Tafsir Surat Al Muzammil (Bag. 4)

(ayat 8)

وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا (8)

Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.(QS. Al Muzammil:8)

Tinjauan Bahasa

وَالتَّبَتُّلُ: الِانْقِطَاعُ

At-tabattul: Terputus”

Menurut Imam Asy Syaukani dalam tafsirnya menyebutkan makna:[1]

وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا أَيِ: انْقَطِعْ إِلَيْهِ انْقِطَاعًا بِالِاشْتِغَالِ بِعِبَادَتِهِ

“Makna tabattal ilaihi tabtila yaitu: terputus dengan sebenarnya, sibuk dengan ibadah kepada Allah. Menurut Al Wahidy, kata at tabattul artinya:

رَفْضُ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا، وَالْتِمَاسُ مَا عِنْدَ اللَّهِ

Menolak dunia dan isinya, hanya berharap apa yang ada disisi Allah (balasan dari Allah)

Sebutlah Nama Rabbmu

وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا

Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.(QS. Al Muzammil:8)

Ayat ini mengandung dua petunjuk, pertama: agar manusia banyak berzikir (mengingat Allah). Kedua, agar manusia  melakukan at tabattul (fokus ibadah malam dengan qiyamullail, meninggalkan hiruk pikuk duniawi)

Sebagaimana dahulu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, berjihad pada siang hari, berdakwah kepada kaumnya, agar mereka meng-Esakan Allah. Dan pada malam harinya Rasulullah melakukan qiyamullail hingga kedua kaki beliau bengkak-bengkak karena lama dan panjangnya beliau qiyamullail.

Hal ini memberikan pemahaman yang benar tentang Islam, karena Islam bukanlah agama bagi orang pemalas, atau agama bagi orang yang putus asa karena nasib buruk di dunia. Namun Islam adalah agama yang memiliki sifat tawazun (seimbang) dunia dan akherat. Berbeda dengan rahib-rahib Yahudi, mereka meninggalkan semua hal ihwal terkait duniawi, mereka tidak menikah, dan hanya berdoa dan berdoa saja. Namun didalam agama Islam, siangnya beraktifitas duniawi, malamnya untuk aktifitas ukhrawi.

Secara Bahasa, dzikir memiliki dua makna:

  1. Sesuatu yang teucap oleh lisan
  2. Lawan dari lupa atau menghadirkan sesuatu di dalam hati

Secara istilah, dzikir mengadung pengertian:

أَمَّا فِي الاِصْطِلاَحِ فَيُسْتَعْمَل الذِّكْرُ بِمَعْنَى ذِكْرِ الْعَبْدِ لِرَبِّهِ عَزَّ وَجَل، سَوَاءٌ بِالإْخْبَارِ الْمُجَرَّدِ عَنْ ذَاتِهِ أَوْ صِفَاتِهِ أَوْ أَفْعَالِهِ أَوْ أَحْكَامِهِ أَوْ بِتِلاَوَةِ كِتَابِهِ أَوْ بِمَسْأَلَتِهِ وَدُعَائِهِ أَوْ بِإِنْشَاءِ الثَّنَاءِ عَلَيْهِ بِتَقْدِيسِهِ وَتَمْجِيدِهِ وَتَوْحِيدِهِ وَحَمْدِهِ وَشُكْرِهِ وَتَعْظِيمِهِ

“ Sedangkan secara istilah, dzikir bermakna, ingatnya hamba kepada Rabb aza wajalla, baik dengan mengingat Allah dari Dzat-Nya, atau sifat, atau perbuatan atau hukum-hukum-Nya, atau dengan membaca Al-Qur’an, atau dengan meminta dalam doa, dengan cara memuji, mensucikan, memuliakan, meng-Esakan, memujinya, bersyukur dan mengagungkan-Nya.[2]

Adapun secara khusus, dzikir juga bisa bermakna shalat, seperti dalam firman Allah:

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

“Bacalah Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Ankabut:45)

Dzikir kepada Allah dilakukan dengan lisan dan hati. Lisan memuji Allah, dengan bertahmid, mensucikan Allah dengan bertasbih, memohon ampunan kepada Allah dengan beristighfar. Adapun dzikir dengan hati, artinya meyakini, mengagungkan dan mengakui bahwa semua nikmat berasal dari Allah, semua manfaat berasal dari Allah, dan tidak ada yang dapat menghilangkan musibah melainkan Allah.

Keutamaan Dzikir

Dalam hadits Qudsi disebutkan:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَقُولُ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ :مَنْ شَغَلَهُ الْقُرْآنُ وَذِكْرِي عَنْ مَسْأَلَتِي أَعْطَيْتُهُ أَفْضَل مَا أُعْطِي السَّائِلِينَ

“Dari Abu Said Al Khurdi Radhiyallahuanhu, Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda,”Allah Subhanahu wata’ala berfirman,” Barang siapa orang yang sibuk dengan mengingatku, daripada meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberikan kepadanya apa yang lebih baik dari permintaan orang-orang yang meminta””(HR. Tirmizi)

Beberapa pendapat Ulama Tafsir Tentang Makna تَبْتِيلًا  (Tabtiila)

Menurut Syekh Nawawi Al Bantani[3]

وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا : أي انقطع إلى الله تعالى عن الدنيا بإخلاص العبادة

Fokus ibadah dengan ikhlas kepada Allah, dan memisahkan diri dari hal keduniawian.

Menurut Ar Razy

Beliau menyebutkan bahwa makna At Tabattul adalah ikhlas, atau tamyiz (membedakan antara satu dan lainnya). Sehingga orang yang memiliki keinginan mengenal Allah maka ia akan berusaha sungguh sungguh kearah sana. Ia akan kesampingkan hal-hal yang tidak ada kaitannya dalam proses ia mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.

وَالطَّالِبُ لِمَعْرِفَةِ اللَّهِ مُتَبَتِّلٌ إِلَى مَعْرِفَةِ اللَّهِ

“Orang yang ingin ma’rifat (mengenal) Allah maka ia akan fokus mengenal Allah”[4]

Menurut Imam Suyuthi[5]

{وَاذْكُرْ اسْم رَبّك} أَيْ قُلْ بِسْمِ اللَّه الرَّحْمَن الرَّحِيم فِي ابْتِدَاء قِرَاءَتك

“Bacalah Bismillahirrahmanirrahim, dalam memulai bacaan (Al-Qur’an)mu”

Menurut Syekh Tahir bin Asyur (1393H) menyebutkan, bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam memiliki waktu khusus untuk bermunajat kepada Allah. Waktu khusus ini setelah nabi pada siang hari melakukan aktifitas dakwahnya, mengajar dan mentarbiyah ummat agar memahami Rabbnya. Sehingga waktu khusus ini tidak melalaikan nabi dari tugas risalah disiang hari beliau. Hal ini berlawanan dengan para rahib-rahib yang tidak menikah dan menghindari urusan duniawi.[6]

Menurut Imam At Thabari

Beliau menukil pendapat dari Ibnu Abbas:

عن ابن عباس، قوله: (وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلا) قال: أخلص له إخلاصا

“Dari Ibnu Abbas, firman Allah وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلا maknanya, ikhlas seikhlas-ikhlasnya”.[7]

Hikmah Ayat

  1. Dzikrullah (mengingat Allah) adalah amalan utama, karena ibadah terbaik adalah ibadah yang mengingatkanmu kepada Allah. Shalat terbaik adalah shalat karena ingat kepada Allah, bukan yang lalai, begitupula sedekah, sedekah terbaik karena ingat Allah, bukan ingin sanjungan atau motivasi lain, begitupula haji dan amalan shalih lain, jika tidak disertai dzikrullah maka sia-sia belaka.
  2. Dzikir mencakup ucapan lisan, hati dan perbuatan yang mencerminkan ingat kepada Allah.
  3. Tabtiila, adalah fokus ibadah qiyamullail meninggalkan hal-hal yang bersifat keduniawian.

والله أعلم

=====================

Fauzan Sugiyono, Lc, M.Ag


[1] Muhammad bin Abdillah Asy Syaukani Al Yamani (1250H), Fath Al-Qadir, Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 5/381)

[2] Al Mausu’ah Al Fikhiyah Al Kuwaitiyah, Dewan Wakaf Kuwait, 1427, 21/220

[3] Muhammad bin Umar An Nawawi Al Jawi Al Bantani Al Jawi (1316H), Marah Labid, 2/575

[4] Fakhruddin Ar Razy (606H), Mafatih Al Ghaib, 30/687

[5] Tafsir Jalalain, 1/773

[6] Tahir bin Asyur, At Tahrir wa at Tanwir, 29/266

[7] Tafsir At Thabari,23/688

Demam dan Air

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

الحُمَّى مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ، فَأَطْفِئُوهَا بِالمَاءِ

Demam itu dari hembusan neraka jahanam, maka padamkanlah dengan air. (HR. Bukhari no. 5723, dari Ibnu Umar)

Dari jalur Ibnu Abbas: “Padamkanlah dengan air zam zam.” (HR. Bukhari no. 3261)

Penjelasan:

– Hadits ini menunjukkan salah satu dari sekian banyak manfaat air, yaitu sebagai obat, di antaranya obat demam.

– Cara pengobatannya dicontohkan oleh Asma binti Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa jika ada seorang wanita demam yang didatangkan kepadanya, maka dia akan usapkan air di bagian dada wanita tersebut. (HR. Bukhari no. 5724). Cara ini di negeri kita mirip dengan “kompres”.

– Imam Ibnu Baththal Rahimahullah mengatakan masing-masing penderita demam itu berbeda-beda, ada yang sembuh dengan diusap air (dikompres), ada pula yang sembuh diminumkan air. (Syarh Shahih Bukhari, 9/421)

– Imam Ibnu Baththal juga menyebutkan bahwa sebagian ulama mengartikan demam yang dimaksud oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits ini adalah demam yang khusus, yaitu demam panas yang begitu tajam, hal ini ditunjukkan dari kalimat “hembusan neraka jahanam”. Sehingga ini menunjukkan tidak berlaku bagi yang demamnya dikarenakan dingin (meriang). (Ibid)

– Dibolehkan jika air itu dibacakan ayat-ayat Al Quran atau doa-doa dalam sunnah, sebagai ruqyah. Hal ini dilakukan para salaf, di antaranya Imam Ahmad bin Hambal, seperti yang dikatakan Imam Ibnu Muflih Rahimahullah:

نقل عبدالله أنه رأى أباه يعوذ في الماء ويقرأ عليه ويشربه ، ويصب علىنفسه منه

Abdullah menyebutkan bahwa dia melihat ayahnya (yaitu Imam Ahmad bin Hambal) membacakan ta’awudz kepada air dan meminumnya dan menuangkan air itu kepada dirinya. (Al Adab Asy Syar’iyyah, 2/441)

Kebolehan ruqyah melalui media air juga dikatakan oleh Imam asy Syafi’i, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Al Qurthubi, dan lainnya, serta pernah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, dan lainnya.

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Apakah Lagu Kebangsaan Itu Haram?

💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim…

Lagu kebangsaan yaitu nyanyian untuk memunculkan patriotisme, mencintai kebaikan, membela tanah air dari penjajah, jihad membela agama, mengenang pahlawan, mensyukuri kemerdekaan, nyanyian pekerja dan penggembala untuk penyemangat, dan semisal itu semua adalah hal yang mubah (boleh).

Syair, nasyid, dan lirik nyanyian itu sama dengan kalam (perkataan), jika isinya baik maka dinilai baik, jika isinya buruk maka dinilai buruk.

Imam Ibnul ‘Arabi Rahimahullah berkata dalam Tafsir-nya:

وَأَمَّا الْغِنَاءُ فَإِنَّهُ مِنْ اللَّهْوِ الْمُهَيِّجِ لِلْقُلُوبِ عِنْدَ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ، مِنْهُمْ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ وَلَيْسَ فِي الْقُرْآنِ وَلَا فِي السُّنَّةِ دَلِيلٌ عَلَى تَحْرِيمِهِ. أَمَّا إنَّ فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ دَلِيلًا عَلَى إبَاحَتِهِ

Ada pun nyanyian adalah termasuk hiburan yg bisa membuat hati semangat menurut mayoritas ulama, di antaranya Imam Malik bin Anas. Di dalam Al Quran dan As Sunnah tidak ada dalil tentang haramnya nyanyian. Sedangkan hadits shahih justru menunjukkan kebolehannya.

(Ahkamul Quran, jilid. 3, hal. 11)

Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah menegaskan tentang dibolehkannya nyanyian yang baik-baik:

وَهَذَا الْبَابُ مِنَ الْغِنَاءِ قَدْ أَجَازَهُ الْعُلَمَاءُ وَوَرَدَتِ الْآثَارُ عَنِ السَّلَفِ بِإِجَازَتِهِ وَهُوَ يُسَمَّى غِنَاءَ الركبان وغناء النصب والحذاء هَذِهِ الْأَوْجَهُ مِنَ الْغِنَاءِ لَا خِلَافَ فِي جَوَازِهَا بَيْنَ الْعُلَمَاءِ

Pembahasan ini termasuk tentang nyanyian. Para ulama telah membolehkannya dan telah datang berbagai atsar dari salaf tentang kebolehannya. Itu dinamakan dengan Nyanyian Pengembara dan Nyanyian Nashab (pengiring Unta), dan Hida (nyanyian pengiring Unta tapi lebih semangat dari Nashab). Semua jenis nyanyian ini tidak ada perbedaan pendapat ulama atas kebolehannya. (At Tamhid, jilid. 22, hal. 197)

Ubaidullah bin Abdillah berkata:

رَأَيْتُ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ مُضْطَجِعًا عَلَى بَابِ حُجْرَتِهِ رَافِعًا عَقِيرَتَهُ يَتَغَنَّى

Aku melihat Usamah bin Zaid sedang bersandar di pintu kamarnya, dia meninggikan suaranya sambil bernyanyi. (Ibid, semua perawinya tsiqah dan shaduq (jujur) )

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

وَالْغِنَاءُ مَا هُوَ إِلَّا كَلَامٌ حَسْنُهُ حَسَنٌ وَقَبِيحُهُ قَبِيحٌ، فَإِذَا عَرَضَ لَهُ مَا يُخْرِجُهُ عَنْ دَائِرَةِ الْحَلَالِ كَأَنْ يُهَيجَ الشَّهْوَةَ أَوْ يَدْعُوَ إِلَى فِسْقٍ أَوْ يُنَبِّهَ إِلَى الشَّرِّ أَوْ اتَّخَذَ مُلْهَاةً عَنْ الطَّاعَاتِ، كَانَ غَيْرَ حَلَالٍ. فَهُوَ حَلَالٌ فِي ذَاتِهِ وَإِنَّمَا عَرَضَ مَا يُخْرِجُهُ عَنْ دَائِرَةِ الْحَلَالِ.وَعَلَى هَذَا تُحْمَلُ أَحَادِيثُ النَّهْيِ عَنْهُ

Nyanyian tidak lain tidak bukan adalah ucapan; jika baik maka dia baik, jika buruk maka dia buruk. Jika nyanyian diarahkan untuk keluar dari lingkup kehalalan, seperti membangkitkan syahwat, atau ajakan kepada kefasikan, atau menyadarkan kepada keburukan, atau menjadikannya lalai dari ketaatan, maka itu tidak halal. Maka, dia halal secara dzatnya, hanya saja ada yang diarahkan untuk keluar dari lingkup kehalalan. Yang demikian itulah maksud dari hadits-hadits yang melarangnya. (Fiqhus Sunnah, jilid. 3, hal. 56)

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah berkata:

الْأَنَاشِيدُ تَخْتَلِفُ فَإِذَاكَانَتْ سَلِيمَةً لَيْسَ فِيهَا إِلَّا الدَّعْوَةُ إِلَى الْخَيْرِ وَالتَّذْكِيرُ بِالْخَيْرِ وَطَاعَةِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالدَّعْوَةِ إِلَى حِمَايَةِ الْأَوْطَانِ مِنْ كَيْدِ الْأَعْدَاءِ وَالِاسْتِعْدَادِ لِلْأَعْدَا، ونَحْوِ ذَلِك ، فَلَيْسَ فِيْهَا شَيْء . أَمَّا إِذَا كَانَ فِيهَا غَيْرُ ذَلِكَ مِنْ دَعْوَةٍ إِلَى الْمَعَاصِي وَاخْتِلَاطِ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ أَوْ تَكْشُّفِهِنَّ عِنْدَهُمْ أَوْ أَيَّ فَسَادٍ كَانَ فَلَا يَجُوزُ اسْتِمَاعُهَا .[ رَاجِعْ هَذِهِ الْفَتْوَى فِي شَرِيطِ أَسْئِلَةٍ وَ أَجْوِبَةُ الْجَامِعِ الْكَبِيرِ ، رَقْمُ : 90 / أ

“(Hukum) Nasyid itu berbeda-beda. Jika nasyid tersebut benar, tidak ada di dalamnya kecuali ajakan pada kebaikan dan peringatan pada kebaikan dan ketaatan kepada Allah dan RasulNya, serta ajakan kepada pembelaan kepada tanah air dari tipu daya musuh, dan menyiapkan diri melawan musuh, dan yang semisalnya, maka tidak apa-apa. Ada pun jika di dalam nasyid tidak seperti itu, berupa ajakan kepada maksiat, campur baur antara laki-laki dan wanita, atau para wanita membuka auratnya, atau kerusakan apa pun, maka tidak boleh mendengarkannya.”
(Lihat fatwa ini dalam kaset tanya jawab, Al Jami’ Al Kabir, no. 90/side. A)

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah mengatakan:

وأقول: إن الأغاني الوطنية أو الداعية إلى فضيلة، أو جهاد، لا مانع منها، بشرط عدم الاختلاط، وستر أجزاء المرأة ما عدا الوجه والكفين. وأما الأغاني المحرضة على الرذيلة فلا شك في حرمتها

ِAku katakan: bahwa lagu-lagu kebangsaan atau lagu yang mengajak kepada keutamaan, atau jihad, tidaklah terlarang, dengan syarat tidak ada ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan), dan kaum wanita menutup tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Ada pun lagu-lagu yang mendorong kejelekan maka tidak ragu lagi keharamannya.

(Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, jilid. 4, hal. 2666)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Berobat Itu Perintah Agama

💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Allah Ta’ala menyebut bahwa Al Quran adalah obat:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَتۡكُم مَّوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَشِفَآءٞ لِّمَا فِي ٱلصُّدُورِ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ

Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman. (Surat Yunus, Ayat 57)

📌 Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan berobat.

Dari Abu Darda’ Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan penyakit dan obatnya, dan Dia jadikan setiap penyakit pasti ada obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan yang haram.”

(HR. Abu Daud No. 3876, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 20173. Imam Ibnul Mulaqin mengatakan: shahih. (Tuhfatul Muhtaj, 2/9). Imam Al Haitsami mengatakan: perawinya terpercaya. (Majma’uz Zawaid, 5/86) )

📌 Imam Asy Syafi’i Rahimahullah mengatakan:

إِنَّمَا الْعِلْمُ عِلْمَانِ: عِلْمُ الدِّينِ، وَعِلْمُ الدُّنْيَا، فَالْعِلْمُ الَّذِي لِلدِّينِ هُوَ: الْفِقْهُ، وَالْعِلْمُ الَّذِي لِلدُّنْيَا هُوَ: الطِّبُّ.

Ilmu itu ada dua: Ilmu-ilmu agama dan ilmu dunia. Ilmu agama adalah fiqih, sedangkan ilmu dunia yaitu kedokteran.

(Imam Ibnu Abi Hatim, Adab Asy Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 244)

📌 Dalam kitab yang sama di halaman yg sama, Beliau juga berkata: “Janganlah kalian tinggal di negeri yang tidak ada ulama yang bisa memberikan fatwa agama kepadamu, dan tidak ada dokter yang menjaga urusan badanmu.”

📌 Sebagian ulama sendiri ada juga yang memiliki kepakaran dlm kedokteran seperti Ibnu Rusyd, Ar Razi, Ibnul Qayyim, dan lainnya.

📌 Sebagian fuqaha mengatakan berobat itu sunnah, seperti pendapat Syafi’iyah, bahkan menjadi wajib menurut mereka jika memang obat tersebut efektif. Ada pun Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan boleh, hanya Hambaliyah yang mengatakan tidak berobat lebih utama. (Al Mausu’ah, 11/117)

📌 Imam Ibnul Qayyim menegaskan, bahwq berobat tidaklah menafikan tawakal, bahkan itu menunjukkan hakikat kesempurnaan tauhid yang mana kesempurnaan itu tidaklah terwujud tanpa bersentuhan dengan sebab-sebab. Meniadakan pengobatan justru menodai tawakal. (Zaadul Ma’ad, 4/14)

📌 Maka, cegahlah penyakit dikala sehat, berobatlah (dgn yg halal) dikala sakit, lalu tawakallah kepada Allah Ta’ala dan menggantungkan semua sebab kepadaNya.

Wallahul Musta’an!

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top