Menyebarkan berita bohong, walau tidak sengaja, tetaplah berbohong

💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Baca BC di medsos, jangan dulu disebarkan. Pastikan dulu kebenarannya, dan pastikan pula manfaatnya.

📌 Walau benar tapi tidak ada manfaatnya, tetap tahan diri, khawatir malah menimbulkan fitnah

📌 Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

بِحَسْبِ الْمَرْءِ مِنَ الْكَذِبِ أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

Cukuplah seseorang termasuk berbohong jika dia membicarakan semua apa yang didengarnya. (HR. Muslim no. 5)

📌 Hadits ini mengajarkan untuk menahan diri, tidak mudah nyerocos dan nge- share berita

📌 Sebab, jika sehari kita mendapatkan 20 berita, sangat mungkin ada yang dusta walau satu.

📌Jika semuanya kita sebarkan, maka kita pun menyebarkan satu kebohongan, walau tidak ada unsur kesengajaan, itu tetap berbohong dan kecerobohan.

📌 Imam an Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

وَأَمَّا مَعْنَى الْحَدِيثِ وَالْآثَارِ الَّتِي فِي الْبَابِ فَفِيهَا الزَّجْرُ عَنِ التَّحْدِيثِ بِكُلِّ مَا سَمِعَ الْإِنْسَانُ فَإِنَّهُ يَسْمَعُ فِي الْعَادَةِ الصِّدْقَ وَالْكَذِبَ فَإِذَا حَدَّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ فَقَدْ كَذَبَ لِإِخْبَارِهِ بِمَا لَمْ يَكُنْ وَقَدْ تَقَدَّمَ أَنَّ مَذْهَبَ أَهْلِ الْحَقِّ أَنَّ الْكَذِبَ الْإِخْبَارُ عن الشيء بخلاف ماهو وَلَا يُشْتَرَطُ فِيهِ التَّعَمُّدُ لَكِنَّ التَّعَمُّدُ شَرْطٌ فِي كَوْنِهِ إِثْمًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Ada pun makna hadits dan atsar dalam bab ini adalah larangan keras bagi manusia membicarakan semua yang dia dengarkan, sebab aktifitas mendengarkan itu biasanya ada yang benar dan bohong, maka jika dia membicarakan semua yang didengarnya barang tentu dia telah berbohong, karena telah menyebarkannya apa-apa yang tidak terjadi. Telah dijelaskan sebelumnya, menurut madzhab Ahlul haq bahwa yang dikatakan berita bohong adalah sesuatu yang menyelisihi apa yang seharusnya. Dalam hal ini, unsur kesengajaan itu tidaklah menjadi syarat bahwa dia telah berbohong, tetapi kesengajaan itu merupakan syarat yang membuat dirinya berdosa. Wallahu A’lam

(al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/75)

📌 Maka, jangan tergesa-gesa, sebab tergesa-gesa itu dari syetan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

التأني من الله و العجلة من الشيطان

Hati-hati itu dari Allah, tergesa-gesa itu dari syetan.

(HR. al Baihaqi, as Sunan al Kubra, 10/104. Sanadnya: hasan)

Wallahu Muwafiq Ilaa Aqwamith Thariq

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌴🌵

✍ Farid Nu’man Hasan

Bolehkah Shalat Id di Rumah?

💢💢💢💢💢💢💢

Ada himbauan shalat Id di rumah saja, gimana ini? (bbrp jamaah)

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Semoga Allah Ta’ala berikan kekuatan dan kesabaran kepada kita dalam melewati musibah wabah ini…

Jika memang wabah ini berkepanjangan sampai ke bulan Syawwal. Maka, shalat Idul fitri di rumah seorg diri, bagi yang udzur sah. Jika memang kondisinya tidak bisa mendatanginya baik krn sakit, safar, atau kondisi wabah seperti saat ini.

Ada dua opsi, dia bisa melakukan seorang diri di rumah atau berjamaah bersama keluarganya. Tatacaranya seperti shalat Id, atau seperti shalat biasa dua rakaat, semua ini sah dan lapang saja.

Imam asy Syafi’i Rahimahullah mengatakan:

ويصلي العيدين المنفرد في بيته والمسافر والعبد والمرأة

Shalat dua hari raya seorg diri di rumah baik musafir, hamba sahaya, dan wanita.

(Mukhtashar al Umm, 8/125)

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:

وهو مخير ، إن شاء صلاها وحده ، وإن شاء صلاها جماعة
قِيلَ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ: أَيْنَ يُصَلِّي؟ قَالَ: إنْ شَاءَ مَضَى إلَى الْمُصَلَّى، وَإِنْ شَاءَ حَيْثُ شَاءَ.

Dia boleh memilih, jika mau dia bisa shalat sendiri, jika mau dia bisa shalat berjamaah. Abu Abdillah (Imam Ahmad) ditanya, di mana shalatnya? Beliau menjawab: “Jika dia mau di mushalla (lapangan), kalau dia mau dimana saja.” (al Mughni, 2/290)

Dalam Al Lajnah Ad Daimah:

صلاة العيدين فرض كفاية؛ إذا قام بها من يكفي سقط الإثم عن الباقين

Shalat id itu fardhu kifayah, jika ada yang melaksanakan sebagian, maka sebagian lain tidak berdosa.

ومن فاتته وأحب قضاءها استحب له ذلك، فيصليها على صفتها من دون خطبة بعدها، وبهذا قال الإمام مالك والشافعي وأحمد والنخعي وغيرهم من أهل العلم

Bagi yg tidak melaksanakan dan dia mau mengqadhanya, maka itu sunnah baginya. Maka, shalatlah seperti tatacara shalat Id, tanpa khutbah setelahnya. Inilah pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, An Nakha’i, dan ulama lainnya.

(al Lajnah ad Daimah, 8/306)

Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu:

أَنَّهُ كَانَ إذَا لَمْ يَشْهَدْ الْعِيدَ مَعَ الْإِمَامِ بِالْبَصْرَةِ جَمَعَ أَهْلَهُ وَمَوَالِيهِ، ثُمَّ قَامَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي عُتْبَةَ مَوْلَاهُ فَيُصَلَّى بِهِمْ رَكْعَتَيْنِ، يُكَبِّرُ فِيهِمَا. وَلِأَنَّهُ قَضَاءُ صَلَاةٍ، فَكَانَ عَلَى صِفَتِهَا، كَسَائِرِ الصَّلَوَاتِ

Jika dia tdk bisa shalat Id bersama imam di Bashrah, maka dia kumpulkan keluarganya dan para pelayannya, lalu berdirilah Abdullah bin ‘Utbah – pelayannya- mengimami mereka sebanyak dua rakaat, dia bertakbir pada dua rakaat itu. Karena ini qadha shalat, maka caranya sama seperti shalat-shalat lainnya.

(al Mughni, 2/290)

Demikian. Wallahu a’lam

🌸🌿🌳🍀🌷🌻🍃

✍ Farid Nu’man Hasan

Rambu-Rambu dalam Membahas Kiamat dan Akhir Zaman

💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Beriman kepada hari akhir adalah salah satu rukun iman

📌 Hari akhir adalah satu perkara ghaib; ada dan pasti terjadi tapi tidak nampak saat ini

📌 Salah satu ciri orang bertaqwa adalah mengimani yang ghaib dan hari akhir. (QS. Al Baqarah: 3 – 4)

📌 Ya, tugas kita adalah mengimaninya bukan mengutak atiknya

📌 Hindarilah segala tambahan dan membumbuinya dengan imajinasi tanpa dasar, ramalan tanpa ilmu, prediksi tanpa dalil

📌 “Wow effect” dan rasa mencekam para pembaca dan pendengar bukanlah target dalam menyampaikan kajian akhir zaman

📌 Karena ini urusan keimanan, maka pijaklah di atas Al Quran dan As Sunnah yang shahih; agar iman semakin dalam

📌 Hindari yang dhaif apalagi yang palsu, sbb para ulama sepakat atas terlarangnya menggunakan hadits dhaif -apalagi palsu- dalam masalah aqidah dan penetapan halal dan haram. Tp, mereka berbeda pendapat penggunaan hadits dhaif dalam masalah Fadhailul A’mal.

📌 Contoh fatal adalah menggunakan riwayat palsu tentang huru hara 15 Ramadhan hari Jumat. Di mana para imam hadits sejak masa lampau menyatakan sebagai hadits palsu, seperti yang dikatakan Imam adz Dzahabi dan Imam Ibnul Qayyim.

📌 Maka, sampaikanlah yang Allah Ta’ala katakan tentang hari akhir, jangan melebihinya..

📌 Sampaikanlah yang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sampaikan, jangan melewatinya..

📌 Apalagi berdusta atas nama Allah, RasulNya, dan para ulama, tentang akhir zaman dengan membuat peristiwa rekaan

📌 Sesungguhnya mengingatkan manusia tentang hari akhir adalah kewajiban seorang da’i dan muballigh, bahkan para nabi sejak dulu sudah mengingatkan tentang fitnah Dajjal

📌 Tapi, mengingatkan manusia dengan cara imajinasi dan ilusi sendiri, cocokologi, plus riwayat lemah dan palsu, adalah tidak dibenarkan

📌 Jangan sampai perlahan lahan seperti penganut sekte-sekte kiamat di agama lain, yang berani memastikan kapan kiamat, baik tahun, bulan, bahkan tanggal, berdasarkan igauan mereka sendiri dan ternyata tidak terbukti

📌 Atau jgn pula menjadi kolektor tanda-tanda kiamat tapi minim persiapan

📌 Yang jelas dihadapan kita ada Al Quran yang menjelaskan:

يَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلسَّاعَةِ أَيَّانَ مُرۡسَىٰهَا فِيمَ أَنتَ مِن ذِكۡرَىٰهَآ إِلَىٰ رَبِّكَ مُنتَهَىٰهَآ إِنَّمَآ أَنتَ مُنذِرُ مَن يَخۡشَىٰهَا

Mereka (orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari Kiamat, “Kapankah terjadinya?”

Untuk apa engkau perlu menyebutkan (waktunya)?

Kepada Tuhanmulah (dikembalikan) kesudahannya (ketentuan waktunya).

Engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari Kiamat).

(QS. An-Nazi’at: 42 – 45)

📌 Di hadapan kita ada hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, Beliau menjawab saat ditanya oleh Jibril ‘Alaihissalam kapan kiamat:

مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنْ السَّائِلِ

Tidaklah yang ditanya lebih tahu dibanding yang bertanya (HR. Muttafaq ‘Alaih)

📌 Berikanlah kabar gembira kepada orang beriman, bahwa mereka tidak akan mengalami kiamat:

إِذْ بَعَثَ اللَّهُ رِيحًا طَيِّبَةً فَتَأْخُذُهُمْ تَحْتَ آبَاطِهِمْ فَتَقْبِضُ رُوحَ كُلِّ مُؤْمِنٍ وَكُلِّ مُسْلِمٍ وَيَبْقَى شِرَارُ النَّاسِ يَتَهَارَجُونَ فِيهَا تَهَارُجَ الْحُمُرِ فَعَلَيْهِمْ تَقُومُ السَّاعَةُ

“… tiba-tiba Allah mengirim angin sepoi-sepoi lalu mencabut nyawa setiap orang mu`min dan muslim dibawah ketiak mereka, dan orang-orang yang tersisa adalah manusia-manusia buruk, mereka melakukan hubungan badan secara tenang-terangan seperti keledai kawin. Maka atas mereka itulah kiamat terjadi.”

(HR. Muslim no. 2137)

Wa Shalallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌴🌵

✍ Farid Nu’man Hasan

Apaah Corona Adalah Tha’un?

💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Masih “debatable” apakah corona adalah tha’un atau bukan, sedangkan yg dibahas dalam hadits disebutkan mendapat pahala mati syahid adalah Tha’un.

Dalam hadits Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan Tha’un tidak akan masuk Madinah.

Sebagaimana hadits berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَنْقَابِ الْمَدِينَةِ مَلَائِكَةٌ لَا يَدْخُلُهَا الطَّاعُونُ وَلَا الدَّجَّالُ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pada pintu gerbang kota Madinah ada para malaikat (yang menjaganya) sehingga THA’UN dan Al Masihud-Dajjal tidak akan dapat memasukinya”.

(HR. Bukhari no. 1880 dan Muslim no. 1379)

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

عن أبي الحسن المدائني أن مكة والمدينة لم يقع بهما طاعون قط

Dari Abul Hasan al Madaini bahwa Mekkah dan Madinah, tidak pernah terjadi Tha’un sama sekali.

(Al Adzkar, Hal. 139)

Faktanya hari ini, haramain (Mekkah dan Madinah) sudah kena Corona. Artinya, ini menunjukkan dia bukan Tha’un yang dimaksud. Kalau pun dikatakan tha’un, hanya dari sisi sebaran mewabahnya yg mirip Tha’un atau majaz saja.

Dua ciri utama tha’un adalah: meluas wabahnya, dan cepat wafat bagi penderitanya, bisa kenanya pagi, sore mati.

Sdgkan corona, yg wafat tdk sampai 10% di dunia dari semua pengidapnya. Di sini letak perbedaan mencolok antara corona dan Tha’un.

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

والوباء: عموم الأمراض. فسميت طاعوناً لشبهها بالهلاك بذلك، وإلا فكل طاعون وباء، وليس كل وباء طاعوناً

Wabah itu penyakit yang umum, dia dinamakan Tha’un karena ada kemiripan dalam hal mematikannya. Kalau tidak, maka setiap Tha’un adalah wabah, dan tidaklah setiap wabah adalah Tha’un.

(Fathul Bari, 10/180)

Beliau juga berkata:

وَقَدْ صَرَّحَ الْحَدِيثُ الْأَوَّلُ بِأَنَّ الطَّاعُونَ لَا يَدْخُلُهَا فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْوَبَاءَ غَيْرُ الطَّاعُونِ وَأَنَّ مَنْ أَطْلَقَ عَلَى كُلِّ وَبَاءٍ طَاعُونًا فَبِطَرِيقِ الْمَجَازِ

Di hadits pertama menjelaskan bahwa Tha’un tidak akan masuk ke Madinah, ini menunjukkan bahwa WABAH bukanlah THA’UN, ada pun pihak yang mengatakan semua wabah adalah Tha’un itu maksudnya Majaz saja.

(Ibid, 10/181)

Di masa Khalifah Umar Radhiallahu ‘Anhu, kota Madinah juga pernah kena Wabah yang mematikan, sebagaimana hadits Shahih Bukhari:

عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ قَالَ أَتَيْتُ الْمَدِينَةَ وَقَدْ وَقَعَ بِهَا مَرَضٌ وَهُمْ يَمُوتُونَ مَوْتًا ذَرِيعًا فَجَلَسْتُ إِلَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
فَمَرَّتْ جَنَازَةٌ فَأُثْنِيَ خَيْرًا…

Dari Abu Al Aswad berkata: “Aku mengunjungi Madinah saat banyak orang sakit yang membawa kepada kematian begitu cepat, kemudian aku duduk di sisi ‘Umar radhiyallahu ‘anhu saat lewat jenazah lalu jenazah itu dipuji dengan kebaikan maka..

(HR. Bukhari no. 2643)

Fakta sejarah ini menunjukkan bahwa kota Mekkah dan Madinah terjaga dari Tha’un, tapi tidak terjaga dari wabah lainnya yang lebih umum. Sejarah menunjukkan bahwa wabah pernah terjadi.

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata:

هُنَاكَ الرَّدَّ عَلَى مَنْ زَعَمَ أَنَّ الطَّاعُونَ وَالْوَبَاءَ مُتَرَادِفَانِ بِمَا ثَبَتَ هُنَاكَ أَنَّ الطَّاعُونَ لَا يَدْخُلُ الْمَدِينَةَ وَأَنَّ الْوَبَاءَ وَقَعَ بِالْمَدِينَةِ كَمَا فِي قِصَّةِ الْعُرَنِيِّينَ وَكَمَا فِي حَدِيثِ أَبِي الْأَسْوَدِ أَنَّهُ كَانَ عِنْدَ عُمَرَ فَوَقَعَ بِالْمَدِينَةِ بِالنَّاسِ مَوْتٌ ذَرِيعٌ وَغَيْرُ ذَلِكَ

Ada bantahan bagi yang menyangka Tha’un dan wabah adalah sama, yaitu hadits Shahih bahwa Tha’un tidak akan masuk ke Madinah sedangkan Wabah pernah terjadi di Madinah sebagaimana kisah kaum ‘Uraniyyin dan hadits Abul Aswad, saat terjadi di masa Umar wabah yang begitu cepat mematikan manusia, dan lainnya.

(Fathul Bari, 11/180)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:

وبهذا يعلم أن مرض “كورونا” ليس هو الطاعون الوارد في السنة ، والموعود أهله بأجر الشهادة

Dari sini kita tahu, bahwa penyakit karena wabah CORONA bukanlah tha’un yg dimaksud dalam sunnah, yg dijanjikan pahala syahid.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 333763)

Sementara ulama lain mengatakan Corona adalah Tha’un, dan wafat karenanya adalah Syahid.

Dalam Fatwa Darul Ifta, penanggung jawabnya yaitu Syaikh Ali Fakhr mengatakan:

إن وباء الكورونا وغيره من الأوبئة هو ما يعرف في كتب الفقه الإسلامي بالطاعون، مؤكدًا أن المسلم إذا مات بفيروس كورونا فهو شهيد آخرة، فيكون له أجر شهيد في الآخرة، لكنه في الدنيا يطبق عليه ما يطبق على الميت العادي، من غسل وكفن ودفن وصلاة عليه.

Wabah Corona dan wabah lainnya adalah jenis yang diisitilahkan oleh kitab fiqih dengan sebutan Tha’un’. Seorg muslim jika wafat karenanya maka dia dapat pahala syahid akhirat, tapi di dunia mayitnya diurus seperti mayit secara umumnya. Yaitu dimandikan, kafankan, shalatkan, dan dikuburkan. (selesai)

Fatwa seperti Syaikh Ali Fakhr ini, disepakati oleh ulama lain seperti Syaikh Sa’ad Syatsri, Syaikh Ayman Abu Umar, dan Syaikh Salim Abdul Jalil.

Lalu bagaimana sikap kita?

Sikap yang terbaik adalah kita husnuzh zhan kepada korban yang telah wafat, dan husnuz zhan kepada Allah, bahwa Dia memberikan rahmatNya bahwa dokter, petugas, perawat, yang wafat karena Corona mendapatkan pahala syahid. Kalau pun bukan Coronanya, tapi karena mereka telah berjibaku, berjihad, dan bersabar, menyelamatkan nyawa orang lain dan dirinya. Apa pun nama penyakitnya, bencananya, ketika dia sabar menghadapinya sampai wafat. Jelas itu sebuah kemuliaan.

Demikian. Wallahu a’lam

🌳🌿🍀🌷🌸🌻🍃

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top