Jika Seseorang Bercerai, Apakah Mertua Menjadi “Mantan”?

💢💢💢💢💢💢💢💢

PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum, Ustadz. Kalau suami/istri meninggal, apakah ayah/ibu mertua kembali menjadi non mahram? Soalnya kan kalau kasus cerai berarti suami/istri bukan mahram atau kembali menjadi non mahram lagi. Begitu pun dengan ayah/ibu mertua, bagaimana dengan kasus kematian, apakah sama hukumnya? Syukran. Jazaakallahu khair atas jawabannya.

JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

‌و عليكم السلام و رحمة الله و بركاته

Bismillah al Hamdulillah wash Shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ba’d.

Status mertua adalah TETAP mahram, walau seseorang sudah tidak lagi bersama anak mertuanya, baik karena wafat atau cerai. Sebab orang tersebut sudah menggaulinya, maka mertuanya telah menjadi mahramnya yaitu mahram mu’abbad (mahram selamanya).

Allah Ta’ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; IBU-IBU ISTRIMU (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) ISTRI-ISTRI ANAK KANDUNGMU (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. An Nisa: 23)

Kecuali, jika dia bercerai atau istrinya wafat, dalam keadaan belum pernah jima’, maka mertuanya boleh dinikahinya, alias mertua saat itu bukanlah mahram.

Berikut ini, tertera dalam Tafsir Al Quran Al ‘Azhim-nya Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:

وقال ابن جرير: حدثنا ابن بشار، حدثنا ابن أبي عدي وعبد الأعلى، عن سعيد عن قتادة، عن خِلاس بن عَمْرو، عن علي، رضي الله عنه، في رجل تزوج امرأة فطلقها قبل أن يدخل بها، أيتزوج أمها؟ قال: هي بمنزلة الربيبة.

وحدثنا ابن بشار حدثنا يحيى بن سعيد، عن قتادة، عن سعيد بن المسيب، عن زيد بن ثابت قال: إذا طلق الرجل امرأته قبل أن يدخل بها فلا بأس أن يتزوج أمها.

Berkata Ibnu Jarir: berkata kepada kami Ibnu Basyar, berkata kepada kami Ibnu Abi ‘Adi, berkata kepada kami Abdul A’la, dari Sa’id, dari Qatadah, dari Khilas bin ‘Amr dari ‘Ali Radhiallahu ‘Anhu, tentang seorang yang menikahi wanita lalu dia menceraikannya tapi belum menggaulinya, apakah dia boleh menikahi ibunya? ‘Ali menjawab: “Ibu mertua (dalam hal ini) kedudukannya sama dengan anak tiri.”

Berkata kepada kami Ibnu Basyar, berkata kepada kami Yahya bin Sa’id, dari Qatadah, dari Sa’id bin Al Musayyib, dari Zaid bin Tsabit, katanya:

“Jika seseorang menceraikan istrinya dan dia belum menggaulinya, maka tidak apa-apa dia menikahi ibunya (ibu dari mantan istrinya).”

(Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/250)

Jadi kalo dia sudah jima’ dgn anak mertuanya itu maka mertua menjadi MAHRAM MU’ABBAD, mahram selamanya. Walau anak-anak mrka telah berpisah, baik krn wafat atau cerai..

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah mengatakan:

فلا يجوز للرجل الزواج من أم زوجته بعد طلاق بنتها أو وفاتها؛ لأن أم الزوجة محرمة على زوج ابنتها على التأبيد

Seorang lelaki (suami) tidak boleh menikahi ibu dari istrinya meski setelah menCERAIkan putrinya, atau ditinggal mati putrinya yang menjadi istrinya. Karena ibu mertua statusnya mahram selamanya bagi menantu.

(Fatawa Syabakah Islamiyah no. 26819)

Demikian. Wallahu A’lam.

🌺🌿🌷🌻🌸🍃🌴🌵

✍ Farid Nu’man Hasan

Hadits dan Kitab Hadits Yang Paling Shahih

💢💢💢💢💢💢💢💢

Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah dalam kitab At Taqrib:

أول مصنف في الصحيح المجرد، صحيح البخاري، ثم مسلم، وهما أصح الكتب بعد القرآن، والبخاري أصحهما وأكثرهما فوائد، وقيل مسلم أصح، والصواب الأول

“Kitab pertama yang paling shahih adalah Shahih Al Bukhari, kemudian Shahih Muslim. Keduanya adalah kitab paling shahih setelah Al Quran. Dan Shahih Al Bukhari paling shahih di antara keduanya dan paling banyak manfaatnya. Ada yang mengatakan Shahih Muslim paling shahih, tapi yang benar adalah yang pertama.”

(Imam An Nawawi, At Taqrib wat Taisir, Hal. 1. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Beliau menambahkan:

الصحيح أقسام: أعلاها ما اتفق عليه البخاري ومسلم، ثم ما انفرد به البخاري، ثم مسلم، ثم ما على شرطهما، ثم على شرط البخاري، ثم مسلم، ثم صحيح عند غيرهما، وإذا قاولوا صحيح متفق عليه أو على صحته فمرادهم اتفاق الشيخين

“Ash Shahih itu terbagi-bagi, paling tinggi adalah yang disepakati oleh Al Bukhari dan Muslim, kemudian Al Bukhari saja, kemudian Muslim, kemudian hadits yang sesuai syarat keduanya, kemudian yang sesuai syarat Al Bukhari, kemudian sesuai syarat Muslim, kemudian shahih menurut selain keduanya. Jika mereka mengatakan: Shahih Muttafaq ‘Alaih atau ‘Ala Shihatihi maksudnya adalah disepakati oleh Syaikhain (dua syaikh yakni Al Bukhari dan Muslim).”
(Ibid)

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌴🌵

✍ Farid Nu’man Hasan

Waqaf Uang dan Bolehkah Waqaf Dikelola Untuk mendapatkan Uang?

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Ini ada dua hal:

1. Waqaf uang

Jumhur ulama mengatakan waqaf tdk boleh uang, kecuali uang itu dialih wujudkan menjadi tanah misalnya.. lalu tanah itulah yg nantinya jadi waqafnya..

Beda dgn waqaf tanah, Al Qur’an, bisa langsung dimanfaatkan. Hanya sebagian kecil ulama yang membolehkan waqaf dengan uang.

Dalam fatwa Darul Ifta-nya Mesir dikatakan:

وقف النقود لا يصح عند جمهور أهل العلم؛ لأنها لا ينتفع بها إلا بإتلافها وذهابها

Waqaf uang tidak sah menurut mayoritas ulama, karena tidak bisa diambil manfaatnya kecuali setelah diubah dan dihilangkan dulu (wujud uangnya).

2. Barang waqaf dikelola lalu memunculkan hasil berupa uang, ini BOLEH asalkan hasilnya kembali ke umat..

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

لِلْوَاقِفِ ، وَلِمَنْ وَلَّاهُ الْوَاقِفُ إِجَارَةُ الْوَقْفِ

Bagi pewawaf dan orang yang diamanahkan pewaqaf (pengurus waqaf), boleh menyewakan waqafnya.

(Raudhatut Thalibin, 5/351)

Lebih tegas lagi, dari Syaikh Utsaimin Rahimahullah :

نعم ، إن كان أوقف البيت على المحتاجين فله أن يفعل ذلك، ويقسم الأجرة على المحتاجين ، أو يجعل البيت سكنا لبعض المحتاجين

Ya, jika rumah tersebut diwaqafkan untuk org-org yg membutuhkan maka dia boleh melakukan itu (menyewakannya). Lalu membagikan hasil sewanya kepada yang membutuhkan, atau dia bangun asrama bagi yang membutuhkan. (Syarhul Mumti’, 10/47)

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌴🌵

✍ Farid Nu’man Hasan

Madzhabnya Orang Awam adalah Mengikuti Ulama di Negerinya

💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Manusia terbagi menjadi tiga tingkatan:

1⃣ Para ulama yang mampu berijtihad dan menyimpulkan hukum sendiri atas dalil-dalil yang ada.

2⃣ Para penuntut ilmu, dia belum sampai derajat mujtahid, tapi dia mampu menghimpun dan menganalisis pendapat-pendapat ulama lalu melakukan tarjih (uji kekuatan dalil) untuk memilih mana yang lebih argumentatif.

3⃣ Orang awam, baik mualaf, atau bukan mualaf tapi baru belajar, mereka tidak tahu dalil dan tidak mampu pula mengkomparasi perkataan ulama dan dalil-dalilnya.

📌 Bagi yang masih awam maka hendaknya mengikuti para ulama khususnya di negerinya dan yg hidup sezaman dengannya.

Allah Ta’ala berfirman:

فَسۡـَٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

“maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”

(QS. An-Nahl, Ayat 43)

📌 Tertulis dalam Tanqih Al Fatawa Al Hamidiyah:

وَظِيفَةُ الْعَوَامّ التَّمَسُّكُ بِقَوْلِ الْفُقَهَاءِ وَاتِّبَاعُهُمْ فِي أَقْوَالِهِمْ وَأَفْعَالِهِمْ…

Tugas orang awam adalah bersandar kepada perkataan para fuqaha dan mengikuti mereka dalam ucapan dan perbuatan…

لَا اخْتِيَارَ لِلْعَامِّيِّ فِي أَقْوَالِ الْمَاضِينَ ، وَلَهُ الِاخْتِيَارُ فِي أَقَاوِيلِ عُلَمَاءِ عَصْرِهِ إذَا اسْتَوَوْا فِي الْعِلْمِ وَالصِّدْقِ وَالْأَمَانَةِ

Seorang yg masih awam tidak boleh memilih pendapat-pemdapat terdahulu, dia mesti memilih pendapat para ulama di zamannya jika ulama tersebut punya kapasitas ilmu, jujur, dan amanah.

ومن وقعت له حادثة فأَخْبَرَهُ عُلَمَاءُ عَصْرِهِ بِأَقَاوِيلِ الصَّحَابَةِ لَا يَسَعُ الجاهل أَخْذُ شَيْءٍ مِنْهَا حَتَّى يَخْتَارَ لَهُ الْعَالِمُ بِالدَّلِيلِ

Seorg yg mengalami hal baru, lalu para ulama zamannya mengabarkan kepadanya beragam pendapat para sahabat nabi, maka tidak diperkenankan bagi orang yang jahil (bodoh) mengambil pendapat itu sampai adanya ulama yang memilihkannya berdasarkan dalil.

(Tanqih Al Fatawa Al Hamidiyah, 7/431)

📌 Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan tentang orang awam:

ويلزمهم أن يقلدوا علماء عصرهم ، بل علماء بلدهم ، حتى لا يفتح لهم الباب للاختيار من أقوال العلماء ما شاءوا – وهم ليس عندهم الأهلية للترجيح – فسوف يختارون الأسهل دائما والموافق لهواهم ، وهذا سوف يؤدي إلى كثرة التنازع والاختلاف

Wajib bagi mereka mengikuti para ulama di zamannya bahkan ulama di negerinya, agar tidak ada pintu bagi mereka memilih pendapat ulama seenaknya saja -karena mereka tidak memiliki keahlian melakukan tarjih- dengan itu kelak mereka selalu memilih yang paling mudah dan sesuai hawa nafsunya saja. Inilah yang kemudian paling banyak mengantarkan kepada perselisihan dan pertentangan. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 215535)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌴🌵

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top