Hukum Muraqqi/Bilal dalam Shalat Jumat

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum wa Rahmatullah… Apakah adanya muraqqi itu bid’ah? (SQO)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Jawaban:

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Perlu diingat, kita tinggal di negeri yg umumnya menjalankan fiqih syafi’iyyah. Termasuk tata cara shalat Jumat. Muraqqi juga kita temukan di negeri-negeri yang madzhabnya syafi’i, bukan hanya Indonesia.

Maka, jika kita menggunakan kaca mata penduduk Saudi yang Hambali, atau Maroko dan Tunisia yang Maliki, atau Pakistan, India, Banglades yang Hanafi, mungkin kita akan menyalahkannya dan menyebutnya bid’ah.

Tapi, bagi yang paham paradigma dan konsep fiqih madzhab Syafi’i maka kita akan paham dan maklum jika itu terjadi. Dalam madzhab Syafi’i, dikenal “bid’ah hasanah” seperti yang dikatakan para imam besar seperti Imam an Nawawi, Imam Ibnu Hajar, Imam as Suyuthi, Imam Abu Syamah, dan lainnya. Mereka adalah imamnya para imam dimasanya. Bagi Syafi’iyyah Muraqqi itu bid’ah hasanah. Bahkan bukan bid’ah tapi sunnah.

Berikut ini perkataan Imam Sulaiman al Jamal Rahimahullah:

واتخاذ المرقى بدعة حسنة لم تفعل في عهده – صلى الله عليه وسلم – ولا عهد الخلفاء الثلاثة بعده كذا في عبارة شيخنا

Mengangkat muraqi adalah bid’ah hasanah, belum terjadi di masa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan masa khalifah yang tiga. Demikian perkataan guru kami.

وعبارة غيره حدث بعد الصدر الأول قال حج وأقول يستدل لذلك أي للسنة بأنه «- صلى الله عليه وسلم – أمر من يستنصت له الناس عند إرادته خطبة منى في حجة الوداع» وهذا شأن المرقى فلا يدخل في حد البدعة أصلا انتهت

Sumber yg lain menyebut bahwa muraqqi ini sudah terjadi sejak masa awal Islam. Imam Ibnu Hajar berkata, “Dalilnya ada dalam sunnah, yaitu saat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan manusia untuk diam disaat Beliau hendak khutbah di Mina saat haji Wada’,” inilah muraqqi. Jadi, pada dasarnya itu BUKAN BID’AH.

(Hasyiyah al Jamal, 2/35)

Dalam rujukan kitab yang lain juga demikian, misalnya Imam Qalyubi dan Imam ‘Amirah:

اتخاذ المرقى المعروف بدعة حسنة لما فيها من الحث على الصلاة عليه – صلى الله عليه وسلم – بقراءة الآية المكرمة وطلب الإنصات بقراءة الحديث الصحيح الذي كان – صلى الله عليه وسلم – يقرؤه في خطبه ولم يرد أنه ولا الخلفاء بعده اتخذوا مرقيا. وذكر ابن حجر أنه له أصلا في السنة وهو «قوله – صلى الله عليه وسلم – حين خطب في عرفة لشخص من الصحابة استنصت الناس»

Mengangkat seorang muraqqi dikenal sebagai bid’ah hasanah. Sebab di dalamnya ada ajakan untuk shalawat, membaca Al Quran, dan perintah untuk diam, dimana haditsnya pernah dibaca Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam saat khutbah, para khalifah setelahnya tidak memaknainya sebagai muraqqi.

Sementara Imam Ibnu Hajar menilainya itu ada dasarnya dalam sunnah, yaitu disaat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam khutbah di Arafah Beliau memerintahkan salah satu sahabat untuk menyuruh manusia diam.

(Hasyiyata Qalyubi wa ‘Amirah, 1/326)

Maka, hendaknya kita lapang dada dalam masalah ini.

Demikian. Wallahu a’lam

🌳🌷🍁🍀🌻🌿🍃🌸

✍ Farid Nu’man Hasan

Yahudi Masa Lalu Mengganti Salam yang Bukan Berasal dari Islam

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Allah Ta’ala berfirman:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ نُهُوا عَنِ النَّجْوَىٰ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا نُهُوا عَنْهُ وَيَتَنَاجَوْنَ بِالْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَمَعْصِيَتِ الرَّسُولِ وَإِذَا جَاءُوكَ حَيَّوْكَ بِمَا لَمْ يُحَيِّكَ بِهِ اللَّهُ وَيَقُولُونَ فِي أَنْفُسِهِمْ لَوْلَا يُعَذِّبُنَا اللَّهُ بِمَا نَقُولُ ۚ حَسْبُهُمْ جَهَنَّمُ يَصْلَوْنَهَا ۖ فَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang telah dilarang mengadakan pembicaraan rahasia, kemudian mereka kembali (mengerjakan) larangan itu dan mereka mengadakan pembicaraan rahasia untuk berbuat dosa, permusuhan, dan durhaka kepada Rasul. Dan apabila mereka datang kepadamu (Muhammad), MEREKA MENGUCAPKAN SALAM DENGAN CARA YANG BUKAN SEPERTI YANG DITENTUKAN ALLAH UNTUKMU. Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri, “Mengapa Allah tidak menyiksa kita atas apa yang kita katakan itu?” Cukuplah bagi mereka Neraka Jahanam yang akan mereka masuki. Maka neraka itu seburuk-buruk tempat kembali.

(QS. Al Mujadilah: 8)

Imam as Suyuthi Rahimahullah mengatakan tentang sebab turunnya ayat di atas:

وأخرج أحمد والبزار والطبراني بسند جيد عن عبدالله بن عمرو أن اليهود كانوا يقولون لرسول الله ﷺ سام عليكم ثم يقولون في أنفسهم لولا يعذبنا الله بما نقول فنزلت هذه الأية

Imam Ahmad, Imam Al Bazzar, dan Imam Ath Thabarani meriwayatkan dengab sanad yang jayyid (baik), dari Abdullah bin ‘Amr bahwa orang-orang Yahudi berkata kepada Rasulullah ﷺ : “SAAMUN ‘ALAIKUM (kebinasaan untukmu)”, lalu mereka berkomentar: “Jika salam kami salah kenapa Allah tidak mengazab kami?” Lalu turunlah ayat ini.

(Imam as Suyuthi, Lubab An Naqul fi Asbabin Nuzul, Hal. 541. Dar Ibn al Jauzi. Cet. 1, 2013)

Maka, sejarah berulang lagi. Lagu lama kembali diputar, hanya beda aransemennya. Dulu Assalamualaikum, diganti Saamun ‘alaikum, saat ini diganti dengan Salam Pancasila.

Dulu pelakunya orang-orang Yahudi, sekarang pelakunya orang yang mengaku muslim.

Wallahul Musta’an!

🌺🌿🌷🌻🌸🍃🌴🌵

✍ Farid Nu’man Hasan

Berdehem Saat Shalat

💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Berdehem, seperti ehem!, dalam shalat sering dilakukan sebagian orang. Biasanya untuk membuat nyaman tenggorokannya karena dahak atau sebab lainnya.

Apakah ini dibenarkan dalam shalat?

Para ulama berbeda pendapat menjadi tiga golongan. Hal ini diceritakan oleh Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, berikut ini:

أحدها : أنها لا تبطل بحال ، وهو قول أبي يوسف ، وإحدى الروايتين عن مالك ؛ بل ظاهر مذهبه

Pertama. Tidak membatalkan shalat sama sekali. Ini pendapat Abu Yusuf, dan salah satu riwayat dari Imam Malik, bahkan ini pendapat resmi madzhabnya.

والثاني : تبطل بكل حال ، وهو قول الشافعي ، وأحد القولين في مذهب أحمد ومالك

Kedua. Membatalkan shalat apa pun keadaannya. Inilah pendapat Imam Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan Imam Malik.

والثالث : إن فعله لعذر لم تبطل ، وإلا بطلت ، وهو قول أبي حنيفة ومحمد ، وغيرهما ، وقالوا : إن فعله لتحسين الصوت وإصلاحه لم تبطل ، قالوا : لأن الحاجة تدعو إلى ذلك كثيرا ، فرخص فيه للحاجة .
ومن أبطلها قال: إنه يتضمن حرفين ، وليس من جنس أذكار الصلاة ، فأشبه القهقهة

Ketiga. Jika Berdehem disebabkan udzur maka tidak batal, jika tidak ada udzur maka batal. Ini pendapat Imam Abu Hanifah, Muhammad (bin Hasan), dan lainnya. Mereka mengatakan: “Jika Berdehem untuk mmebaguskan suara atau memperbaikinya, tidaklah batal.” Mereka mengatakan: “Sesungguhnya keperluan untuk itu banyak terjadi maka hal itu diberikan keringanan karena ada kebutuhan.” Pihak yang mengatakan batal mengatakan bahwa berdehem itu mengeluarkan dua huruf, itu juga bukan termasuk salah satu jenis dzikir dalam shalat, maka hal itu mirip dengan tertawa terbahak bahak.

(Majmu’ al Fatawa, 22/616)

Jika kita lihat literatur lain, kita dapatkan bahwa empat madzhab tidak mempermasalahkan jika berdehem terjadi karena udzur atau keperluan.

– Untuk Hanafi, lihat al Inayah Syarh al Hidayah (2/134), Imam Muhammad al Babartiy Rahimahullah:

فهو عفو أي معفو كالعطس والجشاء فإن ذلك لا يقطع الصلاة وإن حصل به حروف هجاء

Hal itu dimaafkan, yaitu dimaafkan sebagaimana bersin dan sendawa, hal itu tidaklah membatalkan shalat walau sampai menghasilkan huruf hijaiyah.

– Untuk Maliki, lihat adz Dzakhirah, 2/139-140, Imam al Qarafiy Rahimahullah:

إن كان لضرورة فغير مبطل و إن كان لغير ضوورة مبطل في إحد القولين

Jika berdehem itu ada sebab yg mengharuskannya maka tidak batal, tapi jika tidak ada maka batal menurut salah satu di antara dua pendapat.

– Untuk Syafi’i, lihat al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 4/80, Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وحيث أبطلنا بالتنحنح فهو إن كان مختارا بلا حاجة فإن كان مغلوبا لم تبطل قطعا ولو تعذرت قراءة الفاتحة إلا بالتنحنح فيتنحنح و لا يضره لأنه معذور

Berdehem yang batal bagi kami adalah jika dia bisa mengontrolnya dan tanpa keperluan. Sdgkan jika dia terdesak untuk melakukannya maka jelas itu tidak batal. Seandainya dengan berdehem itu dia bisa membaca Al Fatihah, maka berdehemlah dan itu tidak apa-apa karena dia ada udzur.

– Untuk Hambali, lihat Al Mughni, 2/40, Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:

فَأَمَّا النَّحْنَحَةُ، فَقَالَ أَصْحَابُنَا: إنْ بَانَ مِنْهَا حَرْفَانِ، بَطَلَتْ الصَّلَاةُ بِهَا كَالنَّفْخِ

Sahabat-sahabat kami (Hambaliyah) mengatakan bahwa berdehem jika jelas nampak dua huruf maka batal shalatnya, sama seperti meniup.

وَنَقَلَ الْمَرُّوذِيُّ قَالَ: كُنْت آتِي أَبَا عَبْدِ اللَّهِ فَيَتَنَحْنَحُ فِي صَلَاتِهِ، لِأَعْلَمَ أَنَّهُ يُصَلِّي. وَقَالَ مُهَنَّا: رَأَيْت أَبَا عَبْدِ اللَّهِ يَتَنَحْنَحُ فِي الصَّلَاةِ. قَالَ أَصْحَابُنَا: هَذَا مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَنْتَظِمُ حَرْفَيْنِ

Al Marudzi (Al Marwadzi) mengatakan: “Saya pernah mendatangi Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hambal), dia berdehem untuk memberitahu bahwa dia sedang shalat.” Muhanna mengatakan: “Aku pernah lihat Abu Abdillah berdehem saat shalat.” Sahabat kami (Hambaliyah) mengatakan: “Hal ini kemungkinan tidak sampai tersusun dua huruf.”

وَظَاهِرُ حَالِ أَحْمَدَ أَنَّهُ لَمْ يَعْتَبِرُ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ النَّحْنَحَةَ لَا تُسَمَّى كَلَامًا، وَتَدْعُو الْحَاجَةُ إلَيْهَا فِي الصَّلَاةِ

YANG BENAR, Imam Ahmad tidak pernah menjelaskan seperti itu. Karena berdehem tidaklah dinamakan bicara, dan itu terjadi karena ada keperluan saat shalat. (selesai)

Sementara Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah yang juga Hambali, cenderung mengatakan berdehem itu sama sekali tidak membatalkan shalat walau tidak dibutuhkan.

Setelah Beliau memaparkan tiga pendapat sebelumnya, Beliau berkata:

والقول الأول أصح . وذلك أن النبي صلى الله عليه وسلم إنما حرم التكلم في الصلاة وقال : ( إنه لا يصلح فيها شيء من كلام الآدميين ) وأمثال ذلك من الألفاظ ، التي تتناول الكلام . والنحنحة لا تدخل في مسمى الكلام أصلا ، فإنها لا تدل بنفسها ، ولا مع غيرها من الألفاظ على معنى ، ولا يسمى فاعلها متكلما ” انتهى

Pendapat pertama lebih benar. Sebab Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak pantas terjadi di dalam shalat adanya pembicaraan manusia”, contohnya adalah dengan banyak mengucapkan lafaz yang memunculkan pembicaraan. Sementara berdeham sama sekali bukan termasuk kategori bicara, baik dilihat dari sisi berdehem itu sendiri atau dari sisi pembicaraan, dan orang yang melakukannya tidak dikatakan orang yang sedang bicara.

(Majmu’ al Fatawa, 22/617)

Pendapat mayoritas ulama bahwa hal itu tidak batal jika ada sebab atau keperluan, dan batal jika tidak ada keperluan apalagi sampai berulang-ulang, adalah pendapat yang lebih hati-hati.

Demikian. Wallahu a’lam

🌳🌿🌸🌷🍃🍀🌻🍁

✍ Farid Nu’man Hasan

Makna hadits: “Janda Lebih Berhak Atas Dirinya Dibanding Walinya”

💢💢💢💢💢💢💢

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا

“Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya.”.

(HR. Muslim no. 1421, dari Ibnu Abbas)

Hadits ini oleh sebagian ulama bolehnya janda menikah tanpa walinya, sebab dia lebih berhak. Tapi, jika dilihat lanjutan haditsnya yg berbunyi:

وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا

Dan gadis harus dimintai izin darinya, dan diamnya adalah izinnya. (HR. Muslim no. 1421)

Ini menunjukkan hadits ini sedang membicarakan hak memilih jodoh bahwa janda lebih berhak atas dirinya, dia bebas bersikap, sedangkan gadis harus ditanyai dulu izinnya. Jadi, bukan tentang akad nikah. Maka, tidak tepat menjadikan hadits sebagai dalil bahwa janda boleh nikah tanpa wali. Demikianlah pendapat mayoritas ulama bahwa maksud hadits ini sedang membicarakan khiyar (hak memilih) jodoh bagi janda.

Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah berkata:

وَاخْتَلَفُوا أَيْضًا فِي قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” أَحَقّ مِنْ وَلِيّهَا ” هَلْ أَحَقّ بِالْإِذْنِ فَقَطْ أَوْ بِالْإِذْنِ وَالْعَقْد عَلَى نَفْسهَا . فَعِنْد الْجُمْهُور بِالْإِذْنِ فَقَطْ ، وَعِنْد هَؤُلَاءِ بِهِمَا جَمِيعًا

Para ulama berselisih pendapat dalam memaknai “lebih berhak dibanding walinya” apakah itu lebih berhak dalam izin saja ataukah hak dia mengakadkan dirinya sendiri juga. Menurut mayoritas ulama, maknanya adalah hanya dalam hal izin saja. Sebagian mereka mengatakan izin dan akad sekaligus.

(Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim,’ Aunul Ma’bud, 4/487)

Hal ini diperkuat dengan hadits:

لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ

Tidak ada pernikahan kecuali mesti adanya wali.

(HR. Abu Daud no. 2085, shahih)

Juga hadits:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ

“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal.”

(HR. At Tirmidzi no. 1102, shahih)

Inilah pendapat mayoritas ulama baik Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah, dan mayoritas umat Islam.

Demikian. Wallahu a’lam

🌸🌳🌿🍃🌻🍁🌷

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top