Di Mana Arwah Para Nabi Pasca Wafatnya?

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum
Afwan ustadz mohon bimbingannya takut salah jawab
Ada jamaah bertanya

Manusia wafat ada di alam barzah apakah para nabi juga ada di alam barzah

Kalau semua ada di alam barzah kenapa para nabi yang sudah wafat ada di langit yang dilewati Baginda Rasulullah
Apakah langit itu juga alam barzah

Mohon bimbingannya ustadz

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Secara fisik, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memang telah wafat. Sebagaimana nabi-nabi sebelumnya juga telah wafat.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٞ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُۚ أَفَإِيْن مَّاتَ أَوۡ قُتِلَ ٱنقَلَبۡتُمۡ عَلَىٰٓ أَعۡقَٰبِكُمۡۚ وَمَن يَنقَلِبۡ عَلَىٰ عَقِبَيۡهِ فَلَن يَضُرَّ ٱللَّهَ شَيۡـٔٗاۚ وَسَيَجۡزِي ٱللَّهُ ٱلشَّٰكِرِينَ

Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa berbalik ke belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang yang bersyukur.

(QS. Ali ‘Imran, Ayat 144)

Ayat lainnya:

إِنَّكَ مَيِّتٞ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ

Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula).

(QS. Az-Zumar, Ayat 30)

Hanya saja jasad para nabi, Allah Ta’ala jaga, tidak rusak di kuburnya.

Sebagaimana hadits:

إن الله عز وجل حرَّم على الأرض أجساد الأنبياء

Allah Ta’ala mengharamkan atas bumi merusak jasad-jasad para nabi.

(HR. Ahmad, no. 16162. Dishahihkan oleh Imam an Nawawi dalam Khulashah al Ahkam, no. 1441)

Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah berkata:

ولم يقم دليل على فناء جسمه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، بل جاء في بعض الأخبار ما يدل على بقياه صلوات الله عليه ” انتهى

Tidak ada dalil yang menunjukkan binasanya jasad Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, justru sebagian hadits menunjukkan keutuhan jasad Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

(Ikmal al Mu’lim, 7/218)

Ada pun ruhnya, hakikatnya masih hidup yaitu di alam barzakh (al hayatu al barzakhiyah), alam pembatas antara alam dunia dan akhirat.

Hal ini didasarkan pada ayat:

وَلَا تَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمۡوَٰتَۢاۚ بَلۡ أَحۡيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمۡ يُرۡزَقُونَ

Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki,

(QS. Ali ‘Imran, Ayat 169)

Ayat ini menunjukkan ruh syuhada hakikatnya masih hidup, maka apalagi ruh para nabi yang lebih mulia dari mereka.

Dalam hadits juga disebutkan:

و ما من رجل يمر بقبر الرجل كان يعرفه في الدنيا فيسلم عليه إلا رد الله عليه روحه حتى يرد عليه

Tidaklah seorang laki-laki melewati kubur seseorang yang dikenalnya, lalu dia ucapkan salam kepada penghuni kubur itu, melainkan Allah kembalikan ruhnya kepadanya dan menjawab salamnya.

(HR. Ibnu Abdil Bar. Dishahihkan oleh Ibnu Abdil Bar, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dll)

Ini terjadi pada ruh muslim. Maka, apalagi pada ruh oara nabi dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Hanya saja, posisi ruh para nabi -teristimewa lagi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam- adalah di ‘Illiyyin (posisi tertinggi) di antara ruh yang lainnya. Ketika dikembalikan ke jasadnya, dia hidup dalam kehidupan alam barzakh yang karakter kehidupannya sangat berbeda dgn kehidupan dunia. Jangan bayangkan para nabi dikuburnya melakukan aktivitas duniawi seperti saat masih hidup dulu: makan, minum, berjalan, ke pasar, dan lainnya. Tidak demikian.

Imam adz Dzahabi Rahimahullah berkata:

وَهُوَ حَيٌّ فِي لَحْدِهِ، حَيَاةَ مِثْلِهِ فِي البَرزَخِ الَّتِي هِيَ أَكمَلُ مِنْ حَيَاةِ سَائِرِ النَّبِيِّينَ ، وَحَيَاتُهُم بِلاَ رَيْبٍ أَتَمُّ وَأَشرَفُ مِنْ حَيَاةِ الشُّهدَاءِ الَّذِيْنَ هُم بِنَصِّ الكِتَابِ: { أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ } آل عمران/169

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hidup di liang lahadnya, dia hidup sebagaimana yang semisalnya di alam barzakh dengan kehidupan yang paling sempurna dibanding para nabi lainnya. Kehidupan para nabi tidak ragu lagi lebih sempurna kemuliaannya dibanding para syuhada, sebagaimana tertulis dalam Al Quran: Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki,

وَهَؤُلاَءِ حَيَاتُهُم الآنَ الَّتِي فِي عَالِمِ البَرْزَخِ حَقٌّ ، وَلَكِنْ لَيْسَتْ هِيَ حَيَاةَ الدُّنْيَا مِنْ كُلِّ وَجْهٍ ، وَلاَ حَيَاةَ أَهْلِ الجَنَّةِ مِنْ كُلِّ وَجْهٍ ، وَلَهُم شِبْهٌ بِحَيَاةِ أَهْلِ الكَهْفِ

Saat ini, kehidupan mereka di alam barzakh adalah benar adanya. Tapi tidak sama dengan kehidupan dunia di segala sisinya, dan tidak sama dengan kehidupan para penduduk surga. Bagi mereka adalah kehidupan yang mirip dengan Ashabul kahfi.

وَمِنْ ذَلِكَ اجْتِمَاعُ آدَمَ وَمُوْسَى لَمَّا احْتَجَّ عَلَيْهِ مُوْسَى ، وَحَجَّهُ آدَمُ بِالعِلْمِ السَّابِقِ ، كَانَ اجْتِمَاعُهُمَا حَقّاً ، وَهُمَا فِي عَالِمِ البَرْزَخِ ، وَكَذَلِكَ نَبِيُّنَا – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَخبَرَ أَنَّهُ رَأَى فِي السَّمَاوَاتِ آدَمَ ، وَمُوْسَى ، وَإِبْرَاهِيْمَ ، وَإِدْرِيْسَ ، وَعِيْسَى ، وَسَلَّمَ عَلَيْهِم ، وَطَالَتْ مُحَاوَرَتُهُ مع مُوْسَى

Oleh karena itu, Nabi Adam dan Nabi Musa pernah berjumpa dan berdebat. Adam mendebat Musa dengan ilmunya terdahulu. Pertemuan mereka adalah benar adanya, dan mereka di alam barzakh. Sebagaimana pertemuan nabi kita saat mengabarkan bahwa di langit berjumpa dengan Adam, Musa, Ibrahim, Idris, Isa, ‘Alaihimussalam. Serta panjangnya Beliau dialog dengan Musa.

(Siyar A’lam an Nubala, 7/570)

Demikian. Wallahu a’lam

🌻🌷🍀🌿🍃🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban Dengan Ibadah

💢💢💢💢💢💢💢

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

يطلع الله تبارك و تعالى إلى خلقه ليلة النصف من شعبان ، فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن

“Allah Ta’ala menampakkan (rahmat) diriNya kepada hambaNya pada malam nishfu sya’ban, maka Dia mengampuni bagi seluruh hambaNya, kecuali orang yang musyrik atau pendengki.”

Status Hadits:

– Diriwayatkan dari banyak sahabat nabi yakni Muadz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al Khusyani, Abdullah bin Amr, ‘Auf bin Malik, dan ‘Aisyah. Sehingga satu sama lain saling menguatkan. Oleh karena itu dinyatakan SHAHIH, oleh Syaikh al Albani.

(Lihat As Silsilah Ash Shahihah, 3/135, No. 1144. Darul Ma’arif. Juga Shahih Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 2/785)

Dishahihkan pula oleh Dr. Abdul Malik bin Abdullah Ad Duhaisy, dalam Jami’ Al Masanid wa Sunan, No. 9697.

Kandungan Hadits:

📌 Hadits ini menunjukkan kemuliaan malam Nishfu Sya’ban, saat itu Allah Ta’ala menampakkan kasih sayangNya dengan mengampuni semua makhluk, kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.

📌 Walau pada prinsipnya, ampunan dan rahmat Allah Ta’ala tentunya ada disepanjang waktu bukan hanya pada satu hari atau malam.

📌 Maka, jika seorang muslim menghidupkan malam itu dengan doa, ibadah, dan membaca Al Quran, baik sendiri atau berjamaah, maka itu bagus.

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan:

إذَا صَلَّى الْإِنْسَانُ لَيْلَةَ النِّصْفِ وَحْدَهُ أَوْ فِي جَمَاعَةٍ خَاصَّةٍ كَمَا كَانَ يَفْعَلُ طَوَائِفُ مِنْ السَّلَفِ فَهُوَ أَحْسَن

Jika manusia shalat malam nishfu seorang diri atau jamaah secara khusus sebagaimana yang dilakukan beberapa golongan salaf, maka itu lebih baik. (Al Fatawa Al Kubra, 2/262)

Hanya saja Beliau menolak menetapkan jumlah atau angka khusus dalam rakaat shalatnya.

📌 Para Salaf mengakui keutamaan malam Nishfu Sya’ban, sebagaimana dikatakan Imam Ibnu Taimiyah juga:

لكن الذي عليه كثير من أهل العلم أو أكثرهم من أصحابنا وغيرهم على تفضيلها وعليه يدل نص أحمد لتعدد الأحاديث الواردة فيها وما يصدق ذلك من الآثار السلفية وقد روى بعض فضائلها في المسانيد والسنن وإن كان قد وضع فيها أشياء أخر

Tetapi, yang dianut oleh mayoritas ulama atau mayoritas sahabat-sahabat kami (HAMBALIYAH), dan selain mereka, bahwa malam Nishfu Sya’ban memiliki keutamaan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad. Hal ini berdasarkan banyak hadits dan atsar para salafush shalih. Diriwayatkan sebagian riwayat tentang keutamaan tersebut di kitab-kitab Musnad dan Sunan, namun adanya riwayat palsu pada riwayat tersebut merupakan perkara yang lain.

(Iqtidha Ash Shirath Al Mustaqim, Hal. 302)

📌Syaikh ‘Athiyah Shaqr Rahimahullah menyebutkan para imam tabi’in di Syam yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan ibadah di masjid secara berjamaah, dan mereka memandangnya bukan bid’ah. Berikut ini uraiannya:

أنه يستحب إحياؤها جماعة فى المسجد، وكان خالد بن معدان ولقمان ابن عامر وغيرهما يلبسون فيها أحسن ثيابهم ويتبخرون ويكتحلون ويقومون فى المسجد ليلتهم تلك ، ووافقهم إسحاق بن راهويه على ذلك وقال فى قيامها فى المساجد جماعة : ليس ذلك ببدعة، نقله عنه حرب الكرمانى فى مسائله

Dianjurkan menghidupkan malam tersebut dengan berjamaah di masjid, Khalid bin Mi’dan dan Luqman bin ‘Amir, dan selainnya, mereka mengenakan pakain bagus, memakai wewangian, bercelak, dan mereka menghidupkan malamnya dengan shalat. Hal ini disepakati oleh Ishaq bin Rahawaih, dia berkata tentang shalat berjamaah pada malam tersebut: “Itu bukan bid’ah!” Hal ini dikutip oleh Harb al Karmani ketika dia bertanya kepadanya tentang ini.

(Fatawa Al Azhar, 10/131)

📌 Ini pun pendapat mayoritas ahli fiqih.

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى نَدْبِ إِحْيَاءِ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ …

Mayoritas ahli fiqih menganjurkan menghidupkan (dengan ibadah) malam Nishfu Sya’ban .. (Lalu disebutkan beberapa hadits tentang hal itu). (Al Mausu’ah, 2/236)

📌 Bahkan ini dilakukan sudah sejak lama di Masjid al Haram, di masa salaf.

Al Fakihi Rahimahullah (wafat 272 H) bercerita:

ذِكْرُ عَمَلِ أَهْلِ مَكَّةَ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَاجْتِهَادِهِمْ فِيهَا لِفَضْلِهَا وَأَهْلُ مَكَّةَ فِيمَا مَضَى إِلَى الْيَوْمِ إِذَا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، خَرَجَ عَامَّةُ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَصَلَّوْا، وَطَافُوا، وَأَحْيَوْا لَيْلَتَهُمْ حَتَّى الصَّبَاحَ بِالْقِرَاءَةِ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، حَتَّى يَخْتِمُوا الْقُرْآنَ كُلَّهُ، وَيُصَلُّوا، وَمَنْ صَلَّى مِنْهُمْ تِلْكَ اللَّيْلَةَ مِائَةَ رَكْعَةٍ يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِالْحَمْدُ، وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ عَشْرَ مَرَّاتٍ، وَأَخَذُوا مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ، فَشَرِبُوهُ، وَاغْتَسَلُوا بِهِ، وَخَبَّؤُوهُ عِنْدَهُمْ لِلْمَرْضَى، يَبْتَغُونَ بِذَلِكَ الْبَرَكَةَ فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ، وَيُرْوَى فِيهِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ

Amalan penduduk Mekkah pada malam Nishfu Sya’ban dan kesungguhan mereka beribadah karena keutamaan malam tersebut. Penduduk Mekkah dari dulu sampai hari ini, jika datang malam Nishfu Sya’ban, maka mayoritas laki-laki dan perempuan keluar menuju Masjidil Haram, mereka shalat, thawaf, dan menghidupkan malam itu sampai pagi dengan membaca Al Quran di Masjidil Haram sampai mengkhatamkan semuanya, dan mereka shalat, di antara mereka ada yang shalat malam itu 100 rakaat dan pada tiap rakaatnya membaca Al Fatihah dan Al Ikhlas 10 kali, lalu mereka mengambil air zam zam malam itu, lalu meminumnya, mandi dengannya, dan juga menyembuhkan orang sakit dengannya, dalam rangka mencari keberkahan pada malam tersebut. (Akhbar Makkah, 3/84)

📌 Walau para ulama umumnya mengakui keutamaan malam Nishfu Sya’ban dan anjuran menghidupkannya dengan ibadah, namun sebagian ulama ada yang tidak menyukainya termasuk dikalangan Syafi’iyah. Khususnya dalam hal penentuan jumlah rakaat dan cara cara spesifik lainnya.

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

وَبَيَّنَ الْغَزَالِيُّ فِي الإِْحْيَاءِ كَيْفِيَّةً خَاصَّةً لإِِحْيَائِهَا ، وَقَدْ أَنْكَرَ الشَّافِعِيَّةُ تِلْكَ الْكَيْفِيَّةَ 5وَاعْتَبَرُوهَا بِدْعَةً قَبِيحَةً ، وَقَال الثَّوْرِيُّ هَذِهِ الصَّلاَةُ بِدْعَةٌ مَوْضُوعَةٌ قَبِيحَةٌ مُنْكَرَةٌ

Imam Al Ghazali menjelaskan tata cara menghidupkan malam itu secara khusus, namun tata cara itu diingkari oleh Syafi’iyah dan menyebutnya sebagai bid’ah yang buruk. Ats Tsauri mengatakan bahwa shalat tersebut adalah bid’ah, palsu, dan buruk lagi munkar. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/236)

Hal ini sebagaimana ditegaskan Imam an Nawawi berikut ini:

الصلاة المعروفة بصلاة الرغائب وهي ثنتى عشرة ركعة تصلي بين المغرب والعشاء ليلة أول جمعة في رجب وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة وهاتان الصلاتان بدعتان ومنكران قبيحتان ولا يغتر بذكرهما في كتاب قوت القلوب واحياء علوم الدين ولا بالحديث المذكور فيهما فان كل ذلك باطل

“Shalat yang sudah dikenal dengan sebutan shalat Ragha’ib yaitu shalat 12 rakaat yang dilakukan antara Maghrib dan Isya’, yakni malam awal hari Jumat pada bulan Rajab, dan shalat malam pada nishfu sya’ban seratus rakaat, maka dua shalat ini adalah bid’ah munkar yang buruk, janganlah terkecoh karena keduanya disebutkan dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya Ulumuddin , dan tidak ada satu pun hadits yang menyebutkan dua shalat ini, maka semuanya adalah batil.” (Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/56)

📌 Wal hasil, para salaf sepakat keutamaan malam Nishfu Sya’ban dan menghidupkannya dengan ibadah. Tapi, mereka berbeda pendapat dalam hal hai’ah (bentuk) dan tata caranya. Tentunya kaum muslimin hendaknya berlapang dada atas perbedaan ini sebagaimana menyikapi perbedaan persoalan fiqih lainnya.

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🌸🌿🌳🌻🍃🍀

✍ Farid Nu’man Hasan

Tafsir Surat Al Muzammil (Bagian 1)

A. Mukaddimah Surat Al Muzzamil

Surat Al Muzzammil termasuk Makiyyah, kecuali ayat terakhir termasuk Madaniyah. Surat ini turun setelah surat Al-Qalam (Nun).

surat ini berisi perintah shalat malam (qiyamullail) yang pada awalnya bersifat wajib, kemudian hukumnya di nasakh( dihapus) oleh ayat terakhir pada surat ini.

Selain itu, surat ini juga mengajarkan qiyamullail merupakan sarana penguat dalam perjuangan dakwah dengan segala tribulasinya yang terus bergerak. Mengajarkan bagaimana melawan hawa nafsu (kantuk) berselimut dan bersembunyi, untuk “bangunlah” lawan kantukmu dan terus berjuang.

Juga perintah untuk membaca Al-quran dengan perlahan (tartil) sehingga lebih meresap maknanya ke dalam sanubari.

B. Identifikasi Surat

  • Surat Al Muzzamil merupakan surat ke-67
  • Terdiri dari 20 ayat
  • Memiliki 285 kata
  • Memiliki 838 huruf [1]

C. Sababun Nuzul (sebab turun surat)

Para ulama dan mufassirun menyebutkan beberapa riwayat terkait sabab nuzul surat Al-Muzammil, diantaranya:

  1. Riwayat Al Bazzar dan Imam At Thabrani dalam Al Ausath, juga Abu Nuaim dalam Ad Dalail:

عن جابر- رضى الله عنه- قال: اجتمعت قريش في دار الندوة فقالوا: سموا هذا الرجل اسما تصدوا الناس عنه فقالوا: كاهن. قالوا: ليس بكاهن. قالوا: مجنون. قالوا: ليس بمجنون. قالوا: ساحر. قالوا: ليس بساحر .فتفرق المشركون على ذلك. فبلغ ذلك النبي صلى الله عليه وسلم فتزمل في ثيابه وتدثر فيها. فأتاه جبريل فقرأ عليه: يا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ يا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ

“Namailah orang ini (Nabi Muhammad ) dengan nama yang dapat menghalangi manusia darinya. “Maka (sebagian) mereka berkata,” seorang dukun (kahin), yang lain berkata,”Dia bukan dukun.” Sebagian lagi berkata, Orang gila, sebagian lagi mengatakan,”Dia bukan orang gila. Sebagian lai berkata,” Di seorang Penyihir, sebagian lagi berkata,”Dia bukan  Penyihir. Orang-orang musyrik berpecah belah dalam hal ini. Lalu sampailah berita itu kepada Rasulullah, kemudian beliau menyelimuti dirinya dengan kain dan berkemul. Malaikat Jibrilpun datang dan berkata,” Wahai orang yang berselimut (muzammil) -Wahai orang yang berkemul  (muddatsir).

  1. Riwayat Bukhari dan Muslim

ما رواه الشيخان وغيرهما من حديث جابر بن عبد الله أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: جاورت بحراء، فلما قضيت جواري، هبطت، فنوديت فنظرت عن يميني فلم أر شيئا، ونظرت عن شمالي فلم أر شيئا … فرفعت رأسى فإذا الذي جاءني بحراء، جالس على كرسي بين السماء والأرض … فرجعت فقلت: دثروني دثروني، وفي رواية: فجئت أهلى فقلت: زملوني زملوني، فأنزل الله- تعالى-: يا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ .وجمهور العلماء يقولون: وعلى أثرها نزلت: يا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ

Riwayat  Bukhari dan Muslim, dari Jabir bin Abdillah bahwa rasulullah shalalahu alaihi wasallam bersabda,” Aku berdiam diri di gua Hira, setelah selesai, Aku turun. Tiba-tiba terdengar suara memanggilku, aku menoleh ke kanan, tak menjumpai apapun. Aku menoleh ke kiri tak mendapati apapun. Lalu aku menengadahkan kepala, aku melihat Malaikat yang mendatangiku saat di Gua Hira sedang duduk disinggasanan antara langit dan bumi, lalu akupun bergegas pulang. (sesampainya dirumah) aku berkata (kepada istriku),’Selimuti aku selimuti aku”. Lalu turunlah ayat Ya ayuhal mudatatsir. Mayoritas ulama mengatakan bahwa, pada riwayat yang sama turun juga surat Al-Muzammil.[2]

  1. Menurut Imam Suyuthi:[3]

واخرج الحاكم عن عائشة قالت: لما نزلت يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ (1) قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا (2) قاموا سنة حتى رمت أقدامهم فأنزلت .. فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ

“Diriwayatkan oleh Al Hakim dari Aisyah, ia berkata,” Ketika turun ayat:

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ (1) قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا (2)

(Hai orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah (untuk shalat) dimalam hari kecuali sedikit (dari padanya) (QS. Al-Muzammil:1-2)

Para sahabat melaksanakan qiyamullail selama setahun, hingga kaki mereka bengkak-bengkak, sampai kemudian turun ayat…

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ

“Karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an) QS. Al Muzammil: 20)

D. Tinjauan Bahasa

الْمُزَّمِّلُ

Secara bahasa merupakan isim fa’il dari kata :

تزمل فلان بثيابه

“Si Fulan berselimut dengan pakaiannya” aslinya adalah

المتزمل

“al-mutazamil, kemudian huruf Ta’ dan Zai’ yang disembunyikan sehingga menjadi الْمُزَّمِّلُ

Ayat pertama ini dimulai dengan huruf Nida (panggilan)

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ

“Wahai orang yang berselimut”

Kata panggilan ini fungsinya mengingatkan (tanbih) kepada orang yang diajak bicara, terkait dengan perintah maupun larangan.[4]

E. Kandungan Umum Surat Al Muzzammil

  1. Perintah Qiyamullail kepada Nabi Muhammad dan para sahabat di awal-awal dakwah, sebagai penguat hati dalam perjuangan
  2. Perintah untuk konsisten dalam shalat, zakat dan perintah-perintah agama lainnya.
  3. Perintah untuk menjauhi dari orang-orang musyrik, dan ancaman Allah untuk orang orang musyrik di akherat.
  4. Janji Allah untuk pelaku-pelaku kebaikan
  5. Keadaan dahsyatnya peristiwa hari kiamat.
  6. Bersegera bertaubat
  7. Adab-adab membaca dan mentadaburi Al-Qur’an (bersambung……)

=================

والله أعلم

Fauzan Sugiyono, Lc M.Ag


[1] Syekh Nawawi Al Bantani (1316 H),Marah Labid, (Beirut: Darul Kutub, 1417H) jilid  2/575

[2] (Muhammad Sayid Thantawi, Tafsir Al Wasith Lil Qur’anil Karim, (Mesir: Darun Nahdhah, 1997) jilid 15/152

[3] Imam Suyuthi (911H) Asbabun Nuzul  (Beirut: Muassasah Kutub Ats Tsaqafiyah, 2002) hal. 278

[4] (Muhammad Sayid Thantawi, Tafsir Al Wasith Lil Qur’anil Karim, 15/151

 

Safar (dalam Perjalanan), Antara Puasa dan Tidak

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Bismillah, Assalamualaikum ustadz. Mohon penjelasan,Apabila kita Safar di Bulan Ramadhan ,mana kah yang lebih utama..mengambil rukhsah berbuka atau tetap shaum? (+62 821-1878-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

📌 Safar adalah salah satu udzur mendapatkan rukhshah (keringanan) untuk tidak puasa Ramadhan. (QS. Al Baqarah: 184)

📌 Yaitu Jika safarnya telah memenuhi syarat boleh untuk tidak berpuasa. Syaikh Sayyid Sabiq menerangkan:

والسفر المبيح للفطر، هو السفر الذي تقصر الصلاة بسببه، ومدة الاقامة التي يجوز للمسافر أن يفطر فيها، هي المدة التي يجوز له أن يقصر الصلاة فيها

Safar yg membuat bolehnya tidak puasa adalah safar yang juga menyebabkan boleh qasharnya shalat. Rentang waktunya pun sama dengan rentang waktu dibolehkannya qashar.

(Fiqhus Sunnah, 1/444)

📌 Jika dia memilih tetap puasa, itu tidak salah, jika mengambil rukhshah tidak berpuasa maka itu baik, begitulah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengatakan.

Dari Hamzah bin Amru Al Aslami Radhiallahu Anhu, katanya:

يا رسول الله: أجد بي قوة على الصيام في السفر. فهل علي جناح ؟، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “هي رخصة من الله فمن أخذ بها فحسن. ومن أحب أن يصوم فلا جناح عليه”

“Wahai Rasulullah, saya punya kekuatan untuk berpuasa dalam safar, apakah salah saya melakukannya? Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab: Itu adalah rukhshah dari Allah, barang siapa yang mau mengambilnya (yakni tidak puasa) maka itu baik, dan barang siapa yang mau berpuasa maka tidak ada salahnya. (HR. Muslim No. 1121)

Antara Baik dan tidak salah, tentu cita rasanya lebih dalam yang “baik”.

📌 Ini juga dikuatkan oleh riwayat lainnya, dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma, katanya:

لا تعب على من صام ولا من أفطر. قد صام رسول الله صلى الله عليه وسلم،
في السفر، وأفطر.

“Tidak ada kesulitan bagi orang yang berpuasa, dan tidak ada kesulitan bagi yang berbuka. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah berpuasa dalam safar dan juga berbuka.” (HR. Muslim No. 1113)

Dari Ibnu Abbas juga:

سافر رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان. فصام حتى بلغ عسفان. ثم دعا بإنء فيه شراب. فشربه نهارا. ليراه الناس. ثم أفطر. حتى دخل مكة .
قال ابن عباس رضي الله عنهما: فصام رسول الله صلى الله عليه وسلم وأفطر. فمن شاء صام، ومن شاء أفطر.

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengadakan perjalanan pada Ramadhan, dia berpuasa singga sampai ‘Asfan. Kemudian dia meminta sewadah air dan meminumnya siang-siang. Manusia melihatnya, lalu dia berbuka hingga masuk Mekkah. Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma berkata: Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berpuasa dan berbuka. Barang siapa yang mau maka dia puasa, dan bagi yang mau buka maka dia berbuka. (Ibid)

📌 Namun jika seseorang memilih puasa, tapi malah menyulitkannya atau safarnya semakin berat, maka tidak disarankan berpuasa.

Berdasarkan hadits berikut:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفره. فرأى رجلا قد اجتمع الناس عليه. وقد ضلل عليه. فقال: “ماله ؟” قالوا: رجل صائم. فقال رسول الله عليه وسلم: “ليس من البر أن تصوموا في السفر”.

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tengah dalam perjalanannya. Dia melihat seseorang yang dikerubungi oleh manusia. Dia nampak kehausan dan kepanasan. Rasulullah bertanya: “Kenapa dia?” Meeka menjawab: “Seseorang yang puasa. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam1 bersabda: Tidak ada kebaikan kalian berpuasa dalam keadaan safar.

(HR. Muslim No. 1115)

📌 Sebagian ulama ada yang dengan tegas menyebut TIDAK BOLEH orang yang berpuasa dalam keadaan safar, sebab Rasulullah telah menyebut DURHAKA orang yang puasa di saat safar.

📌 Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya menuliskan:

باب ذكر خبر روي عن النبي صلى الله عليه وسلم في تسمية الصوم في السفر عصاة من غير ذكر العلة التي أسماهم بهذا الاسم توهم بعض العلماء أن الصوم في السفر غير جائز لهذا الخبر

“Bab tentang khabar dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang penamaan berpuasa saat safar adalah DURHAKA tanpa menyebut alasan penamaan mereka dengan nama ini. Sebagian ulama menyangka bahwa berpuasa ketika safar adalah TIDAK BOLEH karena hadits ini.”

📌 Dalilnya, Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج إلى مكة عام الفتح في رمضان فصام حتى بلغ كراع الغميم فصام الناس معه فقيل له يا رسول الله إن الناس قد شق عليهم الصيام فدعا بقدح من ماء بعد العصر فشرب والناس ينظرون فأفطر بعض الناس وصام بعض فبلغه أن ناسا صاموا فقال أولئك العصاة

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar pada tahun Fath (penaklukan) menuju Mekkah pada saat Ramadhan. Dia berpuasa hingga sampai pinggiran daerah Ghanim. Manusia juga berpuasa bersamanya. Dikatakan kepadanya: Wahai Rasulullah, nampaknya manusia kepayahan berpuasa. Kemudian Beliau meminta segelas air setelah asar, lalu beliau minum, dan manusia melihatnya. Maka sebagian manusia berbuka, dan sebagian lain tetap berpuasa. Lalu, disampaikan kepadanya bahwa ada orang yang masih puasa. Maka Beliau bersabda: Mereka durhaka.

(HR. Muslim No. 1114)

📌 Dengan memadukan berbagai riwayat yang ada ini, bisa disimpulkan bahwa anjuran dasar bagi orang yang safar adalah berbuka/tidak berpuasa.

📌 Namun, bagi yang kuat dan sanggup untuk berpuasa maka boleh saja tidak berpuasa sejak awalnya, dan boleh pula berpuasa. Namun bagi yang sulit dan lelah, maka lebih baik dia berbuka saja.

📌 Dalam konteks ‘boleh buka dan boleh puasa’ bagi yang sanggup, lalu manakah yg lebih utama?

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah meringkas sebagai berikut:

فرأى أبو حنيفة، والشافعي، ومالك: أن الصيام أفضل، لمن قوي عليه، والفطر أفضل لمن لا يقوى على الصيام.
وقال أحمد: الفطر أفضل.
وقال عمر بن عبد العزيز: أفضلهما أيسرهما، فمن يسهل عليه حينئذ، ويشق عليه قضاؤه بعد ذلك، فالصوم في حقه أفضل.
وحقق الشوكاني، فرأى أن من كان يشق عليه الصوم، ويضره، وكذلك من كان معرضا عن قبول الرخصة، فالفطر أفضل وكذلك من خاف على نفسه العجب أو الرياء – إذا صام في السفر – فالفطر في حقه أفضل.
وما كان من الصيام خاليا عن هذه الامور، فهو أفضل من الافطار.

“Menurut Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, puasa adalah lebih utama bagi yang kuat menjalankannya, dan berbuka lebih utama bagi yang tidak kuat. Ahmad mengatakan: berbuka lebih utama. Sedangkan Umar bin Abdul Aziz berkata: Yang paling utama dari keduanya adalah yang paling mudah. Barangsiapa yang lebih mudah puasa saat itu, dan mengqadha setelahnya justru berat, maka berpuasa baginya adalah lebih utama.”

Asy Syaukani melakukan penelitian, dia berpendapat bahwa bagi yang berat berpuasa dan membahayakannya, dan juga orang yang tidak mau menerima rukhshah, maka berbuka lebih utama. Demikian juga bagi orang yang khawatir pada dirinya ada ujub dan riya jika puasa dalam perjalanan- maka berbuka lebih utama. Ada pun jika puasanya sama sekali bersih dari perkara ini semua, maka puasa lebih utama.

(Fiqhus Sunnah, 1/443. Nailul Authar, 4/225)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top