Sikap Ulama Aswaja Terdahulu Atas Wafatnya Tokoh-Tokoh Penyeru Kesesatan

💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Imam Abdurrazzaq Rahimahullah, penyusun kitab Al Mushannaf

Salamah bim Syabib bercerita: “Aku sedang bersama Abdurrazzaq – yaitu ash Shan’ani- lalu datang berita kematian Abdul Majid (dia pentolan Murji’ah). Lalu Abdurrazzaq berkata:

الحمدُ للهِ الذي أراحَ أُمَّةَ محمَّدٍ مِن عَبدِ المجيدِ

Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan Umat Muhammad dari Abdul Majid.

(Siyar A’lam an Nubala, jilid. 9, hal. 435)

📌 Imam Abdurrahman bin Mahdi Rahimahullah, ahli hadits semasa Imam asy Syafi’i.

Imam Ibnu Hajar Rahimahullah bercerita: “Ketika datang kepada Abdurrahman bin Mahdi berita kematian Wahb al Qursyiy – dia tokoh kesesatan masa itu. Maka, Abdurrahman bin al Mahdi berkata:

(الحمدُ للهِ الذي أراحَ المُسلِمينَ منه)

Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan/melapangkan kaum muslimin darinya.

(Lisanul Mizan, jilid. 8, hal. 402)

📌 Imam Ibnu Katsir Rahimahullah

Beliau mengomentari wafatnya tokoh ahli bid’ah, dengan mengatakan:

أراحَ اللهُ المُسلِمينَ منه في هذِه السَّنةِ في ذِي الحِجَّةِ منها، ودُفِن بدارِه، ثم نُقِل إلى مَقابرِ قُرَيشٍ؛ فللهِ الحمدُ والمِنَّةِ. وحين ماتَ فرِحَ أهلُ السَّنَّة بموتِه فرحًا شديدًا، وأظْهَروا الشُّكرَ لله؛ فلا تَجِدُ أحدًا منهم إلَّا يَحمَدُ الله

Allah Ta’ala telah membebaskan kaum muslimin darinya tahun ini, di bulan Dzul Hijjah. Dia dikubur di rumahnya, lalu dipindahkan ke kuburan Quraisy. Segali puji bagi Allah atas nikmatNya.

Ketika dia mati, Ahlus Sunnah bergembira atas kematiannya dengan kegembiraan yang luar biasa, mereka menampakkan rasa syukurnya kepada Allah, dan tidak seorang pun dari mereka melainkan bersyukur dengan memuji Allah.

(Al Bidayah wan Nihayah, jilid. 12, hal. 338)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Konsekuensi Istri/Suami yang Murtad

Bismillahirrahmanirrahim..

Istri yang Murtad

Para ulama mengatakan, murtadnya istri yang sudah pernah didukhul (digauli) maka dia tidak berhak dinafkahi dan statusnya cerai, jika sampai habis masa iddah belum kembali kepada Islam maka nikahnya fasakh (dibatalkan).

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:

وإن كانت ردتها بعد الدخول، فلا نفقة لها، وإن لم تسلم حتى انقضت عدتها، انفسخ نكاحها، ولو كان هو المرتد بعد الدخول، فلم يعد إلى الإسلام حتى انقضت عدتها، انفسخ النكاح منذ اختلف الدينان

Jika (istri) murtadnya setelah digauli maka tidak ada nafkah baginya, jika dia tidak kembali kepada Islam sampai habis iddahnya maka nikahnya difasakh. Jadi, jika murtadnya setelah digauli dan dia tidak kembali kepada Islam sampai habis iddahnya maka nikahnya difasakh, sejak agamanya berbeda (dengan suaminya).

(Al Mughni, 7/174)

Suami yang Murtad

Jika seorang suami yang murtad, dan terjadinya mereka sudah pernah hubungan badan, maka mereka sudah otomatis cerai. (Tidak usah menunggu suami wafat)

– Madzhab Maliki dan Hambali mengatakan cerai saat itu juga tanpa menunggu iddah

– Madzhab Syafi’i mengatakan dipisahkan setelah selesai iddah

Demikian. Wallahu a’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Berjabat Tangan dan Berpelukan Saat Bertemu

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Berjabat tangan saat berjumpa itu sunnah, sdgkan berpelukan tidak, kecuali bagi yang baru berjumpa setelah lama berpisah atau dari perjalanan jauh.

Haditsnya sangat banyak, di antaranya:

Berkata Qatadah Radhiallahu ‘Anhu:

قلت لأنس: أكانت المصافحة في أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم؟ قال: نعم

Aku berkata kepada Anas: apakah bersalaman di lakukan para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Dia menjawab: “Ya.”

(HR. Bukhari No. 5908)

– Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, Beliau berkata:

يا رسول الله أينحني بعضنا لبعض ؟ : قال ( لا ) . قلنا أيعانق بعضنا بعضا ؟ : قال ( لا . ولكن تصافحوا )

Wahai Rasulullah, apakah kami mesti membungkuk terhadap yang lain? Beliau menjawab: “Tidak.” Kami bertanya: “Apakah kami mesti berpelukan?” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi berjabat tanganlah.” (HR. Ibnu Majah No. 3702, Abu Ya’la No. 4287)

Hadits ini pada dasarnya dhaif, seperti kata Syaikh Husein Salim Asad dalam Tahqiqnya atas Musnad Abi Ya’la. (No. 4287). Namun karena ada tiga jalur lain yang menjadi mutaba’ah (menguatkan) yakni jalur Syu’aib bin Al Habhab, jalur Katsir bin Abdullah, dan jalur Al Mahlab bin Abi Shufrah, maka hadits ini HASAN. (As Silsilah Ash Shahihah No. 160)

Hadits ini membenarkan berjabat tangan, tp tidak membenarkan berpelukan dan membungkuk (pose seperti ruku’) dihadapan manusia.

Namun berpelukan dibolehkan jk sehabis dari bepergian. Sebab, itu hal yang jarang. Di sisi lain, mungkin nampak aneh setiap bertemu orang yang dekat dengan waktu yang berdekatan pula selalu berpelukan.

– Dari Anas pula:

كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إذا تلاقوا تصافحوا ، وإذا قدموا من سفر تعانقوا

“Adalah sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika mereka berjumpa mereka saling bersalaman, jika mereka datang dari bepergian, mereka saling berpelukan.”

(HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 97. Hasan. Lihat Shahih At Targhib wat Tarhib No. 2719. Imam Al Haitsami mengatakan: rijalnya (para perawinya) rijal hadits shahih. Lihat  Majma’ Az Zawaid, 8/36)

– Berjabat tangan dapat menggugurkan dosa, Dari Bara bin ‘Azib Radhialllahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مامن مسلمين يلتقيان، فيتصافحان، إلا غفر لهما، قبل أن يتفرقا

“Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu mereka bersalaman melainkan Allah ampuni mereka berdua sebelum mereka berpisah.”

(HR. Abu Daud No. 5212, Shahih. Lihat Al Misykah Al Mashabih No. 4679, Shahihul Jami’ No. 5777, dan lainnya)

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

واعلم أن هذه المصافحة مستحبة عند كل لقاء، وأما ما اعتاده الناس من المصافحة بعد صلاتي الصبح والعصر، فلا أصل له في الشرع على هذا الوجه، ولكن لا بأس به، فإن أصل المصافحة سنة، وكونهم حافظوا عليها في بعض الأحوال، وفرطوا فيها في كثير من الأحوال أو أكثرها، لا يخرج ذلك البعض عن كونه من المصافحة التي ورد الشرع بأصلها

“Ketahuilah, bersalaman merupakan perbuatan yang disunahkan dalam setiap pertemuan. Ada pun kebiasaan manusia saat ini bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar, maka yang seperti itu tidak ada dasarnya dalam syariat, tetapi itu tidak mengapa. Karena pada dasarnya bersalaman adalah sunah, dan keadaan mereka menjaga hal itu pada sebagian keadaan dan mereka berlebihan di dalamnya pada banyak keadaan lain atau lebih dari itu, pada dasarnya tidaklah keluar dari bersalaman yang ada dalam syara’.”

(Al Adzkar, Hal. 184. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Lihat juga dalam kitabnya yang lain. (Raudhatuth Thalibin, 7/438. Dar Al Maktabah Al ‘ilmiyah)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Tambahan WA’ FU ‘ANNI Dalam Duduk di Antara Dua Sujud, Tidak Ada?

💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Ini adalah tulisan dua tahun lalu, sebagai jawaban atas pertanyaan bbrp Ikhwan yang menanyakan adanya TUDINGAN KELIRUNYA kalimat WA’ FU ‘ANNI pada bacaan duduk di antara dua sujud. Mereka anggap tidak ada, bahkan sampai membuat meme dan menyebarkan meme tersebut.

Sesungguhnya tambahan kalimat WA’ FU ‘ANNI ini ADA, dalam kitab As Sunan Al Kubra-nya Imam Al Baihaqi:

قل اللهم اغفر لي وارحمني واهدني وارزقني وعافني واعف عني

Katakanlah: Allahummaghfirliy warhamniy wahdiniy warzuqniy wa ‘aafiniy wa’fu ‘anniy.

(HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3979)

Doa ini merupakan kalimat yang diajarkan Nabi ﷺ kepada sahabatnya yang merasa tidak bagus bacaan Al Qurannya, Beliau meminta kepada Nabi ﷺ diajarkan kalimat yang bisa mencukupi kekurangannya itu, maka Nabi ﷺ mengajarkannya dan di antaranya adalah doa ini.

Kemudian, doa ini dipakai para ulama dan dimaknai oleh mereka sebagai bagian dari doa di antara dua sujud.

Imam Syihabuddin An Nafrawiy –seorang ulama madzhab Malikiy- berkata:

وَفِي الْحَدِيثِ أَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يَقُولُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ: «اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَارْزُقْنِي وَاهْدِنِي وَعَافَنِي وَاعْفُ عَنِّي» .
وَقَالَ ابْنُ نَاجِي: قِيلَ يُسْتَحَبُّ الدُّعَاءُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ بِهَذَا الدُّعَاء

Dalam hadits disebutkan bahwa Nabi ﷺ membaca di saat duduk di antara dua sujud: Allahummaghfirliy warhamniy wahdiniy warzuqniy wa ‘aafiniy wa’fu ‘anniy.

Ibnu Najiy berkata: “Dikatakan bahwa sunnah berdoa di antara dua sujud dengan doa ini.”

(Al Fawakih Ad Dawaniy, 1/184)

Sementara dalam kitab Fiqhul ‘Ibadat ‘alal Madzhabil Malikiy tertulis:

يكره الدعاء في الركوع لأنه شُرِعَ للتسبيح، أما قبل الركوع وبعد الرفع منه فيجوز، وكذا بين السجدتين مطلوب أن يقول بينهما: “اللَّهم اغفر لي وارحمني واسترني واجبرني وارزقني وعافني واعف عني

Dimakruhkan berdoa saat ruku’, sebab yang disyariatkan adalah bertasbih. Ada pun sebelum ruku’ dan setelah bangun ruku’ boleh berdoa, demikian pula saat duduk di antara dua sujud diperintahkan membaca: Allahummaghfirliy warhamniy wasturniy wajburniy warzuqniy wa ‘aafiniy wa’fu ‘anniy.

(Fiqhul ‘Ibadat ‘alal Madzhabil Malikiy, 1/170)

Dalam madzhab Syafi’iy pun, bacaan ini sunnah saat duduk di antara dua sujud.

Disebutkan:

وَيُسَنُّ فِي الْجُلُوسِ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ الاِفْتِرَاشُ، وَوَضْعُ يَدَيْهِ قَريباً مِنْ رُكْبَتَيْهِ، وَنَشْرُ أَصَابِعِهِمَا وَضَمُّهَا قَائِلاً: رَبِّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَاجْبُرْنِي وَارْفَعْنِي وَارْزُقْنِي وَاهْدِني وَعَافِنِي وَاعْفُ عَنِّي

Disunnahkan saat duduk di antara dua sujud dengan cara iftirasy, dan melatakkan tangan dekat lutut, membuka jari jemari dan menggenggam lutut, lalu membaca: Rabbighfirliy warhamniy wajburniy warfa’niy warzuqniy wahdiniy wa ‘aafiniy wa’fu ‘anniy.

(Imam Abu Bakar Bafadhal Al Hadhramiy, Al Muqadimah Al Hadhramiyah, Hal. 71)

Sementara Imam Ibnu Hajar Al Haitamiy mengatakan bahwa kalimat: wa’fu ‘anniy merupakan tambahan dari Imam Al Ghazaliy, karena kesesuaiannya dengan kalimat sebelumnya. (Al Minhaj Al Qawim, 1/105). Imam Al Ghazaliy menyebut doa ini dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin (1/161)

Dalam Ad Durar as Saniyah, kumpulan fatwa para ulama Najd (Arab Saudi), tertulis:

سئل الشيخ عبد الله بن الشيخ محمد، رحمهم الله: ما يقول بين السجدتين؟
فأجاب: إذا جلس بين السجدتين، قال: رب اغفر لي، وارحمني، واهدني، وارزقني، وعافني، واعف عني

Syaikh Abdullah bin Syaikh Muhammad ditanya tentang bacaan duduk di antara dua sujud, Beliau menjawab: “Jika duduk di antara dua sujud, membaca: Rabbighfirliy warhamniy wahdiniy warzuqniy wa ‘aafiniy wa’fu ‘anniy.” (Ad Durar as Saniyah, jilid. 4, hal. 299)

Jika riwayat ini tdk ada, atau dhaif, atau tambahan dari manusia. Apakah ini sebuah kesalahan?

Dari Rifa’ah bin Raafi’, dia berkata;

صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَطَسْتُ فَقُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ مُبَارَكًا عَلَيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصَرَفَ فَقَالَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ ثُمَّ قَالَهَا الثَّانِيَةَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ ثُمَّ قَالَهَا الثَّالِثَةَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ رِفَاعَةُ بْنُ رَافِعٍ ابْنُ عَفْرَاءَ أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ كَيْفَ قُلْتَ قَالَ قُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ مُبَارَكًا عَلَيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ ابْتَدَرَهَا بِضْعَةٌ وَثَلَاثُونَ مَلَكًا أَيُّهُمْ يَصْعَدُ بِهَا

“Aku shalat dibelakang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu aku bersin, dan aku berkata: Alhamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi mubarakan ‘alaih kama yuhibbu rabbuna wa yardha (segala puji bagi Allah, dengan pujian yang banyak lagi baik dan keberkahan di dalamnya, dan keberkahan atasnya, sebagaimana yang disukai Tuhan kami dan diridhaiNya). Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selesai shalat, dia bertanya: “Siapa yang mengatakan tadi dalam shalat?”. Tidak ada satu pun yang menjawab. Beliau bertanya lagi kedua kalinya: “Siapa yang mengatakan tadi dalam shalat?”. Tidak ada satu pun yang menjawab. Beliau bertanya lagi ketiga kalinya: “siapa yang yang mengatakan tadi dalam shalat?” maka, berkatalah Rifa’ah bin Rafi’ bin ‘Afra: “Saya wahai Rasulullah!” Beliau bersabda: “Bagaimana engkau mengucapkannya?” dia menjawab: “Aku mengucapkan: ” Alhamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi mubarakan ‘alaih kama yuhibbu rabbuna wa yardha.” Maka, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, sebanyak tiga puluh Malaikat saling merebutkan siapa di antara mereka yang membawanya naik (kelangit).”

(HR. At Tirmidzi No. 402, katanya: hasan. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Misykah Al Mashabih No. 992)

Kita lihat dalam kisah ini, Rifa’ah bin Raafi’ Radhiallahu ‘Anhu, mengucapkan dzikirnya sendiri, yang tidak pernah diajarkan dan dicontohkan oleh Nabi ﷺ dan Nabi ﷺ menyetujuinya, bahkan memujinya. Ini istilahnya sunah taqririyah. Persetujuannya ini menunjukkan, tidak mengapa perbuatan ini, bahkan walau terjadinya dalam shalat.

Oleh karena itu Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

واستدل به على جواز إحداث ذكر في الصلاة غير ماثور إذا كان غير مخالف للمأثور وعلى جواز رفع الصوت بالذكر ما لم يشوش على من معه

Hadits ini merupakan dalil kebolehan menciptakan dzikir yang tidak ma’tsur di dalam shalat jika tidak bertentangan dengan dzikir yang ma’tsur, dan menunjukkan kebolehan meninggikan suara dalam dzikir selama tidak mengganggu orang-orang yang bersamanya. (Fathul Bari, 2/287)

Imam Ibnu ‘Abdil Bar Rahimahullah menjelaskan:

في مدح رسول الله صلى الله عليه وسلم لفعل هذا الرجل وتعريفه الناس بفضل كلامه وفضل ما صنع من رفع صوته بذلك الذكر أوضح الدلائل على جواز ذلك

Pujian Rasulullah ﷺ terhadap apa yang dilakukan laki-laki tersebut dan manusia mengetahui keutamaan perkataannya dan keutamaan apa yang dilakukannya berupa meninggikan suara dzikirnya, telah menjadi petunjuk bahwa hal itu memang BOLEH.

(At Tamhid, 16/198)

Jadi, sebaiknya dikatakan oleh nara sumber tsb bahwa yang lebih utama adalah bacaan ini, ada pun bacaan yang itu boleh. Jadi, antara utama dan boleh, bukan salah dan benar. Hal ini sangat rentan disalahpahami oleh orang awam.

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top