Kami Tidak Punya Raja, yang Kami Punya Adalah Pemimpin!

💢💢💢💢💢💢💢💢

Syaikh Abu Bakar bin Jabir al Jazairi Rahimahullah menceritakan:

Diriwayatkan bahwa Kaisar Romawi mengutus kepada Umar bin Khathab seorang utusan untuk melihat bagaimana keadaan dan perbuatannya. Ketika dia memasuki kota Madinah, dia bertanya tentang Umar: “Di mana raja kalian?”

Mereka jawab: “Kami tidak punya raja, yang kami punya adalah pemimpin, dia sedang keluar Madinah.” Lalu utusan itu mencarinya dan dia dapatkan Umar sedang tidur di pasir, dan bersandar di tongkat kecilnya yang bisa dia pakai untuk meluruskan kemungkaran.

Ketika utusan itu melihat Umar dalam keadaan seperti itu, hati utusan ini begitu tenang, lalu berkata: “Inilah laki-laki yang semua raja tidak bisa menghukumnya karena kehebatannya, beginilah dia keadaannya, tetapi engkau wahai Umar telah berbuat adil dan saat ini engkau tertidur pulas, sedangkan raja kami telah berbuat zalim dan kezalimannya itu bagaikan ahli sihir yang menakutkan!”

Hikmah dan Pelajaran:

– Kesederhanaan justru membawa kewibawaan dan penghormatan secara alami dari manusia apalagi bagi seorang pemimpin yang sebenarnya begitu mudah mendapat fasilitas negara.

– Tetap sederhana disaat terbuka lebarnya fasilitas adalah luar biasa, dan sederhana ketika memang tidak ada fasilitas itu sudah biasa, tentu dua kesederhaan yang berbeda nilainya. Yang pertama lebih sulit dibanding yang kedua. Umar Radhiallahu ‘Anhu termasuk yang tetap sederhana dikala fasilitas begitu mudah diraihnya.

– Kesederhanaan Umar Radhiallahu ‘Anhu itu nyata, dan teladanan dalam bentuk contoh nyata lebih tajam pengaruhnya dibanding kata-kata.

Semoga Allah Ta’ala meridhai dan merahmati Umar.

Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam

🌸🌿🌳🌻🍃🍀🌷

✍ Farid Nu’man Hasan

Imam Asy Syafi’i, Maksiat, dan Hapalan

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Imam asy Syafi’i Rahimahullah bercerita tentang dirinya dalam kumpulan sya’irnya, Diwan asy Syafi’i:

شَكَوْتُ إلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي …فَأرْشَدَنِي إلَى تَرْكِ المعَاصي … وَأخْبَرَنِي بأَنَّ العِلْمَ نُورٌ …ونورُ الله لا يهدى لعاصي

“Aku keluhkan kepada Waki’ tentang buruknya hapalanku, … lalu dia membimbingku agar aku meninggalkan maksiat, …. dan dia memberitahuku bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya dari Allah ﷻ tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.”

(Diwan al Imam asy Syafi’i, hal. 13)

Sya’ir Imam asy Syafi’i Rahimahullah ini dikutip oleh banyak ulama dalam kitab-kitab mereka, di antaranya Imam Ibnu al Qayyim Rahimahullah saat membahas dampak buruk maksiat salah satunya adalah Hirmanul ‘Ilmi (terhalangnya ilmu). (Ad Da’u wa ad Dawa, hal. 132)

Ada beberapa pelajaran dari sya’ir Imam asy Syafi’i ini, di antaranya:

– Kerendah hatian Imam asy Syafi’i Rahimahullah, dia menyebut buruk hapalannya, padahal dia hapal Al Quran di usia belum tujuh tahun, dan hapal kitab Al Muwaththa-nya Imam Malik Rahimahullah di usia belasan tahun.

– Maksiat bagi seseorang termasuk salah satu sebab terhalangnya ilmu pada dirinya, sebab maksiat itu mengotori jiwa dan hati, sedangkan ilmu adalah cahaya, dan cahaya tidak akan bagus dipantulkan oleh cermin yang kotor.

– Ilmu itu bukan hanya sesuatu yang diusahakan oleh manusianya, tapi juga karunia Allah ﷻ kepada hambaNya. Maka, tidak cukup bagi penuntut ilmu mengandalkan usahanya semata, tapi melupakan doa kepada Allah ﷻ agar diberikan karunia ilmu.

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Manja Bersama Keluarga

💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Di luar rumah, suami adalah pertarung, jangan lembek dan jangan mudah mengeluh

📌 Apalagi bagi seorang muslim, bukan hanya ‘Izzah (kehormatan) seorang laki-laki tapi juga ‘Izzah seorang muslim

📌 Namun, saat di rumah, bersama anak dan istri, turunkanlah tensinya

📌 Berguraulah dan bercengkrama dengan mereka, walau nampak seperti kekanak-kanakan

📌 Di luar Anda bisa jadi seorang yang dianggap punya wibawa, terhormat, dan punya kedudukan

📌 Tapi di rumah, lepaskan itu semua, agar kehidupanmu tidak kaku dan menegangkan

📌 Umar bin al Khathab Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:

يَنْبَغِي لِلرَّجُلِ أَنْ يَكُونَ فِي أَهْلِهِ مِثْلَ الصَّبِيِّ، فَإِذَا الْتُمِسَ مَا عِنْدَهُ وُجِدَ رَجُلًا

Seyogyanya seorang laki-laki menjadi seperti bocah kecil saat dia bersama keluarganya, namun saat dicari apa yang ada pada dirinya maka akan didapatkan padanya sifat kesatria. (Imam as Suyuthi, Jaami’ al Ahadits, no. 30804)

📌 Sufyan ats Tsauri Rahimahullah berkata:

وَبَلَغَنَا عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ أَنَّهُ كَانَ مِنْ أَفْكَهِ النَّاسِ فِي أَهْلِهِ وَأَزْمَتِهِمْ إِذَا جَلَسَ مَعَ الْقَوْمِ

Telah sampai kepada kami dari Zaid bin Tsabit, bahwa dia adalah manusia yang paling periang saat bersama keluarganya, namun paling berwibawa saat bersama manusia. (Abu Bakar ad Dainuri, al Majalisah wa Jawahir al ‘Ilmi, no. 1038)

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Bolehkah Dzikir di Hati Saja?

💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Boleh dan tidak ada beda pendapat para ulama atas kebolehannya. Yang para ulama berbeda adalah mana yang lebih utama antara di hati saja atau di lisan saja?

Dalilnya adalah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, “Nabi ﷺ bersabda, “Aku berada dalam prasangka hamba-Ku, dan Aku selalu bersamanya jika ia mengingat-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku, dan jika ia mengingat-Ku dalam perkumpulan, maka Aku mengingatnya dalam perkumpulan yang lebih baik daripada mereka, jika ia mendekatkan diri kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekatkan diri kepadanya sehasta, dan jika ia mendekatkan diri kepada-Ku sehasta, Aku mendekatkan diri kepadanya sedepa, jika ia mendatangi-Ku dalam keadaan berjalan, maka Aku mendatanginya dalam keadaan berlari.” (HR. Bukhari no. 7405)

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

الذكر يكون بالقلب، ويكون باللسان، والأفضلُ منه ما كانَ بالقلب واللسان جميعاً، فإن اقتصرَ على أحدهما، فالقلبُ أفضل. ثم لا ينبغي أن يُتركَ الذكرُ باللسان مع القلب خوفاً من أن يُظنَّ به الرياءُ، بل يذكرُ بهما جميعاً، ويقصدُ به وجهُ الله تعالى، وقد قدمنا عن الفضيل بن عِياض -رحمه الله- أن ترك العمل لأجل الناس رياءٌ

Dzikir itu dilakukan bisa dengan hati, bisa dengan lisan, dan yang paling afdhal adalah dengan hati dan lisan bersamaan, seandainya diambil yang minimal salah satunya saja maka dzikir di hati lebih utama. Lalu, janganlah meninggalkan dzikir hati dan lisan gara-gara takut prasangka orang lain dirinya riya’, tetapi berdzikirlah dengan keduanya dengan maksud mengharap wajah Allah Ta’ala. Kami telah menyampaikan riwayat dari Al Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah bahwa meninggalkan amal karena manusia adalah riya’. (Al Adzkar, Hal. 7)

Imam Ibnu Bathal Rahimahullah mengatakan:

قال الطبرى: فإن قيل: أي الذِّكْرين أعظم ثوابًا: الذكر الذي هو بالقلب، أو الذِّكْر الذي هو باللسان؟ قيل: قد اختلف السَّلف في ذلك، فروي عن عائشة أنَّها قالت: “لأن أذكرَ الله في نفسي أحبُّ إليَّ من أن أذكُره بلساني سبعين مرَّة”، وقال آخرون: ذِكْر الله باللِّسان أفضل؛ روي عن أبي عُبيدة بن عبدالله بن مسعود قال: “ما دام قلْب الرَّجُل يذكر الله تعالى فهو في صلاة، وإن كان في السُّوق، وإن تحرَّك بذلك اللِّسان والشَّفتان، فهو أعظم”

Berkata Ath Thabari: “Jika ada pertanyaan mana yang lebih utama dzikir hati saja atau lisan?” Para salaf telah berbeda pendapat. Di riwayatlan dari Aisyah bahwa dia berkata: “Dzikir di hatiku lebih aku sukai dibanding dzikir di lisanku 70 kali.” Sedangkan Yang lain berkata: Dzikrullah dengan lisan lebih utama. Dari Abu ‘Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ ud, dia berkata: “Hati seorang laki-laki senantiasa berdizkir kepada Allah disaat shalatnya, tapi saat di pasar dia berdizkir dengan lisan dan bibirnya maka itu lebih besar. (Syarh Shahih Al Bukhari, 10/430)

Maka, berdzikirlah kepada Allah Ta’ala baik lisan atau hati, apalagi bisa menggabungkan keduanya.

Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ ala aalihi wa shahbihi wa salam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

scroll to top