Memanfaatkan Barang Gadai

💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Dalam akad gadai (Ar Rahn), ada istilah-istilah yang mesti dipahami dulu.

Rahin yaitu orang yang menggadaikan barang, dan dia memperoleh “sesuatu” setelah dia menggadaikan barang tsb.

Murtahin yaitu pihak yg memberikan “sesuatu”, lalu dia yang memegang barang yang digadaikan.

Marhun yaitu barang yang digadaikan.

Permasalahan tentang apakah boleh murtahin memanfaatkan marhun (brg gadaian), sangat sering ditanyakan. Dalam hal ini para ulama merincinya menjadi dua bagian.

📌Pertama. Jika akadnya qardh (pinjaman). Misal, seorang minjam uang 1jt rupiah, dengan menggadaikan sebuah Hand Phone ke kawannya. Lalu, kawannya memakai HP tsb. Tau dia gadaikan laptop, lalu laptopnya dipakai si murtahin.

Ini haram menurut mayoritas ulama (bahkan Imam Ibnu Qudamah mengatakan tidak ada beda pendapat keharamannya), baik dia diizinkan atau tidak oleh pemiliknya, sebab saat dia memakainya maka dia mendapatkan riba. Sebab, dia dapat dua hal: piutang, yg akan dilunaskan untuknya, dan pemakaian tersebut yg merupakan ribanya.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

عقد الرهن عقد يقصد به الاستيثاق وضمان الدين وليس المقصود منه الاستثمار والربح، وما دام ذلك كذلك فإنه لا يحل للمرتهن أن ينتفع بالعين المرهونة، ولو أذن له الراهن، لانه قرض جر نفعا، وكل قرض جر نفعا فهو ربا

Akad gadai adalah akad yg dengannya bermaksud untuk menjaga dan menjamin hutang, bukan untuk mengambil keuntungan dan hasil, selama akadnya seperti itu maka dilarang si pemberi pinjaman memanfaatkan harta gadaian, walaun diizinkan oleh penggadai, karena itu menjadi pinjaman yang membuahkan untung, maka setiap untung didapatkan dari pinjaman maka itu riba.

(Fiqhus Sunnah, 3/156)

Syaikh Muhammad Shalih al Munajjid Rahimahullah mengatakan:

فإذا أذن الراهن للمرتهن بالانتفاع : فإن كان الدين دين قرض لم يجز للمرتهن الانتفاع بالرهن ، وإن أذن الراهن ؛ لأنه قرض جر نفعا فهو ربا

Jika pihak rahin mengizinkan murtahin memanfaatkannya, dan akadnya adalah hutang pinjaman maka tidak boleh bagi pihak murtahin memanfaatkannya walau itu diizinkan rahin. Sebab, pinjaman yang mendatangkan manfaatkan maka itu riba. (Al Islam Su’aalw a Jawaab no. 39734)

Imam al Baihaqi Rahimahullah -ulama hadits bermadzhab Syafi’i- mengatakan:

روينا عن فضالة بن عبيد ، أنه قال : كل قرض جر منفعة فهو وجه من وجوه الربا . وروينا عن ابن مسعود ، وابن عباس ، وعبد الله بن سلام ، وغيرهم في معناه ، وروي عن عمر ، وأبي بن كعب ، رضي الله عنهما

Kami meriwayatkan dari Fadhalah bin ‘Ubaid, bahwa dia berkata: “Setiap pinjaman yang memunculkan manfaat maka itu salah satu jenis dari berbagai jenis riba.” Kami meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abdullah bin Salam, dan selain mereka dengan makna yang sama. Diriwayatkan juga dari Umar dan Ubay bin Ka’ad Radhiallahu ‘Anhuma. (as Sunan ash Shaghir, no. 1971)

Sedangkan jika tidak diizinkan pemiliknya, maka lebih besar lagi dosanya. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS. An Nisa: 29)

Dalam hadits:

كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ : دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

Setiap muslim atas mulim lainnya adalah HARAM baik terhadap darahnya, hartanya, dan kehormatannya. (HR. Muslim no. 2564)

📌 Kedua. Jika akadnya jual beli. Misal, seorang beli motor, tapi uangnya kurang. Kekurangan itu akan di bayar misalnya selama 6 bulan secara cicil, selama cicilan tersebut si pembeli menggadaikan laptopnya ke penjual motor, lalu motor itu dipakai oleh penjual motor tsb.

Jenis ini dibolehkan, jika diizinkan oleh pemilik barang gadainya. Ini bukan riba. Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:

وَإِنْ كَانَ الرَّهْنُ بِثَمَنِ مَبِيعٍ , أَوْ أَجْرِ دَارٍ , أَوْ دَيْنٍ غَيْرِ الْقَرْضِ , فَأَذِنَ لَهُ الرَّاهِنُ فِي الِانْتِفَاعِ , جَازَ ذَلِكَ

Jika gadai itu untuk menjamin harga dari transaksi jual beli, atau onkos sewa rumah, atau hutang yang bukan akad pinjaman, lalu diizinkan oleh rahin (pemilik barang gadai) untuk memanfaatkannya, maka hal itu dibolehkan. (Al Mughni, 4/250)

Tertulis dalam Al Mudawanah:

قُلْتُ: أَرَأَيْتَ الْمُرْتَهِنَ، هَلْ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَشْتَرِطَ شَيْئًا مِنْ مَنْفَعَةِ الرَّهْنِ؟ قَالَ: إنْ كَانَ مِنْ بَيْعٍ فَذَلِكَ جَائِزٌ، وَإِنْ كَانَ الدَّيْنُ مِنْ قَرْضٍ فَلَا يَجُوزُ ذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ يَصِيرُ سَلَفًا جَرَّ مَنْفَعَةً. قُلْتُ: وَهَذَا قَوْلُ مَالِكٍ؟ قَالَ: نَعَمْ، إلَّا أَنَّ مَالِكًا قَالَ لِي: إذَا بَاعَهُ وَارْتَهَنَ رَهْنًا وَاشْتَرَطَ مَنْفَعَةَ الرَّهْنِ إلَى أَجَلٍ، قَالَ مَالِكٌ: لَا أَرَى بِهِ بَأْسًا فِي الدُّورِ وَالْأَرْضِينَ

Aku berkata: “Apa pendapat Anda tentang murtahin yang mensyaratkan akan memanfaatkan barang gadaian, apakah itu dibolehkan?” Beliau menjawab: “Jika itu berasal dari akad jual beli, maka boleh. Jika itu dari hutang pinjaman maka tidak boleh, sebab itu termasuk pinjaman yang mendatangkan manfaat (bagi yang memberikan pinjaman, riba). Aku berkata: “Apakah ini pendapat Malik?” Dia menjawab: “Ya, hanya saja Malik berkata kepadaku: “Jika seseorang menjual sesuatu dan ada yang digadaikan dan mensyaratkan memanfaatkan barang gadaian sampai batas waktu pembayaran, Malik berkata: “Menurutku tidak apa-apa baik dalam jual beli rumah dan tanah.” (Al Mudawanah, 4/149)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Geleng-Geleng Kepala Saat Berdzikir

💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalmualaikum ustdz.

Afwan mau tanya,,kalou dzikir la ilaha illalloh dengan menggeleng gelengkan kepala,,hukumnya apa?dan mohon penjelasannya ustadz,,🙏🙏 (Umar)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Ya, mungkin kita pernah lihat ada orang yang menggeleng2kan kepalanya saat berdzikir. Sebagian ada yang melakukannya secara spontanitas saja, seperti orang yang menggigil dan tidak bisa dihindari. Sebagian orang ada yang melakukan secara sengaja dan sadar untuk mencapai kekhusyu’an.

Secara khusus tidak ada dalil Al Quran dan As Sunnah tentang berdzikir dengan menggeleng2kan kepala. Oleh karenanya hal ini DIPERSELISIHKAN ULAMA.

📌 Pihak yang membolehkan

Mereka mengatakan hal itu boleh, JIKA ITU TIDAK DIANGGAP BAGIAN DARI DZIKIR, itu sebagai cara saja untuk lebih konsentrasi, maka tidak apa-apa bahkan dianjurkan.

Hal ini berdasarkan dalil umum, yaitu ayat berikut:

ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.

(QS. Ali ‘Imran, Ayat 191)

Imam Muhammad al Khalili asy Syafi’i Rahimahullah menjelaskan ayat di atas:

علمت أن الحركة في الذكر والقراءة ليست محرمة ولا مكروهة، بل هي مطلوبة في جملة أحوال الذاكرين من قيام وقعود وجنوب وحركة وسكون وسفر وحضرة وغنى وفقر

Aku mengetahui bahwa gerakan dalam berdzikir dan membaca Al Quran bukanlah suatu hal yang haram dan makruh, bahkan itu hal yang dituntut secara umum diberbagai kondisi orang yang berdzikir baik dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring, bergerak, diam, perjalanan, mukim, kaya, dan fakir.

(Fatawa al Khalili ‘alal Madzhab asy Syafi’i, jilid. 1, hal. 36)

Beliau juga berkata:

وأما الاهتزاز في حالة الذكر فمندوب إليه؛ لما روى الحافظ أبو نعيم أحمد بن عبد الله الأصفهاني بسنده عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه أنه وصف الصحابة يوما فقال: كانوا إذا ذكر الله مادوا كما تميد الشجر في اليوم الشديد الريح وجرت دموعهم على ثيابهم قال أهل اللغة: ماد يميد إذا تحرك، ومادت الأغصان تميد تمايلت. قال شيخنا العارف جمال الدين عبد الله بن حسام الدين خليل الاسترابادي البسطامي قدس الله تعالى روحه: وهذا صريح على أن الصحابة رضي الله عنهم كانوا يتحركون في الذكر حركة شديدة يمينا وشمالا؛ لأنه شبه حركتهم بحركة الشجر يوم الريح، ومن المعلوم أن الشجر في يوم الريح يتحرك حركة شديدة، فثبت مطلقا إباة الميلان بهذا الأثر على أن الرجل غير مؤاخذ بما يتحرك ويقعد ويقوم ويلبث على أي نوع كان لا يكون منهيا عنه، ولم يرد عنه صلى الله عليه وسلم نهي عن الحركة في الذكر، ولو كان فيها كراهة لبينها لأمته فيما ورد عنه

Ada pun menggoyangkan badan di saat dzikir adalah hal yang dianjurkan. Berdasarkan riwayat dari Abu Nu’aim Ahmad bin Abdillah al Ashfahani dengan sanadnya dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, bahwa suatu hari ia menceritakan keadaan sahabat nabi: “Para sahabat jika berdzikri kepada Allah bergerak-gerak sebagaimana bergerak-geraknya pohon di hari yang begitu kenang anginnya, air mata mereka mengalir sampai pakaian mereka. Ahli bahasa mengatakan “maada yamiidu artinya bergerak/mengayun.” Syaikh kami, al ‘Arif Jamaluddin Abdillah bin Husamuddin al Khalil -semoga Allah sucikan ruhnya- mengatakan: “Hal ini begitu jelas bahwa para sahabat nabi Radhiallahu ‘Anhum melakukan gerakan dalam berdzikir dengan gerakan yang kuat ke kiri dan kanan, karena gerakan mereka diserupakan dengan gerakan pohon di hari berangin kencang, maka gerakan ini telah kuat secara mutlak berdasarkan atsar bahwa seseorang yang bergerak-gerak dalam keadaan duduk dan berdiri dan gerakan apa pun tidaklah terlarang, dan tidak ada riwayat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang melarang gerakan saat berdzikir, seandainya hal itu dibenci niscaya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akan menjelaskannya kepada umatnya. (Ibid, jilid. 2, hal. 259)

Imam Fakhruddin ar Razi Rahimahullah mengatakan:

المؤمن إذا سمع ذكر الله اهتز ونشط

Orang beriman itu jika mendengar dzikrullah maka dia akan bergerak – gerak dan semangat. (Tafsir Ar Razi, jilid. 5, hal. 294)

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:

هذا إن جاء تلقائيًّا فهذا ما فيه بأس؛ لأن بعض الناس يستعين -مثلًا- بالهز على التلاوة. وإن جاء تعبديًّا فإنه لا يجوز، وهو بدعة، ومع ذلك نحن نحث الذين يهتزون تلقائيًّا أن يعودوا أنفسهم على ترك الهز؛ لأنه قد يقتدي بهم غيرهم، ويظن أن هذا أمر مشروع

Jika gerakan ini terjadi spontanitas maka TIDAK APA-APA, sebab sebagian manusia ada yang terbantu – misalnya- dalam membaca Al Quran dengan bergerak-gerak. Namun jika itu dianggap IBADAH maka tidak boleh, itu bid’ah. (Liqa Bab al Maftuh, 150/25)

📌 Pihak yang melarang

Mereka mengatakan menggerakkan badan saat dzikir adalah MENYERUPAI YAHUDI. Ini terlarang.

Sebagian ulama menyebutkan bahwa penamaan YAHUDI karena mereka suka bergerak-gerak (YATAHAWWADUUN) saat membaca Taurat.

وَقَالَ أَبُو عَمْرِو بْنُ الْعَلَاءِ: لِأَنَّهُمْ يَتَهَوَّدُونَ، أَيْ: يَتَحَرَّكُونَ عِنْدَ قِرَاءَةِ التَّوْرَاةِ

Abu Amr bin al ‘Ala mengatakan: “Karena mereka yatahawwaduun, yaitu bergerak-gerak saat membaca Taurat. (Tafsir Ibnu Katsir, jilid. 1, hal. 285)

Imam Ibnu Katsir, dalam tafsirnya terhadap ayat berikut:

۞وَإِذۡ نَتَقۡنَا ٱلۡجَبَلَ فَوۡقَهُمۡ كَأَنَّهُۥ ظُلَّةٞ وَظَنُّوٓاْ أَنَّهُۥ وَاقِعُۢ بِهِمۡ خُذُواْ مَآ ءَاتَيۡنَٰكُم بِقُوَّةٖ وَٱذۡكُرُواْ مَا فِيهِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

Dan (ingatlah) ketika Kami mengangkat gunung ke atas mereka, seakan-akan (gunung) itu naungan awan dan mereka yakin bahwa (gunung) itu akan jatuh menimpa mereka. (Dan Kami firmankan kepada mereka), “Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu, serta ingatlah selalu (amalkanlah) apa yang tersebut di dalamnya agar kamu menjadi orang-orang bertakwa.”

(QS. Al-A’raf, Ayat 171)

Beliau mengutip dari Abu Bakar bin Abdillah:

فَلَمَّا نَشَرَ الْأَلْوَاحَ فِيهَا كِتَابُ اللَّهِ كَتَبَهُ بِيَدِهِ، لَمْ يَبْقَ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ جَبَلٌ وَلَا شَجَرٌ وَلَا حَجَرٌ إِلَّا اهْتَزَّ، فَلَيْسَ الْيَوْمَ يَهُودِيٌّ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ صَغِيرٌ، وَلَا كَبِيرٌ، تُقْرَأُ عَلَيْهِ التَّوْرَاةُ إِلَّا اهْتَزَّ وَنَفَضَ لَهَا رَأْسَهُ. [أَيْ: حَرَّكَ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {فَسَيُنْغِضُونَ إِلَيْكَ رُءُوسَهُمْ} [الْإِسْرَاءِ:51] أَيْ يُحَرِّكُونَهَا]

Ketika Taurat sudah disebarkan, di dalamnya terdapat ketetapan Allah Dia tulis dengan tanganNya, maka membuat semua gunung, pohon, bebatuan bergetar. Maka, tidaklah Yahudi hari ini di semua permukaan bumi baik anak kecil dan dewasanya melainkan bergerak-gerak saat dibacakan Taurat kepada mereka, dan menggerak-gerakkan kepalanya, sebagaimana firman Allah: “mereka menggeleng-gelengkan kepalanya kepadamu.” (QS. Al Isra: 51).

(Ibid, jilid. 3, hal. 500)

Inilah pendapat dari Al Lajnah ad Daimah, Syaikh Bakr Abu Zaid, dan lainnya.

Silahkan ambil pendapat yang sekirannya lebih kuat dan jangan ingkari yang lainnya. Semoga kita bisa berlapang dada dalam perbedaan ini dan perbedaan fiqih lainnya.

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Wafat Belum Berbai’at Kepada Pemimpin Matinya Jahiliyah?

💢💢💢💢💢💢💢

📌 Sebagian orang ada yang memahami seperti ini, sehingga mereka menganggap kafir orang yang tidak berbai’at dengan pimpinan kelompok mereka.

📌 Mereka beralasan dengan hadits berikut:

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallalalhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa yang mati dan dilehernya tidak ada bai’at maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Muslim No. 1851)

📌 Maksud “jahiliyah” dalam hadits ini adalah BUKAN JAHILIYAH ORANGNYA seperti sangkaan mereka, tapi jahiliyah dalam arti seolah dia mati di zaman jahiliyah, zaman di mana tidak ada pemimpin. Begitulah penjelasan para ulama.

📌 Imam An Nawawi dalam Syarah-nya atas Shahih Muslim, tentang makna miitatan jahiliyah berikut:

هِيَ بِكَسْرِ الْمِيم ، أَيْ : عَلَى صِفَة مَوْتهمْ مِنْ حَيْثُ هُمْ فَوْضَى لَا إِمَام لَهُمْ

Dengan huruf mim dikasrahkan (jadi bacanya miitatan bukan maitatan), artinya kematian mereka disifati sebagaimana mereka dahulu tidak memiliki imam (pada masa jahiliyah).

(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 12/238)

📌 Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menjelaskan:

وَالْمُرَادُ بِالْمِيتَةِ الْجَاهِلِيَّةِ وَهِيَ بِكَسْرِ الْمِيمِ أَنْ يَكُونَ حَالُهُ فِي الْمَوْتِ كَمَوْتِ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ عَلَى ضَلَالٍ وَلَيْسَ لَهُ إمَامٌ مُطَاعٌ لِأَنَّهُمْ كَانُوا لَا يَعْرِفُونَ ذَلِكَ ، وَلَيْسَ الْمُرَادُ أَنْ يَمُوتَ كَافِرًا بَلْ يَمُوتَ عَاصِيًا

Dan yang dimaksud dengan miitatan jahiliyah dengan huruf mim yang dikasrahkan adalah dia mati dalam keadaan seperti matinya ahli jahiliyah yang tersesat di mana dia tidak memiliki imam yang ditaati karena mereka tidak mengenal hal itu, dan bukanlah yang dimaksud matinya kafir tetapi mati sebagai orang yang bermaksiat.

(Fathul Bari, 13/7)

📌 Imam Al Waqidi mencatat ada 7 orang sahabat nabi yang tidak memberikan bai’at pada Khalifah Ali Radhiallahu ‘Anhu yaitu: Sa’ad bin Abi Waqqash, AbdullaH bin Umar, Shuhaib bin Sinan, Zaid bin Tsabbit, Muhammad bin Maslamah, Salamah bin Aqwa’ dan Usamah bin Zaid Radhiallahu ‘Anhum. (Tarikh Ar Rusul, 4/429)

📌 Imam Ath Thabari menceritakan, bahwa Ali Radhiallah ‘Anhu berkata pada Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiallahu ‘Anhu: “Berbai’atlah Engkau!” Sa’ad menjawab: “Aku tidak akan berbai’at sebelum orang-orang semua berbai’at. Tapi demi Allah tidak ada persoalan apa-apa bagiku.” Mendengar itu Ali berkata: “Biarkanlah dia.”
Lalu Ali menemui Ibnu Umar dan berkata yang sama, maka jawab Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma: “Aku tidak akan berbai’at sebelum orang-orang semua berbai’at.” Jawab Ali: “Berilah aku jaminan.” Jawab Ibnu Umar : “Aku tidak punya orang yang mampu memberi jaminan.” Lalu Al Asytar berkata: “Biar kupenggal lehernya!” Jawab Ali : “Akulah jaminannya, biarkan dia.” (Imam Ibnu Hazm, Al Fashl fil Milal wal Ahwa’ An Nihal, 4/103)

📌 Penjelasan ulama dan kenyataan sejarah ini menunjukkan kelirunya pihak yang mengkafirkan orang yang tidak berbai’at kepada pemimpin.

📌 Zaman ini implementasi bai’at sudah terpenuhi dengan orang-orang yang memilihmya saat pemilihan, atau ketika seorang pemimpin sudah dilantik dan tidak ada yang menentangnya.

Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam.

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Salah Satu Tanda Taqwa: Menafkahi Keluarga

💢💢💢💢💢💢💢

📌 Allah ﷻ menceritakan salah satu ciri orang bertaqwa adalah dalam surat Al Baqarah, ayat 3

📌 Bunyinya:

وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ

dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka

📌 Salah satu makna ayat tersebut seperti penjelasan Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu :

نفقة الرجل على أهله

Nafkah seorang laki-laki (suami) kepada keluarganya

(Al Mawardi, An Nukat wa Al’ Uyun, jilid. 1, hal. 70)

📌 Imam Al Qurthubi Rahimahullah menjelaskan alasannya:

لأن ذلك أفضل النفقة

Karena nafkah kepada keluarga adalah sebaik-baiknya nafkah (infaq). (Al Jami’ Li Ahkamil Quran, Jilid. 1, hal. 155)

📌 Apa yang dikatakan oleh Imam Al Qurthubi Rahimahullah berdasarkan hadits berikut:

دينار أنفقته في سبيل الله ودينار أنفقته في رقبة ودينار تصدقت به على مسكين ودينار أنفقته على أهلك أعظمها أجرا الذي أنفقته على أهلك

Dinar yang kau infakkan fisabilillah, dinar yang kau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang kau pakai untuk bersedekah ke orang miskin, dan dinar yang kau nafkahkan untuk keluargamu, maka pahala yang paling besar adalah dinar yang kau nafkahkan untuk keluargamu.

(HR. Muslim No. 995)

📌 Maka – wahai para suami- jangan remehkan masalah nafkah (yang halal) kepada keluarga.

📌 Sebab, ini bukan hanya tuntutan fungsional di masyarakat sebagai suami, tapi juga menjadi tolok ukur ketaqwaan bagi Anda.

Wallahu A’lam.

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top