Tafsir Surat Al Muzammil (Bagian 3)

ALLAH AKAN MENURUNKAN PERKATAAN YANG BERAT,  SHALAT MALAM  BACAANNYA LEBIH KHUSYU’ DAN LEBIH BERKESAN

 إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا (5)

إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا (6)

إِنَّ لَكَ فِي النَّهارِ سَبْحاً طَوِيلاً (7)

 5-Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat

6-Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (lebih khusyu’) dan bacaan pada waktu itu lebih berkesan.

7- Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak).

 

KANDUNGAN AYAT 5

إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا (5)

5-Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat

Makna Qaulan Tsaqila  قَوْلًا ثَقِيلًا menurut  Imam Ar Razi dalam tafsirnya:[1]

1. Menurut Ibnu Abbas, Qaulan Tsaqila adalah perkataan yang agung (Kalaman Azhiman) (كَلَامًا عَظِيمًا)

Maksudnya: Allah akan menurukan kepada Nabi Muhammad perintah yang agung, maka dirikanlah shalat malam untuk menyambut perintah tersebut, karena shalat malam merupakan persiapan jiwa dalam menerima perintah tersebut, waktu malam adalah waktu yang potensial untuk mendekatkan diri kepada Allah, terbebas dari kesibukan duniawi siang hari, seperti disebutkan dalam riwayat Atha.

2. Maknanya adalah Al-Qur’an, karena didalamnya ada perintah dan larangan, taklif (beban perintah) yang berat bagi orang awan secara umum, dan juga berat bagi Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam secara khusus. Karena Beliau menerima wahyu untuk dirinya sendiri dan tugas menyampaikan kembali kepada umatnya. Perkataan yang berat, pada dasarnya kembali kepada beratnya melaksanakan perintah tersebut.

3. Berat ditimbangan Mizan kelak pada hari kiamat, karena banyak pahala dan manfaat bagi siapa saja yang mengamalkan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah.

4. Berat saat wahyu turun kepada Nabi Muhammad, karena pernah nabi menerima wahyu saat berada di atas punggung onta hingga punuknya tertunduk dan tak bisa bergerak.

5. Kalamulllah yang Maha Rahman sangat mulia, tidaklah sia-sia atau sepele.

6. Perkataan yang kuat, benar, bermanfaat dan jelas menurut Az-Jujaj

7. Perkataan yang berat bagi kaum munafikin, karena keburukan yang mereka rahasiakan terungkap, juga keburukan keyakinan mereka. Ini menurut Abu Ali Al Farisi.

8. Al-Quran merupakan kalamullah yang tetap, tidak akan mengalami perubahan sampai kapanpun. Karena Allah yang menjaganya (QS.Al-Hijr:9)

9. Akal manusia tak akan sanggup memahami semua ilmu Allah

10. Al-Quran meliputi ilmu-ilmu didalamnya sangat lengkap dan komprehensif

11. Menurut Imam As Suyuthi, makna dari Qaulan Tsaqila adalah:

{إنَّا سَنُلْقِي عَلَيْك قَوْلًا} قُرْآنًا {ثَقِيلًا} مُهِيبًا أَوْ شَدِيدًا لِمَا فِيهِ مِنْ التَّكَالِيف

Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu perkataan (yaitu Al-Qur’an) yang berat, atau kuat karena didalamnya terkandung taklif (beban –beban ibadah kepada hamba)[2]

12. Menurut Muhammad Sayid At Thantawi,” penyifatan Al-Qur’an dengan kata Tsaqil (berat) merupakan sifat yang hakiki, karena kandungan didalamnya ilmu yang bermanfaat, hidayah, hikmah, adab dan taklif (beban ibadah).[3]

13. Menurut Abdul Karim Yunus Khatib:

إن عهد النوم بالليل قد انتهى! فليوطّن النبي التي نفسه منذ الآن على الجهاد، وحمل هذا العبء، وليأخذ للموقف عدته، وإلّا ضعف عن حمل الرسالة، وأداء أمانة تبليغها، وقد علم أن إخوانه من الرسل، قد أبلغوا رسالات ربهم، وما كان له أن يقصر عنهم، وهو خاتمهم، وسيدهم

“Sesungguhnya masa-masa tidur sudah habis!, nabi mempersiapkan jiwanya dari sekarang untuk berjihad, memikul beban risalah, bersiap untuk berbagai tugas, jika tidak shalat malam, maka akan lemah dalam mengemban risalah dan menyampaikan dakwah, seperti diketahui bahwa nabi-nabi sebelumnya  juga telah menyampaikan risalah Rabbnya, mereka tidaklah menyia-nyiakan amanah itu, apalagi Nabi Muhammad sebagai penutup dan pemimpin para Nabi”[4]

KANDUNGAN AYAT 6

إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا (6)

“Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (lebih khusyu’) dan bacaan pada waktu itu lebih berkesan.

1. Menurut Imam Al-Qurthubi:

 (إِنَّ ناشِئَةَ اللَّيْلِ) قَالَ الْعُلَمَاءُ: نَاشِئَةُ اللَّيْلِ أَيْ أَوْقَاتُهُ وَسَاعَاتُهُ، لِأَنَّ أَوْقَاتَهُ تَنْشَأُ أَوَّلًا فَأَوَّلًا، يُقَالُ: نَشَأَ الشَّيْءُ يَنْشَأُ: إِذَا ابْتَدَأَ وَأَقْبَلَ شيئا بعد شي

“Berkata para ulama: Nasyiatu Al Lail artinya waktu malam, atau jamnya” karena waktu bergerak bertahap, dikatakan “Nasya’a Syai’u-Yansya’: Jika mulai dan bertemu sedikit-demi sedikit”.[5]

2. Menurut Imam As-Syaukani:

أَنَّ الصَّلَاةَ فِي نَاشِئَةِ اللَّيْلِ أَثْقَلُ عَلَى الْمُصَلِّي مِنْ صَلَاةِ النَّهَارِ لِأَنَّ اللَّيْلَ لِلنَّوْمِ

“Sungguh shalat malam  lebih berat dari pada shalat pada waktu siang, karena waktu malam digunakan untuk tidur”.[6]

Bacaan  pada shalat malam lebih berkesan, lebih tenang dan khusyu, karena malam waktu yang lapang untuk beribadah, berbeda dengan siang hari yang penuh hiruk pikuk. Bacaan pada malam itu juga lebih mudah untuk menghadirkan hati dalam memahaminya dan damai.

3. Menurut As-Sa’di

{إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلا ثَقِيلا} أي: نوحي إليك هذا القرآن الثقيل، أي: العظيمة معانيه، الجليلة أوصافه، وما كان بهذا الوصف، حقيق أن يتهيأ له، ويرتل، ويتفكر فيما يشتمل عليه

“Kami akan wahyukan Al-Qur’an ini dengan  Tsaqila (berat): Agung maknanya, mulia sifatnya, tentu dengan sifat ini siap untuk siapa saja yang membaca, memikirkan apa yang terkandung didalamnya.[7]

KANDUNGAN AYAT -7

إِنَّ لَكَ فِي النَّهارِ سَبْحاً طَوِيلاً (7)

“Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak)”

Menurut Ibrahim Al-Qatthan:

ان لك في النهارِ وقتاً طويلاً تَصْرِفه في العملِ والاشتغال بأمور الرسالة، ففرّغ نفسَك في اللّيل لعبادةِ ربّك

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki waktu panjang di siang hari untuk bekerja dan beraktifitas dengan perintah risalah kenabian, maka luangkan waktu untuk dirimu sendiri pada malam hari, beribadah kepada Rabb-mu”.[8]

KESIMPULAN

  1. Shalat malam merupakan persiapan Nabi untuk mengemban tugas yang berat, menerima wahyu, menyampaikan risalah, dan berjihad dijalan Allah. Maka sudah sepantasnya kaum muslimin mencontoh Nabi dalam mempersiapkan diri, untuk mengemban tugas-tugas dakwah kedepan.
  2. Beban dakwah yang berat, jika hati terus terpaut kepada Allah dalam shalat malam, lalu memohon pertolongan Allah disaat banyak orang-orang tertidur, akan menambah optimisme dalam berjuang dan menggapai ketenangan hidup.
  3. Saat manusia mampu mengalahkan hawa nafsunya (tidur), bisa menguasai dirinya untuk tegak ibadah kepada Allah di waktu malam, itulah saat terbaik untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan dari Allah. Ia meninggalkan nafsunya, ia mendekati Allah, maka Allah akan limpahkan kebaikan-kebaikan-Nya.

والله أعلم

======

Fauzan Sugiyono, Lc, M.Ag


[1] Abu Muhammad Fakhrudin Ar-Razi (w.606H), Mafatihul Ghaib,( Beirut: Dar Ihya Turats, 1420H, 30/684

[2] Jalaludin Ahmad Al Mahaly (w. 864H) dan Jalaludin As Suyuthi (w. 911H), Tafsir Jalalain, Kairo, Darul Hadits, 1/773

[3] Muhammad Sayid Ath Thanthawi, Tafsir Al-Wasith Lil Quranil Karim, (mesir: Dar An Nahdhah, 1997, 15/157

[4] Abdul Karim Yunus Khatib (w.1390H), Tasir Al-Quran Al Karim, Kairo: Dar Al Fikr, 15/1251

[5] Tafsir Al-Qurthubi, 19/39

[6] Imam Sy Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, 5/380

[7] Abdurrahman As-Sa’di, Taisir Karim ar – Rahman, 1/892

[8] Ibrahim Al Qatthan (w.1404H), Taisir At Tafsir, 3.378

Merencanakan Amal, Apakah Dihitung Sebagai Nadzar?

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Saya mau tanya ustad, apakah kalimat ini (“ini” saya kumpulkan untuk naik haji satu rumah) termasuk nazar ustad dan arti “ini” itu uang. Satu lagi ustad kalimat ini apa juga termasuk nazar (tidak mau di pabruk lagi). Tolong jawabanya ustad, saya agak was-was soal ini. Aditya,

Solo, +62 857-2682-xxxx

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Nadzar itu mesti diucapkan dan diniatkan, tidak cukup direncanakan di hati tapi tidak dilafazkan. Tidak cukup pula diucapkan, tapi tidak ada niat untuk nadzar.

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وهل يصح (النذر) بالنية من غير قول ؟ الصحيح باتفاق الأصحاب أنه لا يصح إلا بالقول , ولا تنفع النية وحدها “

Apakah sah nazar dengan niat, tapi tanpa ucapan? Yang shahih menurut kesepakatan para sahabat (Syafi’iyah), maka itu tidak sah kecuali dengan perkataan dan niat saja tidaklah bermanfaat. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 8/435)

Begitu pula dikatakan Imam Al Mardawi Rahimahullah:

ولا يصح (النذر) إلا بالقول ، فإن نواه من غير قول : لم يصح بلا نزاع “

Tidak sah nazar kecuali dgn diucapkan, jika dia meniatkan tapi tanpa ucapan, maka tidak sah dan ini TIDAK ADA BEDA PENDAPAT. (Al Inshaf, 11/118)

Ayat-ayat dan hadits tentang nadzar menunjukkan bahwa nadzar memang diucapkan.

Allah Ta’ala berfirman:

إِذۡ قَالَتِ ٱمۡرَأَتُ عِمۡرَٰنَ رَبِّ إِنِّي نَذَرۡتُ لَكَ مَا فِي بَطۡنِي مُحَرَّرٗا فَتَقَبَّلۡ مِنِّيٓۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ

(Ingatlah), ketika istri Imran berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepada-Mu, apa (janin) yang dalam kandunganku (kelak) menjadi hamba yang mengabdi (kepada-Mu), maka terimalah (nazar itu) dariku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”

(QS. Ali ‘Imran, Ayat 35)

Ayat lainnya:

فَكُلِي وَٱشۡرَبِي وَقَرِّي عَيۡنٗاۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ ٱلۡبَشَرِ أَحَدٗا فَقُولِيٓ إِنِّي نَذَرۡتُ لِلرَّحۡمَٰنِ صَوۡمٗا فَلَنۡ أُكَلِّمَ ٱلۡيَوۡمَ إِنسِيّٗا

Maka makan, minum dan bersenanghatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.”

(QS. Maryam, Ayat 26)

Dalam hadits, Umar bin Khathab Radhiallahu ‘Anhu berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي نَذَرْتُ فِي الجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي المَسْجِدِ الحَرَامِ، قَالَ: أَوْفِ بِنَذْرِكَ

“Wahai Rasulullah, aku pernah bernazar pada masa jahiliyah untuk beri’tikaf malam hari di masjidil haram.” Beliau bersabda: “Penuhi nadzarmu!”

(HR. Bukhari No. 6697)

Sebaliknya, ucapan rencana atau janji TAPI tanpa maksud nadzar, itu juga tidak dikatakan nadzar. Misal, seseorang berkata: “Nanti sore saya mau ke rumah Pak Guru”, ini kalimat rencana biasa.

“Saya kumpulkan uang buat pergi haji.” Ini bukan nazar jika tanpa dibarengi niat nazar, ini hanya rencana saja, tidak ada konsekuensi apa-apa baginya.

Dalam Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 34075:

فالمتلفظ بالنذر إما أنه تلفظ به من غير قصد التلفظ به أصلاً، كأن يريد أن يقول شيئاً فسبق لسانه بلفظ النذر، فهذا لا يلزمه شيء

Orang yang melafazkan kata nazar yang pada asalnya tidak ada maksud melafazkannya, seolah lisannya itu keceplosan mengatakan nadzar, maka ini tidak ada kewajiban apa pun baginya. (selesai).

Demikian. Wallahu a’lam

🌳🌿🌷🍃🌸🍀🌻

✍ Farid Numan Hasan

Cara Menjawab Salam Saat Kita Sedang Shalat

Bagaimana cara menjawab salam saat sedang shalat? Apakah dijawab seperti biasa dengan suara keras? Apakah tidak membatalkan shalat? Simak penjelasannya dalam tanya jawab di bawah!


Pertanyaan

Assalamu alaikum. Afwan ustadz, bagaimana jika qt sedang sholat di masjid kemudian ada orang2 yg masuk masjid menyampaikan salam, apakah wajib kita jawab ? Kalo wajib, maka bagaimanakah cara menjawabnya ? Jazakallahu khoir ustadzy


Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Cara Menjawab Salam Saat Sedang Shalat

Boleh dijawab, tapi BUKAN DENGAN WA’ALAIKUMUSALAM.

Imam Ibnu Baththal Rahimahullah mengatakan:

أجمع العلماء أن المصلي لا يرد السلام متكلمًا

Ulama telah IJMA’ bahwa orang yang shalat tidaklah menjawab salam dengan ucapan. (Syarh Shahih Bukhari, 3/203)

Dan telah Ijma’ pula cara jawabnya adalah dengan ISYARAT.

Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan:

وأجمَع العلماءُ على أنَّ مَن سُلِّم عليه وهو يُصلِّي لا يردُّ كلامًا، وكذلك أجمعوا على أنَّ مَن ردَّ إشارةً أجزأه، ولا شيءَ عليه

Para ulama telah ijma’, bahwa jika ada orang yg diucapi salam dan dia sdg shalat maka tidaklah menjawabnya dengan ucapan, dan mereka juga ijma’ bahwa jawabnya cukup dengan ISYARAT, dan itu tidak masalah baginya. (At Tamhid, 21/109)

Baca juga: Serba-serbi Salam

Bagaimana cara isyaratnya?

Dari Ibnu Umar: “Aku bertanya kepada Bilal:

كيف كان النبي صلى الله عليه وسلم يرد عليهم حين كانوا يسلمون في الصلاة؟ قال: كان يشير بيده

“Bagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab salam kepada mereka ketika beliau sedang shalat?” Bilal menjawab: “Memberikan isyarat dengan tangannya.”

(HR. Ibnu Majah No. 1017, At Tirmidzi No. 368, katanya: hasan shahih)

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

ويستوي في ذلك الاشارة بالاصبع أو باليد جميعها أو بالايماء بالرأس فكل ذلك وارد عن رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Dalam hal ini sama saja, baik isyarat dengan jari, tangan atau anggukkan kepala, semua ini adalah boleh karena memiliki dasar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Fiqhus Sunah, 1/264)

Syaikh Abul ‘Ala Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarkafuri Rahimahullah mengatakan:

فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَشَارَ مَرَّةً بِأُصْبُعِهِ وَمَرَّةً بِيَدِهِ

“Maka, dibolehkan memberikan isyarat, sekali dengan jari dan sekali dengan tangannya.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/365. Cet. 2, Al Maktabah As Salafiyah, Madinah)

Demikian. Wallahu a’lam

✍ Farid Numan Hasan


Demikian artikel mengenai menjawab salam saat sedang shalat. Semoga Allah SWT menyatukan hati orang beriman dalam ukhuwah. Amin.

Baca juga: Hukum Mengucapkan Salam Pembukaan Semua Agama

Ulama-Ulama yang Punya Kemiripan Nama

💢💢💢💢💢💢💢💢

Tidak sedikit ada nama ulama disandang oleh beberapa person, dalam pikiran pembaca nama tersebut orang yang sama, padahal bukan.

Berikut ini beberapa contoh nama-nama ulama yang sama tapi berbeda orangnya dan zamannya.

1. Abu Hatim

Ada dua Abu Hatim yang terkenal, dan sama-sama imam ahli hadits, yaitu Abu Hatim Ar Razi dan Abu Hatim Al Bustiy (ini lebih dikenal dengan Imam Ibnu Hibban).

Abu Hatim Ar Razi, nama aslinya Muhammad bin Idris bin Al Mundzir. Lahir di Ray, tahun 811 M, wafat 890 M. Dia seangkatan dengan Imam Bukhari. Anaknya Abdurrahman bin Abi Hatim juga seorang imam hadits terkenal, penyusun kitab Al Jarh wat Ta’dil.

Ada pun Abu Hatim bin Hibban, dia adalah Muhammad bin Hibban, dia sedikit lebih junior dibanding Abu Hatim Ar Razi, lahir 884M, wafat 965M. Dia penyusun kitab Shahih Ibnu Hibban dan Ats Tsiqaat. Namun, dia juga pakar dalam fiqih, kedokteran, sejarawan, astronomi, bahasa, dan mutakallim.

2. Ibnu Hajar

Ada dua Ibnu Hajar, yaitu Ibnu Hajar Al ‘Asqalani dan Ibnu Hajar Al Haitsami (ada yang menulis Al Haitsami), keduanya sama-sama madzhab Syafi’i.

Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, dia adalah Ahmad bin Ali Al Kinani Al ‘Asqalani, lahir 1372M wafat 1449M. Baik lahir, besar, dan wafat, di Mesir. Kepakarannya adalah ahli hadits, fiqih, dan sejarah. Karya-karyanya: Fathul Bari, Tahdzibut Tahdzib, Taqribut Tahdzib, Al Ishabah fi Tamyiz Ash Shahabah, dll. Beliau pada puncak kepakaran ilmu hadits, di zamannya dia anggap Amirul Mukminin fil hadits. Dalam kitab-kitab hadits dan syarah, Beliau sering disebut dengan Al Hafizh.

Ibnu Hajar Al Haitsami Al Makki, dia adalah Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ali. Beliau lebih junior dibanding Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, lahir di Mesir 1503M, wafat 1560M di Mekkah. Pakar fiqih dan ahli kalam, dan Beliau alumni Al Azhar. Karya-karyanya seperti Al Fatawa Al Haditsiyah, Az Zawajir, Tuhfatul Muhtaj, dll.

3. Ibnu Qudamah

Ada dua Ibnu Qudamah, yaitu Abu Muhammad bin Qudamah Al Maqdisi dan Abul Faraj bin Qudamah Al Maqdisi. Keduanya sama-sama Hambali.

Abu Muhammad bin Qudamah, dia Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah. Lahir tahun 1147 M di Jama’il, wafat 1223 M di Damaskus. Dia adalah tokoh besar madzhab Hambali, jika di madzhab Syafi’i dia adalah Imam An Nawawinya. Dialah yang mengumpulkan pandangan resmi madzhab Hambali dalam kitabnya: Al Mughni. Selain itu, karyanya yang lain adalah Al Kafi fil Fiqhi Imam Ahmad, ‘Umdatul Fiqh, dll. Dia dijuluki dengan Muwaffaquddin.

Ada pun Abul Faraj bin Qudamah Al Maqdisi, dia lebih junior, lahir 1200 M, wafat 1283 M di Damaskus. Dia salah satu guru haditsnya Imam An Nawawi. Julukannya adalah Syamsuddin. Di antara karyanya: Asy Syarh Al Kabir, Mukhtashar Minhaj Al Qashidin, dll.

4. Ath Thabari

Ada dua Ath Thabari, yaitu Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari (biasa dikenal dengan Ibnu Jarir), dan Muhib Ath Thabari.

Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, dia adalah Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir. Lahir 839 M di Thabaristan, wafat 923M di Baghdad. Imam dibidang fiqih, mujtahid mutlak, bahkan fiqihnya menjadi madzhab sendiri yaitu Jariri, hanya saja madzhab tersebut telah punah. Dia juga imamnya para ahli tafsir, dan sejarawan. Kitab tafsirnya menjadi kitab tafsir tertua dan induk terbesar tafsir, yaitu Jami’ul Bayan yg lebih dikenal dgn: Tafsir Ath Thabari. Karya lainnya yang rata2 berjilid-jilid: Tarikhul Imam wal Muluk, Tahdzibul Atsar, dll.

Ada pun Muhibuddin Ath Thabari, dia adalah Abul Abbas, Ahmad bin Abdullah bin Muhammad Ath Thabari, dia lahir 4 abad setelah Ibnu Jarir, yaitu 1218 M di Mekkah, wafat 1295 M juga di Mekkah. Dia imam fiqih madzhab Syafi’i. Di antara karyanya: Khulashah Siyar Sayyid Al Basyar, Ar Riyadh An Nadhrah fil Manaqib Al ‘Asyrah, Dzakhair Al’ Uqba fil Manaqib Dzawil Qurba, dll.

5. Al Qurthubi

Ada dua Al Qurthubi yaitu Abu Abdillah Al Qurthubi (ahli tafsir terkenal) dan Abul ‘Abbas Al Qurthubi.

Abu Abdillah Al Qurthubi adalah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh. Lahir 1204 M di Qurthubah (Kordoba), Spanyol, wafat 1273 di Menya (Mesir). Fiqihnya adalah Maliki, aqidahnya Asy’ariy. Dia pakar tafsir, fiqih, hadits, dan bahasa. Karyanya yang terkenal adalah Al Jami’ Liahkamil Quran (Tafsir Al Qurthubi), At Tadzkirah, At Taqrib fi Kitabit Tamhid, dll.

Ada pun Abul Abbas Al Qurthubi, dia adalah Ahmad bin Umar bin Muhammd Al Anshari. Dia sedikit lebih senior, lahir 1182 M di Qurthubah, wafat di Iskandariyah (Mesir) 1258 M. Dia adalah pakar hadits dan fiqih, dan madzhabnya Maliki. Di antara karyanya: Al Mufhim Lima Asykala min talkhish kitab Muslim, Ikhtishar Shahih Al Bukhari, dll.

6. An Nawawi

Ada dua An Nawawi, yaitu Abu Zakariya An Nawawi dan An Nawawi Al Bantani. Keduanya sama-sama Syafi’i dan Asy’ariy.

Abu Zakariya An Nawawi, adalah Yahya bin Syaraf, dijuluki Muhyiddin. Lahir di Nawa 1234 M, wafat tahun 1278 M, tidak menikah. Dia fiqihnya Syafi’i dan aqidahnya Asy’ariy. Karya-karyanya memenuhi dunia Islam, seperti: Riyadhusshalihin, Al Arba’un An Nawawiyah, Al Adzkar, Minjahut Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, Syarh Shahih Muslim, Tahdzibul Asma wal Lughat, dll.

Ada pun An Nawawi Al Bantani, dia adalah Muhammad An Nawawi bin Umar, lahir di Serang, Banten, tahun 1813 M, dan wafat 1897 di Mekkah. Dia menjadi tokoh di Hijaz dan Fiqihnya Syafi’i. Di antara karyanya: Tafsir Al Munir, Ats Tsamar Al Yani’ah, Nihayatuz Zain, dll

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌳🌿🌷🍃🌸🍀🌻

✍ Farid Numan Hasan

scroll to top