. Siapa yang azannya dua kali maka dia telah mengikuti Khalifah ar Rasyid yaitu Utsman dan orang-orang yang menyetujuinya dari kalangan Muhajirin dan Anshar. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 18313)

📚Kesimpulannya: Azan shalat Jumat baik sekali atau dua kali adalah benar dan masalah ini lapang saja. Hendaknya pembuat broadcast itu tidak membuat gaduh dengan menyebarkan masalah sensitif tanpa landasan ilmu.

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top