Apakah Nabi Khidir Berdosa Karena Telah Membunuh Seorang Anak?

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu ‘alaykum ustadz…
Mohon penjelasannya tentang kisah Nabi Khidir yang di dalamnya diceritakan bahwa Nabi Khidir membunuh seorang pemuda dengan alasan pemuda tersebut kafir dan dikhawatirkan akan membahayakan orang tuanya yang mukmin.
Pertanyaannya: apakah Nabi Khidir berdosa karena membunuh seorang manusia tanpa alasan..?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Apa yang dilakukan Nabi Khidhir ‘Alaihissalam tentu tidak berdosa, sebab itu sejalan dengan syariat Allah atasnya. Tiap nabi ada syariat dan minhajnya masing2, Allah Ta’ala berfirman:

لِكُلّٖ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةٗ وَمِنۡهَاجٗاۚ

Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.

(QS. Al-Ma’idah, Ayat 48)

Nabi Khidhir sendiri sudah menjelaskan alasannya:

وَأَمَّا ٱلۡغُلَٰمُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤۡمِنَيۡنِ فَخَشِينَآ أَن يُرۡهِقَهُمَا طُغۡيَٰنٗا وَكُفۡرٗا

Dan adapun anak muda (kafir) itu, kedua orang tuanya mukmin, dan kami khawatir kalau dia akan memaksa kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran.

(QS. Al-Kahfi, Ayat 80)

Apa yang dilakukan oleh Nabi Khidhir ‘Alaihissalam adalah sesuai dengan syariat yang berlaku untuknya dan tidak berlaku bagi Nabi Musa’ Alaihissalam, dan Nabi kita, Muhammad ﷺ.

Oleh karena itu, cara pandangnya jgn pakai cara pandang syariat zaman kita, tentu tidak pas. Masing-masing nabi ada syariatnya sendiri, yang sama adalah hal-hal pokok tentang keesaan Allah Ta’ala.

Syaikh Abdullah al Faqih Hafizhahullah mengatakan:

فإن شريعة الخضر -عليه السلام- تختلف عن شريعتنا، وتختلف عن شريعة موسى-عليه السلام- الذي أرسله الله إليه ليتعلم منه، ولذلك أنكر عليه موسى خرقه للسفينة وقتله للغلام – مع أنه اتفق معه في بداية لقائهما على ألا يسأله عن شيء حتى يكون الخضر هو الذي يخبره به- فقال له في الأولى: لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا إِمْرًا {الكهف:71}، وفي الثانية: لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُكْرًا {الكهف:74}.

وفساد الابن وصلاح الأبوين ليس سببا للقتل في شريعتنا ولا في شريعة موسى، وإنما كان ذلك في شريعة الخضر، وبأمر من الله تعالى، وخشية أن يحملهما حب الولد على أن يتابعاه على دينه وهو الكفر، فأبدلهما الله تعالى خيرا منه

Sesungguhnya syariat Khidhir ‘Alaihissalam berbeda dengan syariat kita, dan berbeda pula dgn syariat Musa ‘Alaihissalam yang diutus kepada Khidhir agar Musa bisa belajar darinya.

Itulah kenapa Musa ‘Alaihissalam mengingkari penenggelaman perahu dan pembunuhan thdp bocah laki-laki tsb. Bersamaan dengan itu, waktu awal perjumpaan mereka sepakat agar Musa ‘Alaihissalam tidak menanyakan apa yang diperbuat Khidhir, sampai Khidhir sendiri yang menjelaskan kepadanya. Pada awalnya Musa ‘Alaihissalam berkata:

لَقَدۡ جِئۡتَ شَيۡـًٔا إِمۡرٗا

Sungguh, engkau telah berbuat suatu kesalahan yang besar.

(QS. Al-Kahfi, Ayat 71)

Keduanya dia berkata:

لَّقَدۡ جِئۡتَ شَيۡـٔٗا نُّكۡرٗا

Sungguh, engkau telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar.”

(QS. Al-Kahfi, Ayat 74)

Jahatnya si anak dan shalihnya kedua orang tua, bukanlah alasan untuk membunuh anak itu menurut aturan syariat kita, atau syariat Musa. Tapi, itu adalah aturan dalam syariat Khidhir dan perintah Allah Ta’ala. Khawatir cinta keduanya kepada anak itu membawanya mengikuti agama anaknya yg kafir, maka Allah pun menggantinya dgn yang lebih baik (yaitu dgn membunuh anaknya).

(Fatawa asy Syabakah al Islamiyah no. 175641)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Rambu-Rambu Membuat Peta Dakwah

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum… Ustadz… bagaimana cara membuat peta Dakwah sebuah daerah…apa saja komponen nya?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Ada beberapa hal yg perlu diketahui pada sebuah daerah..

1. Kebiasaan fiqih yang digunakan

Perhatikan nasihat Imam Al Qarafi Rahimahullah ketika berkata:

فمهما تجدد في العرف اعتبره ومهما سقط أسقطه ولا تجمد على المسطور في الكتب طول عمرك بل إذا جاءك رجل من غير أهل إقليمك يستفتيك لا تجره على عرف بلدك واسأله عن عرف بلده وأجره عليه وأفته به دون عرف بلدك ودون المقرر في كتبك فهذا هو الحق الواضح والجمود على المنقولات أبدا ضلال في الدين وجهل بمقاصد علماء المسلمين والسلف الماضين

“Bagaimanapun yang baru dari adat istiadat perhatikanlah, dan yang sudah tidak berlaku lagi tinggalkanlah. Jangan kamu bersikap tekstual kaku pada tulisan di kitab saja sepanjang hayatmu.

Jika datang kepadamu seorang dari luar daerahmu untuk meminta fatwa kepadamu, janganlah kamu memberikan hukum kepadanya berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku di daerahmu, tanyailah dia tentang adat kebiasaan yang terjadi di daerahnya dan hargailah itu serta berfatwalah menurut itu, bukan berdasarkan adat kebiasaan di daerahmu dan yang tertulis dalam kitabmu. Itulah sikap yang benar dan jelas.

Sedangkan sikap selalu statis pada teks adalah suatu KESESATAN dalam agama dan KEBODOHAN tentang tujuan para ulama Islam dan generasi salaf pendahulu.” (Imam Al Qarrafi, Al Furuq, 1/1776-177)

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah, membuat pasal dalam kitabnya I’lamul Muwaqi’in, berbunyi:

في تغير الفتوى واختلافها يحسب تغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والنيات والعوائد

“Pasal tentang perubahan fatwa dan perbedaannya yang disebabkan perubahan zaman, tempat, kondisi, niat, dan tradisi.”

Lalu Beliau berkata:

هذا فصل عظيم النفع جدا وقع بسبب الجهل به غلط عظيم على الشريعة أوجب من الحرج والمشقة وتكليف ما لا سبيل إليه ….

Ini adalah pasal yang sangat besar manfaatnya, yang jika bodoh terhadal pasal ini maka akan terjadi kesalahan besar dalam syariat, mewajibkan sesuatu yang sulit dan berat, serta membebankan apa-apa yang tidak pantas dibebankan … ” (I’lamul Muwaqi’in, 3/3)

2. Kenali tokoh-tokoh di daerah tsb.

Baik tokoh agama (ulama dan da’i setempat), tokoh masyarakat, dan tokoh pemerintahan. Agar kita pandai menempatkan diri dan menempatkan mereka.

Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:

أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أَنْ نُنْزِلَ الناسَ منازِلَهم

Kami diperintahkan Rasulullah ﷺ untuk menempatkan manusia sesuai dengan posisi mereka.

(HR. Muslim, secara mu’allaq)

3. Memahami penyakit sosial yang paling umum

Apakah judi, pergaulan bebas, sabung ayam, angka perceraian, khamr, lokalisasi, masjid sepi, kenakalan remaja, kesyirikan ..? Mengenali ini dalam rangka menyusun prioritas dakwah, apa dulu yang mesti benahi..

4. Pelajari bahasa dan budayanya

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha:

أنَّها زَفَّتِ امْرَأَةً إلى رَجُلٍ مِنَ الأنْصارِ، فقالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: يا عائِشَةُ، ما كانَ معكُمْ لَهْوٌ؟ فإنَّ الأنْصارَ يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ

Bahwa dia (Aisyah) menyerahkan seorang wanita untuk nikah dengan laki-laki Anshar (Madinah), maka Nabi ﷺ bersabda: “Wahai Aisyah, kenapa tidak ada hiburan? Karena orang-orang Anshar itu suka hiburan.”

(HR. Bukhari no. 5162)

Dalam kisah ini terjadi pernikahan antara wanita muhajirin dengan laki-laki Anshar (Madinah). Hadits ini menunjukkan pengetahuan dan rasa hormat Rasulullah ﷺ selaku tamu (orang Mekkah) terhadap tradisi orang Madinah yaitu al Lahwu: hiburan.

Memahami bahasa bukan hanya bisa berkomunikasi, tapi juga paham budaya bahasa, idiom, dll.

5. Kenali dan jalin hubungan dengan organisasi Islam yang ada dan paling dominan di situ

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Bolehkah Menjamak Shalat Karena Hujan di Rumah?

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Boleh kah menjamah sholah di rumh saat hujan deras

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim…

Menjamak Shalat Karena Hujan

Boleh menjamak shalat karena hujan, dan itu merupakan pendapat mayoritas ulama:

– Malikiyah. (Mawahib al Jalil, 2/514, Syarh Mukhtashar Al Khalil, 2/70).

Dalam standar madzhab Maliki, Hujannya adalah hujan yang lebat (ghaziran), dan jika kita keluar mesti pakai penutup kepala (payung) dan tanah pun berlumpur menghalangi jalan.

– Syafi’iyah (Al Hawi Al Kabir, 2/398, Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 4/381-382)

Bagi Syafi’iyah sama saja hujan besar atau kecil, asalkan sudah membuat pakaian basah. Mereka mensyaratkan, jika hujannya turun di waktu awal, maka jamaknya di taqdim.

– Hambaliyah (Al Mughni, 2/202, Al Iqna’, 1/184)

Standarnya adalah jika hujan tsb membuat sulit keluar rumah, atau membuay kuyup pakaian. Hujan kecil tidak boleh jamak.

Menurut Imam Ibnu Qudamah, kebolehan jamak krn hujan adalah ijma’ (Al Mughni, 2/202)

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

روى الاثرم في سننه عن أبي سلمة ابن عبد الرحمن أنه قال: من السنة إذا كان يوم مطير أن يجمع بين المغرب والعشاء. وروى البخاري أن النبي صلى الله عليه وسلم جمع بين المغرب والعشاء في ليلة مطيرة

“Al Atsram meriwayatkan dalam Sunan-nya, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, bahwa dia berkata: “Termasuk sunah jika turun hujan menjamak antara Maghrib dan Isya’.” Bukhari telah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjamak antara maghrib dan isya’ pada malam hujan.” (Fiqhus Sunnah , 1/290)

Menjamak Shalat Karena Hujan di Rumah

Ada dua pendapat:

PENDAPAT PERTAMA. Boleh di rumah, sebab kebolehannya mutlaq, selama memang hujan itu terjadi dan tetap adanya masyaqqat (kesulitan) atau tidak.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

يجوز الجمع مطلقاً سواء وُجدت المشقة ، أم لم تُوجد ، وسواء كان ذلك في المسجد أم في البيت ، وهو المذهب عند الحنابلة

Boleh secara muthlaq menjamak (saat hujan), sama saja apakah ditemui adanya kesulitan atau tidak, apakah di masjid atau di rumah, dan ini merupakan pendapat Hanabilah (Hambaliyah).

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 146853)

Imam Al Mardawi Rahimahullah -salah satu ulama Hambaliy- mengatakan:

يجوز ، وهو المذهب

Boleh (di rumah), dan inilah pendapat resmi madzhab. (Al Inshaf, 2/340)

Dalam Al Mausu’ah disebutkan:

والأرجح عند الحنابلة : أن الرخصة عامة ، فلا فرق بين من يصلي جماعة في مسجد ، وبين غيره ممن يصلي في غير مسجد أو منفردا ; لأنه قد روي : ( أن النبي صلى الله عليه وسلم جمع في المطر وليس بين حجرته والمسجد شيء ) ، ولأن العذر إذا وجد استوى فيه وجود المشقة وغيره “

Pendapat yang lebih unggul bagi Hanabilah adalah keringanan ini berlaku umum, tidak ada perbedaan antara mereka yg shalat berjamaah di masjid atau mereka yang bukan di masjid atau shalat sendiri. Hal ini sesuai riwayat bahwasannya Nabi ﷺ menjamak saat hujan dan antara kamarnya dan masjid tidak ada apa-apa yang menjadi penghalangnya.

Karena, yang namanya uzur itu jika sudah didapatkan, maka sama saja apakah di dalamnya ada kesulitan atau tidak.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 15/292)

PENDAPAT KEDUA. Tidak boleh di rumah, mesti di masjid.

Imam Asy Syafi’iy Rahimahullah menjelaskan:

وَيَجْمَعُ مِنْ قَلِيلِ الْمَطَرِ وَكَثِيرِهِ ، وَلَا يَجْمَعُ إلَّا مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ إلَى مَسْجِدٍ يَجْمَعُ فِيهِ , قَرُبَ الْمَسْجِدُ , أَوْ كَثُرَ أَهْلُهُ , أَوْ قَلُّوا , أَوْ بَعُدُوا ، وَلَا يَجْمَعُ أَحَدٌ فِي بَيْتِهِ ; لِأَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم جَمَعَ فِي الْمَسْجِدِ ، وَالْمُصَلِّي فِي بَيْتِهِ مُخَالِفُ الْمُصَلِّي فِي الْمَسْجِدِ

Menjamak shalat boleh baik karena hujan sedikit atau banyak, dan TIDAK BOLEH menjamak kecuali bagi yg keluar dari rumahnya menuju masjid dan dia menjamak di dalamnya, baik yg dekat dengan masjid, atau banyak penduduknya, sedikit, atau juga jauh dari masjid, tidak boleh seorang pun jamak di rumah. Dalilnya, karena Nabi ﷺ menjamak shalatnya di masjid, dan orang yang shalatnya di rumah maka dia telah menyelisihi orang-orang yang di masjid.

(Al Umm, 1/95)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Sudah Shalat, Tapi Diminta Lagi Jadi Imam?

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalaamu’alaikum ustadz, izin bertanya ustadz, apakah boleh kita menjadi imam 2x atau 3x dalam shalat yg sama, misal disebuah masjid krn banyak jama’ah yg shalat, maka l shalat berjama’ahnya di bagi jd beberapa kali, di kloter pertama si A jadi imam, kemudian di kloter ke 2 tetap si A lg yg jd imam, apakah di bolehkan ustadz?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim…

Hal itu diperselisihkan ulama. Sebagian membolehkan hal itu, yaitu shalat yang kedua dihitung sebagai shalat sunnah bagi imam tsb, hal ini berdasarkan beberapa hadits, di antaranya:

Pertama. Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anhu, katanya:

أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ كَانَ يُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى قَوْمِهِ، فَيُصَلِّي بِهِمْ تِلْكَ الصَّلَاةَ

Bahwa Mu’adz bin Jabal pernah shalat Isya terlambat bersama Rasulullah ﷺ, kemudian dia kembali menuju kaumnya dan ikut shalat bersama kaumnya. (HR. Muslim no. 465)

Imam Al Khathabi Rahimahullah mengatakan:

فيه من الفقه جواز صلاة المفترض خلف المتنفل لأن صلاة معاذ مع رسول الله صلى الله عليه وسلم هي الفريضة وإذا كان قد صلى فرضه كانت صلاته بقومه نافلة له

Dalam hadits ini terdapat fiqih, bolehnya orang yg shalat wajib jadi makmum orang yang shalat sunnah. Sebab, shalatnya Muadz bin Jabal bersama Rasulullah ﷺ itu shalat wajib, jadi jika shalatnya bersama nabi adalah shalat wajib maka shalatnya bersama kaumnya adalah shalat sunnah baginya. (Ma’alim as Sunan, jilid. 1, hal. 170)

Kedua, dari Abu Said al Khudri Radhiyallahu ‘Anhu:

جَاءَ رَجُلٌ وَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّكُمْ يَتَّجِرُ عَلَى هَذَا فَقَامَ رَجُلٌ فَصَلَّى مَعَهُ

Datang seseorang dan Rasulullah ﷺ telah selesai shalat, Beliau besabda:

“Siapakah di antara kalian yang mau menemaninya?” maka berdirilah seorang laki-laki dan shalat bersamanya.

(HR. At Tirmidzi No. 220, katanya: hasan. Imam Al Haitsami mengatakan perawinya adalah para perawi shahih. Lihat Majma’ Az Zawaid, 2/174 )

Laki-laki itu adalah Abu bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah. (Nailul Authar, 3/185)

Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:

وَالْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ الدُّخُولِ مَعَ مَنْ دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ مُنْفَرِدًا ، وَإِنْ كَانَ الدَّاخِلُ مَعَهُ قَدْ صَلَّى فِي جَمَاعَة قَالَ ابْنُ الرِّفْعَةِ : وَقَدْ اتَّفَقَ الْكُلُّ عَلَى أَنَّ مَنْ رَأَى شَخْصًا يُصَلِّي مُنْفَرِدًا لَمْ يَلْحَقْ الْجَمَاعَةَ فَيُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ مَعَهُ وَإِنْ كَانَ قَدْ صَلَّى فِي جَمَاعَةٍ وَقَدْ اسْتَدَلَّ التِّرْمِذِيُّ بِهَذَا الْحَدِيثِ عَلَى جَوَازِ أَنْ يُصَلِّيَ الْقَوْمُ جَمَاعَةً فِي مَسْجِدٍ قَدْ صُلِّيَ فِيهِ

Hadits ini menunjukkan disyariatkannya masuk berjamaah bersama orang yang shalat sendiri, walau orang yang masuk itu sudah shalat jamaah sebelumnya. Berkata Ibnur Rif’ah: “ Para ulama sepakat bahwa apabila seseorang melihat orang lain sedang melakukan shalat sendirian karena terlambat ikut jamaah, ia dianjurkan ikut berjamaah bersama orang tersebut, walau dia sudah shalat jamaah. “ At Tirmidzi juga berdalil dengan hadits ini bahwa bolehnya sekelompok orang shalat berjamaah di mesjid yang di dalamnya sudah di adakan shalat berjamaah sebelumnya.” (Nailul Authar, Jilid. 3, hal. 185)

Syaikh Abu Abdirrahman bin Hamd al Bassam mengatakan bahwa inilah pendapat ‘Atha, al Awza’i, Asy Syafi’i, Abu Tsaur, dan salah satu riwayat yang kuat dari Ahmad, dan dipilih oleh Ibnu Taimiyah. (Taysir al ‘Alam Syarh’ Umdah al Ahkam, hal. 201)

Sementara Az Zuhri, Malik, Hanafiyah, dan Masyhur dari Ahmad dan mayoritas pengikutnya, adalah tidak sah. Dalilnya adalah “Imam diangkat untuk diikuti, maka janganlah menyelisihinya”, maka perbedaan niat antara makmum dan imam tidak diperkenankan. (Ibid)

Sementara Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad dalam Syarh Sunan Abi Dawud (no. 081), juga nampak mendukung pendapat yang membolehkan berdasarkan hadits Muadz bin Jabal yang begitu jelas.

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top