Shalat Tanpa Bersuci (Berwudhu, Tayamum) Karena ‘Udzur

💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim…

Telah sama-sama diketahui bersuci adalah miftahush shalah – kunci/pembuka shalat. Tanpanya shalat tidak sah.

Ada pun shalat tanpa bersuci, jika keadaannya memang super sulit untuk bersuci, baik ketiadaan air atau debu, atau memang kondisi yang membuatnya tidak mampu, maka shalat tetap SAH. Itu sesuai sunnah dan ruh Islam, yang membawa kemudahan. Baik dalil-dalil umum dan dalil-dalil khusus.

Dalil-dalil umum:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, Dia tidak menghendaki kesulitan bagimu.

(QS. Al Baqarah: 185)

Ayat lain:

لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya

(QS. Al Baqarah: 286)

Juga hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:

يسروا ولا تعسورا

Permudahlah dan jangan persulit (HR. Bukhari no. 69)

Hadits lain:

فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Jika kalian aku perintahkan sesuatu maka jalankanlah sesuai kemampuan kalian.

(HR. Muslim no. 1337)

Kaidah-kaidah fiqih:

اذا ضاق الأمر اتسعى

Jika sebuah urusan menjadi sempit lagi susah, maka dilapangkan dan mudah

المشقة تجلب التيسر

Keadaan sulit akan menarik kemudahan

Dalil khusus:

عَنْ عَائِشَةَ
أَنَّهَا اسْتَعَارَتْ مِنْ أَسْمَاءَ قِلَادَةً فَهَلَكَتْ فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِهِ فِي طَلَبِهَا فَأَدْرَكَتْهُمْ الصَّلَاةُ فَصَلَّوْا بِغَيْرِ وُضُوءٍ فَلَمَّا أَتَوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَكَوْا ذَلِكَ إِلَيْهِ فَنَزَلَتْ آيَةُ التَّيَمُّمِ فَقَالَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ جَزَاكِ اللَّهُ خَيْرًا فَوَاللَّهِ مَا نَزَلَ بِكِ أَمْرٌ قَطُّ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ لَكِ مِنْهُ مَخْرَجًا وَجَعَلَ لِلْمُسْلِمِينَ فِيهِ بَرَكَةً

Dari Aisyah bahwa dia meminjam kalung dari Asma’, lalu kalung itu hilang. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus beberapa orang sahabat untuk mencari kalung tersebut. Ketika waktu shalat tiba, mereka SHALAT TANPA WUDHU. Mereka mengadukan hal itu kepada Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam ketika menemui beliau, lantas turunlah ayat tayammum. Usaid bin Hudhair berkata; ‘Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan (yang melimpah). Demi Allah, tidaklah suatu perkara turun padamu melainkan Allah menjadikan bagimu jalan keluar, dan menjadikan keberkahan bagi kaum mukminin.’

(HR. Bukhari no. 3773, dan Muslim no. 367)

Penjelasan ulama, bahwa ketiadaan, ketidak mampuan atau kesulitan, untuk bersuci tidaklah menghilangkan atau menggugurkan kewajiban shalat.

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

ففيه دليل على وجوب الصلاة لفاقد الطهوريْن ووجهه أنهم صلوا معتقدين وجوب ذلك ولو كانت الصلاة حينئذ ممنوعة لأنكر عليهم النبي صلى الله عليه وسلم وبهذا قال الشافعي وأحمد وجمهور المحدثين وأكثر أصحاب مالك

Ini menjadi dalil wajibnya shalat bagi orang yang tidak ada sesuatu untuk bersuci dan mereka shalat yakin shalat itu wajib. Seandainya hal ini terlarang pasti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengingkari hal itu. Inilah pendapat asy Syafi’i, Ahmad, mayoritas ahli hadits, dan para sahabatnya Malik.

(Fathul Bari, 1/440)

Bersuci itu sama dengan syarat atau rukun shalat lainnya. Jika dalam keadaan tidak bisa diwujudkan maka shalat tetap sah. Orang yang tidak tahu arah kiblat, sampai selesai shalat dia tidak tahu arahnya, sehingga dia salah kiblatnya, shalatnya tetap sah. Sama seperti shalat wajib sambil berbaring, kalau dia benar-benar tidak mampu untuk berdiri bahkan duduk. Maka shalat tetap sah sambil berbaring.

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:

ولأنه شرط من شرائط الصلاة فيسقط عند العجز عنه كسائر شروطها وأركانها ولأنه أدى فرضه على حسبه فلم يلزمه الإعادة كالعاجز عن السترة إذا صلى عريانا والعاجز عن الاستقبال إذا صلى إلى غيرها والعاجز عن القيام إذا صلى جالسا

Sebab, itu adalah salah satu syarat sahnya shalat sebagaimana syarat-syarat lainnya yang gugur disaat seseorang lemah mewujudkannya seperti syarat dan rukun yang lain. Dia jalankan kewajibannya dan tidak wajib mengulanginya seperti orang yang tidak memiliki sesuatu menutup aurat sehingga dia shalat tidak berbusana, atau tidak bisa menghadap kiblat, atau tidak bisa berdiri sehingga dia shalatnya duduk.

(Al Mughni, 1/157)

Demikian. Wallahu a’lam

Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Antara Strategi Amr bin al ‘Ash dan Husnuzhzhannya Abu Ubaidah, Mu’adz, dan Abu Watsilah Radhiallahu’ Anhum

💢💢💢💢💢💢💢💢

Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah meriwayatkan dalam Musnadnya:

حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ حَدَّثَنِي أَبَانُ بْنُ صَالِحٍ عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ الْأَشْعَرِيِّ عَنْ رَابِّهِ رَجُلٍ مِنْ قَوْمِهِ كَانَ خَلَفَ عَلَى أُمِّهِ بَعْدَ أَبِيهِ كَانَ شَهِدَ طَاعُونَ عَمَوَاسَ قَالَ
لَمَّا اشْتَعَلَ الْوَجَعُ قَامَ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِي النَّاسِ خَطِيبًا فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا الْوَجَعَ رَحْمَةُ رَبِّكُمْ وَدَعْوَةُ نَبِيِّكُمْ وَمَوْتُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ وَإِنَّ أَبَا عُبَيْدَةَ يَسْأَلُ اللَّهَ أَنْ يَقْسِمَ لَهُ مِنْهُ حَظَّهُ قَالَ فَطُعِنَ فَمَاتَ رَحِمَهُ اللَّهُ
وَاسْتُخْلِفَ عَلَى النَّاسِ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ فَقَامَ خَطِيبًا بَعْدَهُ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا الْوَجَعَ رَحْمَةُ رَبِّكُمْ وَدَعْوَةُ نَبِيِّكُمْ وَمَوْتُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ وَإِنَّ مُعَاذًا يَسْأَلُ اللَّهَ أَنْ يَقْسِمَ لِآلِ مُعَاذٍ مِنْهُ حَظَّهُ قَالَ فَطُعِنَ ابْنُهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُعَاذٍ فَمَاتَ ثُمَّ قَامَ فَدَعَا رَبَّهُ لِنَفْسِهِ فَطُعِنَ فِي رَاحَتِهِ فَلَقَدْ رَأَيْتُهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا ثُمَّ يُقَبِّلُ ظَهْرَ كَفِّهِ ثُمَّ يَقُولُ مَا أُحِبُّ أَنَّ لِي بِمَا فِيكِ شَيْئًا مِنْ الدُّنْيَا فَلَمَّا مَاتَ اسْتُخْلِفَ عَلَى النَّاسِ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ فَقَامَ فِينَا خَطِيبًا فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا الْوَجَعَ إِذَا وَقَعَ فَإِنَّمَا يَشْتَعِلُ اشْتِعَالَ النَّارِ فَتَجَبَّلُوا مِنْهُ فِي الْجِبَالِ قَالَ فَقَالَ لَهُ أَبُو وَاثِلَةَ الْهُذَلِيُّ كَذَبْتَ وَاللَّهِ لَقَدْ صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنْتَ شَرٌّ مِنْ حِمَارِي هَذَا قَالَ وَاللَّهِ مَا أَرُدُّ عَلَيْكَ مَا تَقُولُ وَايْمُ اللَّهِ لَا نُقِيمُ عَلَيْهِ ثُمَّ خَرَجَ وَخَرَجَ النَّاسُ فَتَفَرَّقُوا عَنْهُ وَدَفَعَهُ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَ فَبَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ مِنْ رَأْيِ عَمْرٍو فَوَاللَّهِ مَا كَرِهَهُ

Telah menceritakan kepada kami Ya’qub telah menceritakan kepada kami bapakku dari Muhammad bin Ishaq telah menceritakan kepadaku Aban bin Shalih dari Syahr bin Hausyab Al Asy’ari dari suami ibunya, seorang lelaki dari kaumnya yang menikahi ibunya setelah ayahnya meninggal, dia termasuk yang menyaksikan peristiwa menjangkitnya penyakit Tha’un ‘Amwas yang merajalela, dia berkata;

Ketika Tha’un merajalela, berdirilah Abu Ubaidah bin Jarrah berkhutbah di hadapan orang-orang dan berkata;

“Wahai manusia! sesungguhnya penyakit ini merupakan rahmat dari Rabb kalian, doa para Nabi kalian, dan sebab kematian orang-orang shalih sebelum kalian. Dan sesungguhnya Abu Ubaidah memohon kepada Allah untuk mendapat bagian dari rahmat tersebut.”

Lalu dia kena Tha’un tersebut sehingga meninggal dunia -semoga Allah memberikan rahmat kepadanya.- kemudian Mu’adz bin Jabal menggantikan dia untuk memimpin orang-orang, kemudian dia dia berdiri menyampaikan khutbah setelah wafatnya Abu Ubaidah;

“Wahai manusia, penyakit ini merupakan rahmat dari Rabb kalian, doanya para Nabi kalian dan sebab kematiannya para orang-orang shalih sebelum kalian. Dan sesungguhnya Mu’adz memohon kepada Allah agar keluarga Mu’adz mendapat bagian dari rahmat tersebut.”

Kemudian Abdurrahman bin Mu’adz, anaknya terjangkit penyakit Tha’un sampai meninggal. Dia pun bangkit memohon kepada Rabbnya untuk dirinya, dan akhirnya dia juga terjangkit Tha’un di telapak tangannya. Sungguh saya melihatnya memperhatikan penyakit tersebut kemudian mencium bagian atas tangannya sambil berkata; “Aku tidak senang mempunyaimu dan (aku pergunakan untuk meletakkan perhiasan) dunia ada padamu.”

Ketika dia wafat, ‘Amru bin Al Ash menggantikan kedudukannya untuk memimpin orang-orang. Kemudian dia berdiri menyampaikan khutbah di hadapan kami;

“Wahai manusia! sesungguhnya jika wabah ini menjangkiti (di suatu negri) maka dia akan melahap sebagaimana menyalanya api, maka menghindarlah kalian ke gunung-gunung.”

Tetapi Abu Watsilah Al Hudzali berkata kepadanya; “Demi Allah, kamu telah berdusta, saya pernah menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kamu lebih buruk daripada keledaiku ini.”

‘Amru berkata; “Demi Allah aku tidak akan membalas perkataanmu, demi Allah saya tidak akan memperkarakan perkataanmu itu.” Dia pun keluar dan orang-orangpun ikut keluar berpencar darinya, kemudian Allah melenyapkan wabah tersebut dari mereka.

Ketika pendapat ‘Amr bin al’ Ash tersebut sampai kepada Umar bin Khaththab, demi Allah dia tidak membenci gagasan itu.”

📚 HR. Ahmad no. 1697

▶️ Status Hadits:

📌 Syaikh Ahmad Syakir menyatakan DHAIF, karena tidak dikenal siapa yang dimaksud
“seorang lelaki dari kaumnya yang menikahi ibunya setelah ayahnya meninggal”.

(Musnad Ahmad, 2/327. Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir)

📌 Syaikh Syu’aib al Arnauth mengatakan: DHAIF, karena Syahr bin Hausyab seorang yang dhaif, dan syaikh yang ada di sanad ini juga majhul (tidak dikenal). (Ta’liq Musnad Ahmad, 3/226)

▶️ Fiqih Hadits:

📌 Abul Hasan al Madaini mengatakan, Tha’un ‘Amwas adalah tha’ un yang terjadi pada masa Khalifah Umar, di Syam, dan menewaskan 15.000 orang.

(Dikutip Imam an Nawawi, al Adzkar, Hal. 138)

📌 ‘Amwas adalah nama sebuah desa, antara Ramalah dan Baitul Maqdis. al Ashmu’i mengatakan’ Amwas diambil dari ucapan mereka saat Tha’un terjadi: ‘amma wa aasaa. (Imam adz Dzahabi, Siyar A’lam an Nubala, 4/12)

📌 Di antara tokoh para sahabat nabi yang wafat adalah Muadz, Abu ‘Ubaidah, Syurahbil bin Hasanah, Abu Malik al Asy’ari.

(Tarikh Dimasyqi, 67/198), juga al Fadhl bin’ Abbas. (Thabaqat Ibni Sa’ad, 4/55)

📌 Dua Khutbah dari Abu ‘Ubaidah dan Mu’adz bin Jabal Radhiallahu’ Anhuma, menunjukkan sikap mereka yang berbaik sangka mereka kpd Tha’un. Bahwa tha’un adalah rahmat Allah, doa nabi, dan sebab kematian orang-orang shalih. Sehingga justru ini yang harapkan, bahkan Abu ‘Ubaidah dan Mu’adz berharap dia pun dapat bagian rahmat itu.

📌 Sementata khutbah ‘Amr bin al’ Ash Radhiallahu ‘Anhu, menunjukkan tha’un adalah marabahaya yang luar biasa dan cepat mematikan seperti api yang membakar. Maka, dia menganjurkan manusia untuk naik ke bukit dan gunung untuk menghindar jika ingin selamat.

📌 Abu Watsilah al Hudzali menolak pendapat Amr bin al ‘Ash dengan keras, dan dianggap itu lebih buruk dari keledainya. Keledai itu simbol kebodohan. Tapi, Amr bin al ‘Ash tidak membalas, dia tetap tegar atas pendapatnya.

📌 Manusia pun ikut pendapat Amr bin al’ Ash, mereka pun selamat. Wabah Tha’un ‘Amwas pun berakhir dengan izin Allah.

📌 Sebagian kitab, seperti al Jaami’ ash Shahih Lis Sunan wal Masanid (7/441), mengatakan yang menolak adalah Surahbil bin Hasanah, bukan Abu Watsilah.

📌 Kesimpulannya, ada manusia yang sikapnya seperti Abu Ubaidah, Mu’adz, dan Abu Watsilah, bahwa bencana itu rahmat Allah bagi orang-orang beriman, dan cara matinya orang-orang shalih. Ini benar, bagi orang beriman bencana adalah rahmat, karena akan menghapuskan dosa dan meninggikan derajatnya jika sia bersabar.

📌 Ada juga yang seperti ‘Amr bin al ‘Ash, sejak masa jahiliyah dia memang ahli strategi dan diplomat ulung. Menurutnya bencana Tha’un itu mesti dihindari, carilah cara untuk itu. Ini juga benar, sebab Allah Ta’ala memerintahkan jangan membinasakan diri sendiri. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga mengajarkan utk menghindari bahaya atau jgn membahayakan orang lain. Inilah yang lebih utama.

– Khalifah Umar setuju atas pendapat Amr, karena Umar sendiri pernah menghindar dari kota yang sedang wabah.

Semoga Allah meridhai mereka semua.

Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam-

🌿🌺🌷🌻🌸🌴🍃🌵

✍ Farid Nu’man Hasan

Qunut Subuh Menurut Madzhab Syafi’i

💢💢💢💢💢💢💢💢

Madzhab Syafi’i adalah madzhab terluas penyebarannya di dunia Islam setelah madzhab Hanafi. Termasuk di Indonesia sejak awal masuknya Islam, dibawa oleh para ulama dan pedagang dari Yaman, yang madzhabnya Syafi’i. Oleh karena itu, penting nampaknya kita memahami fiqih Islam dalam paradigma madzhab Syafi’i agar kita bisa hidup lebih luwes, lentur, dan bijak.

I. Di antara Dalil-dalilnya:

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu:

قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَيْهِمْ ثُمَّ تَرَكَهُ، فَأَمَّا فِي الصُّبْحِ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berqunut selama sebulan, lalu meninggalkannya, ada pun subuh Beliau terus-terusan qunut sampai meninggalkan dunia.

(HR. al Baihaqi, as Sunan al Kubra no. 3104. Sanadnya hasan. Lihat al Ahadits al Mukhtarah, 6/130. Imam Ibnul Mulaqqin mengatakan: “Maksud dari “lalu meninggalkannya” adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak lagi mendoakan dan melaknat orang-orang kafir, bukan bermakna meninggalkan semua qunutnya atau meninggalkan qunut kecuali subuh. Lihat al Badrul Munir, 3/625)

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu:

مَا زَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي صَلَاةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَ

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berqunut di shalat subuh sampai dia meninggalkan dunia.

(HR. al Baihaqi, as Sunan al Kubra no. 3105. Berkata Imam al Baihaqi: “Berkata Abu Abdillah (Imam al Hakim): sanadnya shahih, para perawinya tsiqah.” Imam an Nawawi mengatakan: “Hadits ini shahih sharih (shahih dan lugas). (al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 3/505))

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu katanya:

ما زال رسول الله صلى الله عليه وسلم يقنت في الفجر حتى فارق الدنيا

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berqunut di shalat subuh sampai meninggalkan dunia.

(HR. Ahmad dan Al Bazar. Al Haitsami berkata: Semua perawinya terpercaya. Majma’ az Zawaid, no. 2835)

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قنت حتى مات وأبو بكر حتى مات وعمر حتى مات

Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berqunut sampai wafat, Abu Bakar sampai wafat, Umar sampai wafat.

(HR. Al Bazar. Al Haitsami berkata: semua rijalnya terpercaya. Majma’ az Zawaid, no. 2836)

Dalam Zaadul Ma’ad-nya (1/282) Imam Ibnul Qayyim mengatakan bahwa semua hadits dari Anas adalah shahih, satu sama lain saling menguatkan, dan tidak saling bertentangan.

Ada pun perkataan Ibnu Abbas yang berbunyi bahwa qunut pada shalat subuh adalah bid’ah, merupakan riwayat yang tidak shahih.

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, Beliau berkata:

أَنَّ الْقُنُوتَ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ بِدْعَةٌ

Qunut pada shalat subuh itu bid’ah.

(HR. al Baihaqi, as Sunan al Kubra, no. 3159. Imam al Baihaqi berkata: “Tidak shahih, sebab Abu Laila al Kufi (salah satu perawinya, pen) adalah matruk (ditinggalkan haditsnya), kami telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas justru Beliau berqunut subuh.”)

Al Awwam bin Hamzah Rahimahullah berkata:

سَأَلْتُ أَبَا عُثْمَانَ عَنِ الْقُنُوتِ فِى الصُّبْحِ قَالَ : بَعْدَ الرُّكُوعِ. قُلْتُ : عَمَّنْ؟ قَالَ : عَنْ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ

Aku bertanya kepada Abu ‘Utsman tentang qunut pada shalat subuh, dia berkata: “Setelah ruku’”, aku berkata: “Dari siapa?” dia berkata: “Dari Abu Bakr, Umar, dan Utsman, radhiallahu ‘anhum.”

(HR. al Baihaqi, as Sunan al Kubra no. 3108, al baihaqi berkata: sanadnya hasan)

Al Aswad Rahimahullah berkata:

صليت خلف عمر في إلحضر والسفر فما كان يقنت إلا في صلاة الفجر

Aku shalat di belakang (jadi makmumnya) Umar baik saat tidak safar dan safar, Beliau tidak pernah qunut kecuali Shalat Subuh.

(HR. al Baihaqi, as Sunan al Kubra, 2/208)

Dari Ibnu Ma’qil (seorang tabi’iy), dia berkata:

وَعَن ابْن معقل التَّابِعِيّ، قَالَ: ” قنت عَلّي رَضِيَ اللَّهُ عَنْه فِي الْفجْر “

Ali Radhiallahu ‘Anhu berqunut di shalat subuh.”

(HR. al Baihaqi, as Sunan al Kubra, 2/204. Al Baihaqi berkata: SHAHIH dan terkenal. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: sanadnya shahih. At Talkhish al Habir, no. 1256)

Imam Zainuddin al ‘Iraqi Rahimahullah mengatakan:

وقد صحح هذا الحديث الحافظ أبو عبد الله محمد بن علي البجلي وأبو عبد الله الحاكم والدارقطني والبيهقي والنووي وغيرهم وممن قال باستحبابه في الصبح الخلفاء الأربعة رواه البيهقي بإسنادين جيدين

Hadits ini dishahihkan oleh al Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali al Bajalli, Abu Abdillah al hakim, ad Daruquthni, al Baihaqi, an Nawawi, dan selain mereka. Di antara yang menyunnahkan qunut subuh adalah Khalifah yang empat, sebagaimana diriwayatkan oleh al Baihaqi dengan dua sanad yang jayyid. (Tharhu at Tatsrib, 2/255)

💢💢💢💢💢💢💢💢

Imam asy Syaukani Rahimahullah mengatakan:

وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ إلَى أَنَّهُ مَشْرُوعٌ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَقَدْ حَكَاهُ الْحَازِمِيُّ عَنْ أَكْثَرِ النَّاسِ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ عُلَمَاءِ الْأَمْصَارِ ثُمَّ عَدَّ مِنْ الصَّحَابَةِ الْخُلَفَاءَ الْأَرْبَعَةَ إلَى تَمَامِ تِسْعَةَ عَشَرَ مِنْ الصَّحَابَةِ وَمِنْ الْمُخَضْرَمِينَ أَبُو رَجَاءٍ الْعُطَارِدِيُّ وَسُوَيْدِ بْنُ غَفَلَةَ وَأَبُو عُثْمَانَ النَّهْدِيُّ وَأَبُو رَافِعٍ الصَّائِغُ وَمِنْ التَّابِعِينَ اثْنَا عَشَرَ، وَمِنْ الْأَئِمَّةِ وَالْفُقَهَاءِ أَبُو إِسْحَاقَ الْفَزَارِيّ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ مُحَمَّدٍ وَالْحَكَمُ بْنُ عُتَيْبَةَ وَحَمَّادُ وَمَالِكُ بْنُ أَنَسٍ وَأَهْلُ الْحِجَازِ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَأَكْثَرُ أَهْلِ الشَّامِ وَالشَّافِعِيُّ وَأَصْحَابُهُ
وَعَنْ الثَّوْرِيِّ رِوَايَتَانِ، ثُمَّ قَالَ: وَغَيْرُ هَؤُلَاءِ خَلْقٌ كَثِيرٌ. وَزَادَ الْعِرَاقِيُّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ مَهْدِيٍّ وَسَعِيدَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ التَّنُوخِيَّ وَابْنَ أَبِي لَيْلَى وَالْحَسَنَ بْنَ صَالِحٍ وَدَاوُد وَمُحَمَّدَ بْنَ جَرِيرٍ، وَحَكَاهُ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنْ أَهْلِ الْحَدِيثِ مِنْهُمْ أَبُو حَاتِمِ الرَّازِيّ وَأَبُو زُرْعَةَ الرَّازِيّ وَأَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَاكِمُ وَالدَّارَقُطْنِيّ وَالْبَيْهَقِيُّ وَالْخَطَّابِيُّ وَأَبُو مَسْعُودٍ الدِّمَشْقِيُّ

Segolongan ulama mengatakan disyariatkannya qunut di shalat subuh. Al Hazimi menceritakan dari mayoritas manusia dari kalangan sahabat, tabi’in, orang-orang setelah mereka dari kalangan ulama di berbagai kota, sejumlah sahabat dari khalifah yang empat, hingga sembilan belas orang sahabat nabi, juga dari kalangan al Hadhramiyun Abu Raja’ Al ‘Atharidi, Suwaid bin Ghaflah, Abu Utsman Al Hindi, Abu Rafi’ Ash Shaigh, dua belas tabi’in, juga para imam fuqaha seperti Abu Ishaq Al Fazari, Abu Bakar bin Muhammad, Al Hakam bin ‘Utaibah, Hammad, Malik, penduduk Hijaz, dan Al Auza’i. Dan, kebanyakan penduduk Syam, Asy Syafi’i dan sahabatnya, dari Ats Tsauri ada dua riwayat, lalu dia (Al Hazimi) mengatakan: kemudian banyak manusia lainnya. Al ‘Iraqi menambahkan sejumlah nama seperti Abdurraman bin Mahdi, Sa’id bin Abdul ‘Aziz At Tanukhi, Ibnu Abi Laila, Al Hasan bin Shalih, Daud, Muhammad bin Jarir, juga sejumlah ahli hadits seperti Abu Hatim Ar Razi, Abu Zur’ah Ar Razi, Abu Abdullah Al Hakim, Ad Daruquthni, Al Baihaqi, Al Khathabi, dan Abu Mas’ud Ad Dimasyqi.

(Nailul Authar, 2/399-400)

📌 Hukumnya dalam madzhab Syafi’i

Imam an Nawawi Rahimahullah berkata:

الْقُنُوتُ فِي الصُّبْحِ بَعْدَ رَفْعِ الرَّأْسِ مِنْ رُكُوعِ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ سُنَّةٌ عِنْدَنَا بِلَا خِلَافٍ وَأَمَّا مَا نُقِلَ عَنْ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ رضى الله عنه أَنَّهُ لَا يُقْنَتُ فِي الصُّبْحِ لِأَنَّهُ صَارَ شِعَارَ طَائِفَةٍ مُبْتَدِعَةٍ فَهُوَ غَلَطٌ لَا يُعَدُّ مِنْ مَذْهَبِنَا

Qunut subuh setelah bangun ruku’ di rakaat yang kedua adalah SUNNAH menurut kami (Syafi’iyyah), tanpa perbedaan pendapat (dalam Syafi’iyyah). Ada pun apa yang dinukil dari Abu Ali bin Abi Hurairah bahwa tidak ada qunut subuh karena itu adalah syi’arnya ahli bid’ah, maka ini pernyataan yang salah, tidak dianggap sebagai madzhab kami.

(Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 3/494)

Beliau juga berkata bahwa berqunut subuh merupakan pendapat mayoritas salaf, berikut ini pernyataannya:

فِي مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ فِي إثْبَاتِ الْقُنُوتِ فِي الصُّبْحِ: مَذْهَبُنَا أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ الْقُنُوتُ فِيهَا سواء نزلت نازلة أو لم تنزل وبها قَالَ أَكْثَرُ السَّلَفِ وَمَنْ بَعْدَهُمْ أَوْ كَثِيرٌ مِنْهُمْ وَمِمَّنْ قَالَ بِهِ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ وَعُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَالْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ بِأَسَانِيدَ صَحِيحَةٍ وَقَالَ بِهِ مِنْ التَّابِعِينَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ خَلَائِقُ وَهُوَ مَذْهَبُ ابْنِ أَبِي ليلي والحسن ابن صَالِحٍ وَمَالِكٍ وَدَاوُد

Tentang madzhab-madzhab ulama dalam masalah qunut di shalat subuh: madzhab kami (Syafi’iyyah) menyunnahkan berqunut baik ada musibah atau tidak. Itulah pendapat mayoritas salaf, dan generasi setelah mereka, atau banyak dari mereka, di antaranya adalah Abu Bakr ash Shiddiq, Umar, Utsman, Ali, Ibnu Abbas, al Bara’ bin ‘Azib Radhiallahu ‘Anhum. (Diriwayatkan oleh al Baihaqi dengan sanad-sanad yang shahih). Ini juga pendapat tabi’in, dan manusia setelah mereka, ini juga madzhabnya Ibnu Abi Laila, al Hasan bin Shalih, Malik, Daud (azh Zhahiri).

(al Majmu’, 3/504)

📌Hukum meninggalkannya

Imam ar Rafi’i Rahimahullah menyebutkan aktivitas yang jika ditinggalkan baik lupa atau sengaja mesti sujud sahwi, di antaranya adalah berdiri untuk qunut dan qunut itu sendiri. (Al Muharrar fi Fiqh al Imam asy Syafi’i, 1/208)

Lihat juga Syaikh Wahbah az Zuhaili, Beliau mengatakan di antara yang menyebabkan sujud sahwi adalah: “Tidak tasyahud awal, tidak qunut subuh, atau tidak qunut witir di setengah Ramadhan …. .” (al Fiqhu asy Syafi’iyyah al Muyassar, 1/227)

Bahkan, Imam asy Syafi’i
Rahimahullah mengatakan tentang orang yang qunut subuh tapi dilakukan saat berdiri sebelum ruku’:

وَكَذَلِكَ لَوْ أَطَالَ الْقِيَامَ يَنْوِي بِهِ الْقُنُوتَ كَانَ عَلَيْهِ سُجُودُ السَّهْوِ؛ لِأَنَّ الْقُنُوتَ عَمَلٌ مَعْدُودٌ مِنْ عَمَلِ الصَّلَاةِ فَإِذَا عَمِلَهُ فِي غَيْرِ مَوْضِعِهِ، أَوْجَبَ عَلَيْهِ السَّهْوَ

Demikian juga seandainya seorang lama berdiri dan dia niatkan dengannya sebagai qunut, maka dia wajib sujud sahwi, karena qunut adalah amal spesifik dari aktifitas shalat, jika dilakukan pada bukan tempatnya maka dia wajib sahwi. (Al Umm, 1/154)

📌Makmum Mengaminkannya

Disukai (mustahab) bagi makmum mengaminkan qunutnya imam. Imam an Nawawi Rahimahullah:

وَيُسْتَحَبُّ لِلْمَأْمُومِ أَنْ يُؤَمِّنَّ عَلَى الدُّعَاءِ لِمَا رَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ ” قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَكَانَ يُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ

Disukai (mustahab/sunnah) bagi makmum mengaminkan doa (qunut), berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berqunut dan orang-orang dibelakangnya mengaminkannya.” (Al Majmu’, 3/493)

Hadits Ibnu Abbas yang dikutip Imam an Nawawi tersebut diriwayatkan oleh Imam al Hakim, menurutnya shahih, sesuai syarat Imam Bukhari. (Al Mustadrak ‘alash Shahihain no. 820), disepakati oleh Imam adz Dzahabi.

💢💢💢💢💢💢💢

Makmum Mengaminkannya

Disukai (mustahab) bagi makmum mengaminkan qunutnya imam.

Imam an Nawawi Rahimahullah:

وَيُسْتَحَبُّ لِلْمَأْمُومِ أَنْ يُؤَمِّنَّ عَلَى الدُّعَاءِ لِمَا رَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ ” قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَكَانَ يُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ

Disukai (mustahab/sunnah) bagi makmum mengaminkan doa (qunut), berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berqunut dan orang-orang dibelakangnya mengaminkannya.”
(Al Majmu’, 3/493)

Hadits Ibnu Abbas yang dikutip Imam an Nawawi tersebut diriwayatkan oleh Imam al Hakim, menurutnya shahih, sesuai syarat Imam Bukhari. (Al Mustadrak ‘alash Shahihain no. 820), disepakati oleh Imam adz Dzahabi.

Mengangkat Kedua Tangan

Ada pun mengangkat tangan, ada tiga pendapat dalam internal madzhab syafi’i. Imam an Nawawi menyebutkan sebabnya:

وَأَمَّا رَفْعُ الْيَدَيْنِ فِي الْقُنُوتِ فَلَيْسَ فِيهِ نَصٌّ وَاَلَّذِي يَقْتَضِيهِ الْمَذْهَبُ

Sedangkan mengangkat tangan di saat qunut tidak ada dalil (khusus) yang bisa dijadikan keputusan madzhab (secara resmi). (Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 3/493)

Beliau menjelaskan dalam kitabnya yang lain:

وهل يسن رفع اليدين في القنوت، ومسح الوجه بهما إذا فرغ ؟ فيه أوجه. أصحها: يستحب الرفع، دون المسح. والثاني: يستحبان. والثالث: لا يستحبان. قلت: لا يستحب مسح غير وجهه قطعا. بل نص جماعة على كراهته

Apakah disunnahkan mengangkat tangan dalam doa qunut dan mengusap wajah setelahnya? Dalam hal ini ada beberapa pendapat. Paling shahih, adalah disunnahkan mengangkat tangan tanpa mengusap wajah. Kedua, kedua hal itu disunnahkan. Ketiga, kedua hal itu sama-sama tidak disunnahkan. Aku (Imam an Nawawi) berkata: “Mengusap selain wajah tidak disunnahkan, bahkan itu makruh.”

(Raudhatuth Thalibin, 1/360)

Maksud dari “mengusap selain wajah” seperti mengusap dada seperti yang dilakukan sebagian orang awam setelah berdoa. Itu makruh.

Disunnahkan mengangkat tangan karena itu sesuai dengan keumuman adab dalam berdoa, serta riwayat doa qunut nazilah dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu:

لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّمَا صَلَّى الْغَدَاةَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ يَدْعُو عَلَيْهِمْ يَعْنِي عَلَى الَّذِينَ قَتَلُوهُمْ

Aku lihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat subuh mengangkat kedua tangannya mendoakan mereka (yakni orang-orang yang telah membunuh para al Qurra). (HR. al Baihaqi, al Kubra no. 3154. Imam an Nawawi mengatakan: shahih. Al Majmu’, 3/500)

Imam Ibnu Daqiq al ‘Id Rahimahullah mengatakan:

مَا وَرَدَ فِي رَفْعِ الْيَدَيْنِ فِي الْقُنُوتِ. فَإِنَّهُ قَدْ صَحَّ رَفْعُ الْيَدِ فِي الدُّعَاءِ مُطْلَقًا. فَقَالَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ: يَرْفَعُ الْيَدَ فِي الْقُنُوتِ؛ لِأَنَّهُ دُعَاءٌ. فَيَنْدَرِجُ تَحْتَ الدَّلِيلِ الْمُقْتَضِي لِاسْتِحْبَابِ رَفْعِ الْيَدِ فِي الدُّعَاءِ

Tentang mengangkat kedua tangan saat qunut, sesungguhnya telah shahih mengangkat tangan di saat doa secara mutlak. Sebagian ahli fiqih mengatakan: mengangkat kedua tangan di saat qunut, karena itu doa. Maka, angkat tangan saat qunut termasuk kecakupan dalil kesunnahan mengangkat kedua tangan saat berdoa. (Ihkamul Ahkam, 1/201)

📚 Kesimpulan:

Dari keterangan berbagai hadits, keterangan salaf, dan para ulama Syafi’iyyah, kita simpulkan:

1. Qunut subuh memiliki dalil-dalil kuat menurut madzhab Syafi’i, bahkan Imam Ibnul Qayyim yang Hambali mengakui keshahihan hadits-hadits qunut dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, walau dia tidak mengikuti rutinnya qunut subuh.

2. Qunut subuh dalam madzhab Syafi’i adalah sunnah, dan itu disepakati oleh mereka, tidak ada yang mengatakan wajib sebagaimana persangkaan orang awam, atau bukan juga bid’ah.

3. Qunut subuh dalam madzhab Syafi’i dilakukan setelah ruku’, yaitu ketika i’tidal.

4. Qunut subuh bukanlah bermakna diam, berdiri, khusyu’, sebagaimana bahasanya, tapi memang sebuah aktifitas khusus dalam shalat.

5..Meninggalkan qunut subuh, atau melakukan qunut subuh tidak pada tempatnya, mesti sujud sahwi.

6. Disunnahkan mengaminkan dengan mengangkat kedua tangan, tanpa mengusap wajah setelahnya.

Pelajaran Akhlak dari Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah

Tentang Qunut Subuh, diceritakan tentang Imam Ahmad Rahimahullah :

فقد كان الإمام أحمدُ رحمه الله يرى أنَّ القُنُوتَ في صلاة الفجر بِدْعة، ويقول: إذا كنت خَلْفَ إمام يقنت فتابعه على قُنُوتِهِ، وأمِّنْ على دُعائه، كُلُّ ذلك مِن أجل اتِّحاد الكلمة، واتِّفاق القلوب، وعدم كراهة بعضنا لبعض

“Imam Ahmad Rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah bid’ah. Namun dia mengatakan: “Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.”

(Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Syarhul Mumti’, 4/25. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Apa yang dilakukan Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah, begitu bagus. Sebab, ukhuwah Islamiyah dan persatuan itu mesti ada tampilan zhahirnya (nampak), bukan hanya teori.

Demikian. Wallau Alam

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌴🌵

✍ Farid Nu’man Hasan

Qunut Nazilah di Shalat Sirriyah, Apakah Mengeraskan Suara?

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Dalam fiqih madzhab Syafi’i, qunut nazilah itu berlaku di semua shalat wajib yg lima. Semua dilakukan dgn Jahr (dikeraskan suara). Tapi dikeraskan itu mustahab (disukai, sunnah) saja, bukan syarat.

Hal ini berdasarkan informasi hadits berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رِعْلًا وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَبَنِي لَحْيَانَ اسْتَمَدُّوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عَدُوٍّ فَأَمَدَّهُمْ بِسَبْعِينَ مِنْ الْأَنْصَارِ كُنَّا نُسَمِّيهِمْ الْقُرَّاءَ فِي زَمَانِهِمْ كَانُوا يَحْتَطِبُونَ بِالنَّهَارِ وَيُصَلُّونَ بِاللَّيْلِ حَتَّى كَانُوا بِبِئْرِ مَعُونَةَ قَتَلُوهُمْ وَغَدَرُوا بِهِمْ فَبَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو فِي الصُّبْحِ عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَبَنِي لَحْيَانَ

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Dzakwan, ‘Ushayyah dan bani Lahyan meminta bantuan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menghadapi musuh, lalu beliau mengirim bala bantuan tujuh puluh sahabat Anshar, kami menyebut mereka sebagai al Qurra’ di zaman mereka. Mereka biasa mencari kayu bakar di siang hari dan shalat malam di malam harinya, ketika mereka tiba di Bi’rul Ma’unah, mereka (orang-orang kafir) membunuh dan mengkhianati mereka. Ketika peristiwa itu sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau melaksanakan qunut selama sebulan dalam shalat Subuh, beliau mendoakan kecelakaan terhadap penduduk di antara penduduk-penduduk Arab, yaitu Ri’l, Dzakwan, ‘Ushayyah serta bani Lahyan.”

(HR. Bukhari no. 4090)

Hadits ini begitu jelas bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mendoakan celaka kepada penduduk Arab yang membunuh 70 sahabatnya. Maka, penceritaan ini mustahil diketahui jika doanya sirr (pelan). Itu menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melakukan secara jahr (keras) dan melakukannya disemua shalat wajib selama sebulan.

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وحديث قنوت النبي صلى الله عليه وسلم حين قُتل القراء رضي الله عنهم يقتضي أنه كان يجهر به في جميع الصلوات ، هذا كلام الرافعي . والصحيح أو الصواب استحباب الجهر

Hadits tentang berqunutnya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika di bunuhnya para ahli Al Quran Radhiallahu ‘Anhum, menunjukkan mengeraskan suara di semua shalat. Inilah ucapan Ar Rafi’i. Yang shahih dan tepat adalah disunnahkan mengeraskan suara. (Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 3/482)

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

وظهر لي أن الحكمة في جعل قنوت النازلة في الاعتدال دون السجود مع أن السجود مظنة الإجابة كما ثبت ( أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد ) وثبوت الأمر بالدعاء فيه أن المطلوب من قنوت النازلة أن يشارك المأموم الإمام في الدعاء ولو بالتأمين ،ومن ثمَّ اتفقوا على أنه يجهر به

Yg benar menurutku hikmah kenapa qunut nazilah itu dilalukan saat i’tidal, bukan saat sujud, padahal sujud itu momen dikabulkannya doa sebagaimana hadits shahih (posisi paling dekat antara hamba dengan Rabbnya adlah saat sujudnya) dan telah shahih pula perintah berdoa saat itu. Karena, yg dituntut dari qunut nazilah adalah kesertaan makmum terhadap dengan mengaminkan, oleh karena itu mereka sepakat bahwa itu dijaharkan suaranya.

(Fathul Bari, 2/570)

Namun, sebagai wacana ilmiah, kami sampaikan bahwa:

– Menurut golongan Malikiyah, hanya berpendapat qunut nazilah di SHALAT SUBUH SAJA.

-Sedangkan Hanafiyah, qunut nazilah hanya di shalat Jahriyah (isya, maghrib, subuh) saja.

– Hambaliyah, SAMA dengan SYAFI’IYAH, tapi khusus shalat JUMAT mereka TIDAK ADA qunut nazilah krn sdh ada doa di khutbah. Ini juga pendapat sebagian tabi’in seperti Thawus, Makhul, an Nakha’i, al Hasan, dan Qatadah.

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌴🌵

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top