Ketika Sedang Makan Sahur Terdengar Adzan Subuh, Apa yang Harus Dilakukan?

💢💢💢💢💢💢

Bismillah al Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Para ulama mengatakan jika sedang makan sahur lalu terdengar adzan, maka hendaknya makan dihentikan, tidak boleh dilanjutkan. Begitu pula yang di mulut, hendaknya dibuang.

Dalilnya adalah:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Bilal biasa melakukan adzan di malam hari (adzan maghrib), maka Rasulullah ﷺ berkata: “Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummu Maktum melakukan adzan, karena dia tidak melakukan adzan kecuali sudah terbit fajar”.

(HR. Bukhari no. 1816)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan:

ويباح للصائم، أن يأكل، ويشرب، ويجامع، حتى يطلع الفجر، فإذا طلع الفجر، وفي فمه طعام، وجب عليه أن يلفظه، أو كان مجامعا وجب عليه أن ينزع. فإن لفظ أو نزع، صح صومه، وإن ابتلع ما في فمه من طعام، مختارا، أو استدام الجماع، أفطر

Dibolehkan bagi orang yang berpuasa untuk makan, minum, dan jima’, sampai terbitnya fajar.

Jika fajar sudah terbit dan dimulutnya ada makanan, maka wajib baginya membuangnya, atau dia sedang jima’ wajib baginya mencabutnya. Maka, jika sudah dibuang atau dicabut maka sah puasanya. Tapi, jika makanan tersebut ditekan juga atau jima’nya diteruskan maka puasanya batal.

(Fiqhus Sunnah, 1/464)

Dalam Qararat Majma’ Fiqhiy, disebutkan:

من المعلوم أن وقت الصوم يبدأ من طلوع الفجر الصادق وهو وقت أذان الفجر للصلاة،قال الله سبحانه وتعالى: { وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنْ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ } سورة البقرة الآية 187. فإذا طلع الفجر الصادق فحينئذ يحرم الطعام والشراب على الصائم. ومن المعروف أنه يؤذن للفجر بأذانين فالأذان الأول لا يدخل به وقت صلاة الفجر ويجوز لمن أراد الصيام أن يأكل ويشرب وأما الأذان الثاني فبه يدخل وقت صلاة الفجر وعنده يحرم الأكل والشرب على الصائم ويدل على ذلك ما ورد في الحديث عن ابن عمر رضي الله عنهما أن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال:(إن بلالاً يؤذن بليل فكلوا واشربوا حتى يؤذن ابن أم مكتوم وكان رجلاً أعمى لا ينادي حتى يقال له: أصبحت أصبحت) رواه البخاري ومسلم. وبناءً على ما تقدم فبمجرد أن يؤذن لصلاة الفجر فلا يجوز الأكل ولا الشرب لأن وقت الصيام قد بدأ هذا إذا كان المؤذن يؤذن عند طلوع الفجر الصادق وبما أن المؤذنين في بلادنا يعتمدون على التوقيت المعروف وهو توقيت صحيح أعدته لجنة من أهل العلم الشرعي ومن مختصين في علم الفلك وممن لديهم خبرة ومعرفة في التوقيت فيجب الالتزام به

Telah diketahui bahwa waktu berpuasa dimulai dari terbitnya fajar shadiq, yaitu saat adzan subuh untuk shalat. Allah ﷻ berfirman: “dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Maka, jika telah terbit fajar shadiq, saat itulah diharamkan makan dan minum bagi yang berpuasa. Dan telah diketahui bahwa adzan subuh itu dua kali. Adzan pertama belum masuk waku shalat subuh, sehingga dibolehkan bagi yang hendak puasa untuk makan dan minum. Ada pun adzan kedua, itulah waktunya shalat subuh dan di situlah diharamkan makan dan minum bagi yang hendak berpuasa. Hal ini ditunjukkan oleh hadits dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Bilal adzan masih malam hari maka makan dan minumlah sampai adzannya Ibnu Ummi Maktum.” Dia adalah seorang laki-laki buta yang tidak akan adzan samai dikatakan kepadanya: “Sudah subuh, sudah subuh.” (HR. Bukhari dan Muslim).

(Al Majma’ Al Fiqhiy Al Islamiy, 2/224)

Dari penjelasan ini, maka adzan yang menunjukkan untuk shalat subuh membuat orang yang hendak berpuasa tidak boleh makan dan minum, sebab waktu puasa telah dimulai. Dimulainya adalah disaat mu’adzin mengumandangkan adzan di saat terbitnya fajar shadiq.

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menjelaskan:

وذهب الجمهور إلى امتناع السحور بطلوع الفجر, وهو قول الأئمة الأربعة, وعامة فقهاء الأمصار, وروي معناه عن عمر وابن عباس رضي الله عنهم

Mayoritas ulama menyatakan larangan sahur disaat terbitnya fajar, inilah pendapat imam yang empat dan seluruh ulama di penjuru negeri. Telah diriwayatkan makna seperti itu dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhum.
(Syarh Sunan Abi Daud, 6/341)

Imam an Nawawi mengatakan:

ذكرنا أن من طلع الفجر وفي فيه (فمه) طعام فليلفظه ويتم صومه , فإن ابتلعه بعد علمه بالفجر بطل صومه , وهذا لا خلاف فيه

Kami telah menyebutkan bahwa siapa yang mengalami terbitnya fajar (subuh), dan di mulutnya ada makanan hendaknya dia membuangnya dan dia lanjutkan puasanya. Jika dia telan setelah dia tahu sudah fajar, maka batal puasanya. Dan ini TIDAK ADA PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA.

(Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 6/333)

BAGAIMANA JIKA AZANNYA KECEPATAN DARI WAKTUNYA?

Dalam hadits disebutkan:

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

Dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah ﷺ bersabda, “Apabila salah seorang diantara kalian mendengar azan, sedangkan bejana (makanan) masih ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya hingga ia menyelesaikan hajatnya (sahurnya).”

(HR. Abu Daud no. 2350, hadits hasan)

Hadits ini bukan bermakna bolehnya makan sahur ketika azan subuh. Tapi, para ulama menjelaskan kemungkinannya karena itu azan yang dikumandangkan kecepatan sebelum masuk subuh.

Imam an Nawawi menjelaskan:

وهذا إن صح محمول عند عوام أهل العلم على أنه صلى الله عليه وسلم علم أنه ينادي قبل طلوع الفجر بحيث يقع شربه قبيل طلوع الفجر

Hadits ini jika shahih, maknanya menurut umumnya ulana adalah bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tahu azan tersebut dikumandangkan sebelum terbitnya fajar dan minumnya pun menjelang fajar. (Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 6/333)

Penjelasan lainnya, itu adalah azan pertama, bukan azan subuh saat fajar shadiq.

Imam an Nawawi mengatakan:

ويكون قول النبي صلى الله عليه وسلم : ( إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ ) خبراً عن النداء الأول

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam: “Apabila salah seorang diantara kalian mendengar azan, sedangkan bejana (makanan) masih ada di tangannya” menunjukkan berita bahwa itu azan pertama. (Ibid)

Kesimpulan:

Terbitnya fajar shadiq, yang ditandai Adzan subuh untuk shalat adalah batas akhir sahur. Jika masih makan atau minum maka wajib hentikan, bagi yang berkehendak puasa di hari itu.

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🌻🌷🌸🌿🍀🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Bolehkah I’tikaf di Rumah Karena Pandemi?

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum… Ustad, apakah boleh i’tikaf dirumah karena keadaan darurat, sperti wabah pandemi? Syukron

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Umumnya ulama mengatakan ketentuan i’tikaf kaum laki-laki mesti di MASJID adalah IJMA’ atau kesepakatan ulama. Seperti yang dikatakan Al Hafizh Ibnu Hajar. (Fathul Bari, 4/727), dan Imam Ibnu Qudamah (Al Mughni, 3/189).

Tapi, untuk wanita tidak terjadi ijma’. Mayoritas mengatakan di masjid, kecuali Hanafiyah yang mengatakan di tempat biasa dia shalat rumahnya.

Disebutkan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah:

أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ لاَ يَصِحُّ لِلرَّجُل أَنْ يَعْتَكِفَ إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى : { وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ } ، وَلأَِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَعْتَكِفْ إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ .وَأَمَّا الْمَرْأَةُ فَقَدْ ذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى أَنَّهَا كَالرَّجُل لاَ يَصِحُّ أَنْ تَعْتَكِفَ إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ ، مَا عَدَا الْحَنَفِيَّةَ فَإِنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّهَا تَعْتَكِفُ فِي مَسْجِدِ بَيْتِهَا لأِنَّهُ هُوَ مَوْضِعُ صَلاَتِهَا ، وَلَوِ اعْتَكَفَتْ فِي مَسْجِدِ الْجَمَاعَةِ جَازَ مَعَ الْكَرَاهَةِ التَّنْزِيهِيَّةِ

Fuqaha telah ijma’ bahwa tidak sah bagi laki-laki yang beri’itikaf kecuali di masjid, sesuai firmanNya Ta’ala: sedang kalian sedang I’tikaf di masjid. (QS. Al Baqarah : 187), dan karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak beri’tikaf kecuali di masjid.

Ada pun wanita, jumhur ulama mengatakan bahwa mereka sama dengan laki-laki; tidak sah I’tikaf kecuali di masjid, kecuali menurut Hanafiyah, mereka mengatakan bahwa waita I’tikaf di masjid di rumahnya, karena di sanalah tempat shalat mereka, dan seandainya mereka I’tikaf di masjid, boleh saja namun makruh tanzih (makruh yang mendekati boleh). (Al Mausu’ah, 37/213)

JIKA kondisinya tidak mungkin i’tikaf, misal masih kuatnya pandemi di sebuah lingkungan. Shgga DKM tidak membuka masjid utk i’tikaf, maka itu uzur syar’i, silahkan kita ibadah di rumah, semoga tetap mendapatkan pahala i’tikaf juga.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةٌ

Barang siapa yang berhasrat melakukan kebaikan lalu dia belum mengerjakannya maka dicatat baginya satu kebaikan. (HR. Muslim no. 130)

Imam Al Ghazali Rahimahullah mengatakan:

فَالنِّيَّةُ فِي نَفْسِهَا خَيْرٌ وَإِنْ تَعَذَّرَ الْعَمَل بِعَائِقٍ

Maka, niat itu sendiri pada dasarnya sudah merupakan kebaikan, walau pun dia dihalangi uzur untuk melaksanakannya. (Ihya ‘Ulumuddin, 4/352)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Puasa Bagi Pekerja Berat

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Apakah termasuk kategori uzur dalam ibadah puasa Ramadhan bagi seseorang yang memiliki pekerjaan yang berat, misalnya bekerja sebagai buruh di kebun kelapa sawit yang membutuhkan tenaga yang cukup besar, ditambah dengan kondisi cuaca yang sangat panas kalau saat berada di kebun sawit tersebut yang bisa membuat dehidrasi jika kurang minum saat bekerja, tapi jika tidak bekerja membuat pendapatan menjadi tidak ada, Apakah harus tetap melaksanakan puasa dg kondisi seperti itu atau ada keringanannya Ustadz? Fendi Agus Syaputra, Padang

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim…

Jika dia masih mampu berpuasa dengan baik, dan puasa tidak membuat dirinya celaka, maka hendaknya dia tetap puasa.

Allah Ta’ala berfirman:

وَأَن تَصُومُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ

dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

(QS. Al-Baqarah, Ayat 184)

Tapi, jika dia jujur tidak mampu berpuasa, tidak kuat, dan bisa membahayakan dirinya, maka tidak apa-apa baginya tidak berpuasa dan menggantinya puasa di hari lain di saat sedang libur bekerja.

Allah Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

”Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.. “ (QS. At Taghabun (64): 16)

Tertulis dalam Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah, yang diasuh oleh Syaikh Abdullah Al Faqih dari Qatar:

ثم إن صمت وشق عليك أثناءَ النهار إكمال الصيام مشقة غير محتملة جاز لك أن تفطر، وتقضيه بعد رمضان

Lalu jika Anda berpuasa lalu Anda merasa kepayahan di siang hari untuk menyempurnakan puasa karena adanya kesulitan yang jelas, maka boleh bagi Anda berbuka, dan qadha di hari lainnya. (selesai)

Semoga Allah Ta’ala berikan kekuatan dan semangat kepada penanya untuk berpuasa.

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Jagalah Ritme Amarah

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Siapa yang menyangka kemuliaan ada pada mereka yang tidak pernah marah, maka dia tertipu.

📌 Imam asy Syafi’i Rahimahullah berkata:

من استغضب فلم يغضب فهو حمار وَمَنْ اُسْتُرْضِيَ فَلَمْ يَرْضَ فَهُوَ شَيْطَانٌ

Siapa saja yang dibuat marah, tapi dia tidak marah, maka dia adalah keledai. Siapa saja yang dibuat senang tapi dia tidak senang, maka itu syetan.

(Imam Ibnu Hajar al Haitami, Az Zawajir, 1/94)

📌 Imam al Ghazali Rahimahullah berkata:

أما التفريط فبفقد هَذِهِ الْقُوَّةِ أَوْ ضَعْفُهَا وَذَلِكَ مَذْمُومٌ وَهُوَ الَّذِي يُقَالُ فِيهِ إِنَّهُ لَا حَمِيَّةَ لَهُ

Ada pun sikap yg menganggap enteng adalah hilangnya dan melemahnya kekuatan amarah. Ini adalah hal tercela, model inilah yang dikatakan padanya, “Tidak punya gairah.”

فمن فقد قوة الغضب والحمية أصلاً فهو ناقص جداً وَقَدْ وَصَفَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشِّدَّةِ وَالْحَمِيَّةِ فَقَالَ {أَشِدَّاءُ على الكفار رحماء بينهم} وَقَالَ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {جَاهِدِ الكفار والمنافقين واغلظ عليهم} الآية وَإِنَّمَا الْغِلْظَةُ وَالشِّدَّةُ مِنْ آثَارِ قُوَّةِ الْحَمِيَّةِ وَهُوَ الْغَضَبُ

Siapa yang sama sekali kehilangan kekuatan amarah dan gairah, maka dia sangat kekurangan. Allah Ta’ala telaj mensifati para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan sebutan TEGAS dan SEMANGAT. Allah berfirman: “Tegas terhadap orang-orang kafir dan berkasih sayang dengan sesama mereka.” (Al Fath: 29)

Allah Ta’ala juga berkata kepada NabiNya: “Perangilah orang-orang kafir dan munafik, serta bersikap tegaslah kepada mereka.” (At Taubah: 73). Sesungguhnya keras dan tegas adalah dampak dari kekuatan semangat/gairah, dan itulah amarah.

(Ihya ‘Ulumuddin, 3/167)

📌 Namun, berlebihan dalam amarah juga tercela. Dia dipermainkan oleh emosi dan hawa nafsu, seolah tidak ada pilihan kecuali amarah.

Imam al Ghazali Rahimahullah:

وَأَمَّا الْإِفْرَاطُ فَهُوَ أَنْ تَغْلِبَ هَذِهِ الصِّفَةُ حَتَّى تَخْرُجَ عَنْ سِيَاسَةِ الْعَقْلِ والدين وطاعته ولا يبقى للمرء معها بصيرة ونظر وَفِكْرَةٌ وَلَا اخْتِيَارٌ بَلْ يَصِيرُ فِي صُورَةِ المضطر

Ada pun sikap berlebihan adalah jika sifat amarah menjadi pemenangnya, sehingga dia keluar dari kearifan akal, agama, dan ketaatan. Tidak tersisa baginya mata hati, pertimbangan, dan pemikiran, serta hilangnya kemampuan memilih, akhirnya dia menjadi wujud orang yg terpaksa. (Al Ihya’, 3/167)

📌 Ketahuilah, saat amarah manusia menguat biasanya wajah berubah, memerah, dan nampak lebih buruk. Jika dia lihat di cermin, maka dia akan malu melihat kejelekan wajahnya saat marah, lalu dia akan reda amarahnya.

📌 Maka, kejelekan batinnya saat kuat amarahnya seharusnya lebih layak baginya untuk malu, dibanding kejelekan lahiriyah wajahnya.

📌 Di sinilah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengulang-ulang nasihatnya: “Laa taghdhab” (Janganlah kamu marah). (HR. Bukhari no. 6116)

Wallahul Muwaffiq Ilaa aqwamith Thariq

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ ala aalihi wa Shahbihi wa Salam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top