Tanya Jawab Ringkas Fiqih Seputar Corona

💢💢💢💢💢💢

(Dikumpulkan dari beberapa grup tanya jawab)

1. Apakah kondisi saat ini sudah layak Qunut Nazilah

Jawab:

Menurut Syafi’iyyah dan sebagian Malikiyah, Qunut nazilah itu dilaksanakan jika kaum muslimin mendapatkan musibah berupa; wabah penyakit, kekeringan, hujan besar yang membawa malapetaka, kondisi ketakutan oleh musuh, dan tertawannya. para ulama. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 66/34)

Ini juga pendapat Hanafiyah, sedangkan bagi Hambaliyah, Musibah yang layak dilakukan Qunut Nazilah adalah hanya krn bencana terbunuhnya kaum muslimin. Sebab inilah yang ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Bagi mereka tidak disyariatkan adanya qunut nazilah karena wabah tha’un. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 3038)

Dengan kata lain, mayoritas ulama mengatakan disyariatkannya qunut nazilah di saat musibah wabah penyakit atas kaum muslimin.

Wallahu A’lam

2. Qunut nazilah apakah di semua shalat?

Jawab:

Ya, begitulah sunnahnya, sebagaimana hadits Abu Daud dari Ibnu Abbas dgn sanad hasan, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam qunut nazilah di subuh, zuhur, ashar, maghrib, dan isya, di rakaat terakhir, selama satu bulan. Disebabkan terbunuhnya 70 sahabatnya yang ahli Al Quran. Inilah pendapat Syafi’iyyah, juga Hambaliyah, hanya saja Hambaliyah mengatakan tidak boleh qunut nazilah pada Shalat Jumat.

Hanafiyah mengatakan hanya pada shalat-shalat jahriyah.

Malikiyah mengatakan hanya pada shalat subuh, selainnya tidak disyariatkan qunut nazilah, tapi jika dilakukan juga shalatnya tetap sah.

Demikian. Wallahu A’lam

3. Qunut Nazilah katanya hak Ulil Amri disebuah negeri, jika tidak ada anjuran dari Ulil Amri maka tidak boleh.

Jawab:

Itu adalah pendapat Hambaliyah, yaitu qunut nazilah mesti atas instruksi Imamul A’zham (khalifah). Bukan inisiatif masing-masing pihak, ulama, atau pribadi. Artinya jika pemimpin tidak ada instruksi atau tidak ada izin, maka tidak boleh. Hal ini juga difatwakan oleh ulama Hambaliyah zaman ini yaitu Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin. (Liqo Bab al Maftuh, 17/226)

Tapi umumnya ulama mengatakan boleh tanpa harus instruksi atau izin pemimpin. Sebab tidak ada dalilnya pengkhususan bahwa ini spesial perintah atau harus seizin pemimpin. Bahkan dalam Shahihain, Abu Hurairah pernah berqunut diwaktu zuhur, Isya, dan subuh. Dan Abu Hurairah bukanlah seorang Khalifah. Berdoa adalah ibadah, dan tidak dibenarkan memberikan syarat pada ibadah tanpa dasar. Apalagi berdoa untuk melawan kezaliman, tidak dibenarkan pemerintah melarang doa orang yang yang sedang dizalimi.

Wallahu A’lam

4. Tidak shalat berjamaah dan Jumat ke masjid karena takut penyakit yg sedang mewabah

Jawab:

Jika memang keadaannya sudah seperti itu. Maka rasa takut thdp tertularnya penyakit adalah salah satu uzur boleh tidak shalat berjamaah, juga shalat jumat. (Lihat Imam Al Buhuti, dalam Raudhul Murbi’, Hal. 139-140. Juga Imam Al Mardawi, dalam Al Inshaf, 2/300)

Sementara, Imam Abu Bakar Syatha mengatakan uzur yg membuat boleh tidak datang shalat Jumat itu sama seperti uzurnya shalat Jamaah. (I’anatuth Thalibin, 2/52)

Ini bukan karena meremehkan shalat berjamaah tapi ini menyelamatkan nyawa seorang muslim. Bahkan dalam rangka itu, Imam Zakariya al Anshari mengatakan bahwa para fuqaha melarang orang yang kena kusta dan lepra untuk berjamaah di masjid dan berkumpul dgn manusia. (Asnal Mathalib, 1/215)

Bagi yang justru heran dengan pendapat ini, berarti mereka tidak paham tabi’at agama ini dalam melindungi umatnya.

Tapi, bagi daerah yang situasinya masih bs dikendalikan, tentu belum tepat memfatwakan tinggalkan shalat Jumat dan berjamaah sementara waktu. Lebih tepat adalah tetap berjamaah dan shalat Jumat, tetap waspada, hati-hati, dan tawakkal kepada Allah Ta’ala.

Demikian. Wallahu a’lam

5. Ada video dari luar negeri, shalat berjamaah mereka sangat renggang shafnya, sampai berjauhan satu meter lebih antara mereka. Apakah ini dibenarkan?

Jawab:

Imam Badruddin al Aini dalam ‘Umdatul Qari, (8/455), menyatakan bahwa merapatkan shaf menurut mayoritas ulama adalah sunnah, kecuali Hambaliyah yg mengatakan wajib, juga Imam Bukhari.

Sementara Imam an Nawawi mengatakan ijma’, bahwa merapatkan shaf itu sunnah. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/384)

Sehingga jika barisan renggang, shalatnya tetap sah, tapi mrka meninggalkan sunnah. Sehingga hilang kesempurnaan shalat. Ini jika dalam keadaan normal.

Tapi, jika dalam keadaan seperti saat ini, dimana berdekatan dapat menjadi sebab tertular penyakit, dan saat ini corona terbukti sangat cepat penularannya, maka merenggang adalah hal yg tidak apa-apa.

Sebagaimana kaidah:

الضرر يزال

Bahaya itu mesti dihilangkan

Bahkan apa yang mereka lakukan masih lebih baik dibanding mengosongkan masjid dari shalat berjamaah.

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🍀🌳🌸🌷🍁🌻🍃

✍ Farid Nu’man Hasan

Solusi Lain dari “Peniadaan Shalat Jumat”

💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Beberapa hari lalu, beberapa negeri muslim memfatwakan agar tidak shalat Jumat tapi diganti dengan zhuhur di rumah. Di antara sebab munculnya fatwa dibeberapa negeri timur tengah agar kaum laki-laki tidak mengadakan shalat Jumat, cukup shalat zhuhur saja di rumah, adalah alasan menghindari kerumunan atau konsentrasi massa. Yang sangat mungkin satu di antara ratusan atau ribuan manusia yang hadir ada yang terjangkit virus berbahaya yang saat ini sedang mewabah di banyak negara.

Sebenarnya, dalam kondisi yang tidak normal seperti ini, ada solusi yang masih bisa dicoba agar shalat Jumat tetap ada, tapi tidak ada kerumunan massa. Ini bisa dilakukan tanpa melibatkan banyak orang, yaitu dengan menilik pendapat sebagian imam yang membolehkan shalat Jumat hanya dengan dua jamaah atau lebih. Dalam kondisi normal pendapat ini tidak dipakai diumumnya negeri muslim, bahkan terkesan aneh. Tapi, dalam kondisi seperti ini, bisa jadi pendapat ini menjadi salah satu tawaran solusi.

Dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

اثْنَانِ فَمَا فَوْقَهُمَا جَمَاعَةٌ

“Dua orang atau lebih adalah jamaah.”

(HR. Ibnu Majah, No. 972.   Al Hakim, Al Mustadrak ‘alash Shahihain, No. 7957. Al Haitsami mengatakan: “Di dalamnya ada Muslimah bin Ali seorang yang dhaif.” Majma’ Az Zawaid, 2/45)

Imam Bukhari telah menjadikan teks hadits ini menjadi judul salah satu Bab dalam kitab Shahih-nya, yakni Bab ke-7 dari Kitabul Jamaah wal Imamah yakni Bab: Itsnan famaa fauqahumaa Al Jama’ah (Dua orang dan lebih adalah jamaah).

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

والرأي الراجح أنها تصح باثنين فأكثر

“Dan pendapat yang kuat adalah shalat Jumat tetap sah dengan DUA orang atau lebih.”

(Fiqhus Sunnah, 1/305)

Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:

وَقَدْ انْعَقَدَتْ سَائِر الصَّلَوَات بِهِمَا بِالْإِجْمَاعِ ، وَالْجُمُعَة صَلَاة فَلَا تَخْتَصّ بِحُكْمٍ يُخَالِف غَيْرهَا إلَّا بِدَلِيلٍ ، وَلَا دَلِيل عَلَى اعْتِبَار عَدَد فِيهَا زَائِد عَلَى الْمُعْتَبَر فِي غَيْرهَا

“Menurut ijma’ (kesepakatan), semua shalat sudah disebut berjamaah walau pun DUA ORANG, dan SHALAT JUMAT JUGA DEMIKIAN, tidak ada kekhususan hukum baginya yang berbeda dengan shalat lainnya, kecuali dengan dalil. Dan tidak dalil yang menunjukkan bahwa jumlah jamaah shalat Jumat mesti lebih dari shalat selainnya.”

(Nailul Authar, 5 289)

Hal ini perkuat oleh penelitian sebagian ulama bahwa tidak ada ketentuan baku yang menjadi standar jumlah minimal jamaah shalat Jumat.

Imam Asy Syaukani mengatakan pula:

وقد قال عبد الحق: إنه لا يثبت في عدد الجمعة حديث، وكذلك قال السيوطي: لم يثبت في شئ من الاحاديث تعيين عدد مخصوص

Abdul Haq telah berkata: “Tidak ada hadits  yang  shahih tentang jumlah jamaah shalat Jumat.” Begitu pula kata Imam As Suyuthi: “Tidak ada satu pun yang shahih dari hadits-hadits yang mengkhususkan jumlah tertentu.”

(Ibid, 5/289)

Adapun Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menyebutkan dalam masalah Jumlah minimal ini ada 15 pendapat ulama. Artinya, ada ruang untuk merealisasikan pendapat yang paling mungkin dilaksanakan dalam kondisi tertentu. Ini bisa dipraktekkan, yaitu mengambil pendapat ulama yang tidak biasa, karena kondisi mengharuskan seperti itu.

Lalu, di mana dilaksanakannya? Tentu di masjid lebih utama, dan tidak akan ada kerumunan jika berdua atau lebih sedikit. Tapi, bagaimana jamaah lainnya? Sebab jumlah masjid dengan jumlah manusia jauh lebih banyak manusianya, apakah boleh dilakukan di selain masjid? Apakah di halaman depan rumah, teras rumah, taman, aula, dll. Menurut mayoritas ulama, shalat Jumat tidak disyaratkan harus di masjid.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:

لا يشترط للجمعة أن تقام بمسجد أو جامع ، عند جمهور الفقهاء من الحنفية والشافعية والحنابلة ، خلافا للمالكية

Tidak disyaratkan untuk shalat Jumat itu dilakukan di masjid atau masjid jami’, menurut mayoritas ahli fiqih baik Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah, kecuali Malikiyah.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 153872)

Inilah sisi atau sudut pandang yang berbeda, yang mungkin bisa jadi sumbangsih pemikiran dan solusi. Walau nampak aneh tapi ini ada dalam khazanah fiqih para ulama Islam.

Imam As Subki Rahimahullah menasehati dengan tajam:

وَكَذَلِكَ لَا يهون الْفَقِيه أَمر مَا نحكيه من غرائب الْوُجُوه وشواذ الْأَقْوَال وعجائب الْخلاف قَائِلا حسب الْمَرْء مَا عَلَيْهِ الْفتيا فَليعلم أَن هَذَا هُوَ المضيع للفقيه أَعنِي الِاقْتِصَار عَلَى مَا عَلَيْهِ الْفتيا فَإِن الْمَرْء إِذا لم يعرف علم الْخلاف والمأخذ لَا يكون فَقِيها إِلَى أَن يلج الْجمل فِي سم الْخياط

Demikian juga, seorang Faqih (ahli fiqih) janganlah meremehkan persoalan yang termasuk dalam pendapat-pendapat asing, perkataan yang janggal, dan perselisihan dalam perkara yg aneh-aneh. Lalu dia berkata: “Cukuplah bagi seseorang mencari pendapat yang bisa difatwakan saja”.

Maka hendaknya diketahui, faqih yang semodel ini adalah seorang menyia-nyiakan, yaitu sikapnya yang membatasi diri hanya berkutat pada pandangan yang difatwakan saja.

Sesungguhnya, seseorang jika tidak mengetahui ilmu yang diperselisihkan para ulama dan sumber pengambilannya, maka dia tidak akan pernah menjadi seorang ahli fiqih sampai unta masuk lubang jarum sekali pun.

(Thabaqat Asy Syafi’iyah Al Kubra, 1/319)

Wallahu a’lam Walillahil ‘Izzah

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Men-Sholati Jenazah Virus Menular

💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Jika seseorang wafat disebabkan penyakit menular, yang penularannya begitu ganas dan cepat, baik melalui sentuhan, udara, air (liur, bersin), dan lainnya,.. Maka bagaimanakah penanganan jenazahnya? Apakah mesti dimandikan juga dan dikafankan secara normal? Di mana hal itu sangat beresiko tertular bagi orang yang memandikannya atau bagi orang yang mengkafaninya.

Maka, dalam kondisi ini bisa dilakukan beberapa pilihan.

Pertama. Tetap dimandikan dan dikafankan secara wajar, dengan syarat petugasnya memakai pakaian khusus secara lengkap (seperti pakaian astronot), berkualitas, yang dapat menghindarinya kontak secara langsung dengan jenazah.

Kedua. Jika cara pertama tidak mungkin dilakukan, karena tidak tersedianya pakaian khusus yang dimaksud di sebuah tempat. Juga sangat sulit untuk memperolehnya atau begitu lama, sementara jenazah harus cepat ditangani agar tidak menimbulkan bahaya kepada seisi rumah atau sekitarnya, maka dalam keadaan seperti itu sangat mungkin kita memakai pendapat marjuh (lemah) yang dalam keadaan normal pendapat ini tidaklah terpakai, yaitu bahwa memandikan mayat dan mengkafaninya adalah sunnah muakkadah, bukan kewajiban, yaitu pendapat sebagian Malikiyah yang mengatakan sunnah kifayah.

Kata Imam Ibnu Rusyd Rahimahullah:

فإنه قيل فيه إنه فرض على الكفاية. وقيل سنة على الكفاية. والقولان كلاهما في المذهب
والسبب في ذلك: أنه نقل بالعمل لا بالقول، والعمل ليس له صيغة تفهم الوجوب

Dikatakan bahwa memandikan mayat itu fardhu kifayah. Dikatakan pula sunnah kifayah. Dua pendapat ini ada dalam pendapat madzhab (Maliki).

Hal ini disebabkan ttg memandikan mayat itu diriwayatkan melalui perkataan dan perbuatan (Rasulullah), dan dr perbuatan itu tidak ada bentuk kata yang bisa dipahami bahwa itu kewajiban. (Bidayatul Mujtahid)

Kalangan Malikiyah yg bilang Sunnah adalah:
Ibnu Abi Zaid, Ibnu Yunus, Ibnul Jallab, dan ditenarkan oleh Ibnu Bazizah.

(Lihat Hasyiyah ad Dasuqi, 4/94, Hasyiyah al ‘Adawi’ ala Kifayah ath Thalib, 7/425)

Hal ini dipertimbangkan oleh beberapa kaidah:

الضرر يزال

Bahaya itu mesti dihilangkan

لا ضرر ولا ضرار

Jangan membahayakan/merusak dan jangan terjerumus dalam bahaya/kerusakan.

Demikian. Wallahu A’lam

🌺🌿🌷🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Isu Kepemimpinan, Salah Bicara Bisa Tergelincir

💢💢💢💢💢💢

Imam Asy Syahrustani Rahimahullah mengatakan:

إعلم أن الإمامة ليست من أصول الإعتقاد بحيث يفضي النظر فيها إلي قطع و يقين بالتعين و الخطر على من يخطي فيها يزيد على الخطر على من يجهل أصلها والتعسف الصادر عن الأهواء المضلة مانع من الإنصاف فيها

Ketahuilah, masalah kepemimpinan itu bukanlah kategori aqidah yang pokok, yang dengan mengkajinya memunculkan ilmu yang pasti dan meyakinkan. Justru bahaya yang muncul ketika salah dalam membahasnya lebih parah dibanding orang yang tidak tahu sama sekali masalah ini. Kengawuran yang lahir karena hawa nafsu yang menyesatkan dapat menghalangi dari sikap objektif dalam mengkajinya.

(Nihayatul Iqdam fil ‘Ilmi Kalam, Hal. 168)

Imam Al Ghazali Rahimahullah mengatakan:

النظر في الإمامة أيضا ليس من المهمات وليس أيضا من فن المعقولات فيها من الفقهيات ثم إنها مثار للتعصبات والمعرض عن الخوض فيها أسلم من الخائض بل وإن أصاب فكيف إذا أخطأ؟

Kajian tentang kepemimpinan bukanlah termasuk aqidah, dan bukan pula tema ma’qulat (domain akal). Tepatnya ia adalah masuk pembahasan fiqih. Kemudian, masalah ini dapat menimbulkan fanatisme. Orang yang menjauh dari membahasnya lebih selamat dari orang yang membahasnya walau pembahasannya benar. Maka, apalagi jika dia salah?

(Imam Al Ghazali, Al Iqtishad fil I’tiqad, Hal. 127)

Namun, demikian kepemimpinan adalah hal penting dalam kehidupan masyarakat. Khususnya sebagai pelindung mereka dari kemungkaran.

Khalifah ‘Utsman Radhiallahu ‘Anhu berkata:

إنَّ اللَّهَ لَيَزَعُ بِالسُّلْطَانِ مَا لَا يَزَعُ بِالْقُرْآنِ

Sesungguhnya, Allah akan benar-benar menghilangkan kemungkaran melalui tangan penguasa, di mana kemungkaran itu tidak bisa dihilangkan oleh Al Quran.

(Imam Ibnu Taimiyah, Al Hisbah, Hal. 326)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, beliau berkata:

يجب أن يعرف أن ولاية أمر الناس من أعظم واجبات الدين بل لا قيام للدين ولا للدنيا إلا بها . فإن بني آدم لا تتم مصلحتهم إلا بالاجتماع لحاجة بعضهم إلى بعض ، ولا بد لهم عند الاجتماع من رأس حتى قال النبي صلى الله عليه وسلم : « إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمّروا أحدهم » . رواه أبو داود ، من حديث أبي سعيد ، وأبي هريرة

“Wajib diketahui, bahwa kekuasaan kepemimpinan yang mengurus urusan manusia termasuk kewajiban agama yang paling besar, bahkan agama dan dunia tidaklah tegak kecuali dengannya. Segala kemaslahatan manusia tidaklah sempurna kecuali dengan memadukan antara keduanya (agama dan kekuasaan), di mana satu sama lain saling menguatkan. Dalam perkumpulan seperti inilah diwajibkan adanya kepemimpinan, sampai-sampai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “Jika tiga orang keluar bepergian maka hendaknya salah seorang mereka menjadi pemimpinnya.” Diriwayatkan Abu Daud dari Abu Said dan Abu Hurairah.

(Imam Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyyah, Hal. 169)

Demikian. Wallahu a’lam

🍀🌸🍁🌻🍃🌿🌷

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top