Benarkah Imam Abu Hanifah Berpaham Murji’ah?

PERTANYAAN:

Saya pernah mendengar bahwa Imam Abu Hanifah termasuk ke dalam murji’ah fuqaha. Di satu sisi, beliau digolongkan ke dalam ahlu sunnah. Mohon penjelasannya terkait hal tersebut. Saya jadi bingung karena di satu sisi murjiah disebut sebagai bentuk penyimpanan, tapi di satu sisi Imam Abu Hanifah dimasukan ke dalam kelompok murjiah. Jazakumullahu khair, Alif, Cikarang, 29 tahun, (+62 813-1692-xxxx)

JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim ..

Sebagai pendahuluan, kita perlu tahu dulu apa itu paham Murji’ah (al Irja’).

Pengertian Murji’ah

Faham Al Irja’, secara bahasa (etimologi) artinya ta’khirul ‘amal wal Imhaal (mengakhirkan amal dan menundanya).
amal dari iman, dan al Irja’ maknanya adalah ta’khir (mengakhirkan/menunda).

(Al Farqu Bainal Firaq, Hal. 230)

Secara terminologi, mereka adalah -seperti yang dikatakan Imam Sufyan bin ‘Uyainah:

فَأَمَّا الْمُرْجِئَةُ الْيَوْمَ فَهُمْ قَوْمٌ يَقُولُونَ: الْإِيمَانُ قَوْلٌ بِلَا عَمِلٍ

Murji’ah hari ini adalah kaum yang mengatakan iman itu ucapan saja, tanpa amal perbuatan.

(Tahdzibul Atsar, 2/659)

Dengan kata lain, mereka tidak menjadikan amal perbuatan sebagai unsur penting iman seseorang, cukup di hati dan perkataan saja, tanpa amal.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:

أي إخراج الأعمال من مسمى الإيمان ، وأن الإيمان لا يزيد ولا ينقص

Yaitu mengeluarkan amal perbuatan dari penamaan iman, dan iman tidaklah bertambah dan tidak berkurang.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 227276 )

Sehingga bagi mereka iman manusia selama dihati dan dilisannya mengakui iman, tetaplah stabil. Tidak bertambah iman itu karena ketaatan, dan tidak bertambah iman itu karena maksiat. Demikian.

Kemudian, Siapakah Imam Abu Hanifah Rahimahullah?

Imam Abu Hanifah adalah salah satu imam besar umat Islam, khususnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Pada masanya Beliau dijuluki sebagai ahli fiqih paling cerdas, paling mumpuni, sampai-sampai para ulama menyebutnya sebagai Imamul A’zham (imam tertinggi), sebagaimana kitab: Manaqib Imam Al A’zham Abi Hanifah, Al Khairat Al Hissan fi Manaqib Al Imam Al A’zham Abi Hanifah An Nu’man, dan lainnya.

Para ulama pun menyanjungnya, dan sanjungan ini menunjukkan posisinya yang tinggi, yang hanya diraih oleh orang-orang yang benar agamanya.

Di antara sanjungan itu, misalnya:

Hayyan bin Musa Al Marwadzi berkata:

سئل ابن المبارك: مالك أفقه، أو أبو حنيفة ؟ قال: أبو حنيفة

Ibnul Mubarak ditanya: “Mana yang lebih faham tentang fiqih, Malik atau Abu Hanifah? Beliau berkata: Abu Hanifah.” (Siyar A’lam An Nubala, 6/402)

Imam Yahya Al Qaththan berkata:

لا نكذب الله، ما سمعنا أحسن من رأي أبي حنيفة، وقد أخذنا بأكثر أقواله

Kami tidak membohongi Allah, kami belum pernah mendengar pendapat yang lebih baik dibanding pendapat Abu Hanifah, dan kami telah mengambil lebih banyak dari pendapatnya. (Ibid)

Disebutkan oleh Imam Adz Dzahabi:

وقال علي بن عاصم: لو وزن علم الامام أبي حنيفة بعلم أهل زمانه، لرجح عليهم
وقال حفص بن غياث: كلام أبي حنيفة في الفقه، أدق من الشعر، لا يعيبه إلا جاهل
وقال جرير: قال لي مغيرة: جالس أبا حنيفة تفقه، فإن إبراهيم النخعي لو كان حيا لجالسه
وقال ابن المبارك: أبو حنيفة أفقه الناس. وقال الشافعي: الناس في الفقه عيال على أبي حنيفة

Berkata Ali bin ‘Ashim: “Seandainya ditimbang ilmu Imam Abu Hanifah dengan ilmu manusia yang hidup pada zamannya, niscaya ilmunya lebih berat dibanding mereka.”

Berkata Hafsh bin Ghiyats: “Perkataan Abu Hanifah dalam fiqih, lebih dalam dibanding syair, dan tidak ada yang meng-’aibkan dirinya melainkan orang bodoh.”

Jarir berkata: Mughirah berkata kepadaku: “Duduklah bersama Abu Hanifah niscaya kau akan mengerti, sungguh seandainya Ibrahim An Nakha’i hidup niscaya dia (Ibrahim) akan duduk dihadapannya (untuk belajar).”

Ibnul Mubarak berkata: “Abu Hanifah adalah manusia paling paham tentang fiqih.”

Asy Syafi’i berkata: “Dalam fiqih, manusia (para ulama) adalah satu keluarga dengan Abu Hanifah.” (Ibid, 6/403)

Imam Asy Syafi’i berkata:

قيل

لمالك: هل رأيت أبا حنيفة ؟ قال: نعم. رأيت رجلا لو كلمك في هذه السارية أن يجعلها ذهبا لقام بحجته.

Ditanyakan kepada Imam Malik: “Apakah engkau pernah melihat Imam Abu Hanifah? Beliau berkata: “Ya, aku melihat seorang laki-laki yang jika dia mengatakan kepadamu bahwa dia ingin menjadikan tiang ini emas, maka itu akan terjadi karena hujjah yang dimilikinya.” (Ibid, 6/399)

Imam Abdullah bin Al Mubarak berkata:

لولا أن الله أعانني بأبي حنيفة وسفيان، كنت كسائر الناس

Kalau bukan pertolongan Allah kepadaku melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats Tsauri, niscaya aku sama saja dengan kebanyakan manusia (awam). (Ibid, 6/398)

Beliau juga berkata:

إن كان الأثر قد عرف واحتيج إلى الرأي فرأي مالك وسفيان وأبي حنيفة وأبو حنيفة أحسنهم وأدقهم فطنة وأغوصهم على الفقه وهو أفقه الثلاثة

Walau pun atsar sudah diketahui, berhujahlah dengan pendapat juga yaitu pendapat Malik, Sufyan, dan Abu Hanifah. Pendapat Abu Hanifah adalah terbaik diantara mereka, lebih detil kecerdasannya, lebih dalam fiqihnya, dan dia lebih faqih di antara bertiga itu. (Akhbar Abi Hanifah, hal. 84)

Muhammad bin Bisyr berkata: Aku pernah bergantian mengunjungi Sufyan Ats Tsauri dan Abu Hanifah. Ketika aku mendatangi Abu Hanifah dia bertanya: “Dari mana kamu?” Aku jawab: “Aku datang dari sisi Sufyan Ats Tsauri.” Abu Hanifah menjawab: “Engkau datang dari sisi seorang laki-laki yang sendainya ‘Alqamah dan Al Aswad melihat semisal orang itu (maksudnya Sufyan), maka mereka berdua akan berhujjah dengannya.” Lalu aku mendatangi Sufyan Ats Tsauri, dia bertanya: “Dari mana kamu?” Aku jawab: “Aku datang dari sisi Abu Hanifah.” Sufyan menjawab: “Engkau datang dari sisi seorang yang paling faqih di antara penduduk bumi.” (Tarikh Baghdad, 15/459)

Syadad bin Hakim berkata:

ما رأيت أعلم من أبي حنيفة

Aku belum pernah melihat orang yang lebih berilmu dibanding Abu Hanifah. (Ath Thabaqat As Sunniyah fi Tarajim Al Hanafiyah, Hal. 29)

Abdullah bin Daud pernah berkomentar tentang orang yang suka menggunjingkan Imam Abu Hanifah:

لايتكلم فِي أبي حنيفَة إِلَّا أحد رجلَيْنِ إِمَّا حَاسِد لعلمه وَإِمَّا جَاهِل بِالْعلمِ

Tidak ada yang menggunjingkan Abu Hanifah melainkan satu di antara dua laki-laki: orang yang dengki terhadap ilmunya, dan orang yang bodoh terhadap keilmuannya. (Imam Al Husein bin Ali bin Muhammad Al Hanafi, Akhbar Abi Hanifah, Hal. 64)

Bisyar bin Qirath menceritakan tentang kedudukan Imam Abu Hanifah dan Imam Sufyan Ats Tsauri:

حججْت مَعَ أبي حنيفَة وسُفْيَان فَكَانَا إِذا نزلا منزلا أَو بَلْدَة اجْتمع عَلَيْهِمَا النَّاس وَقَالُوا فَقِيها الْعرَاق فَكَانَ سُفْيَان يقدم أَبَا حنيفَة وَيَمْشي خَلفه وَإِذا سُئِلَ عَن مَسْأَلَة وأبوحنيفة حَاضر لم يجب حَتَّى يكون أَبُو حنيفَة هُوَ الَّذِي يُجيب

Aku haji bersama Abu Hanifah dan Sufyan, jika mereka berdua berhenti di sebuah tempat atau negeri manusia berkumpul mengelilingi mereka, mereka bilang: “Ahli Fiqihnya Irak (maksudnya Abu Hanifah).” Sufyan lebih mendahulukan Abu Hanifah, dia berjalan di belakangnya dan jika dia ditanya sebuah masalah dan hadir di situ Abu Hanifah, dia tidak akan menjawabnya sampai Abu Hanifah-lah yang menjawabnya. (Ibid, Hal. 73)

Dan masih banyak lagi yang lainnya.

Lalu benarkah Imam Abu Hanifah Rahimahullah berpaham Murji’ah?

Para ulama menyatakan memang demikian. Itu dianggap kesalahan dan tergelincirnya Imam Abu Hanifah di tengah lautan sanjungan untuknya, dan hal itu tidak membuatnya pantas dicela.

Hal ini disebabkan dalam kitab Fiqhul Akbar -kitab yang disandarkan berasal dari Imam Abu Hanifah- Beliau berkata:

والإيمان هو التصديق والإقرار

Iman adalah pembenaran (di hati) dan ikrar (di lisan).

(Fiqhul Akbar, Hal. 85)

Pemahaman Imam Abu Hanifah ini diambilnya dari salah satu gurunya, yaitu Hammad bin Abi Sulaiman Rahimahullah yang juga salah satu imam besar di masa tabi’in, murid dari Ibrahim An Nakha’i Rahimahullah, yang mana Hammad telah menyelisihi Ahlus Sunnah dalam hal ini.

Pernyataan ini meniadakan amal sebagai syarat iman, sebagaimana pemahaman Murji’ah. Sehingga berdampak pada amal itu tidak berpengaruh terhadap naik turunnya iman. Oleh karena itulah Imam Abul Hasan Al Asy’ari menyebutnya Murji’ah fuqaha (Murji’ahnya ahli fiqih).

Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan:

وأما نسبة القول بالإرجاء للإمام أبي حنيفة فذكره عنه غير واحد كأبي الحسن الأشعري وغيره من العلماء، ويسمونه وأتباعه على مذهبه هذا بمرجئة الفقهاء

Adapun penyandaran paham al Irja’ untuk Imam Abu Hanifah, lebih dari satu orang yg menyebutnya, seperti Imam Abul Hasan Al Asy’ari dan ulama lainnya, Beliau menamakan Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya dengan madzhabnya itu sebagai Murji’ah Fuqaha.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah no. 106466)

Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah mengatakan:

أجمع أهل الفقه والحديث على أن الإيمان قول وعمل ولا عمل إلا بنية والإيمان عندهم يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية والطاعات كلها عندهم إيمان إلا ما ذكر عن أبي حنيفة وأصحابه فإنهم ذهبوا إلى أن الطاعات لا تسمى إيمانا قالوا إنما الإيمان التصديق والإقرار

Telah ijma’ para ahli fiqih dan ahli hadits bahwa iman itu perkataan dan amal perbuatan. Tidak ada amal tanpa adanya niat (hati). Menurut mereka iman itu bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat.

Bagi mereka, seluruh ketaatan itu adalah keimanan, kecuali apa yang disebutkan dari Abu Hanifah dan para sahabatnya, mereka berpendapat bahwa ketaatan tidaklah dinamakan iman, bagi mereka ketaatan hanyalah pembenaran di hati dan perkataan di lisan.

(At Tamhid, 9/238)

Beliau juga mengatakan:

وأما سائر الفقهاء من أهل الرأي والآثار بالحجاز والعراق والشام ومصر منهم مالك بن أنس والليث بن سعد وسفيان الثوري والأوزاعي والشافعي وأحمد بن حنبل وإسحاق بن راهويه وأبو عبيد القاسم بن سلام وداود بن علي وأبو جعفر الطبري ومن سلك سبيلهم فقالوا الإيمان قول وعمل قول باللسان وهو الإقرار اعتقاد بالقلب وعمل بالجوارح مع الإخلاص بالنية الصادقة قالوا وكل ما يطاع الله عز وجل به من فريضة ونافلة فهو من الإيمان والإيمان يزيد بالطاعات وينقص بالمعاصي وأهل الذنوب عندهم مؤمنون غير مستكملي الإيمان من أجل ذنوبهم وإنما صاروا ناقصي الإيمان بارتكابهم الكبائر ألا ترى إلى قول رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يزني الزاني حين يزني وهو مؤمن ولا يسرق السارق حين يسرق وهو مؤمن ولا يشرب الخمر حين يشربها وهو مؤمن يريد مستكمل الإيمان ولم يرد به نفي جميع الإيمان عن فاعل ذلك

Ada pun seluruh fuqaha baik ahli ra’yi (kalangan rasionalis) dan ahli atsar (ahli hadits), di Hijaz, Iraq, Syam, Mesir, seperti Malik, Laits bin Sa’ad, Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’i, Asy Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu ‘Ubaid, Daud bin Ali, Abu Ja’far Ath Thabari, dan orang-orang yang menempuh jalan mereka, mereka mengatakan: “Iman itu perkataan dan amal perbuatan.” Perkataan dengan lisan yaitu mengikrarkan keyakinan di hati dan mengamalkan dengan anggota badan dengan niat yang ikhlas.

Mereka mengatakan semua ketaatan kepada Allah baik kewajiban dan sunnah adalah bagian dari iman. Iman bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang dgn maksiat.

Menurut mereka pelaku dosa adalah beriman tapi tidak sempurna imannya karena dosa-dosa mereka. Iman mereka berkurang karena dosa besar yang mereka lalukan, bukankah Anda melihat sabda Rasulullah ﷺ: “Tidaklah beriman seorang pezina ketika berzina, tidaklah beriman seorang pencuri ketika mencuri, dan tidaklah beriman seorang peminum khamr saat dia meminumnya,” maksudnya adalah dia tidak sempurna imannya bukan mengingkari semua iman dari pelakunya.

(Ibid, 9/243)

Di sisi inilah perbedaan Imam Abu Hanifah dengan Imam Ahlus Sunnah lainnya. Tapi, di sisi lainnya Beliau bersama dan sepakat dengan para imam tersebut. Oleh karena itu, kesesuaian salah satu sisinya dengan paham Murji’ah tidaklah membuat dia disebut murji’ah secara mutlak, dan dikeluarkan dari golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid berkata:

واعتقاد الإمام أبي حنيفة رحمه الله في التوحيد وفي إثبات الصفات والرد على الجهمية وفي القدر واعتقاده في الصحابة رضي الله عنهم وسائر مسائل الإيمان الكبرى موافق لمنهج السلف ولمنهج إخوانه أئمة المذاهب ، سوى أحرف يسيرة مخالفة نقلت عنه ، كقوله في عدم زيادة الإيمان ونقصانه ، وقوله في مسمى الإيمان أنه تصديق بالجنان وإقرار باللسان ، وأن العمل خارج عن حقيقة الإيمان

Aqidah Imam Abu Hanifah dalam masalah tauhid, dalam penetapan sifat-sifat Allah, bantahannya atas Jahmiyah, tentang qadar, tentang para sahabat, dan semua permasalahan besar tentang keimanan sejalan dengan manhaj salaf, dan manhaj saudara-saudaranya dari para imam madzhab, kecuali beberapa kekeliruannya dalam masalah ringan yang dinukil darinya, seperti perkataannya tentang penamaan iman sebagai hal yang dibenarkan di hati dan diikrarkan di lisan, dan amal perbuatan bukanlah bagian hakikat keimanan.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 158755)

Demikian. Wallahu a’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Anak Kecil Yang Belum Mumayyiz Di Shaf Orang Dewasa, Bolehkah

💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Sebelumnya, dipahami dulu apa itu usia tamyiz, orangnya disebut mumayyiz.

Dalam Al Mausu’ah disebutkan:

سنّ التّمييز ، ومرادهم بذلك تلك السّنّ الّتي إذا انتهى إليها الصّغير عرف مضارّه ومنافعه

Usia tamyiz maksudnya adalah usia berakhirnya kanak kanak, di mana sudah mengetahui apa-apa yg berbahaya dan bermanfaat bagi dirinya.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah)

Usia berapakah itu? Para ulama berbeda pendapat; sebagian mengatakan tidak ada ketentuan baku yang penting sifatnya yaitu anak tsb sudah dapat membedakan bahaya dan manfaat. Sementara mayoritas ulama mengatakan tujuh tahun, berdasarkan perintah Rasulullah ﷺ agar anak usia tujuh tahun diajarkan shalat. Inilah pendapat yang lebih kuat. Insya Allah. Sehingga usia tujuh tahun ke atas adalah mumayyiz, dan di bawahnya masih ghairu mumayyiz.

Kemudian, bagaimana hukum anak-anak yang ghairu mumayyiz shalat satu barisan dengan orang dewasa? Yaitu Anak-anak usia 2,3,4,5,6 tahun?

Para ulama mengatakan hal itu tidak diperkenankan. Hal ini tidak bisa disamakan dengan hukum menggendong anak, sebab menggendong bukanlah berbaris dalam shaf. Itu dua hal berbeda, menggendong anak sendiri adalah hal yang dibolehkan dalam shalat berdasarkan hadits-hadits yang shahih dan penjelasan ulama.

Dalam Al Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah:

فإن سن السبع سنين هي سن التمييز عند كثير من العلماء لقوله صلى الله عليه وسلم: مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع رواه أبو داود وغيره

Usia tujuh tahun adalah usia tamyiz menurut mayoritas ulama, berdasarkan hadits: “Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat saat mereka berusia tujuh tahun.” (HR. Abu Daud)

ومن دون سبع أو بعبارة أدق، الصبي غير المميز لا تصح صلاته، ومن ثم فلا يشرع أن يقام في الصف ولا نعلم في هذا خلافا بين العلماء، بمن في ذلك الأئمة الأربعة

Anak-anak usia belum tujuh tahun, atau anak yang belum tamyiz, tidak sah shalatnya. Oleh karena itu mereka tidak disyariatkan berada di shaf, dan kami tidak ketahui adanya perbedaan pendapat dalam hal itu dalam fiqih imam empat madzhab.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 117696)

Maka, keberadaan mereka di shaf orang dewasa dianggap seperti tidak ada, itulah yang diistilahkan dengan memutuskan shaf. Ini ketetapan semua ulama di empat madzhab.

Solusinya, anak-anak tersebut pisahkan dan diawasi oleh orang dewasa agar tidak ribut. Pengawas ini tak ubahnya seperti security masjid al haram atau nabawi, yg mana mereka bisa menunda shalatnya untuk keamanan dan kenyamanan shalat berjamaah.

Ada pun yang sudah berusia di atas tujuh tahun, tidak apa-apa bersama shaf orang dewasa. Telah banyak dan shahih, riwayat sebagian sahabat yang berada di shaf orang dewasa seperti Ibnu Abbas, bahkan Amr bin Salamah pernah menjadi imam shalat padahal usianya masih 7 tahun.

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌴🌵

✍ Farid Nu’man Hasan

Larangan Saat Ihrom yang Sering Diabaikan Kaum Muslimah: Memakai Cadar dan Sarung Tangan

💢💢💢💢💢💢

Imam An Nawawi mengatakan:

وأما الحرة فجميع بدنها عورة الا الوجه والكفين لقوله تعالي (ولا يبدين زينتهن الا ما ظهر منها) قال ابن عباس وجهها وكفيها ولان النبي صلي الله عليه وسلم ” نهي المرأة الحرام عن لبس القفازين والنقاب ” ولو كان الوجه والكف عورة لما حرم سترهما ولان الحاجة تدعو الي ابراز الوجه للبيع والشراء والي إبراز الكلف للاخذ والعطاء فلم يجعل ذلك عورة

“Ada pun wanita merdeka, maka seluruh badannya adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangan, karena firmanNya: “Jangan mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” berkata Ibnu Abbas yakni wajahnya dan dua telapak tangannya, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “melarang wanita yang ihram memakai sarung tangan dan cadar”. Seandai pun wajah dan dua telapak tangan adalah aurat, maka karena adanya kebutuhan bagi wanita maka wanita menampakkan wajah dalam jual beli, mengangkat beban, mengambil dan memberi. Maka, hal ini membuatnya tidak termasuk dalam aurat.”

(Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 3/167)

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:

ولانه يحرم على المحرمة سترهما بالقفازين كما يحرم ستر الوجه بالنقاب

“Karena sesungguhnya diharamkan bagi wanita yang sedang ihram menutup kedua telapak tangannya dengan sarung tangan, sebagaimana diharamkan menutup wajah dengan cadar.”

(Al Mughni, 1/458)

Demikian. Wallahu A’lam

🍀🌸🍃🌷🌳🌻🌿

✍ Farid Nu’man Hasan

Sejarah Awal Berdirinya Ka’bah

💢💢💢💢💢💢

Abu Dzar Radhiallahu Anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ مَسْجِدٍ وُضِعَ فِي الْأَرْضِ أَوَّلَ قَالَ الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْمَسْجِدُ الْأَقْصَى قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَهُمَا قَالَ أَرْبَعُونَ سَنَةً

“Wahai Rasulullah, masjid apa yang dibangun pertama kali di muka bumi?”

Beliau menjawab: “Masjid al Haram.”

Aku (Abu Dzar) berkata: ” lalu apa lagi?”

Beliau menjawab: “Masjid al Aqsha.”

Aku bertanya lagi: “Berapa lama jarak keduanya?”

Beliau menjawab: ” Empat puluh tahun.”

(HR. Bukhari No. 3186, Muslim No. 520)

Penjelasan:

Yang dimaksud “di bangun” dalam hadits ini adalah fondasi dari kedua masjid itu. Sebab jika makna keduanya adalah masjid yang utuh, maka ada yang janggal menurut sebagian ulama.

Berkata Imam Ibnul Jauzi Rahimahullah – seperti yang dikutip Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah:

فيه إشكال، لأن إبراهيم بنى الكعبة وسليمان بنى بيت المقدس وبينهما أكثر من ألف سنة انتهى

“Dalam hadits ini terdapat musykil (janggal), karena Ibrahim membangun Ka’bah dan Sulaiman membangun Baitul Maqdis, padahal antara keduanya (Ibrahim dan Sulaiman ‘Alaihimasalam) terpaut jarak lebih dari seribu tahun. Selesai.

(Fathul Bari, 6/408)

Ya, karena memang di beberapa riwayat shahih disebutkan bahwa Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam membangun Ka’bah dan Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam yang membangun Masjidil Aqsha. Maka, hadits di atas harus dipahami bahwa yang dibangun saat itu adalah fondasinya.

Kemusykilan ini dijawab oleh Imam Ibnu Al Jauzi dengan jawaban yang memuaskan. Katanya:

وجوابه أن الإشارة إلى أول البناء ووضع أساس المسجد وليس إبراهيم أول من بنى الكعبة ولا سليمان أول من بنى بيت المقدس، فقد روينا أن أول من بنى الكعبة آدم ثم انتشر ولده في الأرض، فجائز أن يكون بعضهم قد وضع بيت المقدس ثم بنى إبراهيم الكعبة بنص القرآن

“Jawabannya adalah bahwa isyaratnya menunjukkan yang dibangun adalah fondasinya masjid, Ibrahim bukanlah yang pertama membangun Kabah, dan Sulaiman bukanlah yang pertama kali membangun Baitul Maqdis. Kami telah meriwayatkan bahwa yang pertama kali membangun Kabah adalah Adam, kemudian anak-anaknya menyebar di muka bumi. Maka, boleh jadi sebagian mereka membangun Baitul Maqdis, kemudian Ibrahim yang membangun Ka’bah menurut Nash Al Quran.” (Ibid)

Imam Al Qurthubi Rahimahullah juga mengatakan hal yang sama:

وكذا قال القرطبي: إن الحديث لا يدل على أن إبراهيم وسليمان لما بنيا المسجدين ابتدا وضعهما لهما، بل ذلك تجديد لما كان أسسه غيرهما

Demikian juga yang dikatakan oleh Al Qurthubi: sesungguhnya hadits ini tidaklah menunjukkan bahwa Ibrahim dan Sulaiman ketika mereka berdua membangun dua masjid sebagai yang mengawali, tetapi mereka hanya memperbarui apa-apa yang telah difondasikan oleh selain mereka berdua. (Ibid)

Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌺☘🌷🌸🌾🌻🌴🍃

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top