💢💢💢💢💢💢💢
Bismillahirrahmanirrahim..
Berdehem, seperti ehem!, dalam shalat sering dilakukan sebagian orang. Biasanya untuk membuat nyaman tenggorokannya karena dahak atau sebab lainnya.
Apakah ini dibenarkan dalam shalat?
Para ulama berbeda pendapat menjadi tiga golongan. Hal ini diceritakan oleh Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, berikut ini:
أحدها : أنها لا تبطل بحال ، وهو قول أبي يوسف ، وإحدى الروايتين عن مالك ؛ بل ظاهر مذهبه
Pertama. Tidak membatalkan shalat sama sekali. Ini pendapat Abu Yusuf, dan salah satu riwayat dari Imam Malik, bahkan ini pendapat resmi madzhabnya.
والثاني : تبطل بكل حال ، وهو قول الشافعي ، وأحد القولين في مذهب أحمد ومالك
Kedua. Membatalkan shalat apa pun keadaannya. Inilah pendapat Imam Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan Imam Malik.
والثالث : إن فعله لعذر لم تبطل ، وإلا بطلت ، وهو قول أبي حنيفة ومحمد ، وغيرهما ، وقالوا : إن فعله لتحسين الصوت وإصلاحه لم تبطل ، قالوا : لأن الحاجة تدعو إلى ذلك كثيرا ، فرخص فيه للحاجة .
ومن أبطلها قال: إنه يتضمن حرفين ، وليس من جنس أذكار الصلاة ، فأشبه القهقهة
Ketiga. Jika Berdehem disebabkan udzur maka tidak batal, jika tidak ada udzur maka batal. Ini pendapat Imam Abu Hanifah, Muhammad (bin Hasan), dan lainnya. Mereka mengatakan: “Jika Berdehem untuk mmebaguskan suara atau memperbaikinya, tidaklah batal.” Mereka mengatakan: “Sesungguhnya keperluan untuk itu banyak terjadi maka hal itu diberikan keringanan karena ada kebutuhan.” Pihak yang mengatakan batal mengatakan bahwa berdehem itu mengeluarkan dua huruf, itu juga bukan termasuk salah satu jenis dzikir dalam shalat, maka hal itu mirip dengan tertawa terbahak bahak.
(Majmu’ al Fatawa, 22/616)
Jika kita lihat literatur lain, kita dapatkan bahwa empat madzhab tidak mempermasalahkan jika berdehem terjadi karena udzur atau keperluan.
– Untuk Hanafi, lihat al Inayah Syarh al Hidayah (2/134), Imam Muhammad al Babartiy Rahimahullah:
فهو عفو أي معفو كالعطس والجشاء فإن ذلك لا يقطع الصلاة وإن حصل به حروف هجاء
Hal itu dimaafkan, yaitu dimaafkan sebagaimana bersin dan sendawa, hal itu tidaklah membatalkan shalat walau sampai menghasilkan huruf hijaiyah.
– Untuk Maliki, lihat adz Dzakhirah, 2/139-140, Imam al Qarafiy Rahimahullah:
إن كان لضرورة فغير مبطل و إن كان لغير ضوورة مبطل في إحد القولين
Jika berdehem itu ada sebab yg mengharuskannya maka tidak batal, tapi jika tidak ada maka batal menurut salah satu di antara dua pendapat.
– Untuk Syafi’i, lihat al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 4/80, Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:
وحيث أبطلنا بالتنحنح فهو إن كان مختارا بلا حاجة فإن كان مغلوبا لم تبطل قطعا ولو تعذرت قراءة الفاتحة إلا بالتنحنح فيتنحنح و لا يضره لأنه معذور
Berdehem yang batal bagi kami adalah jika dia bisa mengontrolnya dan tanpa keperluan. Sdgkan jika dia terdesak untuk melakukannya maka jelas itu tidak batal. Seandainya dengan berdehem itu dia bisa membaca Al Fatihah, maka berdehemlah dan itu tidak apa-apa karena dia ada udzur.
– Untuk Hambali, lihat Al Mughni, 2/40, Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:
فَأَمَّا النَّحْنَحَةُ، فَقَالَ أَصْحَابُنَا: إنْ بَانَ مِنْهَا حَرْفَانِ، بَطَلَتْ الصَّلَاةُ بِهَا كَالنَّفْخِ
Sahabat-sahabat kami (Hambaliyah) mengatakan bahwa berdehem jika jelas nampak dua huruf maka batal shalatnya, sama seperti meniup.
وَنَقَلَ الْمَرُّوذِيُّ قَالَ: كُنْت آتِي أَبَا عَبْدِ اللَّهِ فَيَتَنَحْنَحُ فِي صَلَاتِهِ، لِأَعْلَمَ أَنَّهُ يُصَلِّي. وَقَالَ مُهَنَّا: رَأَيْت أَبَا عَبْدِ اللَّهِ يَتَنَحْنَحُ فِي الصَّلَاةِ. قَالَ أَصْحَابُنَا: هَذَا مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَنْتَظِمُ حَرْفَيْنِ
Al Marudzi (Al Marwadzi) mengatakan: “Saya pernah mendatangi Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hambal), dia berdehem untuk memberitahu bahwa dia sedang shalat.” Muhanna mengatakan: “Aku pernah lihat Abu Abdillah berdehem saat shalat.” Sahabat kami (Hambaliyah) mengatakan: “Hal ini kemungkinan tidak sampai tersusun dua huruf.”
وَظَاهِرُ حَالِ أَحْمَدَ أَنَّهُ لَمْ يَعْتَبِرُ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ النَّحْنَحَةَ لَا تُسَمَّى كَلَامًا، وَتَدْعُو الْحَاجَةُ إلَيْهَا فِي الصَّلَاةِ
YANG BENAR, Imam Ahmad tidak pernah menjelaskan seperti itu. Karena berdehem tidaklah dinamakan bicara, dan itu terjadi karena ada keperluan saat shalat. (selesai)
Sementara Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah yang juga Hambali, cenderung mengatakan berdehem itu sama sekali tidak membatalkan shalat walau tidak dibutuhkan.
Setelah Beliau memaparkan tiga pendapat sebelumnya, Beliau berkata:
والقول الأول أصح . وذلك أن النبي صلى الله عليه وسلم إنما حرم التكلم في الصلاة وقال : ( إنه لا يصلح فيها شيء من كلام الآدميين ) وأمثال ذلك من الألفاظ ، التي تتناول الكلام . والنحنحة لا تدخل في مسمى الكلام أصلا ، فإنها لا تدل بنفسها ، ولا مع غيرها من الألفاظ على معنى ، ولا يسمى فاعلها متكلما ” انتهى
Pendapat pertama lebih benar. Sebab Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak pantas terjadi di dalam shalat adanya pembicaraan manusia”, contohnya adalah dengan banyak mengucapkan lafaz yang memunculkan pembicaraan. Sementara berdeham sama sekali bukan termasuk kategori bicara, baik dilihat dari sisi berdehem itu sendiri atau dari sisi pembicaraan, dan orang yang melakukannya tidak dikatakan orang yang sedang bicara.
(Majmu’ al Fatawa, 22/617)
Pendapat mayoritas ulama bahwa hal itu tidak batal jika ada sebab atau keperluan, dan batal jika tidak ada keperluan apalagi sampai berulang-ulang, adalah pendapat yang lebih hati-hati.
Demikian. Wallahu a’lam
🌳🌿🌸🌷🍃🍀🌻🍁
✍ Farid Nu’man Hasan