[Serial Para Ulama dan Pejuang Islam Abad 20] Syaikh Hasan al Banna Rahimahullah

💢💢💢💢💢💢💢💢

1⃣ Nama dan nasabnya

Beliau adalah Hasan bin Ahmad bin Abdurrahman Muhammad Al Banna. Dilahirkan September 1906 M (Sya’ban 1324 H), di desa Mahmudiyah, Mesir. Ayahnya, Syaikh Ahmad bin Abdurrahman Al Banna adalah seorang ulama hadits terkemuka di Mesir. Di antara karyanya adalah: Fathu Rabbani fi Tartibi Musnad Al Imam Ibnu Hambal Asy Syaibani, dan Bada’i Al Minan fi Jam’i wa Tartibi Musnad Asy Syafi’i was Sunan. Ayahnya juga seorang tukang reparasi jam, maka dijuluki As Sa’atiy.

2⃣ Kecintaan kepada ilmu dan ulama

Sejak kecil ayahnya sudah mendidiknya dengan Al Quran, As Sunnah, dan ilmu keislaman lainnya. Beliau hapal Al Quran di usia 13 tahun. Untuk fiqih, Beliau diajarkan ayahnya tentang fiqih madzhab Hanafi. Sedangkan adiknya, Abdurrahman, diajarkan fiqih madzhab Maliki.

Syaikh Hasan Al Banna sejak kecil sudah hadir di majelis ayahnya, serta diskusi ayahnya dengan para ulama seperti Syaikh Muhammad Az Zahran dan Syaikh Hamid Muhaisin. (Syaikh Badr Abdurrazzaq Al Mash, Manhaj Da’wah Hasan Al Banna, hal. 47-49)

Sebelum masuk Darul ‘Ulum, Beliau mempersiapkan dirinya dengan beragam ilmu seperti Alfiyah-nya Ibnu Malik, lalu Syarh Ibnu Aqil. Juga kitab-kitab fiqih dan ushul fiqih. Beliau memiliki hapalan yang kuat, dan telah hapal banyak kitab-kitab matan dengan berbagai disiplin ilmu, seperti Milhatul I’rab karya Al Hariri, Alfiyah karya Ibnu Malik, Al Yaqutiyah tentang Mushthalahul Hadits, Al Jauharah tentang ilmu tauhid, Ar Rabbiyah tentang ilmu waris, As Salam tentang ilmu manthiq (logika), matan Al Quduri tentang fiqih madzhab Hanafi, serta Al Ghayah wat Taqrib karya Abu Syuja’, fiqih madzhab Syafi’i. Nasihat ayahnya kepadanya, “Siapa yang banyak menghapal matan, ia meraih banyak ilmu pengetahuan.” (Memoar Hasan Al Banna, hal. 57-60)

Beliau juga belajar di Madrasah Darul ‘ulum, saat itu guru-gurunya sudah memprediksikan bahwa dirinya akan menjadi orang besar. Saat ujian syair, Hasan Al Banna membacakan syair Al Mu’allaqatu As Sab’u, melalui hapalannya dengan fasih dan lancar. Tim pengujinya minta agar Beliau memilih bagian mana dari syair itu yang paling menarik hatinya. Hasan Al Banna menunduk, lalu melafalkan:

Apabila kaumku telah berkata, siapakah pemuda (sejati)?
Aku khawatir, akulah yang dimaksud, sedang aku belum siap untuk itu.

Mendengar itu, penguji mengangkat surban dari kepalanya dan berkata, “Allah, Allah!” Penguji lainnya bertanya, “Ada apa maulana?” Dijawabnya bahwa pemuda ini akan menjadi orang besar. Lalu Hasan Al Banna mengulangi lagi syairnya, membuat tim penguji kagum dan optimis tentang masa depan pemuda ini. (Ibid, hal. 54-55)

Dimasa mudanya pun Beliau berinteraksi dengan para ulama seperti mujaddid Islam Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, serta seorang ahli hadits Syaikh Muhibudddin Al Khathib, Syaikhul Azhar Syaikh Muhammad al Khadhir Husein, dan lainnya. bahkan Beliau diangkat menjadi penanggung jawab majalah Al Manar-nya Syaikh Rasyid Ridha. Dari Syaikh Rasyid Ridha inilah dia dapatkan kaidah emas: “Kita bekerja sama dalam hal yang kita sepakati, dan saling memaafkan dalam hal yang kita perselisihkan.” Banyak yang menyangka kaidah ini berasal dari Syaikh Hasan Al Banna, padahal dari Syaikh Rasyid Ridha. Kaidah yang lahir untuk meredam konflik internal umat Islam masa itu yang sering bermusuhan karena perbedaan masalah cabang (furu’) yang harusnya saling memaafkan dan lapang dada, padahal mereka sama dalam masalah yang pokok (ushul) dan bisa saling bergandeng tangan. Namun, sayangnya kaidah ini pun sering disalahpahami sebagian kalangan, menurut mereka kaidah ini dianggap upaya “memaafkan” kesesatan, padahal tidak demikian sebab perbedaan dalam fiqih bukanlah kesesatan.

3⃣ Pernah dekat dengan tarekat

Syaikh Hasan Al Banna, di masa kecilnya pernah dekat dengan dunia tasawwuf. Dia ikut bergabung ke tarekat Al Hushafiyah. Beliau berhasil mengambil manfaat darinya berupa pengajaran tarbiyah ruhiyah (pembinaan spiritualitas) dan tarbiyah akhlaqiyah (pembinaan moralitas), yang dikemudian hari menjadi salah satu variable kuat dari bangunan besar yang akan didirikannya bernama Al Ikhwan Al Muslimun. Hanya saja, dunia tasawwuf tidak membuatnya puas, dia hanya tiga tahun saja bersama tasawwuf, akhirnya dia meninggalkan tasawuf di usia masih remaja yakni 17 tahun kurang.

Syaikh Hasan Al Banna bercerita tentang hubungan dan fase hidupnya dengan tasawwuf:

كانت أيام دمنهور ومدرسة المعلمين أيام الاستشراق في عاطفة التصوف والعبادة، ويقولون إن حياة الإنسان تنقسم إلى فترات، منها هذه الفترة التي صادفت السنوات التي أعقبت الثورة المصرية مباشرة من سنة 1920 إلى سنة 1923 م. وكانت سني إذ ذاك من الرابعة عشرة إلا أشهرا إلى السابعة عشرة إلا أشهرا كذلك، فكانت فترة استغراق في التعبد والتصوف، ولم تخل من مشاركة فعلية في الواجبات الوطنية التي ألقيت على كواهل الطلاب

“Hari-hari di kota Damanhur dan Madrasah Al Mu’allimin adalah hari-hari yang tenggelam dalam nuansa tasawwuf dan ibadah. Mereka mengatakan bahwa kehidupan manusia itu terbagi beberapa tahapan. Di antaranya adalah tahapan-tahapan yang pernah saya alami pada tahun-tahun di mana saya mengalami revolusi Mesir, dari tahun 1920 sampai 1923M. Saat itu usiaku 14 tahun kurang beberapa bulan, hingga 17 tahun kurang beberapa bulan. Ini merupakan fase di mana saya tenggelam dalam ibadah dan tasawwuf, meskipun tetap ambil bagian dalam berbagai kewajiban sebagai warga negara, khususnya sebagai pelajar.” (Imam Hasan Al Banna, Mudzakkirat Ad Da’wah wad Da’iyyah, Hal. 26)

Dalam pelajaran Insya’ (mengarang), di masa remajanya, Beliau menyebut ada dua jalan untuk meraih kebangkitan Islam, yaitu jalan tasawwuf yang shahih dan jalan ta’lim. Tetapi, Beliau katakan jalan ta’lim (pendidikan) adalah yang terbaik. Beliau berkata:

وقد رجح الثاني – بعد أن نهجت الأول – لتعدد نفعه، وعظيم فضله، ولأنه أوجب الطريقين على المتعلم، وأجملهما بمن فقه شيئاً”لينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون”

Yang kedua ini lebih tepat, karena manfaatnya yang berlipat ganda dan keutamaannya yang agung, setelah saya mengalami jalan yang pertama. Di antara dua jalan di atas, jalan kedua inilah yang lebih wajib bagi muta’allim (penuntut ilmu) dan yang terbaik pula bagi yang sudah faqih (berilmu). “Agar mereka memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At Taubah (9): 122). (Ibid, Hal. 56-59)

Catatan sejarah ini menjadi koreksi pihak yang berulang-ulang menyebut bahwa Syaikh Hasan Al Banna adalah seorang sufi. Menjadi sufi sendiri bukanlah mutlak hal yang aib, asalkan tetap konsisten di atas Al Quran dan As Sunnah sebagaimana sufi generasi pertama. Seorang ahli hadits yaitu Al ‘Ajluni berkata, bahwa Imam asy Syafi’i Rahimahullah berkata:

وأنا حبب إلي من دنياكم ثلاث: ترك التكلف، وعشرة الخلق بالتلطف، والاقتداء بطريق أهل التصوف

Ada tiga hal yang jadi kesukaanku atas dunia kalian: meninggalkan sikap memberatkan diri, bergaul dengan makhluk dengan kelembutan, dan mengikuti jalan ahli tasawwuf (sufi). (Kasyful Khafa, 1/394)

4⃣. Karya-karya Ilmiah

Beliau adalah ulama yang aktivis. Kesibukannya adalah berdakwah keluar masuk desa, sampai 2000 desa pernah dia kunjungi untuk berdakwah (seperti penuturan Robert Jackson dalam Ar Rajul Al Quran ), meramaikan masjid, serta membangunkan umat yang “tertidur”. Sebab dia hidup di tengah negeri Mesir yang dijajah Inggris, serta runtuhnya Khilafah Islamiyah di Turki (1924M), dan secara umum terpuruknya dunia Islam. Namun, hal itu tidak melupakannya untuk menulis. Tidak banyak karya yang dihasilkan ditengah kesibukannya “mencetak manusia”, di antara tulisan ilmiahnya adalah:

– As Salam fil Islam (Perdamaian Dalam Islam)
– Tahdid An Nasl (Pembatasan Kelahiran)
– Qadhiyatuna (Problematika Kita)
– Majmu’ ar Rasail (Kumpulan Risalah), ini berisikan tentang dakwah, politik, jihad, aqidah, serta Al Ma’tsurat, dll.
– Risalah fi ‘Ilmil Hadits (Tentang ilmu hadits)
– Al Mar’ah Al Muslimah (Wanita Muslimah)
– Risalah Al Munajah
– Fatawa Imam Al Banna

Masih banyak lagi lainnya yang terkumpul di majalah Al Manar-nya mujaddid Islam, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha Rahimahullah, baik dalam tema aqidah, tafsir, dan lainnya.

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

5⃣ Murid-muridnya

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Beliau lebih banyak waktu “mencetak manusia” dibanding menulis. Sebab, seringkali buku-buku tersimpan di rak buku lalu usang berdebu dan tidak lagi dibuka pemiliknya. Sedangkan manusia, baik itu ulama, da’i, muballigh, dan mujahid, mereka akan berkeliling menyebar di tengah manusia lalu menyemai manfaat secara langsung.

Di antara manusia yang pernah menjadi muridnya secara langsung, atau murid pemikiran dan dakwahnya, yaitu para ulama terkenal di dunia Islam dan juga para pejuang dalam jihad Islam, seperti: Syaikh Sayyid Sabiq, Syaikh Mutawalli Asy Sya’rawi, Syaikh Abdul Halim Hamid, Syaikh Muhammad Al Ghazali, Syaikh Sayyid Quthb, Syaikh Mushtahafa As Siba’i, Syaikh Abdul Fattah Abu Ghudah, Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, Syaikh Abdullah Nashih ‘Ulwan, Syaikh Abdul Halim Abu Syuqqah, Syaikh Muhammad ‘Assal, Syaikh Abdurazzaq ‘Afifi, Syaikh Abdullah Al Qadiri, Syaikh Abdullah ‘Azzam, Syaikh Ahmad Yasin, dan lainnya.

6⃣ Sifat dan Akhlaknya

Syaikh Badr Abdurrazzaq Al Mash mengutip dari Hasan Al Banna, Ustadz Al jil: “Di antara akhlak Hasan Al banna yang menonjol adalah jujur dan benar. Tidak pernah Beliau mengutarakan pendapat, melainkan konsekuen terhadap diri, orang lain, dan Rabbnya.” (Manhaj Da’wah Hasan Al Banna, hal. 74)

Beliau sosok yang tawadhu, seperti yang diceritakan Syaikh Umar At Tilmisani Rahimahullah: “Sesungguhnya sifat tawadhu yang dimiliki Hasan Al Banna sangatlah tinggi. Ia tidak pernah duduk di bagian terdepan dalam suatu majelis. Ia tidak seperti orang lain, kecuali setelah dimohon bagianya dengan sangat untuk di depan. Jika shalat di masjid, ia tidak pernah nyelonong untuk menjadi imam.

Ia menganggap semua ulama dalah gurunya. Padahal justru beliaulah guru mereka. Ia berbicara dengan orang tua dan anak muda dengan sopan santun, lemah lembut, dan tawadhu. Pendengarnya pun merasa memperoleh ilmu darinya. Tidak pernah ia memojokkan orang ‘alim atau menyalahkannya.” (Ibid, hal. 75)

Beliau juga sosok yang sederhan dan zuhud. Seorang penulis Barat, Robert Jackson pernah berkata: “Rumah Hasan Al Banna adalah sebuah contoh kezuhudan. Pakaiannya adalah contoh kezuhudan. Anda dapat menemuinya di sebuah ruangan yang dihampari tikar sederhana. Di tempat yang sama, akan dapati sejadah indah dan perpustakaan besar. Anda tidak melihatnya beda dengan orang lain, kecuali seberkas cahaya kuat yang memancar dari kedua bola matanya. Penampilannya bersahaja, jenggotnya tipis, menunjukkan kesederhanaan dan kewibawaannya.” Beliau juga sering tidur di gubuk, beralas jerami, pernah berdiskusi keislaman di masjid, lalu setelah usai ia tidur di masjid itu dengan bantal tas dan selimut surbannya. (Ibid, hal. 78-79)

Beliau juga dikenal tegas dalam menegakkan kebenaran. Pimpinan Rais an Niyabah pernah memanggilnya untuk diinterogasi. Ada seorang pengacara yang menawarinya bantuan hukum. Orang itu merokok padahal saat itu siang hari di bulan Ramadhan. Hasan Al Banna menolak dan berkata: “Dalam rangka taat kepada Allah, saya tidak minta bantuan kepada orang yang bermaksiat.” Kemudian, Syaikh Al Banna pernah dirayu oleh Inggris untuk membicarakan demokrasi menurut pemahaman penjajah, dengan tawaran bayaran 5000 Pounsterling. Syaikh Al Banna menolak hal itu, Beliau siap saja membicarakan demokrasi tapi bukan sesuai kemauan Inggris. (Ibid, hal. 79)

7⃣ Syaikh Al Banna dan Al Ikhwan

Syaikh Hasan Al Banna mendirikan Ikhwanul Muslimin tahun 1928 M di Mesir, bersama enam murid-muridnya. Tujuannya adalah mewujudkan generasi baru yang mampu memahami Islam dengan pemahaman yang benar serta berkarya untuk Islam dan mendorong lahirnya kebangkitan Islam. Ikhwan menjadi pelopor gagasan Syumuliyatul Islam (kesempurnaan Islam), bahwa Islam bukan hanya ibadah dan akhirat saja, tapi mengatur semua sisi kehidupan manusia.
Di masanya, Ikhwan sangat cepat berkembang seantero Mesir, bahkan tahun 40an pengikutnya sudah mencapai jutaan penduduk Mesir. Saat itu juga mem

buka cabang ke negara-negara Arab lainnya, sampai ke AS saat itu. Hari ini, Gerakan ini sudah menyebar sampai 90 negara (akhir tahun 90an masih 70an negara). Syaikh Amin Husaini menganggapnya sebagai Gerakan Islam terbesar di abad modern. Di masa Syaikh Al Banna, Ikhwan mendorong pemerintah Mesir untuk mengakui kemerdekaan Indonesia, akhirnya Mesir pun menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia, yang membuat tokoh-tokoh kemerdekaan Indonesia mengunjungi Syaikh Hasan Al Banna di kantor Ikhwan, seperti Agus Salim dan Syahrir.

Ikhwan mengalami beberapa kali pembubaran dari pemerintah tiran Mesir saat itu, sejak di masa Syaikh Hasan Al Banna, sampai saat ini. Walau salah satu kader terbaiknya pernah berkuasa setahun yaitu Syaikh Muhammad Mursi rahimahullah. Kekuatan asing, dan kaki tangan mereka selalu melakukan makar kepada gerakan ini mulai dari pembubaran, penangkapan, penyiksaan, pengusiran, dan pembunuhan, mencapai ribuan bahkan puluhan ribu yang sudah gugur atas siksaan.

8⃣ Kata Ulama Tentang Syaikh Hasan Al Banna

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah:

قال الشيخ الألباني رحمه الله : وكانت لي بعض [ كلمة غير واضحة ] الكتابية التـحريرية ، مع الأستاذ الشيخ حسن البنا رحمه الله ولعل بعضكم – بعض الحاضرين منكم – يذكر أنه حينما كانت مجلة ( الإخوان المسلمون ) تصدر في القاهرة، وهي التي تصدر طبعاً عن جماعة الإخوان المسلمين، كان الأستاذ سيد سابق بدأ ينشر مقالات له في فقه السنّة، هذه المقالات التي أصبحت بعد ذلك كتاباً ينتفع فيه المسلمون الذين يتبنون نهجنا من السير في الفقه الإسلامي على الكتاب والسنة . هذه المقالات التي صارت فيما بعد كتاب ( فقه السنة ) لسيد سابق، كنتُ بدأت في الاطلاع عليها، وهي لمّا تُجمع في الكتاب، وبدت لي بعض الملاحظات، فكتبتُ إلى المجلة هذه الملاحظات، وطلبتُ منهم أن ينشروها فتفضلوا، وليس هذا فقط ؛ بل جاءني كتاب تشجيع من الشيخ حسن البنا رحمه الله ، وكم أنا آسَف أن هذا الـكتاب ضاع مني ولا أدري أين بقي.. ثم نـحن دائماً نتـحدث بالنسبة لحسن البنا – رحمه الله – فأقول أمام إخواني ، إخوانا السلفيين، وأمام جميع المسلمين ، أقول: لو لم يكن للشيخ حسن البنا – رحمه الله – من الفضل على الشباب المسلم سوى أنه أخرجهم من دور الملاهي في السينمات ونـحو ذلك والمقاهي، وكتّلهم وجمعهم على دعوة واحدة، ألا وهي دعوة الإسلام ، لو لم يكن له من الفضل إلا هذا لكفاه فضلاً وشرفاً..هذا نقوله معتقدين ، لا مرائين، ولا مداهنين

“Dahulu saya memiliki (ucapan tidak jelas) tulisan , bersama Al Ustadz Asy Syaikh Hasan Al Banna Rahimahullah barangkali sebagian kalian –sebagian hadirin diantara kalian- ingat ketika majalah Al Ikhwan Al Muslimun terbit di Kairo, yang diterbitkan oleh penerbitan Jamaah Al Ikhwan Al Muslimin. Saat itu Al Ustadz Sayyid Sabiq pertama kali menyebarkan artikelnya tentang Fiqhus Sunnah, setelah itu artikel ini menjadi tulisan yang bermanfaat bagi kaum muslimin dengan mengambil metode dalam Fiqih Islam, sesuai metode Al Quran dan As Sunnah. Artikel ini pada akhirnya menjadi kitab Fiqhus Sunnah yang dikarang Sayyid Sabiq, saya pun mulai menela’ahnya, yakni ketika dia terkumpul menjadi buku. Saya memulai memberikan beberapa catatan, lalu saya menulisnya di Majalah, saya meminta mereka untuk menyebarkan dan memperbanyaknya, bukan hanya ini, bahkan sampai kepada saya tulisan yang memotivasi dari Syaikh Hasan Al Banna Rahimahullah, tetapi betapa saya sangat menyesali bahwa tulisan tersebut hilang, saya tidak tahu kemana sisanya …. Kemudian kita selalu berbicara tentang Hasan Al Banna Rahimahullah, maka saya katakan kepada saudara-saudaraku, saudara-saudara salafiyin, di depan semua kaum muslimin: seandainya Syaikh Hasan Al Banna –rahimahullah- tidak memiliki jasa dan keutamaan terhadap para pemuda muslim selain bahwa beliau menjadi sebab yang mengeluarkan mereka dari tempat-tempat hiburan, bioskop dan kafe-kafe yang melalaikan, lalu mengumpulkan dan mengajak mereka di atas dakwah yang satu, yakni dakwah Islam, –seandainya beliau tidak memiliki lagi keutamaan kecuali hanya perkara ini-, maka ia sudah cukup sebagai satu keutamaan dan kemuliaan. Ini saya katakan bersumber dari sebuah keyakinan, dan bukan untuk mencari muka dan tidak pula sekedar basa-basi”. **(Lihat Mudzakarah Al Watsaiq Al Jaliy

yah, Hal. 50)**

Selengkapnya silahkan buka: https://alfahmu.id/syaikh-al-banna-dan-syaikh-sayyid-quthb-rahmatullah-alaihima-kata-ulama-tentang-mereka/

9⃣ Hari Wafatnya

Beliau wafat 12 Februari 1949M, di jalan utama depan kantor Syubbanul Muslimin, ditembak oleh kaki tangan Raja Faruq. Beliau dilarikan ke rumah sakit namun instruksi kepada paramedis agar mendiamkan jasadnya yang terluka sampai kehabisan darah. Beliau wafat hanya dishalatkan oleh ayahnya dan beberapa orang saja. Mayatnya disembunyikan, begitu pula penguburannya, dan di larang diumumkan. Semoga Allah Ta’ala menjadikannya syahid di antara para syuhada Islam. Wafatnya Syaikh Al Banna, tidak lantas membuat terhenti bangunan dakwah yang telah didirikannya. Justru Ikhwan semakin meluas di dunia Arab dan dunia Islam umumnya sampai ke semua benua.

Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Tambahan Lafaz “Hayya ‘Alal Jihad” Pada Adzan

💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz mau bertanya terkait yang sedang viral.

Menambahkan lafadz hayya ‘alal jihad dalam adzan ustadz.

Apakah itu diperkenankan?(+62 858-7030-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Ya, telah viral beberapa potongan video yang menampilkan beberapa kelompok orang yang berbeda sedang berkumpul layaknya shalat dan mengumandangkan adzan namun dengan tambahan hayya ‘alal jihad setelah melafazkan dua kalimat syahadat.

Maka, ini perlu dirinci dulu.

1. Jika itu ternyata bukanlah adzan untuk memanggil orang shalat, tapi – misalnya- sedang yel-yel atau sejenisnya.

Maka, ini hal yang makruh menurut umumnya ulama menggunakan adzan untuk keperluan selain shalat, tanpa dalil.

Dalam madzhab Syafi’i dan sebagian Maliki generasi akhir, dibolehkan adzan dipakai untuk keperluan selain shalat, ITU PUN TANPA ADA PERUBAHAN LAFAZ, baik penambahan atau pengurangan.

Tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah:

شُرِعَ الأَْذَانُ أَصْلاً لِلإِْعْلاَمِ بِالصَّلاَةِ إِلاَّ أَنَّهُ قَدْ يُسَنُّ الأَْذَانُ لِغَيْرِ الصَّلاَةِ تَبَرُّكًا وَاسْتِئْنَاسًا أَوْ إِزَالَةً لِهَمٍّ طَارِئٍ وَالَّذِينَ تَوَسَّعُوا فِي ذِكْرِ ذَلِكَ هُمْ فُقَهَاءُ الشَّافِعِيَّةِ فَقَالُوا : يُسَنُّ الأَْذَانُ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ حِينَ يُولَدُ ، وَفِي أُذُنِ الْمَهْمُومِ فَإِنَّهُ يُزِيل الْهَمَّ ، وَخَلْفَ الْمُسَافِرِ ، وَوَقْتَ الْحَرِيقِ ، وَعِنْدَ مُزْدَحِمِ الْجَيْشِ ، وَعِنْدَ تَغَوُّل الْغِيلاَنِ وَعِنْدَ الضَّلاَل فِي السَّفَرِ ، وَلِلْمَصْرُوعِ ، وَالْغَضْبَانِ ، وَمَنْ سَاءَ خُلُقُهُ مِنْ إِنْسَانٍ أَوْ بَهِيمَةٍ ، وَعِنْدَ إِنْزَال الْمَيِّتِ الْقَبْرَ قِيَاسًا عَلَى أَوَّل خُرُوجِهِ إِلَى الدُّنْيَا

Pada dasarnya azan disyariatkan sebagai pemberitahuan untuk shalat, hanya saja adzan juga disunahkan selain untuk shalat dalam rangka mencari keberkahan, menjinakkan, dan menghilangkan kegelisahan yang luar biasa.
Pihak yang memperluas masalah ini adalah para ahli fiqih Syafi’iyah. Mereka mengatakan:

📌 Disunahkan adzan ditelinga bayi saat lahirnya
📌 di telinga orang yang sedang galau karena itu bisa menghilangkan kegelisahan,
📌 mengiringi musafir,
📌 saat kebakaran,
📌 ketika pasukan tentara kacau balau,
📌 diganggu makhluk halus,
📌 saat tersesat dalam perjalanan,
📌 terjatuh,
📌 saat marah,
📌 menjinakan orang atau hewan yang jelek perangainya,
📌 saat memasukan mayit ke kubur diqiyaskan dengan saat manusia terlahir ke dunia. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/372-373)

Ada pun Imam Malik memakruhkan semua hal ini, tapi berbeda dengan pengikutnya (Malikiyah) yang justru sepakat dengan kalangan Syafi’iyah. Berikut ini keterangannya:

وَكَرِهَ الإْمَامُ مَالِكٌ هَذِهِ الأْمُورَ وَاعْتَبَرَهَا بِدْعَةً ، إِلاَّ أَنَّ بَعْضَ الْمَالِكِيَّةِ نَقَل مَا قَالَهُ الشَّافِعِيَّةُ ثُمَّ قَالُوا : لاَ بَأْسَ بِالْعَمَل بِهِ

Imam Malik memakruhkan semua ini dan menyebutnya sebagai bid’ah, kecuali sebagian Malikiyah yang mengambil pendapat yang sama dengan Syafi’iyah, menurut mereka: “Tidak apa-apa mengamalkannya.” (Ibid, 2/372-373)

Maka, jika ini bukan adzan panggilan orang shalat maka makruh menurut mayoritas ulama, sebagian ada yang membid’ahkan, sebagian ada yang membolehkan ITU PUN TANPA PERUBAHAN LAFAZ. Jika ada perubahan lafazh maka tidak satu pun madzhab yang membenarkannya.

2. Jika ternyata itu benar-benar adzan untuk shalat. Maka, ini lebih berat lagi.

Sebab, lafaz adzan sudah paten dan diketahui dari zaman ke zaman, dan menjadi salah satu syiar utama Islam. Kecuali pada kalimat tertentu yang memang ada dasarnya, seperti:

– Ash Shalatu khairun minan naum (shalat itu lebih baik daripada tidur), pada adzan pertama di waktu subuh dibaca setelah hayya ‘alal falah. Ini shahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Ibnu Majah, Imam Al Baihaqi, dll, dari jalur Ibnu Umar dan Abu Mahdzurah.

– Shalluu fii buyuutikum (shalatlah di rumah kalian), ini dari jalur Ibnu Abbas dalam Shahih Bukhari. Saat itu dilafazkan disaat hujan di waktu shalat Jumat. Imam Bukhari membuat Bab:

باب الرُّخْصَةِ لِمَنْ لَمْ يَحْضُرِ الْجُمُعَةَ فِي الْمَطَرِ

“Bab Keringanan bagi orang yang tidak menghadiri shalat Jumat di waktu hujan”

– Ala Shalluu fii rihaalikum (shalatlah di kendaraan kalian), dari jalur Ibnu Umar, saat itu malam yang dingin, berangin, dan hujan. Ini diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya, pada Bab:

بَابُ الصَّلَاةِ فِي الرِّحَالِ فِي الْمَطَرِ

Bab Shalat di Kendaraan (Tunggangan) di saat Hujan

– Ada pun orang Syiah, menambahkan dengan “Hayya ‘ala khairil’ amal”, tidak ada dalam sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Namun, ada dalam perbuatan sebagian sahabat nabi seperti Ibnu Umar. (Lihat Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, no. 1991)

Dalam riwayat yanh shahih, Naafi’ berkata: “Dahulu Ibnu Umar menambahkan pada adzannya dengan hayya ‘ala khairil’ amal.” Naafi’, juga berkata kadang Ibnu Umar meninggalkan kalimat itu. (Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah no. 2240-2241)

Syaikh Zakariya Ghulam bin Qadir Al Bakistani mengatakan: “Ini menunjukkan hayya ‘ala khairil’ amal, bukanlah termasuk lafaz adzan. Sebab, jika termasuk lafaz adzan tidak mungkin Ibnu Umar kadang melakukan dan kadang meninggalkannya. Beliau mengucapkan itu sebagai peringatan bagi manusia saja.” (Maa Shahha min ‘Atsar ash Shahabah fil Fiqh, 1/195)

Juga dari Bilal bin Rabah dalam adzan shalat subuh, namun oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam diperintahkan diganti dengan Ash Shalatu khairun minan naum akhirnya “Hayya ‘ala khairil’ amal” tidak dipakai lagi. (Ath Thabarani dalam al Mu’jam al Kabir no. 1071. Hanya saja dalam sanadnya terdapat kelemahan. Lihat Majma’ az Zawaid, no. 1857)

Pandangan Para Ulama

Imam Ibnu Hajar Al Haitami:

(قَوْلُهُ: فَإِنْ جَعَلَهُ) أَيْ لَفْظَ حَيَّ عَلَى خَيْرِ الْعَمَلِ (قَوْلُهُ: لَمْ يَصِحَّ أَذَانُهُ) ، وَالْقِيَاسُ حِينَئِذٍ حُرْمَتُهُ؛ لِأَنَّهُ بِهِ صَارَ مُتَعَاطِيًا لِعِبَادَةٍ فَاسِدَةٍ

“Apabila lafadz adzan diubah seperti merubahnya menjadi “hayya ‘ala khairil’ amal – marilah berbuat kebaikan”, maka adzannya TIDAK SAH. Secara qiyas hukumnya adalah haram, karena orang yang mengubah kalimat adzan telah melakukan ritual ibadah yang rusak.”

(Tuhfatul Muhtaj, 1/468)

Dalam Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah yang diasuh oleh Syaikh Abdullah Al Faqih disebutkan:

فإن الأذان من أعظم شعائر الإسلام …..وإذا كان الأذان بهذه المنزلة، فلا شك أن المحافظة على ألفاظه الشرعية وصيانتها عن التحريف والتبديل من المحافظة على شعائر الإسلام، ولذا ذهب كثير من أهل العلم إلى أن الخطأ في ألفاظ الأذان أو أدائه بما يغير المعنى يبطل الأذان

Adzan termasuk syiar Islam yang paling agung… Jika adzan kedudukannya seperti itu, maka tidak ragu lagi bahwa menjaga lafaz-lafaznya yang Syar’i dan melindunginya dari penyimpangan dan perubahan adalah termasuk penjagaan terhadap syiar Islam. Oleh karena mayoritas ulama menyatakan bahwa kesalahan dalam lafaz adzan atau mengucapkannya tapi berubah maknanya, membuat adzan itu BATAL. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 36609)

Maka, jika tambahan “hayya ‘alal jihad” tersebut dianggap bagian dari adzan memanggil orang shalat maka adzan tersebut batal, bahkan dinilai sebagai perbuatan haram karena telah merusak ibadah. Di tambah lagi, sudah ratusan kali kaum muslimin berjihad sejak masa Badar sampai perang di Gaza, tidak ada satu riwayat dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, para sahabat, tabi’in, ulama madzhab, sampai ulama zaman ini dan para mujahidinnya, menggunakan lafaz itu dalam adzan mereka. Ini benar-benar hal yang baru ada dan murni “made in Indonesia.”

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Mendulang Faidah dari Sunnah Nabawiyah – Hadits Tentang Badui yang Kencing di Masjid

💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Teks Hadits:

وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضي الله عنه – قَالَ: – جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ اَلْمَسْجِدِ, فَزَجَرَهُ اَلنَّاسُ, فَنَهَاهُمْ اَلنَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ اَلنَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ; فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ. – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya: “Datang seorang A’rabi (orang pedalaman) lalu dia kencing pada dinding masjid, maka manusia mencegahnya, namun Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang mereka (untuk mencegah kencing si Badui, pen). Ketika orang itu sudah selesai kencing, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk membawa air yang banyak, lalu menyiramkan air kencing tersebut.”

📌 Takhrij Hadits:

– Imam Bukhari dalam Shahih-nya, Kitabul Wudhul Bab Shabbil Maa’i ‘alal Bawli fil Masjid No. 219, dan ini adalah menurut lafaz Imam Bukhari

– Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitabuth Thaharah Bab Wujubi Ghaslil Bawli wa Ghairihi minal Najasaat idza Shalat fil Masjid No. 284 an, Kitabush Shalah Bab

📌 Makna dan Kandungan Hadits

1. Perawi hadits ini, Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, siapakah dia?

Nama aslinya adalah Anas bin Malik bin An Nadhr bin Dhamdham bin Zaid bin Haram bin Jundub bin ‘Aamir bin Ghanam bin ‘Adi bin An Najar. Dia seorang mufti, qari’, muhaddits, riwayatul Islam, Al Anshariy, Al Khazrajiy, An Najaariy, Al Madiniy, pelayan Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam merupakan kerabat nabi, muridnya, pengikutnya, dan termasuk sahabat yang wafatnya terakhir.

Beliau mengambil ilmu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, juga dari Abu Bakar, Umar, Utsman, Usaid bin Hudhair, Abu Thalhah, Ibunya Ummu Sulaim binti Milhan, bibinya Ummu Haram, dan suami Ummu Haram yaitu ‘Ubadah bin Ash Shaamit, Abu Dzar, Malik bin Sha’sha’ah, Abu Hurairah, Fathimah anak Nabi, dan banyak lagi.

Murid-muridnya di antaranya Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin, Asy Sya’bi, Abu Qilabah, Mak-hul, Umar bin Abdul ‘Aziz, Tsabit Al Banani, Bakr bin Abdullah Al Muzani, Az Zuhri, Qatadah, Ibnu Al Munkadir, Ishaq bin Abdullah bin Abu Thalhah, Abdul Aziz bin Shuhaib, Syu’aib bin Al Habhaab, ‘Amru bin ‘Aamir Al Kufiy, Sulaiman At Taimi, Hamid Ath Thawil, Yahya bin Sa’id Al Anshari, Katsir bin Salim, ‘Isa bin Thahman, dan ‘Isa bin Syaakir.
Pengarang At Tahdzib menyebutkan bahwa ada 200 orang yang meriwayatkan dari Anas.

Manusia berbeda pendapat kapan tahun wafatnya. Ma’mar, dari Humaid, mengataka bahwa Anas wafat tahun 91 Hijriyah. Demikian juga menurut catatan Qatadah, Al Haitsam bin ‘Adi, Al Haitsam bin ‘Adi, Sa’id bin ‘Ufair, dan Abu ‘Ubaid.
Ma’an bin ‘Isa meriwayatkan dari anaknya Anas bin Malik, bahwa beliau wafat tahum 92 Hijriyah. Yang lain mengatakan 93 Hijriyah, dan inilah yang benar. (Lengkapnya Siyar A’lamin Nubala, 3/395-406)

2. Beberapa istilah penting

– Al A’rabiy, siapakah dia?

Syaikh Abdul Aziz bin Marzuq Ath Tharfi Hafizhahullah berkata:

هو من سكن البادية سواء كان عربياً أو عجمياً .فساكن البادية حتى وإن كان أعجميا فيسمى اعرابيا

Dia adalah orang yang tinggal di pedalaman gurun, sama saja apakah dia orang Arab atau non Arab (‘Ajami). Maka, orang yang tinggal dipedalaman walau pun dia seorang non Arab, maka dia dinamakan A’rabiy. (Syarh Li Bulughil Maram, Hal. 72)

Lalu, siapakah orang A’rabiy yang kencing ini? Imam Ash Shan’ani Rahimahullah menjelaskan:

وقد ورد تسميته: أنه ذو الخويصرة اليماني وكان رجلاً جافياً

Telah warid (datang) berita tentang penamaan orang itu: dia adalah Dzul Khuwaishirah Al Yamani, seorang kali-laki berperangai keras. (Subulus Salam, 1/24)

Dzul Khuwaisirah ini dianggap dalam sejarah sebagai nenek moyang firqah khawarij. Imam Muslim Rahimahullah menulis tentang orang ini dalam Shahih-nya, pada Kitabuz Zakah ada sebuah bab yang berjudul Bab Dzikril Khawarij wa Shifatihim.

– Thaa-ifatul Masjid (طائفة المسجد)

Imam Ash Shan’ani Rahimahullah menjelaskan tentang maknanya:

أي في ناحيته، والطائفة: القطعة من الشيء

Yaitu pada tepinya, dan Ath Thaa-ifah artinya potongan dari sesu

atu. (Ibid)

Jadi, orang A’rabiy itu kencing di dalah satu bagian tepi masjid.

– Bidzanuub min maa’ (بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ)

Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah mengatakan: “Adz Dzanuub adalah Ad Dalwu Al Kabiirah (timba yang besar). (At Tamhid, 24/14)

Jadi, air yang diambil cukup banyak untuk membersihkan kencing Arab pedalaman tersebut.

3. Pada hadits ini menunjukkan aksi cepat tanggap para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap kemungkaran dan keburukan.

Ini merupakan cermin dari bagusnya iman mereka, yang dengannya mereka disebut khairu ummah (umat terbaik), karena aksi amar ma’ruf nahi munkar dan iman mereka kepada Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali ‘Imran (3): 110)

Para ulama telah membuat kaidah:

الضَّرَرُ يُزَالُ

Adh Dhararu Yuzaal – kerusakan mesti dihilangkan. (Imam As Suyuthi, Al Asybah wan Nazhair, Al Kitabul Awwal, Kaidah keempat, Hal. 83)

4. Hadits ini juga mengajarkan bahwa menghilangkan kemungkaran ada metodologinya, yaitu dengan hikmah dan mau’izhah hasanah.

Oleh karenanya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang para sahabat yang mencegah secara keras orang Badui kencing di tepi masjid tsb. Sikap para sahabat yang melakukan az zajr (pencegahan dengan keras), tentu dikhawatirkan melahirkan keburukan baru.

Oleh karenanya ada sebuah kaidah:

الضرر لا يزال بالضرر

Kerusakan tidaklah dihilangkan dengan kerusakan yang lain. (Imam As Suyuthi, Al Asybah Wan Nazhair, Hal. 86)

5. Hadits ini menunjukkan kasih sayang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada umatnya, khususnya bagi mereka yang masih jahil terhadap agama.

Allah Ta’ala berfirman:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Al ‘Imran (3): 159)

6. Kesalahan yang dilakukan orang yang belum tahu, tentu tidak disikapi sama dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang tahu.

Sebab kesalahan orang yang belum tahu (baca: jaahil) –seperti yang dipertontonkan oleh orang Badui ini- adalah kesalahan yang masih mungkin diberikan pemakluman, sebagaimana kesalahan yang dilakukan anak-anak, orang gila, lupa, terpaksa, dan tertidur. Kesalahan ini, bisa karena dia belum mendapatkan ilmunya, atau mungkin sedikit pendidikan adabnya, apalagi dia orang pedalaman.

Allah Ta’ala berfirman:

رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah ..” (QS. Al Baqarah (2): 286)

Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

Catatan pena diangkat dari kelompok manusia: 1. Orang tidur sampai dia bangun, 2. Anak-anak sampai dia mimpi basah (baligh), 3. Orang gila sampai dia berakal. (HR. Abu Daud No. 4403, Imam Al Hakim menshahihkan hadits ini, menurutnya sesuai syarat Imam Muslim. Lihat Imam Az Zaila’i, Nashbur Rayyah, 2/333)

Apa maksud qalam (pena) dalam hadits ini? Imam Az Zaila’i Rahimahullah berkata:

قال ابن الجوزي: والجواب: أن المراد قلم الإثم، أو قلم الأداء. انتهى

Berkata Ibnul Jauzi: jawabnya bahwa maksudnya adalah pena catatan dosa, atau catatan pelaksanaan kewajiban. Selesai. (Nashbur Rayyah, 2/333)

Dalam hadits lain, dari Abu Dzar Al Ghifari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

Sesungguhnya Allah membiarkan dari umatku, 1. Kesalahan (tidak sengaja), 2. Lupa, 3. Kesalahan yang terpaksa. (HR. Ibnu Majah No. 2043, hadits juga diriwayatkan banyak imam dari banyak jalur seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Al Hasan bin Ali, Tsauban, ‘Uqbah bin ‘Amir. Imam Ibnul Mulqin dalam Al Badrul Munir-nya menyebutkan bahwa hadits seperti ini memiliki delapan jalur)

7. Hadits ini juga menunjukkan bahwa hendaknya masjid itu bersih dari segala macam najis, kotoran, bau tidak sedap, dan gangguan lainnya.

Dari ‘Amir bin Sa’ad, dari ayahnya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا تَنَخَّمَ أَحَدُكُمْ فِي الْمَسْجِدِ، فَلْيُغَيِّبْ نُخَامَتَهُ، أَنْ تُصِيبَ جِلْدَ مُؤْمِنٍ أَوْ ثَوْبَهُ فَتُؤْذِيَهُ

Jika salah seorang kalian mengeluarkan dahak di masjid, maka pendamlah dahaknya itu, agar tidak menimpa kulit seorang mu’min atau pakaiannya, lalu dia terganggu karenanya. (HR. Ahmad No. 1543, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 1543. Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan: shahih. Lihat Fiqhus Sunnah, 1/250)

Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu berkata ketika khutbah Jumat:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ تَأْكُلُونَ شَجَرَتَيْنِ لَا أُرَاهُمَا إِلَّا خَبِيثَتَيْنِ هَذَا الثُّومُ وَهَذَا الْبَصَلُ وَلَقَدْ كُنْتُ أَرَى الرَّجُلَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوجَدُ رِيحُهُ مِنْهُ فَيُؤْخَذُ بِيَدِهِ حَتَّى يُخْرَجَ إِلَى الْبَقِيعِ فَمَنْ كَانَ آكِلَهَا لَا بُدَّ فَلْيُمِتْهَا طَبْخًا

Wahai manusia, kalian memakan dua macam tumbuhan yang saya tidak melihatnya melainkan hal yang busuk yakni bawang putih dan bawang merah. Saya telah melihat pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seorang laki-laki yang jika ada aroma itu, maka dia akan diambil tangannya sampai keluar menuju Baqi’ (untuk bersuci, pen), maka siapa saja yang memakannya hendaknya dia melenyapkan baunya dengan memasaknya. (HR. Muslim No. 567)

8. Hadits ini juga menunjukkan kenajisan air kencing manusia, dan dalam kenajisannya tidak ada perselisihan pendapat ulama.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

اتَّقُوا اللَّاعِنَيْنِ قَالُوا وَمَا اللَّاعِنَانِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ ظِلِّهِمْ

“Takutlah kalian terhadap dua hal yang dilaknat.” Mereka bertanya: “Apakah dua hal yang dilaknat itu?” Beliau bersabda: “Orang yang buang air di jalan manusia atau di tempat mereka berteduh.” (HR. Muslim No. 269)

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha: aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ

Janganlah shalat ketika makanan tersedia dan ketika menahan dua hal yang paling busuk. (HR. Muslim No. 560)

Dua hal yang paling busuk maksudnya buang air besar (Al Ghaaith) dan buang air kecil (Al Baul), sebagaimana disebut dalam Shahih Ibnu Hibban No. 2073. Ini menunjukkan tinja manusia dan air kencingnya adalah najis.

Ada pun air kencing bayi laki-laki yang belum makan makanan wajar, masih ASI ekslusif, maka diberikan keringan tata cara membersihkannya bagi air kencingnya itu. Dibersihkannya tidak dengan cara dicuci tetapi cukup dipercikan, tetapi kencing bayi perempuan tetap dicuci. Ini bukan berarti suci, itu najisnya juga tapi ringan.

Hal ini berdasarkan dari Ali bin Thalib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي بَوْلِ الْغُلَامِ الرَّضِيعِ يُنْضَحُ بَوْلُ الْغُلَامِ وَيُغْسَلُ بَوْلُ الْجَارِيَةِ

Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berketa tentang air kencing anak laki-laki yang masih menyusui: “Air kencing laki-laki dipercikan dan air kencing perempuan dicuci.” (HR. At Tirmidzi No. 610, katanya: hasan shahih. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: isnadnya shahih. Lihat Fathul Bari, 1/326)

Qatadah berkata:

وَهَذَا مَا لَمْ يَطْعَمَا فَإِذَا طَعِمَا غُسِلَا جَمِيعًا

Ini untuk bayi yang belum makan makanan yang wajar, apabila bayi tersebut sudah makan maka dicuci semuanya. (Ibid)

9. Terakhir, hadits ini juga mengajarkan tata cara membersihkan najis kencing manusia

Caranya menyiramkannya dengan air yang mampu mengalahkan dan menghilangkan keberadaan zat dan baunya. Bisa juga didiamkan dalam waktu lama hingga hilang zat dan baunya karena angin yang terus menerus menghembusnya.

Sekian. Wallahu A’lam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Kenapa Surah At Taubah (Al Bara’ah) Tidak Ada Basmalah?

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamua’laikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya izon bertanya ustadz kan surah at-Taubah tidak diawali dengan basmalah. Jadi apakah ketika kita ingin membacanya setelah ta’awudz kita langsung membaca ayatnya ustadz? Syukron ustadz (+62 857-5651-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillah al hamdulillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Ya, saat kita membaca surah At Taubah (Al Bara’ah) hendaknya ta’awudz, lalu langsung baca ayat pertama tanpa membaca basmalah (Bismillahirrahmanirrahim). Ada pun selain surat At Taubah dianjurkan membaca basmalah saat diawal surat, demikianlah adabnya.

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وينبغي أن يحافظ على قراءة بسم الله الرحمن الرحيم في أول كل سورة سوى براءة فإن أكثر العلماء قالوا إنها آية حيث تكتب في المصحف

Sepatutnya membiasakan membaca “Bismillahirrahmanirrahim” di awal tiap surah Al Quran kecuali surah Al Bara’ah. Mayoritas ulama mengatakan bahwa basmalah adalah ayat yang tertulis dalam mushaf di setiap awal surah kecuali Al Bara’ah. (At Tibyan fi Adab Hamalatil Quran, Hal. 82)

Kenapa awal surah At Taubah tidak ada basmalah? Ada beberapa sebab menurut para ulama. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menyebutkan dua alasan:

1. Karena para sahabat nabi tidak menuliskan basmalah pada awal surah At Taubah di mushaf induk, dan itulah yang diikuti Utsman Radhiallahu ‘Anhu saat pembukuan dimasanya.

2. At Taubah termasuk surat yang akhir-akhir turun kepada Rasulullah ﷺ di Madinah dan surat sebelumnya yaitu Al Anfal termasuk surat yang awal turun di Madinah, dan kisah keduanya mirip (yaitu tentang peperangan, sehingga dianggap satu kesatuan). Menurut Utsman Radhiallahu ‘Anhu, sampai Rasulullah ﷺ wafat belum ada keterangan darinya bahwa Basmalah termasuk darinya, oleh Utsman Radhiallahu ‘Anhu surah At Taubah masih bagian Al Anfal, maka keduanya digandengkan dan tanpa dipisahkan dengan basmalah. di antara keduanya. Ini diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi, sanadnya: hasan. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/101). Itulah kenapa tidak ada Basmalah yang fungsinya pembeda antar surat, di antara Al Anfal dengan At Taubah.

Sementara Imam Al Qurthubi Rahimahullah menulis ada lima pendapat:

1. Kebiasaan orang Arab Jahiliyah jika menulis pembatalan atas perjanjian maka mereka tidak menulis basmalah. Sedangkan surat At Taubah diawali tentang pemutusan perjanjian RasulNya atas pengkhianatan orang-orang Musyrikin Madinah. Lalu Rasulullah ﷺ mengutus Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu kepada kaum musyrikin menyampaikan membacakannya dan tidak disebutkan basmalah sesuai kebiasaan yang biasa terjadi dalam pemutusan perjanjian.

2. Sama seperti di no. 2 Ibnu Katsir di atas.

3. Diriwayatkan dari Utsman Radhiallahu ‘Anhu juga. Seperti yang dikatakan Imam Malik, pada riwayat Ibnu Wahab, Ibnul Qasim, dan Ibnu Abdil Hakim, bahwa ketika awal turun surah Al Quran maka turun pula basmalah bersamanya. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Ajlan bahwa telah sampai kepadanya surah At Taubah itu setara dengan Al Baqarah atau mendekatinya, sehingga tidak perlu lagi basmalah. Ini dikatakan. Said bin Jubeir mengatakan: “Al Bara’ah itu semisal dengan Al Baqarah”.

4. Kahrijah, Abu ‘Ishmah, dan lainnya mengatakan, bahwa terjadi perdebatan saat pembukuan di masa Utsman Radhiallahu ‘Anhu. Sebagian sahabat nabi mengatakan Al Anfal dan At Taubah itu satu kesatuan surah. Sebagian lain mengatakan itu dua surah terpisah. Akhirnya, surah itu dipisahkan untuk mengakomodasi pendapat itu surah yang berbeda, namun tanpa basmalah untuk mengakomodasi yang mengatakan keduanya satu kesatuan surat. Kedua pihak sama-sama ridha hal tersebut. Maka, telah tetap hujjah keduanya dalam penulisannya di mushaf.

5. Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma bertanya kepada Ali Radhiallahu ‘Anhu kenapa At Taubah tidak ada Basmalah, kata Ali Radhiallahu ‘Anhu: “Karena basmalah itu kalimat keamanan, sedangkan surat Al Bara’ah diturunkan dengan pedang bukan dengan keamanan.” Ibnul Mubarrad mengatakan: “Itulah kenapa

kedua surat itu tidak disatukan, namun tanpa ditulis basmalah karena basmalah itu kasih sayang, sedangkan surat al Bara’ah (At Taubah) turun tentang kemurkaan.” Ini juga dikatakan Imam Sufyan bin ‘Uyainah.
Imam Al Qurthubi mengatakan, pendapat yang shahih bahwa basmalah tidak ditulis karena Jibril menurunkannya tanpa basmalah, seperti yang dikatakan Al Qusyairi. Riwayat dari Utsman Radhiallahu’ Anhu menunjukkan bahwa sampai wafatnya Rasulullah ﷺ Beliau tidak menjelaskan tentang basmalah itu sebagai bagian dari Al Bara’ah. (Tafsir Al Qurthubi, 5/86-87)

Demikian. Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top