Menunda Qadha Puasa Bertahun-tahun, Apakah Jumlah Qadhanya Bertambah?

💢💢💢💢💢💢

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat kepada Anda dan keluarga.

Dalam masalah qadha puasa, memang ada beberapa perincian. Dalam Al Fiqh Al Muyassar, disebutkan:

– Jika meninggalkan puasa Ramadhan tanpa alasan, maka dia wajib bertobat dan memohon ampun, sebab itu dosa dan kemungkaran besar. Serta wajib baginya qadha secara faur (segera), menurut pendapat yang shahih dari berbagai pendapat ulama.

– Jika tidak puasa Ramadhan ada alasan syar’i seperti haid, nifas, sakit, safar, dan lainnya, maka wajib baginya qadha tapi tidak wajib segera. Dia punya waktu lapang sampai Ramadhan selanjutnya, namun hal yang disunnahkan baginya untuk segera mengqadha, sebagai tindakan yang lebih hati-hati. (Lihat Al Fiqh Al Muyassar fi Dhau’il Quran was Sunnah, hal. 162)

Lalu, apakah jika menunda qadha mesti ditambah dengan fidyah? Ini pun juga dirinci, sebagai berikut:

– Jika menunda-nundanya TANPA alasan, misal hanya karena kesibukan dan malas, maka wajib baginya juga fidyah, yaitu satu harinya sebesar satu mud. Inilah pendapat mayoritas ulama, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Mujahid, Sa’id bin Jubeir, Malik, Al Awza’i, Ats Tsauri, Asy Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Atha’ bin Abi Rabah, Al Qasim bin Muhammad, Az Zuhri. Hanya saja Ats Tsauri mengatakan 2 mud untuk masing-masing hari yg ditinggalkan.

Ada pun Al Hasan Al Bashri, Ibrahim an Nakha’i, Abu Hanifah, Al Muzani, Daud Azh Zhahiri, mengatakan qadha saja, tanpa fidyah.

– Jika menunda qadhanya ada udzur syar’i, misalnya sakit yang menahun, atau hamil, dan lainnya, maka qadha saja tanpa fidyah.

(Lihat Al Mausu’ah Masaail Al Jumhur, jilid. 1, hal. 321. Lihat juga Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid. 3, hal. 108)

Jika tertundanya sampai melewati Ramadhan selanjutnya apalagi beberapa tahun dan itu tanpa alasan, maka itu penundaan yang terlarang. Aisyah Radhiallahu ‘Anha juga menunda tapi tidak sampai melewati Ramadhan selanjutnya.

Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:

ما كنت أقضي ما يكون علي من رمضان إلا في شعبان حتى توفي رسول الله صلى الله عليه و سلم

Aku tidak pernah mengqadha apa-apa yang menjadi kewajiban atasku dari Ramadhan, kecuali di bulan sya’ban, sampai wafatnya Rasulullah ﷺ. (HR. At Tirmidzi No. 783, katanya: hasan shahih)

Namun demikian, hal tersebut tidak lantas pelakunya kena denda dengan jumlah qadha puasa yang “berbunga”. Seperti yang dijelaskan Imam Ibnu Qudamah. (Al Mughni, jilid. 3, hal. 154)

Misal, tahun 2018 tidak puasa 10 hari, baru sempat qadha 2020, maka tetap dia qadha 10 hari saja utk puasa yang tahun 2018 itu. Jika menunda qadhanya tanpa alasan maka tambah dengan fidyah menurut mayoritas ulama, sebagaimana penjelasan sebelumnya.

Kalau tahun 2019 dia juga ada puasa yang ditinggal, itu juga wajib qadha, dan disikapi sama sebagaimana yang tahun 2018. Terus seperti itu.

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Basmalah Dikeraskan atau Dipelankan?

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Pak Ustadz, di mushalla kami ada imam kalau baca alfatihah langsung alhamdulillahirabbil ‘alamin.. Sy mikirnya mungkin dia baca tapi dipelankan, tp biasanya di mushalla kami tidak begitu akhirnya saya yg bingung 😊.. Sebenernya mana yg shohih?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Masalah basmalah dikeraskan atau dipelankan dalam shalat jahriyah bukanlah hal yang pokok dalam agama, bahkan dalam shalat sendiri, itu bukan bagian dari rukun shalat.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

فهذه مآخذ الأئمة رحمهم الله في هذه المسألة وهي قريبة؛ لأنهم أجمعوا على صحة صلاة من جهر بالبسملة ومن أسر

Inilah refrensi para imam dalam masalah ini, dan ini pendapat yang berdekatan, karena mereka telah ijma’ bahwa shalat tetap sah baik yang basmalahnya dikeraskan atau dipelankan. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/118)

Semoga tidak menjadi sebab rusaknya ukhuwah Islamiyah.

Dalam hal ini, secara umum ada tiga pendapat ulama.

1️⃣ Sunnahnya basmalah itu dipelankan

Ini pendapat umumnya ulama sejak masa sahabat, empat khalifah, dan generasi setelahnya.

Imam at Tirmidzi Rahimahullah mengatakan:

وَالعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ العِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُمْ: أَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ، وَعُثْمَانُ، وَعَلِيٌّ، وَغَيْرُهُمْ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ التَّابِعِينَ.
وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، وَابْنُ الْمُبَارَكِ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ: لاَ يَرَوْنَ أَنْ يَجْهَرَ بِ {بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}، قَالُوا: وَيَقُولُهَا فِي نَفْسِهِ

Inilah yang diamalkan mayoritas ulama dari kalangan sahabat nabi, di antaranya: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, dan lainnya, dan generasi setelah mereka dari tabi’in. Ini juga pendapat Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad, dan Ishaq, bagi mereka membaca “Bismillahirrahmanirrahim” tidaklah dikeraskan, membacanya di hati saja.

(Sunan at Tirmidzi, Hal. 327)

Dalil-dalilnya adalah:

1. Hadits dari Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu ‘Anhu

عَنِ ابْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مُغَفَّلٍ، قَالَ: سَمِعَنِي أَبِي وَأَنَا فِي الصَّلاَةِ، أَقُولُ: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، فَقَالَ لِي: أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ إِيَّاكَ وَالحَدَثَ، قَالَ: وَلَمْ أَرَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَبْغَضَ إِلَيْهِ الحَدَثُ فِي الإِسْلاَمِ، يَعْنِي مِنْهُ، قَالَ: وَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَعَ أَبِي بَكْرٍ، وَمَعَ عُمَرَ، وَمَعَ عُثْمَانَ، فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَقُولُهَا، فَلاَ تَقُلْهَا، إِذَا أَنْتَ صَلَّيْتَ فَقُلْ: {الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ}

Dari Ibnu Abdullah bin Mughaffal ia berkata; Ayahku (Abdullah bin Mughaffal) mendengarku ketika aku dalam shalat, ketika itu aku membaca, “BISMILLAAHIIR RAHMAANIR RAHIIM (Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah), lalu ayahku berkata; “Wahai anakku, engkau telah melakukan hal yang baru (bid’ah), jauhilah perkara baru!” Ia (ayahku) berkata; “Aku tidak pernah melihat seorang pun dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membenci sesuatu selain perkara yang baru (diada-adakan) di dalam Islam.” Ia berkata lagi, “Aku pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman, namun aku belum pernah melihat mereka mengucapkannya, maka janganlah engkau ucapkan itu. Jika engkau melaksanakan shalat maka bacalah, “ALHAMDULILLAAHI RABBIL ‘AALAMIIN (Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam).”

(HR. At Tirmidzi no. 244. Imam at Tirmidzi mengatakan: hasan. Sementara Syaikh Kamal Ibnus Sayyid Salim dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/542, mengatakan DHA’IF)

2. Hadits Anad bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu berkata:

أن النبي صلى الله عليه وسلم وأبا بكر وعمر رضي الله عنهما كانوا يفتتحون الصلاة بالحمد لله رب العالمين

Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, dan Umar, mereka memulai shalat dengan membaca ALHAMDULILAHIRABBIL ‘ALAMIN. (HR. Bukhari no. 743 dan Muslim no. 399)

Dalam Shahih Muslim pula, dari Anas bin Malik pula:

صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر وعثمان فلم أسمع أحدًا منهم يقرأ بسم الله الرحمن الرحيم

Aku Shalat bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman, tidak pernah mendengar satu pun dari mereka yang membaca BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM.

3. Hadits Aisyah Radhiallahu ‘Anha

Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يستفتح الصلاة بالتكبير، والقراءة بـ {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ}

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memulai shalat dengan bertakbir, dan membaca ALHAMDULILAHIRABBIL’ ALAMIN. (HR. Muslim no. 498)

Syaikh Kamal bin as Sayyid Salim mengatakan:

قالوا: وهو ظاهر في عدم الجهر بالبسملة، ومؤيد لحديث أنس

Mereka (para ulama) mengatakan: ini secara zahir menunjukkan tidak dikeraskannya membaca basmalah, menguatkan apa yang ada pada hadits Anas. (Shahih Fiqh as Sunnah, 1/542)

2️⃣ Sunnahnya basmalah dikeraskan

Ini pendapat Imam asy Syafi’i dan pengikutnya, juga pendapat sebagaian sahabat nabi, dan pembesar tabi’in.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ إِلَى أَنَّهُ يَجْهَرُ بِهَا مَعَ الْفَاتِحَةِ وَالسُّورَةِ، وَهُوَ مَذْهَبُ طَوَائِفٍ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ سَلَفًا وَخَلَفًا، فَجَهَرَ بِهَا مِنَ الصَّحَابَةِ أَبُو هُرَيْرَةَ وَابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَمُعَاوِيَةُ وَحَكَاهُ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ وَالْبَيْهَقِيُّ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَنَقَلَهُ الْخَطِيبُ عَنِ الْخُلَفَاءِ الْأَرْبَعَةِ وَهُمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَهُوَ غَرِيبٌ، وَمِنَ التَّابِعِينَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ وَعِكْرِمَةَ وَأَبِي قِلَابَةَ وَالزُّهْرِيِّ وَعَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ وَابْنِهِ مُحَمَّدٍ وَسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ وَعَطَاءٍ وَطَاوُسٍ وَمُجَاهِدٍ وَسَالِمٍ وَمُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ الْقُرَظِيِّ وَأَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ وَأَبِي وَائِلٍ وَابْنِ سِيرِينَ وَمُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ وَعَلِيِّ بْنِ عَبْدِ الله ابن عَبَّاسٍ وَابْنِهِ مُحَمَّدٍ وَنَافِعٍ مَوْلَى ابْنِ عُمَرَ وَزَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ وَعُمَرَ بْنِ عَبَدِ الْعَزِيزِ وَالْأَزْرَقِ بْنِ قَيْسٍ وَحَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ وَأَبِي الشَّعْثَاءِ وَمَكْحُولٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَعْقِلِ بْنِ مُقَرِّنٍ زَادَ الْبَيْهَقِيُّ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ صفوان ومحمد بن الْحَنَفِيَّةِ. زَادَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ: وَعَمْرُو بْنُ دِينَارٍ

Imam asy Syafi’i berpendapat membaca basmalah pada al fatihah dan surah itu dikeraskan, ini juga pendapat berbagai golongan seperti para sahabat, tabi’in, dan para imam kaum muslimin baik salaf dan khalaf.

Di kalangan sahabat di antaranya adalah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Muawiyah. Ibnu Abdil Bar dan al Baihaqi menceritakan ini juga pendapat Umar dan Ali. Al Khathib menukil ini juga pendapat empat Khalifah yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, tapi ini riwayat yang gharib (menyendiri/asing).

Dari kalangan tabi’in, yaitu Said bin Jubeir, Ikrimah, Abu Qilabah, Az Zuhri, Ali bin al Husein dan anaknya yaitu Muhammad, Said bin al Musayyab, Atha, Thawus, Mujahid, Salim, Muhammad bin Ka’ab, Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm, Abu Wail, Ibnu Sirin, Muhammad bin Munkadir, Ali bin Abdillah bin Abbas dan anaknya yaitu Muhammad, Naafi’ pelayan Ibnu Umar, Zaid bin Aslam, Umar bin Abdil Aziz, al Arzaq bin Qais, Habib bin Abi Tsabit, Abu Asy Sya’tsa, Makhul, Abdullah bin Ma’qil bin Muqarrin. Al Baihaqi menambahkan: Abdullah bin Shafwan dan Muhammad bin al Hanafiyah. Ibnu Abdil Bar mengatakan: Amru bin Dinar.

(Tafsir Ibnu Katsir, 1/177)

Dalil-dalil kelompok ini:

1. Hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ صَلَّى فَجَهَرَ فِي قِرَاءَتِهِ بِالْبَسْمَلَةِ، وَقَالَ بَعْدَ أَنْ فَرَغَ: إِنِّي لَأَشْبَهُكُمْ صَلَاةً بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم

Dari Abu Hurairah bahwa dia shalat MENGERASKAN dalam membaca basmalah. Dia pun berkata setelah selesai shalat: “Saya tunjukkan kepada kalian shalat yang serupa dengan shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”

(HR. Ibnu Hibban no. 450, Ibnu Khuzaimah no. 499. Imam Ibnu Katsir mengatakan: “Dishahihkan oleh Ad Daruquthni, Al Khathib, Al Baihaqi, dan selain mereka.” Tafsir Ibnu Katsir, 1/117)

2. Hadits Anad bin Malik Radhiyallahu’ Anhu

كانَتْ قِرَاءَتُهُ مَدًّا، ثُمَّ قَرَأَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، يَمُدُّ بِسْمِ اللَّهِ، وَيَمُدُّ الرَّحْمَنِ، وَيَمُدُّ الرَّحِيمِ

Bacaan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam itu panjang, lalu Beliau membaca Bismillahirrahmanirrahim, memanjangkan bismillah, memanjangkan ar rahmaan, dan memanjangkan ar rahiim.

(HR. Bukhari no. 5046)

Anas bin Malik juga berkata:

أَنَّ مُعَاوِيَةَ صَلَّى بِالْمَدِينَةِ، فَتَرَكَ الْبَسْمَلَةَ، فَأَنْكَرَ عَلَيْهِ مَنْ حَضَرَهُ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ ذَلِكَ، فَلَمَّا صَلَّى الْمَرَّةَ الثَّانِيَةَ بَسْمَلَ

Bahwa Muawiyah shalat di Madinah, dia tidak membaca basmalah, lalu hal itu diingkari oleh para jamaah yang hadir dari kalangan Muhajirin, saat dia shalat lagi yang kedua, dia membaca basmalah.

(HR. Asy Syafi’i dalam Musnadnya, Al Hakim dalam al Mustadrak, 1/233)

3. Hadits Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha

انَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يقطع قراءته: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ. وَقَالَ الدَّارَقُطْنِيُّ: إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ

Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membaca secara terputus: Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahirabbil’ alamin. Arrahmanirrahim. Malikiyaumiddin.

(HR. Ahmad, 6/302, Abu Daud no. 1466, Al Hakim 2/131. Di shahihkan oleh Ibnu Khuzaimah. Ad Daruquthni berkata: Shahih. Tafsir Ibnu Katsir, 1/118)

Imam Ibnu Katsir sendiri mendukung pendapat ini, Beliau berkata:

وَفِي هَذِهِ الْأَحَادِيثِ، وَالْآثَارِ الَّتِي أَوْرَدْنَاهَا كِفَايَةٌ وَمَقْنَعٌ فِي الِاحْتِجَاجِ

Berbagai hadits dan atsar yang telah kami sampaikan begitu mencukupi dan memuaskan sebagai hujjah. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/118)

3️⃣ Tidak membaca bismillah baik secara keras atau pelan

Ini pendapat Imam Malik, alasannya karena menurutnya Bismillahirrahmanirrahim bukanlah bagian dari Alfatihah.

Imam Ibnu Katsir mengatakan:

وَعِنْدَ الْإِمَامِ مَالِكٍ: أَنَّهُ لَا يَقْرَأُ الْبَسْمَلَةَ بِالْكُلِّيَّةِ، لَا جَهْرًا وَلَا سِرًّا

Menurut Imam Malik bahwa secara keseluruhan basmalah itu tidak dibaca baik secara keras atau pelan. (Ibid)

Alasan-alasan kelompok ini sama dengan kelompok pertama. Bagi mereka hadits-hadits yang dijadikan hujjah oleh kelompok pertama, baik dari Anas, Aisyah, dan Abdullah bin Mughaffal, maknanya adalah tidak membaca basmalah, bukan sekedar melirihkan/memelankan suara saat membacanya. Inilah ta’wil golongan ini.

Syaikh Abdul Aziz ar Rajihi mengatakan:

عدم قراءتها بالكلية لا جهراً ولا سراً، وهذا هو قول مالك، وهو أضعف الأقوال

Tidak membaca basmalah sama sekali disemua shalat baik secara keras atau lirih, adalah pendapat Imam Malik, dan ini adalah pendapat paling lemah. (Syarh Tafsir Ibnu Katsir, 7/6)

Demikianlah peta perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini dan masing-masing dalil-dalil mereka.

Jadi, jika ada seseorang atau imam shalat yang mengeraskan bacaan basmalahnya, maka dia telah menjalankan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sunnah para sahabat, para tabi’in, dan sebagian imam madzhab.

Begitu pun jika ada yang membacanya secara pelan maka dia pun telah menjalankan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sunnah para sahabat, tabi’in, dan para imam madzhab.

Ada penjelasan bagus dari Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah:

والإِنصاف الذي يرتضيه العالم المنصف، أنه صلى الله عليه وسلم جهر، وأسر، وقنت، وترك، وكان إسرارُه أكثَر من جهره، وتركه القنوتَ أكثر من فعله

Pendapat yang bijak yang diridhai oleh para ulama yang objektif adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membaca baamalah secara keras, pernah pelan, pernah berqunut, dan pernah meninggalkannya. Hanya saja memelankannya lebih sering dibanding mengeraskannya, dan meninggalkan qunut lebih sering dibanding melakukannya.”

(Imam Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’ad, 1/272)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid memberikan nasihat:

فيجوز لك الجهر بالبسملة لأولئك القوم إما دائما ، أو أحياناً ؛ لتحقيق مصلحة كبرى وهي ائتلافهم واجتماعهم ووحدة كلمتهم

Maka boleh bagi anda mengeraskan basmalah untuk kaum yang melakukannya, baik secara rutin atau kadang-kadang, untuk merealisasikan maslahat besar yaitu menjaga ikatan hati, perkumpulan, dan persatuan, di antara mereka.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 175551)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🍀🌿🌸🌻🍃🌳🍁

✍ Farid Nu’man Hasan

Tuduh Menuduh di Tubuh Umat Islam

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Tuduh Menuduh bukan hal yang baru dlm kehidupan manusia

📌 Tuduhan bisa bermula dari berita bohong (fitnah), salah paham, atau semata-mata kebencian

📌 Dulu, Aisyah Radhiallahu ‘Anha dituduh kaum munafiq berselingkuh dgn Shafwan bin Muaththal Radhiallahu’ Anhu. Sampai akhirnya Allah Ta’ala turunkan beberapa ayat dalam surat An Nuur utk mensucikan nama baiknya.

📌 Masa-masa selanjutnya juga demikian, tokoh-tokoh besar pun mengalami berbagai tuduhan

📌 Imam asy Syafi’i dituduh Rafidhah (syiah) oleh Imam Yahya bin Ma’in, yang membuat Imam Ahmad bin Hambal menegur keras Imam Ibnu Ma’in

📌 Imam Ahmad bin Hambal dianggap bukan ahli fiqih, dia hanya ahli hadits, seperti yang dikatakan Imam Ibnu Jarir ath Thabari. Itu membuat marah kaum Hambaliyah. Saat Ibnu Jarir wafat, mayitnya di kubur di rumahnya sendiri krn ditolak oleh masyarakat negerinya yang Hambaliyah.

📌 Imam Ibnu Taimiyah, dituduh sejarawan Ibnu Batutah, bahwa Ibnu Taimiyah telah menggambarkan Allah Ta’ala seperti dirinya saat menjelaskan Allah bersemayam di atas ‘Arsy, laksana dirinya duduk di kursi. Lalu, sebagian ulama membela Imam Ibnu Taimiyah bahwa itu “hoax” sebab Ibnu Batutah tidak sezaman dan tidak pernah berjumpa dengan Ibnu Taimiyah.

📌 Kaum Asy’ariyah dituduh sebagai ahli bid’ah, bukan Ahlus sunnah wal Jamaah. Bahkan menyamakan Asy’ariyah dengan Jahmiyah, kaum yg menolak sifat-sifat Allah.

📌 Kaum Atsariyah (belakangan disebut dgn Salafiyah), dituduh dengan kaum musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk), mujassimah (meyakini Allah memiliki jasad seperti makhluk). Sehingga dianggap tersesat dari jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah.

📌 Di masa modern….. Kaum pergerakan Islam dituduh sebagai Khawarij, pemberontak, aksi-aksi massa yang mereka lakukan dituding sebagai makar kepada Ulil Amri.

📌 Kaum salafi, dituding murji’ah, yg di antara cirinya adalah selalu membela dan menjilat penguasa walau dia zalim, dgn alasan yang penting masih shalat. Murji’ah adalah sekte paling bahaya dibanding Khawarij menurut sebagian salaf seperti Ibrahim an Nakha’i.

📌 Ada umat Islam yang menuduh wahabi kepada siapa pun yang tidak sepaham dengannya. Dengan membuat ciri-ciri atau standar “wahabi” a la mereka.

📌 Yang dituduh wahabi pun, menyerang balik bahwa penuduh itu adalah ahli bid’ah, asli warisan jawa (aswaja).

📌 Ada pula umat Islam yang merasa paling NKRI, paling menjaga NKRI, dan paling pancasilais, yang lainnya adalah perongrong, dan pro khilafah.

📌 Kebalikannya ada pula yang dituduh sudah kemasukan komunis, liberal, dan syiah….. Dan seterusnya.

📌 Tentu kita bertanya, “Kapan ini akan berakhir?”

📌 Apa yang terjadi, seolah sudah menjadi sunnatullah.. Sebab, akan selalu ada orang dengki dan musuh bagi manusia. Bukankah Allah dan RasulNya pun punya musuh? Maka jangan berharap hidup tanpa musuh.

📌 Maka, lakukanlah apa yang kita yakini sesuai kebenaran dan bimbingan Al Quran dan As Sunnah. Fokus mencari ridha Allah, bukan komentar manusia.

📌 Jika ada tuduhan, cukup sampaikan “buktikan tuduhanmu!” sebab itu kewajiban org yg menuduh, jika karena salah paham sampaikanlah klarifikasi dan penjelasan. Lalu tawakkal-lah.

📌 Sungguh kejayaan umat Islam, akan semakin mengalami jarak, sulit terwujud, dan tertatih-tatih, selama tidak ada kesadaran untuk jalan bersama dan menekan egoisme masing-masing.

Wallahu A’lam wa Ilaihil Musytaka

🌷🍀🌿🌸🌻🍃🌳🍁

✍ Farid Nu’man Hasan

Berdoa di Media Sosial

Menulis status di media sosial (medsos) harus siap dikomentari baik positif maupun negatif. Karena memang tujuan kita menulis status adalah untuk berinteraksi dengan follower atau friend di medsos. Termasuk menulis status doa, bisa ada yang mengaminkan, atau bisa ada yang malah mengkritik, “Tuhan gak punya akun socmed.”

Ya, ada yang beranggapan begitu, menulis doa di medsos hanyalah pencitraan dan tidak akan didengar Tuhan. Lebih baik doa dipanjatkan saat ibadah, bukan malah dipamerkan di depan umum.

Tapi mohon maaf, ada beberapa kesalahan dalam anggapan ini.

Anggapan Tuhan Tidak Mendengar Doa Di Sosmed

Anggapan Tuhan tidak akan mendengar doa di medsos jelas salah fatal. Maha suci Allah dari anggapan itu. Allah swt Maha Mengetahui. Ia tahu apa yang terbersit di hati hamba-Nya. Ia juga tahu apa yang diucapkan oleh hamba-Nya, juga apa yang ditulis oleh hamba-Nya. Semua aktivitas suatu makhluk sangat diketahuinya dengan rinci.

Allah Maha Mendengar (As-Sami’) dan Melihat (Al-Bashir).

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy Syura: 11).

Dan Dia Maha Mengetahui Perkara Yang Tersembunyi. (Al-Khobir)

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

“Sejatinya yang menciptakan itu sangat mengetahui. Dan Dia adalah yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk: 14)

Allah Maha Mengetahui (Al-Aliim). Bahkan apa yang kita tulis pada status media sosial, telah tertera dalam Lauhul Mahfuzh. Yaitu kitab berisi apa yang terjadi pada kehidupan.

 وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلا يَعْلَمُهَا وَلا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأرْضِ وَلا رَطْبٍ وَلا يَابِسٍ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ 

”Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. dan Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula). dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (QS Al-An’am: 59)

Manfaat Menulis Status Doa di Media Sosial

Ada juga anggapan berdoa di medsos tidak bermanfaat. Padahal sangat bermanfaat. Ada beberapa alasan menulis sebuah doa di status medsos:

1. Syiar Agama Islam

Kalau doa itu adalah doa yang ma’tsur (berasal dari Rasulullah saw), maka kita sudah ikut menyiarkan agama Islam. Misalnya yang paling sering dishare adalah doa saat turun hujan, itu baik sekali karena masih banyak muslim yang belum hafal doa saat turun hujan. Atau mungkin tidak tahu bahwa saat hujan turun, Rasulullah mengucapkan sebuah doa yang harus dijadikan ikutan oleh umatnya. Termasuk doa lain, misalnya doa meminta rezeki, doa keselamatan, doa meminta perlindungan kepada Allah, dll yang pernah Rasulullah contohkan.

Kalau doa itu bukan berasal dari hadits Rasulullah, maka kita sudah memberi contoh kepada netizen lain dalam hal berserah diri memohon kepada Allah swt.

2. Mengabarkan Hal Aktual Yang Patut Menjadi Perhatian Khalayak

Seperti saat perang di Palestina, menulis status doa di medsos mempunyai efek agar orang lain ikut menaruh perhatian pada apa yang terjadi di sana. Atau berdoa agar korban Sinabung diberi perlindungan Allah swt, membuat orang lain tersadar bahwa ada sesuatu yang terjadi di Sinabung.

Karena medsos bukan surat kabar yang punya gaya bahasa resmi. Medsos adalah media ekspresi pribadi di ruang publik. Mengabarkan apa yang terjadi di Palestina atau Sinabung di medsos, perlu cara yang membuat orang tertarik. Salah satunya adalah doa.

3. Agar Ada yang Mengaminkan

Kemustajaban doa orang lain yang tulus kepada kita, sudah digaransi oleh Rasulullah saw. Jadi, utarakan saja harapan kita di medsos melalui doa. Semoga ada yang meng-amin-kan atau berdoa dengan kata-katanya sendiri.

“Doa seorang muslim kepada saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan adalah mustajab. Terdapat malaikat yang menjadi wakiil baginya. Setiap ia berdoa kebaikan untuk saudaranya itu, malaikat tadi berkata, “Amiin dan untuk mu pula kebaikan itu.” (HR Muslim)

Anggapan Pencitraan

Ikhlas atau riya’ adalah amalan hati. Orang lain tidak pernah tahu apakah suatu perbuatan dilakukan ikhlas atau riya’. Karena itu tidak boleh seseorang menghakimi niat orang lain.

Jangan pernah kita risih dengan kebaikan orang lain yang dilakukan di depan umum. Allah swt yang lebih tahu niatnya. Terkadang perlu ada yang mempelopori sebuah kebaikan agar ada yang mencotohnya.

Anggapan Tidak Menghormati Follower/Friend Yang Beragama Lain

Anggapan ini ada, dan agak aneh juga. Karena doa yang ditulis di medsos sama sekali tidak mengganggu kerukunan umat beragama. Kecuali kalau tulisan itu mengandung penghinaan kepada agama lain. Justru kalau ada pemeluk agama lain yang tidak senang dengan sebuah status doa, itulah yang tidak toleran.

Media sosial memang ruang publik. Tapi tidak ada aturan yang melarang urusan agama dibawa ke ruang publik. Malah ketika warga negara bebas mengekspresikan semangat spritualitasnya di ruang publik tanpa ada yang mengganggu, saat itulah toleransi beragama sudah berjalan.

scroll to top