Bahaya Hadits Palsu Atas Pembuat dan Penyebarnya

Di musim medsos, khususnya di Indonesia, sangat mudah kita dapatkan kisah dan hadits palsu yang disandarkan kepada Rasulullah ﷺ dan Islam. Baik dalam bentuk artikel, khutbah, dan video pendek. Walau isi kisahnya bagus dan penuh hikmah, tapi sayangnya dusta alias palsu. Tentunya ini sangat terlarang sebab sama juga memasukkan ke dalam Islam apa-apa yang bukan berasal dari Islam. Lalu manusia saling mengutip, mem-forward, mengcopy paste, ke berbagai ruang publik seperti khutbah Jumat, kultum terawih, kajian, dan tentunya medsos, baik dilakukan oleh sebagian penceramah atau orang awamnya.

Larangan Rasulullah ﷺ

Rasulullah ﷺ telah melarang dengan bahasa yang begitu keras, Beliau bersabda:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Siapa yang sengaja berdusta atas namaku maka disediakan kursi baginya di neraka. (HR. Muttafaq’ Alaih)

Imam an Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

تَعْظِيمُ تَحْرِيمِ الْكَذِبِ عَلَيْهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَّهُ فَاحِشَةٌ عَظِيمَةٌ وَمُوبِقَةٌ كَبِيرَةٌ وَلَكِنْ لَا يَكْفُرُ بِهَذَا الْكَذِبِ إِلَّا أَنْ يَسْتَحِلَّهُ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ مِنْ مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ مِنَ الطَّوَائِفِ وَقَالَ الشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّدٍ الْجُوَيْنِيُّ وَالِدُ إِمَامِ الْحَرَمَيْنِ أَبِي الْمَعَالِي مِنْ أَئِمَّةِ أَصْحَابِنَا يَكَفُرُ بِتَعَمُّدِ الْكَذِبِ عَلَيْهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Begitu besar dosa berdusta atas nama Rasulullah ﷺ, ini adalah kekejian yang sangat buruk, pembinasa yang besar, tapi kedustaan ini tidak sampai kafir bagi pelakunya kecuali jika dia menghalalkan kedustaan ini. Inilah yang masyhur dari madzhab para ulama dan berbagai kelompok.

Imam Abu Muhammad al Juwaini, ayah Imam al Haramain Abu Ma’ali al Juwaini, salah satu imam madzhab kami (Syafi’iyyah) menyatakan KAFIRNYA sengaja berdusta atas nama Rasulullah ﷺ .

(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/69)

Keprihatinan Para Ulama

Berikut ini pertanyaan kepada Imam Ibnu Hajar Al Haitami Rahimahullah:

وسئل -رضي الله عنه- في خطيب يرقى المنبر في كل جمعة، ويروي أحاديث كثيرة، ولم يبين مخرجيها، ولا رواتها فما الذي يجب عليه؟

Beliau – Radhiallahu ‘Anhu- pernah ditanya tentang seorang khatib yang sudah naik mimbar setiap Jumat, dia banyak menyebutkan hadits tapi tidak menjelaskan asal hadits tersebut, tidak pula perawinya, maka apa yang mesti dilakukan terhadap khatib seperti itu?

Beliau menjawab:

ما ذكره من الأحاديث في خطبه من غير أن يبين رواتها، أو من ذكرها، فجائز بشرط أن يكون من أهل المعرفة في الحديث أو بنقلها من مؤلفه كذلك؛ وأما الاعتماد في رواية الأحاديث على مجرد رؤيتها في كتاب ليس مؤلفه من أهل الحديث، أو في خطب ليس مؤلفها كذلك فلا يحل ذلك! ومن فعله عزر عليه التعزير الشديد. وهذا حال أكثر الخطباء فإنهم بمجرد رؤيتهم خطبة فيها أحاديث حفظوها، وخطبوا بها من غير أن يعرفوا أن لتلك الأحاديث أصلًا أم لا فيجب على حكام كل بلد أن يزجروا خطباءها عن ذلك، ويجب على حكام بلد هذا الخطيب منعه من ذلك إن ارتكبه”. ثم قال: “فعلى هذا الخطيب أن يبين مستنده في روايته فإن كان مستندًا صحيحًا فلا اعتراض عليه والإساغ الاعتراض عليه بل وجاز لولي الأمر -أيد الله به الدين وقمع بعدله المعاندين- أن يعزله من وظيفة الخطابة زجرًا له عن أن يتجرأ على هذه المرتبة السنية بغير حق” انتهى ملخصا

“Boleh saja dia menyebutkan banyak hadits tanpa menjelaskan bagaimana riwayatnya atau dia menyebutkan riwayatnya, dengan syarat memang dia ahli dibidang hadits atau dia mengutipnya dari kitab yang disusun para ahli hadits.

Ada pun semata-mata menyebutkan hadits dan menyandarkannya kepada sebuah buku yang bukan ahlinya, atau dalam isi khutbah yang tidak jelas siapa yang mengatakan, maka itu tidak dihalalkan. Barang siapa yang melakukannya maka dia mesti ditegur dengan teguran yang keras. INILAH KEADAAN UMUMNYA PARA KHATIB. Hanya karena mereka mendengar beberapa hadits dalam sebuah khutbah, mereka lalu menghapalnya dan gantian menyebarkannya kepada orang lain dalam khutbah. Dia tidak peduli apakah hadits tersebut ada sumbernya atau tidak. Maka, wajib bagi penguasa di tiap negeri mencegah dengan keras para khatib melakukan itu, dan wajib bagi para penguasa melarang dia berkhutbah jika dia tetap melakukannya.”

Lalu Imam Ibn Hajar Al Haitami berkata: “Oleh karenanya, Wajib bagi khatib menjelaskan sanad periwayatannya, jika shahih maka dia tidak perlu ditolak, jika tidak shahih maka dia mesti ditolak, bahkan waliyul amri ditiap daerah bisa memecatnya dari tugasnya sebagai khatib, sebagai hukuman bagi dirinya sebab dia berbuat tidak benar terhadap kedudukan hadits.”

(Imam Ibnu Hajar Al Haitamiy Al Makki, Al Fatawa Al Haditsiyah, Hal. 43-44. Darul Ma’rifah, Libanon)

Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Rahimahullah berkata:

وليت خطباء زمننا يطبق عليهم هذا اذن لعزل الكثيرهم لجهلهم بالحديث و خلطهم المقبول بالمردود

Seandainya hal ini diterapkan kepada para khatib dizaman kita ini, niscaya mayoritas mereka akan dipecat, karena kebodohan mereka terhadap hadits dan tindakan mereka mencampur hadits maqbul (diterima) dan yang mardud (ditolak).

(Syaikh Yusuf Al Qaradhawiy, Kaifa Nata’amal Ma’as As Sunnah An Nabawiyah, Hal. 88. Cet. 2. 2000M/1421H. Darusy Syuruq)

Beberapa contoh:

Berikut ini beberapa contoh hadits-hadits palsu yang sering beredar di masyarkat dan medsos:

– Kisah Ukasyah memeluk Rasulullah ﷺ saat Beliau membuka baju, yang awalnya ingin mengqishashnya. Yang shahih adalah Usaid bin Hudhair Radhiallahu ‘Anhu sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ath Thabarani, Al Baghawi, dll.
– Kisah Rasulullah ﷺ yang rajin memberikan makanan kepada pengemis buta.
– Huru Hara jika 15 Ramadhan terjadi di hari Jumat
– Ajakan untuk mengingatkan manusia tentang datangnya bulan Rajab, Sya’ban, Nuzulul Quran .. “Barang Siapa Yang Memberitahukan Berita tentang (…. ) kepada Yang Lain, maka Haram Api Neraka Baginya”. Kalimat yg di dalam kurung berganti-ganti kadang Rajab, Sya’ban, Nuzulul Qur’an.. tergantung waktunya. Ini jelas buatan orang yang tidak bertanggungjawab.
– Dan masih banyak contoh lainnya.

Wallahu A’lam

Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Lupa Hapalan Al Quran, Dosa Besar?

💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Menghapal Al Quran memiliki keutamaan besar. Hal ini sudah sama-sama diketahui dan tidak lagi kita bahas.

Bahkan, ada sejumlah hadits yang menunjukkan dosa besar bagi orang yang lupa terhadap hapalan Al Quran. Namun hadits-hadits tersebut tidak selamat dari kritikan secara sanadnya, dan juga terjadi beragam pendapat tentang maknanya.

Di antara hadits tersebut adalah:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُرِضَتْ عَلَيَّ أُجُورُ أُمَّتِي حَتَّى الْقَذَاةُ يُخْرِجُهَا الرَّجُلُ مِنْ الْمَسْجِدِ وَعُرِضَتْ عَلَيَّ ذُنُوبُ أُمَّتِي فَلَمْ أَرَ ذَنْبًا أَعْظَمَ مِنْ سُورَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ أَوْ آيَةٍ أُوتِيهَا رَجُلٌ ثُمَّ نَسِيَهَا

Dari Anas bin Malik ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Pahala-pahala ummatku ditampakkan kepadaku, hingga pahala seseorang yang membuang debu dari masjid, dan ditampakkan kepadaku dosa-dosa ummatku, maka tidak aku lihat dosa yang lebih besar dari satu surat atau satu ayat yang diberikan kepada seseorang kemudian dia melupakannya.”

(HR. At Tirmidzi no. 2916)

Imam At Tirmidzi sendiri tidak memastikan keshahihannya dengan mengatakan:

“Hadits ini gharib, dan aku tidak ketahui kecuali dari jalur ini. Aku menyebutkan hadits ini ke Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari), dia tidak mengetahuinya dan menilai asing hadits ini”. (Sunan At Tirmidzi no. 2916)

Ada dua perawi dalam sanadnya yang dibincangkan ulama, yaitu Ibnu Juraij, seorang mudallis (rancu dalam meriwayatkan hadits) dan sering irsaal (meriwayatkan hadits secara mursal), begitu juga al Muthalib bin Abdullah bin Hanthab, seorang yang jujur tapi mudallis dan irsaal. (Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad, Syarh Sunan Abi Daud, no. 056)

Sehingga Imam Ibnu Khuzaimah pun hanya menghasankannya. (Fathul Ghafar, 1/296), sedangkan Imam Ibnu Hajar mengatakan: “Hadits ini dhaif, Ibnu Juraij seorang yang mudallis dan seorang yang meriwayatkan dengan kata ‘an (mu’an’in). (al Mathalib al ‘Aliyah, 4/14)

Perlu diketahui, hadits ‘an’anah menunjukkan keterputusan sanad, kecuali mereka hidup sezaman (menurut kriteria Imam Muslim) atau bahkan pernah berjumpa (menurut kriteria Imam Bukhari) dan bukan mudallis, barulah hadits itu dihukumi maushuul (bersambung sanadnya).

Sementara Syaikh al Albani terang-terangan mendhaifkannya. (Dhaiful Jaami’ no. 3700)

Oleh karena itu, para ulama berbeda dalam menjadikannya sebagai hujjah. Ada yang menyebut ini adalah dosa besar, ada yang menyebut dosa besar di antara dosa kecil, bahkan ada yang menyebut tidak berdosa tapi dia merugi sangat besar.

Imam as Suyuthi Rahimahullah mengutip dari Imam al ‘Iraqi Rahimahullah:

استدلَّ بهذا الحديث على أنَّ نِسيان القرآن من الكبائر، وقد صرَّح بذلك صاحب “العُدَّة” من أصحابنا وتوقف فيه الرافعي، وهذا الكلام المحكي عن صاحب “العدَّة” ظاهره أنه في نسيان جميع القرآن، ويحتمل أنه أراد به أي جزء من القرآن، وهذا الحديث يدل عليه كقوله: “من نسي سورة من القرآن أو آية” وهذا يحتمل أنه شك من الراوي في اللَّفظ الذي قاله النَّبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، ويحتمل أن يكون تنويعًا من النَّبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وأنَّ الوعيد يترتب على كل منهما

Hadits ini menjadi dalil bahwa melupakan Al Quran adalah dosa besar. Hal ini dijelaskan oleh pengarang “Al ‘Uddah” dari para sahabat kami (Syafi’iyyah), tapi Ar Rafi’i tawaquf (no coment). Perkataan ini disampaikan oleh pengarang Al ‘Uddah, secara zhahir maksudnya adalah melupakan semua Al Quran, bisa juga diartikan sebagian dari Al Quran. Hadits ini menunjukkan hal itu: “Siapa yang melupakan satu surat atau ayat dari Al Quran”, ini mungkin ada keraguan perawi dalam lafaz yang diucapkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, atau bisa juga memang beragam lafaz dari RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan ancaman itu berlaku atas keduanya (baik melupakan semua atau sebagaian).

(Qutul Mughtadzi, 2/735)

Imam Ali al Qari berkata:

قُلْتُ: الْمُرَادُ تَرَكُهَا عَمْدًا إِلَى أَنْ يُفْضِيَ إِلَى النِّسْيَانِ، وَقِيلَ: الْمَعْنَى أَعْظَمُ مِنَ الذُّنُوبِ الصِّغَائِرِ، إِنْ لَمْ تَكُنْ عَنِ اسْتِخْفَافٍ وَقِلَّةِ تَعْظِيمٍ، كَذَا نَقَلَهُ مِيرَكُ عَنِ الْأَزْهَارِ

Aku (Ali al Qari) berkata: Maksud dari meninggalkannya adalah sengaja dan membiarkannya sampai lupa. Ada yang mengatakan itu dosa terbesar dari dosa-dosa kecil, jika dia melakukannya bukan karena meremehkan dan sedikit penghormaannya, demikian yang dikutip oleh Mirak dari al Azhar. (Mirqah al Mafatih, 2/605)

Imam Ibnu Malak berkata:

يعني: يكون ذنبه أعظم من سائر الذنوب الصغائر؛ لأن نسيان القرآن من الحفظ ليس بذنب كبير إن لم يكن عن استخفاف وقلة تعظيم

Yakni menjadi dosa paling besar diantara dosa kecil, karena melupakan hapalan Al Quran bukan dosa besar, jika bukan karena meremahkan dan sedikit penghormatannya. (Syarh al Mashabih, 1/434)

Syaikh Abdul Muhsin al Abbad al Badr mengatakan:

أما إذا حصل منه ذلك نسياناً، كأن يحصل منه كسل أو تغافل أو طول ترك من غير قصد فإنه لا حرج على الإنسان في ذلك، ولكنه يخسر خسارة كبيرة، حيث يفوته مغنم كبير

Ada pun jika hal itu terjadi karena dia lupa, seperti terjadi karena malas, lalai, atau lama meninggalkannya tanpa sengaja, maka itu tidak apa-apa, tapi dia mengalami kerugian besar seperti orang yang kehilangan harta yang begitu banyak. (Syarh Sunan Abi Daud, no. 056)

Kesimpulan, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Ada yang mengatakan bukan dosa besar sebab menghapal Al Quran itu hanya sunnah, di tambah lagi hadits di atas tidak kuat. Ada yang mengatakan itu dosa besar di antara yang kecil. Ada pula yang mengatakan dosa besar tapi jika karena sengaja melupakannya, malas, dan meremehkan. Ada pun mereka yang lupa karena masalah daya ingat tentu sama sekali bukan masalah.

Sedangkan jika MELUPAKAN dan MENINGGALKAN ajaran Al Quran, bukan sekadar hapalan, maka itu jelas dosa besar dengan ancaman yang besar. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى (124) قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا (125) قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى (126)

Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”
Berkatalah ia: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?”
Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan.”

(QS. Thaha: 124-126)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Mengubah Niat di Tengah Shalat

💢💢💢💢💢💢💢💢

Hukum mengubah niat. Seseorang telah melakukan sholat subuh. Ketika ingat belum melaksanakan qobliyah, dia sholat subuh lagi dengan meniatkan, sholat subuh sebelumnya dianggap qobliyah subuh. Bagaimana hukumnya?

(NS, Lampung, 54, +62 813-7914-xxxx)

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Mengubah niat shalat di saat shalat sudah mulai baik dari niat sunnah ke wajib, atau dari niat wajib ke sunnah, atau dari sunnah ke sunnah, adalah tidak boleh alias tidak sah.

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

قال الماوَرْدِيُّ: نقلُ الصلاةِ إلى صلاةٍ أقسامٌ: أحدُها: نقلُ فرضٍ إلى فرض: فلا يحصلُ واحدٌ منهما، الثاني: نقلُ نفلٍ راتبٍ إلى نفلٍ راتبٍ؛ كَوِتْرٍ إلى سنةِ الفجر فلا يحصلُ واحدٌ منهما، الثالث: نقلُ نفلٍ إلى فرضٍ فلا يحصل واحدٌ منهما

Berkata al Mawardi: perpindahan shalat ke shalat lain ada benerapa macam:

– Dari wajib ke wajib, tidak sah

– Dari sunnah ke sunnah, seperti dari witir ke sunnah fajar, tidak sah

– Dari sunnah ke fardhu, ini tidak sah.

(al Majmu’ Syarh al. Muhadzdzab, 4/211)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah mengatakan:

لا يجوز تغيير النية من معيَّن إلى معيَّن ، أو من مطلق إلى معيَّن ، وإنما يجوز تغيير النية من معيَّن إلى مطلق

Tidak boleh mengubah niat dari shalat mu’ayyan (spesifik) ke shalat mu’ayyan, atau dari shalat muthlak ke shalat mu’ayyan, yang boleh adalah perubahan dari mu’ayyan ke muthlak.

(Majmu Fatawa, 12/348)

Kasus yang ditanyakan, perubahan dari shalat subuh ke qabliyah subuh adalah TIDAK SAH. Itu termasuk perubahan wajib ke sunnah, atau istilah lainnya mu’ayyan ke mu’ayyan (shalat yang khusus ke shalat khusus).

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Fatwa Ikatan Ulama Internasional Tentang Shalat Jumat Online: Tidak boleh secara syar’i

💢💢💢💢💢💢💢💢

Ini adalah fatwa yang dikeluarkan 24 Maret 2020, oleh al Ittihad al ‘Aalami Li’ Ulama al Muslimin, ketika menjawab tentang gagasan Shalat Jumat dengan media tv, radio, dan online.

Berikut ini fatwanya:

إن أداء صلاة الجمعة والاستماع لخطبتها بالتلفاز والمذياع ونحوهما لا تجوز شرعًا؛ لمخالفتها للشروط والأركان الشرعية، ولما تفضي إليه من مآلات فاسدة، ومخالفةٍ صريحة لمقاصد الجمعة والجماعات، ويسعُ الناسَ إذا تعذرت عليهم صلاة الجمعة في المساجد، أن يعملوا بالرخصة الشرعية البديلة وهي صلاة الظهر، دون تكلف ولا تعسف

Pelaksanaan shalat Jumat dan mendengarkan khutbahnya melalui TV, radio, dan semisalnya, adalah TIDAK BOLEH secara syar’i, karena hal itu menyelisihi berbagai syarat dan rukun syar’i, dan memunculkan dampak kerusakan, serta menyelisihi dengan jelas maksud syariat shalat Jumat dan jamaah.

Manusia telah dilapangkan oleh syariat, jika mereka mengalami ‘udzur tidak bisa shalat Jumat ke masjid, hendaknya mereka menjalankan rukhshah yang syar’i sebagai gantinya yaitu shalat zuhur, tanpa melakukan aktifitas yang takalluf (memaksakan diri) dan ta’assuf (menyimpang).

Selengkapnya ini:

http://iumsonline.org/ar/ContentDetails.aspx?ID=11154

📙📘📗📕📒📔📓

🖋 Farid Nu’man Hasan

scroll to top