Jika Imam Shalatnya Duduk (Tidak Mampu Berdiri), Bagaimana Makmumnya?

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Ada perselisihan para ulama tentang bagaimana bermakmum kepada imam yang duduk, tidak mampu berdiri.

1. Wajib Ikut duduk

Hal ini berdasarkan hadits shahih:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ اشْتَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ عَلَيْهِ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِهِ يَعُودُونَهُ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسًا فَصَلُّوا بِصَلَاتِهِ قِيَامًا فَأَشَارَ إِلَيْهِمْ أَنْ اجْلِسُوا فَجَلَسُوا فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا)

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengeluh sakit, para sahabatnya datang menjenguknya, lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam shalat dengan DUDUK, orang-orang dibelakangnya BERDIRI, tapi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengisyaratkan mereka agar mereka DUDUK, akhirnya mereka pun duduk. Setelah selesai shalat, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Imam itu diangkat untuk diikuti, jika dia ruku’ maka ruku’lah, jika dia bangun maka bangunlah, jika dia duduk maka duduklah.”

(HR. Bukhari no. 647, Muslim no. 623)

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu berkata:

وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا أَجْمَعُونَ

Jika dia shalat dengan cara duduk, maka shalatlah kalian semua dengan cara duduk. (HR. Muslim no. 622)

Abu Hurairah Radhiallahu’ Anhu berkata:

وَإِذَا صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلَّوْا قُعُودًا أَجْمَعُونَ

Jika dia shalat berdiri maka shalatlah kalian dengan berdiri, jika dia shalat duduk shalatlah kalian dengan cara duduk. (HR. Muslim no. 628)

Inilah pendapat madzhab Zhahiri (al Muhalla, 2/104), sebagian Hambaliyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. (Syarhul Mumti’, 4/230)

Ini juga pendapat al Auza’i, Ahmad, Ishaq, dan Ibnul Mundzir, Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وقال الأوزاعي وأحمد وإسحاق وابن المنذر : تجوز صلاتهم وراءه قعوداً, ولا تجوز قياماً

Al Auza’i, Ahmad, Ishaq, dan Ibnul Mundzir mengatakan: “Boleh shalatnya makmum dengan cara duduk, dan tidak boleh berdiri.” (al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 4/162)

2. Wajib Tetap berdiri

Inilah pendapat mayoritas, baik Syafi’iyah, Hanafiyah, sebagian Malikiyah, dan lainnya.

Hal ini berdasarkan hadits shahih pula, sebagaimana yang dijelaskan Imam an Nawawi berikut ini:

قد ذكرنا أن مذهبنا جواز صلاة القائم خلف القاعد العاجز , وأنه لا تجوز صلاتهم وراءه قعوداً وبهذا قال الثوري وأبو حنيفة وأبو ثور والحميدي وبعض المالكية

Kami telah menyebutkan bahwa madzhab kami (Syafi’iyah) membolehkan seorang yang shalat berdiri menjadi makmum kepada imam yang tidak mampu berdiri. Makmum tidak boleh shalat bersama mereka dengan duduk di belakang imam. Ini juga pendapat ats Tsauri, Abu Hanifah, Abu Tsaur, dan sebagian Malikiyah.

واحتج الشافعي والأصحاب بحديث عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( أمر في مرضه الذي توفي فيه أبا بكر رضي الله عنه أن يصلي بالناس فلما دخل في الصلاة وجد رسول الله صلى الله عليه وسلم من نفسه خفة فقام يهادي بين رجلين , ورجلاه يخطان في الأرض فجاء فجلس عن يسار أبي بكر فكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي بالناس جالساً , وأبو بكر قائما يقتدي أبو بكر بصلاة النبي صلى الله عليه وسلم ويقتدي الناس بصلاة أبي بكر ) رواه البخاري ومسلم, هذا لفظ إحدى روايات مسلم, وهي صريحة في أن النبي صلى الله عليه وسلم كان الإمام; لأنه جلس عن يسار أبي بكر…”

Imam asy Syafi’i dan para sahabatnya berhujjah dengan hadits Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat sakit yg membuatnya wafat memerintahkan Abu Bakar untuk shalat bersama manusia, ketika dia masuk ke jamaah bersama manusia, lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam merasa tubuhnya telah nampak enak, beliau pun keluar rumah dengan diapit oleh dua orang laki-laki. Dan seolah aku melihat beliau berjalan dengan menyeret kakinya di atas tanah, hingga masuk ke dalam masjid.

Tatkala Abu Bakar mendengar kedatangan beliau maka ia pun berkeinginan untuk mundur. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi isyarat kepadanya. Lalu tibalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga beliau duduk di SAMPING KIRI Abu Bakar. Abu Bakar shalat dengan bediri sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dengan duduk, Abu Bakar shalat mengikuti shalatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan orang-orang mengikuti shalatnya Abu Bakar.” (HR. Bukhari dan Muslim, ini salah satu lafaz dari Imam Muslim)

Kisah ini begitu jelas menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menjadi imam, sebab Beliau duduk di samping kiri Abu Bakar…”

(al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 4/162)

3. Tidak sah bermakmum kepada Imam yang duduk

Ini pendapat Imam Malik Rahimahullah. Imam an Nawawi berkata:

وقال مالك في رواية , وبعض أصحابه : لا تصح الصلاة وراءه قاعدا مطلقاً

Berkata Malik dalam salah satu riwayat dan sebagian sahabatnya: Tidak sah shalat di belakang (imam) yang duduk secara mutlak. (Ibid)

Solusinya:

Solusinya adalah dalam rangka keluar dari perbedaan pendapat, hendaknya dipilih imam yang masih sehat dan bisa berdiri secara baik.

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

قال الشافعي والأصحاب: يستحب للإمام إذا لم يستطع القيام استخلاف من يصلي بالجماعة قائماً, كما استخلف النبي صلى الله عليه وسلم ، ولأن فيه خروجاً من خلاف من منع الاقتداء بالقاعد ; لأن القائم أكمل وأقرب إلى إكمال هيئات الصلاة..”

Imam asy Syafi’i dan para sahabatnya (Syafi’iyah) mengatakan bahwa hal yang disukai bagi seorang imam yang tidak bisa berdiri dia diganti saja oleh imam yang bisa berdiri bersama jamaah, sebagaimana yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dalam rangka keluar dari perselisihan pendapat dengan yang melarang mengikuti shalat imam yg duduk. Bagaimana pun juga shalat dengan berdiri lebih utama dan sempurna. (Ibid)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Islam yang Wasathi/Moderat

📨 PERTANYAAN:

Aslmkm…ustadz, mohon penjelasannya tentang moderasi beragama ( Islam wasatiyah) berdasarkan dalil dalam Al-Qur’an dan hadits🙏

📬 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Wasathiyah secara bahasa diambil dari kata “wasatha”, yang artinya tengah.

Ibnu Faris menjelaskan: “Bangunan yang benar yang menunjukkan ciri adil dan pertengahan, sesuatu yang paling adil adalah pada pertengahannya.” (Mu’jam Maqayis al Lughah, hal. 108)

Sementara Imam Al Qurthubi mengatakan yang paling terpuji dari segala hal adalah yang paling tengah. Beliau mengutip dari At Tanzil, tentang makna “Awsathuhum” artinya yang paling adil dan paling baik di antara mereka. (Tafsir Al Qurthubi, 1/506)

Ada pun makna secara terminologis, dijelaskan oleh Syaikh Yusuf al Qaradhawi, “Keseimbangan, pertengahan, dan keadilan antara dua kutub yang saling berbeda dan bertentangan.” (Al Khashaaish Al ‘Aammah Lil Islam, hal 115)

Syaikh Muhammad ash Shalabi mengatakan, “Ajaran Islam yang mengutamakan keadilan, kebaikan, dan keunggulan yang lurus dan proporsional, jauh dari sikap melampaui batas atau ekstrim, dan jauh dari sikap tidak peduli atau mengurangi.” (Al Wasathiyah fil Quran, hal. 34-35)

Wasathiyah adalah salah satu karakter yang menyatu dalam Islam, secara tekstual tertulis dalam beberapa Al Quran, di antaranya:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ

Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.

(QS. Al-Baqarah, Ayat 143)

Makna umat pertengahan dalam ayat ini dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ sendiri yaitu adil.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ { وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا } قَالَ عَدْلًا

Dari Abu Sa’id dari Nabi ﷺ tentang firman Allah, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.” QS. Al-Baqarah: 143, beliau bersabda, “Adil.”

(HR. At Tirmidzi no. 2961, hasan shahih)

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala mengajarkan wasathi dalam mengeraskan suara saat shalat:

Allah berfirman:

قُلِ ٱدۡعُواْ ٱللَّهَ أَوِ ٱدۡعُواْ ٱلرَّحۡمَٰنَۖ أَيّٗا مَّا تَدۡعُواْ فَلَهُ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ وَلَا تَجۡهَرۡ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتۡ بِهَا وَٱبۡتَغِ بَيۡنَ ذَٰلِكَ سَبِيلٗا

Katakanlah (Muhammad), “Serulah Allah atau serulah Ar-Raḥman. Dengan nama yang mana saja kamu dapat menyeru, karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam shalat dan janganlah (pula) merendahkannya dan usahakan jalan tengah di antara kedua itu.

(QS. Al-Isra’, Ayat 110)

Wasathi dalam sedekah, disebutkan dalam ayat berikut:

َٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُواْ لَمۡ يُسۡرِفُواْ وَلَمۡ يَقۡتُرُواْ وَكَانَ بَيۡنَ ذَٰلِكَ قَوَامٗا

Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar.

(QS. Al-Furqan, Ayat 67)

Ayat lainnya:

وَلَا تَجۡعَلۡ يَدَكَ مَغۡلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبۡسُطۡهَا كُلَّ ٱلۡبَسۡطِ فَتَقۡعُدَ مَلُومٗا مَّحۡسُورًا

Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan menyesal.

(QS. Al-Isra’, Ayat 29)

Wasathi dalam membalas kejahatan orang lain, Allah Ta’ala berfirman:

وَجَزَٰٓؤُاْ سَيِّئَةٖ سَيِّئَةٞ مِّثۡلُهَاۖ فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zhalim.

(QS. Asy-Syura, Ayat 40)

Wasathi dalam peperangan, sebagai berikut:

وَقَٰتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَكُمۡ وَلَا تَعۡتَدُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُعۡتَدِينَ

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

(QS. Al-Baqarah, Ayat 190)

Ada pun wasathiyah dalam As Sunnah, juga sangat banyak. Di antaranya Rasulullah ﷺ bercerita tentang surga Firdaus, sebagai yang tertinggi dan paling tengah.

فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ

Jika kalian minta kepada Allah maka mintalah surga firdaus karena dia adalah tengahnya surga dan yang paling tinggi.

(HR. Bukhari no. 2581)

Hadits lainnya:

إِذَا وُضِعَ الطَّعَامُ فَخُذُوا مِنْ حَافَتِهِ وَذَرُوا وَسَطَهُ فَإِنَّ الْبَرَكَةَ تَنْزِلُ فِي وَسَطِهِ

“Apabila makanan telah di hidangkan maka ambillah dari pinggirnya dan tinggalkan tengahnya, sesungguhnya barakah itu turun di bagian tengahnya.”

(HR. Ibnu Majah no. 3277, shahih)

Demikian. Wallahu a’lam

Wa Shallallahu Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala aalihi wa Sallam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Perbedaan Mani dan Madzi

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Saya punya masalah was was selalu merasa keluar mani, entah itu saat kencing, bab, maupun saat tidur, saya bangun tidur saya mendapati bekas cairan yang sudah agak mengering, berwarna mengkilap dan bening. jumlahnya/ bekasnya sangat sedikit cuma setitik, mungkin kurang dari setetes, kemudian saya coba untuk mencium aroma nya namun tidak ada Aroma khas mani mungkin karena jumlahnya yang sedikit, kemudian saya putuskan itu adalah madzi, karena seingat saya, saya tidak mengalami mimpi basah saat tidur, hal ini hampir setiap hari saya alami. saya was was kalau ternyata itu memang mani. Pertanyaan saya apakah itu madzi atau mani. seandainya saya memilih keputusan itu madzi dan ternyata itu mani berdosakah saya karena setelah memutuskan itu madzi saya melaksanakan solat shubuh. Abi, Jawa Timur

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Air mani dan madzi itu ada cirinya masing-masing, bukan hanya secara zat tapi juga sebab keluarnya.

📌 Air Madzi

Madzi itu keluar disaat syahwat, dialami oleh laki-laki dan perempuan. Hanya saja perempuan lebih banyak, karena baginya berfungsi sebagai pelumas disaat jima’. Namun madzi bisa juga keluar tanpa syahwat, khususnya bagi yang sakit. Keluarnya madzi merembas, dan tanpa ada rasa apa-apa.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah memberikan penjelasan tentang madzi:

وهو ماء أبيض لزج يخرج عند التفكير في الجماع أو عند الملاعبة، وقد لا يشعر الانسان بخروجه، ويكون من الرجل والمرأة إلا أنه من المرأة أكثر، وهو نجس باتفاق العلماء

Itu adalah air berwarna putih agak kental yang keluar ketika memikirkan jima’ atau ketika bercumbu, manusia tidak merasakan keluarnya, terjadi pada laki-laki dan wanita hanya saja wanita lebih banyak keluarnya, dan termasuk najis berdasarkan kesepakatan ulama.

(Fiqhus Sunnah, 1/26. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Dalilnya adalah riwayat dari Ali Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً فَأَمَرْتُ رَجُلًا أَنْ يَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَسَأَلَ فَقَالَ تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ

Saya adalah laki-laki yang mudah keluar madzi, maka saya minta seorang laki-laki untuk bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena kedudukan anak wanitanya, lalu dia bertanya, dan beliau berkata: Wudhulah dan cuci kemaluanmu. (HR. Bukhari No. 269)

Laki-laki tersebut adalah Al Miqdad bin Al Aswad, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Bukhari lainnya. (HR. Bukhari No. 132)

Hukumnya disepakati para ulama adalah najis, dan wajib dibersihkan, lalu wudhu. Bukan hadats besar.

📌 Air Mani

Ada pun mani, keluarnya saat puncak syahwat. Ditandai dengan rasa nikmat dan menyenangkan saat keluarnya, keluarnya memancar, lalu lemas setelah itu, dan darinyalah anak berasal.

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah  mengatakan:

هُوَ الْمَاءُ الْغَلِيظُ الدَّافِقُ الَّذِي يَخْرُجُ عِنْدَ اشْتِدَادِ الشَّهْوَةِ

Itu adalah air kental yang hangat yang keluar ketika begitu kuatnya syahwat. (Al Mughni, 1/197)

Lebih rinci lagi disebutkan dalam kitab  Dustur Al ‘Ulama:

الْمَنِيُّ هُوَ الْمَاءُ الأْبْيَضُ الَّذِي يَنْكَسِرُ الذَّكَرُ بَعْدَ خُرُوجِهِ وَيَتَوَلَّدُ مِنْهُ الْوَلَدُ

Air mani adalah air berwarna putih yang membuat   kemaluan lemas setelah keluarnya, dan terbentuknya bayi adalah berasal darinya. (Dustur Al ‘Ulama, 3/361)

Para ulama tidak sepakat atas kenajisannya. Sebagian mengatakan suci seperti Syafi’iyah, Hambaliyah, Imam asy Syaukani, Syaikh Yusuf al Qaradhawi, dan lainnya. Ada pula yang mengatakan najis seperti Abu Hurairah, Hasan al Bashri, Hanafiyah, dan Malikiyah.

📌 Apa perbedaan mani dengan madzi?

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْمَذْيِ وَالْمَنِيِّ أَنَّ الْمَنِيَّ يَخْرُجُ بِشَهْوَةٍ مَعَ الْفُتُورِ عَقِيبَهُ ، وَأَمَّا الْمَذْيُ فَيَخْرُجُ عَنْ شَهْوَةٍ لاَ بِشَهْوَةٍ وَلاَ يَعْقُبُهُ فُتُورٌ

Perbedaan antara madzi dan mani adalah, bahwa mani keluar dibarengi dengan syahwat dan keadaan lemas setelah keluarnya, ada pun madzi bisa keluar dengan syahwat dan tanpa syahwat, dan tidak membuat lemas setelah keluarnya. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 2/141)

Jadi, dari apa yang Anda ceritakan bahwa Anda tidak merasakan apa-apa saat keluarnya, aromanya tidak khas air mani, lalu membandingkannya dengan penjelasan ulama di atas, maka kemungkinan besarnya itu bukan mani, tapi madzi. Cukup cebok dan wudhu saja, serta ganti celana dalam. Lalu, sungguh-sungguhlah dalam menghilangkan was was. Anda bisa perkuat dengan membaca surat perlindungan (al Mu’awwidzat: al Ikhlas, al falaq dan an naas).

Namun, jika Anda mengalami keraguan, maka pilih yang paling meyakinkan dugaannya (zhann ar raajih) saat itu. Lalu ambillah sikap dari situ, sesuai kaidah:

اليقين لا يزال بالشك

Keyakinan tidak bisa dianulir oleh keraguan

Demikian. Wallahu a’lam

Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa’ Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Pluralitas Bukan Pluralisme

💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Kedua istilah ini berasal dari kata yang sama, plural (jamak), tapi memiliki makna yang berbeda.

📌 Pluralitas adalah pengakuan terhadap adanya keragaman, baik ragam dalam agama, ras, suku bangsa, warna kulit. Hal ini diakui secara akal, realita, dan syariat.

Allah Ta’ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.

(QS. Al-Hujurat: 13)

Dalam ayat lainnya:

وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ ٱلنَّاسَ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخۡتَلِفِينَ

Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat)

(QS. Hud, Ayat 118)

📌 Imam Ibnu Jarir Rahimahullah mengatakan, seandainya Allah Ta’ala berkehendak tentu Dia jadikan semua manusia sebagai jamaah yang satu, ajaran yang satu, dan agama yang satu. Qatadah mengatakan jika Allah Ta’ala berkehendak, niscaya Dia jadikan semuanya sebagai kaum muslimin. (Tafsir Ath Thabari, jilid. 6, hal. 4450)

📌 Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan, senantiasa terjadi perbedaan antara manusia pada agama, keyakinan, millah, ajaran, mazhab, dan pendapat mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/361)

📌 Pengakuan terhadap adanya pluralitas, bukan berarti menggugurkan kewajiban dakwah Islam kepada manusia.

📌 Ada pun Pluralisme, adalah paham yang menganggap semua agama sama benarnya, tidak boleh ada satu agama yang merasa paling benar atas lainnya, dan semuanya calon penghuni surga.

📌 MUI dalam fatwanya (no. 7) pada Munas 26-29 Juli 2005- mendefinisikan, Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif, oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.

📌 Paham ini difatwakan sebagai pemahaman yang haram bagi kaum muslimin, sebagaimana paham sekulerisme dan liberalisme.

📌 Sebab, faham pluralisme bertentangan dengan paham agama yang wasathi. Posisi umat Islam yang ummatan wasathan yang oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dimaknai umat yang adil (HR. At Tirmidzi, hasan shahih).

📌 Adil itu menempatkan sesuatu pada tempatnya, sehingga menempatkan yang benar dikatakan benar, batil dikatakan batil. Bukan malah menempatkan yang batil sebagai benar.

📌 Jika semua agama benar, maka tidak akan pernah ada kisah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengajak Yahudi sakit yang dijenguknya untuk masuk Islam, surat ajakan masuk Islam dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Heraklius yang Nasrani, dan lainnya.

📌 Maka, kaum muslimin mengakui bahwa manusia memang beragam agamanya. Tapi, tidak membenarkan jika mengakui semua agama benar.

Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top