Penerima Daging Qurban, Bolehkah menjualnya?

💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim…

Larangan jual daging, kulit, dll, dr hewan qurban itu berlaku bagi mudhahhi atau shahibul qurban (pemilik hewan qurban) dan panitianya, bukan bagi penerima daging qurban.

Orang yg telah menerima daging qurban atau kulitnya, boleh saja memanfaatkannya baik dimakan sendiri atau dijual lagi. Sebab, itu sudah menjadi milik mereka.

Dalam Fatwa Al Lajnah Ad Daimah:

بأنه إذا أعطي جلد الأضحية للفقير، أو وكيله فلا مانع من بيعه وانتفاع الفقير بثمنه، وإنما الذي يمنع من بيعه هو المضحي فقط، وكذا لا مانع أن تبيع الجمعيات الخيرية ما تحصل لديها من جلود الأضاحي، وصرف القيمة لصالح الفقراء

Jika kulit sudah diberikan kepada orang fakir atau yg mewakilinya, maka tidak ada larangan baginya menjualnya dan memanfaatkan hasil penjualannya. Sesungguhnya larangan tersebut khusus bagi MUDHAHHI (SI PEMILIK HEWAN QURBAN). Demikian juga bagi yayasan-yayasan khairiyah, tidak apa-apa mereka menjual kulit yg mereka dapatkan, dan menyalurkannya ke kemaslahatan fakir miskin.

(Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 10/446)

Dalilnya adalah, dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu:

أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan unta-untanya dan mensedekahkan daging, kulit, dan bagian punuknya, dan saya diamanahkan agar tidak memberikan si tukang potong dari hasil potongan itu (sebagai upah).” Ali berkata: “Kami memberikannya dari kantong kami sendiri.” (HR. Muslim)

Ali Radhiallahu ‘Anhu sebagai “panitia” dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai “shahibul qurban”, yang diperintahkan adalah menyedekahkan semuanya. Krn Itulah larangan menjualnya atas pemilik dan panitianya.

Imam Al ‘Aini mengatakan:

وفيه من استدل به على منع بيع الجلد قال القرطبي وفيه دليل على أن جلود الهدي وجلالها لا تباع لعطفها على اللحم وإعطائها حكمه وقد اتفقوا على أن لحمها لا يباع فكذلك الجلود والجلال

Dalam hadits ini (hadits Ali Radhiallahu ‘Anhu di atas) terdapat dalil bagi pihak yang mengatakan terlarangnya menjual kulit. Berkata Al Qurthubi: “Pada hadits ini terdapat dalil bahwa kulit hewan qurban dan Jilal (daging punuk Unta) tidaklah dijual belikan, karena hukum menyedekahkannya itu satu kesatuan dengan daging. Mereka (para ulama) sepakat bahwa daging tidak boleh dijual, begitu juga kulitnya.”

(‘Umadatul Qari, 15/254)

Sebagian ulama ada yang membolehkan menjual kulit, seperti Ibnu Umar, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur. Sebagian lain membolehkan menjual kulit dengan bayaran berupa perkakas seperti timbangan, ayakan, dll, sebagaimana pendapat Al Auza’ i, An Nakha’i, dan Abu Hanifah. (Syarh Shahih Muslim, 9/65)

Namun pendapat mereka dikomentari oleh Imam An Nawawi Rahimahullah:

وهذا منابذ للسنة والله أعلم

Semua ini berlawanan dengan sunah. Wallahu A’lam. (Ibid)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Saksikanlah! Dia Termasuk Mukmin!

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إذا رأيتم الرجل يتعاهد المسجد فاشهدوا له بالإيمان فإن الله تعالى يقول ( إنما يعمر مساجد الله من آمن بالله واليوم الآخر وأقام الصلاة وآتى الزكاة ) الآية

Apabila kamu sekalian melihat seseorang yang biasa ke masjid maka saksikanlah bahwa ia benar-benar beriman.

Allah ‘azza wajalla berfirman : Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menegakkan shalat dan menunaikan zakat.

(HR. At Tirmidzi No. 2617, Ibnu Majah No. 802, Ahmad No. 11725)

Hadits ini dihasankan oleh: Imam At Tirmidzi, Imam An Nawawi, Syaikh Muhammad Ibrahim, Syaikh Ibnu Jibrin, dan lainnya.

– Tapi SHAHIH, menurut Imam Al Hakim (Al Mustadrak No. 3280), juga Imam Adz Dzahabi Talkhishnya.

– Imam Ibnu Hibban, Imam Ibnu Khuzaimah juga memasukkanya dalam kitab Shahih mereka. (Ibnu Hibban No. 1721, Ibnu Khuzaimah No. 1502).

– Dishahihkan oleh Imam Al Munawi. (At Taysir, 1/198),

– juga Imam As Sakhawi (Maqashid Al Hasanah Hal. 87),

– Imam Al ‘Ajluni (Kasyful Khafa, 1/90), dan Syaikh Ahmad Mushthafa Al A’zhami dalam Tahqiq Ibni Khuzaimah. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah No. 54303)

– Tapi Syaikh Al Albani mendhaifkannya, tapi menurutnya secara makna tetap shahih. (Tahqiq Riyadhishshalihin, 1067)

Wa Shallallahu ‘Alaihi wa aalihi wa Shahbihi wa Salam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Hikmah Al-Qur’an Diturunkan Bertahap

Allah swt menyempurnakan turunnya Al-Qur’an dalam proses yang gradual. Secara berangsur-angsur, Allah swt menurunkan perintah demi perintah kepada umat Islam, menghadirkan firman-Nya saat hati Rasulullah gundah, menjelaskan masalah saat ada pertanyaan dari sahabat atau peristiwa tertentu, hingga akhirnya semua ayat dalam Al-Qur’an turun sempurna.

Penting bagi umat muslim untuk mengerti hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara bertahap, agar umat muslim bisa menghayati perjuangan Rasulullah saw. Idealnya, seorang muslim memiliki pengetahuan tentang asbabun nuzul (peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat). Pemahaman ini bisa menumbuhkan semangat juangnya dalam mengamalkan ajaran Islam.

Hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara bertahap antara lain:

Meneguhkan Hati Rasulullah

Begitu banyak rintangan dalam dakwah Rasulullah saw. Peristiwa demi peristiwa dihadapinya, dan banyak di antaranya kejadian yang tidak mengenakkan. Menghadapi semua itu perlu mental yang kuat. Manusia biasa butuh nasihat, masukan, saran, dan kata-kata motivasi saat menghadapi masalah. Untuk Rasulullah, penguatan mental itu berupa turunnya Al-Qur’an di kala ia saw gundah hatinya. Itulah hikmah pertama, meneguhkan hati Rasulullah saw.

“Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?” Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (Al-Furqon: 32-33)

Ketika Rasulullah diejek sebagai orang gila, Allah menurunkan surat Al-Qolam yang menjelaskan bahwa beliau tidak gila, bahkan perangai beliau beradat yang luhur. Saat beliau mengalami pukulan yang hebat dalam perang Uhud, Allah swt meneguhkan ia dan pasukan muslim dengan turunnya Al-Qur’an.

Agar Qur’an Mudah Dihafal dan Dipahami

“Dan Al Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (Al-Isra 106)

Ini merupakan sunnahnya, bahwa sesuatu yang diajarkan secara gradual dan runut akan lebih mudah dipahami. Penghafal Al-Qur’an hingga zaman sekarang akan menghafalnya dari yang mudah. Di zaman Rasulullah, pada peristiwa demi peristiwa Al-Qur’an diturunkan; dan dibantu dengan metode berfikir asosiatif, ayat-ayat itu lebih mudah dihafal.

Mementahkan Argumentasi Orang Kafir

Orang-orang kafir akan mencari kelemahan dari ajaran Islam. Dan saat mereka mendatangkan keraguan di kalangan umat muslim, Allah menurunkan Al-Qur’an yang mementahkan keraguan itu. Begitu seterusnya hingga orang kafir frustasi terhadap Al-Qur’an.

“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (Al-Furqan: 33)

Penahapan Dalam Menurunkan Syariat-Nya

Contoh yang paling populer adalah penahapan pelarangan khamr (minuman keras). Karena khamr sudah menjadi gaya hidup yang sangat melekat di peradaban Arab kala itu, maka pelarangannya harus dilakukan secara bertahap.

Pertama kali Allah menerangkan bahwa khamr menyimpan potensi buruk yang besar.

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfa’at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa’atnya” (Al-Baqoroh 219)

Setelah argumentasi ini tersebar di kalangan manusia dan mereka memahaminya, lalu turun perintah agar tidak dalam keadaan pengaruh khamr saat mendirikan sholat.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (An Nisa 43)

Hingga larangan itupun sempurna, Allah memerintahkan umat Islam meninggalkan khamr secara total.

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah , adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). Dan ta’atlah kamu kepada Allah dan ta’atlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (Al-Maidah 90-92)

Merespon Peristiwa-Peristiwa yang Terjadi

Agar Al-Qur’an dapat dipahami oleh manusia seluruh zaman, maka Allah swt menyetting peristiwa-peristiwa penyebab turunnya Al-Qur’an. Dan juga melalui pertanyaan-pertanyaan para sahabat yang kemudian dijelaskan oleh Allah swt melalui Al-Qur’an.

Allah swt mendisain peristiwa pernikahan Rasulullah saw dengan Zainab rha. dengan tujuan menghapus anggapan anak hasil adopsi/anak angkat sebagai anak sendiri yang sudah berlaku di kalangan bangsa Arab. Atas peristiwa itu, Allah swt menurunkan Qur’an surat Al-Ahzab 37. Sebelumnya berlaku aturan tidak boleh menikahi wanita mantan istri anak angkat sendiri. Namun Allah swt menghapus aturan itu dengan peristiwa ini.

Atau atas pertanyaan para sahabat yang meminta fatwa kepada Rasulullah saw tentang haidh, Allah swt meresponnya dengan menurunkan surat Al-Baqarah ayat 222.

Juga saat memutuskan perkara soal fitnah dari kalangan munafik kepada Aisyah rha (peristiwa haditsul ifki), Allah menurunkan beberapa ayat dalam surat An-Nur.

Suami Rajin Ibadah, Tapi Malas Nafkah

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalaamu’alaikum Ustadz Farid, semoga sehat dan berkah selalu menyertai Ustadz. Mau tanya apa hukumnya seorang suami yang rajin ibadah tapi agak malas mencari nafkah keluarga sehingga istri harus ikut mencari bahkan sekarang malah istri yang jadi tulang punggung keluarga. Atas jawabannya Jazakallaahu khoiran. Wassalam (AS)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Nafkah seorang suami kepada istrinya adalah wajib. Ini sama-sama telah diketahui umat Islam. Status suami sebagai pemimpin di rumah tangga, salah satu sebabnya adalah dia menafkahi istrinya.

Allah Ta’ala berfirman:

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. (QS. An-Nisa’, Ayat 34)

Ayat ini menunjukkan kepemimpinan laki-laki itu ada sebab, yaitu dia menafkahi istrinya. Menurut Imam Al Qurthubi, jika suami tidak mampu menafkahinya teranulirlah status kepemimpinannya, maka apalagi jika karena malas.

Imam Al Qurthubi Rahimahullah mengatakan:

أَنَّهُ مَتَى عَجَزَ عَنْ نَفَقَتِهَا لَمْ يَكُنْ قَوَّامًا عَلَيْهَا، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ قَوَّامًا عَلَيْهَا كَانَ لَهَا فَسْخُ الْعَقْدِ، لِزَوَالِ الْمَقْصُودِ الَّذِي شُرِعَ لِأَجْلِهِ النِّكَاحُ. وَفِيهِ دَلَالَةٌ وَاضِحَةٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ عَلَى ثُبُوتِ فَسْخِ النِّكَاحِ عِنْدَ الْإِعْسَارِ بِالنَّفَقَةِ وَالْكُسْوَةِ، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيّ

Sesungguhnya, dikala dia tidak mampu menafkahi istrinya maka lenyaplah kepemimpinannya atas istrinya. Jika dia sudah tidak lagi sebagai pemimpin, maka istrinya boleh melakukan fasakh (pembatalan) atas nikahnya, karena maksud diadakannya pernikahan (yaitu tanggung jawab nafkah) telah hilang. Ini menjadi dalil yang jelas atas kuatnya kebolehan melakukan fasakh nikah dikala seorang suami kesulitan memberikan nafkah dan pakaian. Inilah pendapat Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i. (Tafsir Al Qurthubi, jilid. 5, hal. 169)

Kewajiban nafkah telah ijma’ (konsensus), walau istri kaya dan berpenghasilan sendiri, seperti yang dikatakan Imam Ibnu Hazm Rahimahullah:

وَاتَّفَقُوا أَن الْحر الَّذِي يقدر على المَال الْبَالِغ الْعَاقِل غير الْمَحْجُور عَلَيْهِ فَعَلَيهِ نَفَقَة زَوجته الَّتِي تزَوجهَا زواجا صَحِيحا إذا دخل بهَا وَهِي مِمَّن تُوطأ وَهِي غير ناشز وَسَوَاء كَانَ لَهَا مَال أَو لم يكن

Para ulama sepakat bahwa laki-laki yang merdeka (bukan budak) yang memiliki harta, baligh, aqil, dalam kondisi tidak ada halangan, wajib memberikan nafkah untuk istrinya yang dinikahi dalam ikatan pernikahan yang sah, dia sudah menggaulinya, baik istrinya orang berharta atau tidak. (Maratibul Ijma’, hal. 79)

Maka, memiliki suami rajin ibadah tentu bagus dan patut disyukuri. Sebab, ada juga yang malas ibadah dan malas nafkah sekaligus. Tapi, jangan lupa, ibadah itu bukan hanya shalat, puasa, dan baca Al Quran, tapi juga menafkahi anak dan istri. Anak dan istri itu hakikatnya adalah amanah Allah Ta’ala, bukan dekorasi di rumah tangga. Bahkan menafkahi istri menjadi salah satu ciri orang bertaqwa, seperti yang Allah Ta’ala tegaskan di awal surah Al Baqarah:

وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ

dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. Al Baqarah: 3)

Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu menjelaskan makna ayat ini:

نفقة الرجل على أهله

Nafkah seorang laki-laki (suami) kepada keluarganya. (Al Mawardi, An Nukat wa Al’ Uyun, jilid. 1, hal. 70)

Di sisi lain, istri mesti mendorong, memotivasi suaminya, agar terus berusaha, bekerja, jaga wibawa diri, walau penghasilannya dianggap kecil. Yang penting suami usaha dulu, dan jangan tergesa-gesa minta cerai walau sudah punya alasan untuk itu. Tentunya bersabar dan mencari solusi bersama adalah lebih baik.

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top