[Tata Cara Shalat] – Ruku’

💢💢💢💢💢💢💢💢

Ini adalah salah satu rukun shalat, tanpanya shalat tidak sah. Bahkan dalam Al Quran, istilah shalat kadang menggunakan kata ruku’. Ini menunjukkan kedudukannya yang sangat penting.

Di antaranya:

وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ

Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang yang ruku’.

(QS. Al-Baqarah, Ayat 43)

Ayat lainnya:

يَٰمَرۡيَمُ ٱقۡنُتِي لِرَبِّكِ وَٱسۡجُدِي وَٱرۡكَعِي مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ

Wahai Maryam! Taatilah Tuhanmu, sujud dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.

(Q. Ali ‘Imran, Ayat 43)

Ada pun tentang syariat ruku’ dalam shalat, ditegaskan dalam banyak hadits, di antaranya berikut ini.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغْ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ بِمَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا

‘Jika kamu hendak mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah wudhu’, lalu menghadap ke arah Kiblat, setelah itu bertakbirlah, kemudian bacalah Al Qur’an yang mudah bagimu. Kemudian ruku’lah hingga kamu benar-benar ruku’

(HR. Bukhari no. 6251, 6252)

Makna Ruku’

Syaikh Hasan bin Ahmad al Kaaf, menjelaskan bahwa secara bahasa, ruku’ artinya al inhina’ (الإنحناء), yaitu membungkuk.

Secara syariat, artinya membungkuknya orang yang shalat tanpa INKHINAS, dengan meletakkan dua telapak tangannya di dua lututnya.

(Al Ahammu fi Fiqhi Thalib al ‘Ilmi, Hal. 96)

Inkhinas adalah membungkuk dengan malas, mengangkat/mendongakkan kepala, dan membusungkan dada. Ini haram. (Ibid)

Tata Cara Ruku’

Tentang cara ruku’, disebutkan dalam beberapa hadits berikut:

فَلَمَّا رَكَعَ وَضَعَ رَاحَتَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَجَعَلَ أَصَابِعَهُ مِنْ وَرَاءِ رُكْبَتَيْهِ وَجَافَى إِبْطَيْهِ حَتَّى اسْتَقَرَّ كُلُّ شَيْءٍ مِنْهُ

“dan ketika hendak ruku’ ia meletakkan kedua telapak tangannya pada dua lututnya dan meletakkan jari-jarinya merenggang di kedua lututnya. la merenggangkan kedua sikunya dari kedua lambungnya…

(HR. An Nasa’i no. 1037, shahih)

Tentang posisi kepala:

وكان إذا رَكَع لم يُشْخِصْ رأسَه ولم يُصَوِّبَه ولكن بين ذلك

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika ruku’ tidak meninggikan (mendongakkan) kepala dan tidak juga merendahkannya (terlalu bungkuk), namun di antara keduanya (lurus).” (HR. Muslim no. 498)

Tentang posisi punggung, diceritakan dalam sebuah hadits:

إِذَا رَكَعَ لَوْ وُضِعَ قَدَحٌ مِنْ مَاءٍ عَلَى ظَهْرِهِ لَمْ يُهَرَاقْ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila sedang ruku’ kemudian diletakkan bejana air di punggungnya niscaya tidak akan tumpah.”

(HR. Ahmad no. 997)

Syaikh Ahmad Syakir mengatakan dhaif. Begitu pula yang dikatakan oleh Syaikh Syu’aib al Arnauth. Namun, Syaikh al Albani menyatakan shahih, karena banyaknya jalur lain yang menguatkan hadits ini.

Kesimpulan:

– Jadi, telapak tangan di lutut dan ini sunnah, bukan meletakkan di tulang kering kaki, lalu dengan jari yang agak direnggangkan

– serta siku yang menjauh dari lambungnya

– kepala tidak terlaku dongak, dan tidak terlalu nunduk

– Punggung diratakan, tegak lurus dengan kaki,

– Pandangan mata ke tempat sujud, sesuai keumuman dalil:

دخل رسول الله صلى الله عليه وسلم الكعبة ما خلف بصره موضع سجوده حتى خرج منها

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam masuk ke Ka’bah, pandangannya tidak pernah beralih dari tempat sujudnya sampai dia keluar dari Ka’bah.

(HR. Ibnu Hibban, 4/332, Al Hakim, 1/652. Shahih)

Demikian. Wallahu a’lam

Bersambung….

🌺🌿🌷🌻🌸🍃🌴🌵

✍ Farid Nu’man Hasan

[Tata Cara Shalat] – Membaca Surat

💢💢💢💢💢💢💢

Membaca surat, yakni selain Al Fatihah, adalah SUNNAH berdasarkan ijma’, bukan kewajiban. Tanpanya shalat seseorang tetap sah tetapi dia meninggalkan sunnah. Tentu itu bukanlah kebaikan.

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وهذا مجمع عليه في الصبح والجمعة والأولييْن من كل الصلوات ، وهو سنة عند جميع العلماء ، وحكى القاضي عياض رحمه الله تعالى عن بعض أصحاب مالك وجوب السورة ، وهو شاذ مردود

Hal ini (kesunahan membaca surat) adalah Ijma’, baik pada shalat subuh, shalat Jum’at, atau pada dua rakaat pertama disemua shalat. Itu sudah menurut semua ulama. Al Qadhi ‘Iyadh menceritakan adanya yang mewajibkan dari kalangan pengikut Imam Malik. Tapi, itu pendapat aneh dan tertolak.

(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 5/104)

Oleh karena itu, membaca satu ayat saja, atau kurang dari tiga ayat dari surat yang dibaca, adalah tidak masalah. Asalkan itu ayat yang memiliki makna yang utuh seperti membaca ayat kursi saja (al Baqarah 255), atau al Baqarah 282 (ayat ttg hutang) . Ada pun membaca satu ayat dengan makna yang tidak utuh, lebih baik tidak dilakukan.

Dalam Syarh Al Muntaha, Imam al Bahuti menelaskan:

قال القاضي [أبو يعلى] وغيره : وتجزئ آية إلا أن أحمد استحب كونها طويلة , كآية الدين والكرسي

Berkata Al Qadhi Abu Ya’la dan lainnya: sudah cukup satu ayat, hanya saja Imam Ahmad menyukai satu ayat itu yang panjang seperti ayat tentang hutang dan ayat kursi.

(Imam al Bahuti, Syarh Al Muntaha, 1/191)

Ada pun satu ayat yang tidak membawa pada makna sempurna, sebaiknya jangan. Seperti sekedar membaca tsumma nazhar (kemudian dia melihat), seperti yang ada dalam surat Al Muddatstsir, atau mudhaamataan (kedua surga yang tampak hijau warnanya), dalam surat Ar Rahman.

Imam Al Bahutiy berkata:

والظاهر أنه لا تجزئ آية لا تستقل بمعنى أو حكم نحو ( ثم نظر ) و ( مدهامتان)

Yang benar adalah tidak cukup membaca satu ayat yang tidak memiliki makna tersendiri atau hukum, seperti “tsumma nazhar” dan “mudhaammataan”.
(Kasysyaaf Al Qinaa’, 1/342)

Urutan membaca surat juga mesti diperhatikan. Etikanya adalah mendahulukan membaca surat yang urutannya lebih dulu, misal surat Al Ikhlas didahulukan daripada Al Falaq. Al Ikhlas di rakaat pertama, Al Falaq atau An Naas di rakaat kedua. Atau, At Tin di rakaat pertama, Al Fiil atau An Nashr di rakaat kedua. Sebab begitulah urutannya dalam Al Quran. Jangan dibalik, walau jika dibalik pun itu tidak merusak shalat.

Imam An Nawawi Rahimahullah, menyebut dalam At Tibyan, bahwa jika rakaat pertama sudah membaca An Naas (surat terakhir dalam Al Quran), maka rakaat kedua dia membaca Al Baqarah, dengan kata lain kembali ke surat awal lagi. Sebab, setelah An Naas sudah tidak ada surat lagi.

Demikian. Wallahu a’lam

(bersambung..)

🌴🍄🌷🌱🌸🍃🌵🌾🌹

✍ Farid Nu’man Hasan

[Tata Cara Shalat] – Membaca Al Fatihah

Membaca Al Fatihah adalah rukun shalat, tidak sah shalat kecuali dengan membacanya. Inilah yang dianut oleh mayoritas ulama dan umat Islam, kecuali Imam Abu Hanifah, Imam Sufyan ats Tsauri, Imam al Auza’i, dan lainnya, yang mengatakan tidak wajib, tanpa membaca Al Fatihah shalat tetap sah.

Dari Ubadah bin Ash Shamit Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لا صلاة لمن لم يقرأ فيها بفاتحة الكتاب

“Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Fatihatul Kitab.” 1]

Imam At Tirmidzi memberikan keterangan:

والعمل عليه عند أكثر أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم، منهم عمر بن الخطاب وجابر بن عبد الله وعمران بن حصين وغيرهم، قالوا: لا تجزئ صلاة إلا بقراءة فاتحة الكتاب. وبه يقول ابن المبارك والشافعي وأحمد وإسحق

“Mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengamalkan (berdalil) dengan hadits ini, di antara mereka: Umar bin Al Khathab, Jabir bin Abdullah, ‘Imran bin Hushain, dan selain mereka. Mereka mengatakan: shalat tidaklah mencukupi kecuali dengan membaca Fatihatul Kitab. Ini juga perkataan Ibnul Mubarak, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ishaq.” 2]

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من صلى صلاة لم يقرأ بأم القرآن فهي خداج(3x) ، غير تمام

“Barangsiapa yang shalat dan tidak membaca Ummul Quran maka shalatnya khidaj (diulang tiga kali), yakni tidak sempurna.” 3]

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لا تجزئ صلاة لا يقرأ فيها بفاتحة الكتاب

“Shalat tidaklah sah, yang di dalamnya tidak membaca Fatihatul Kitab.” 4]

Lalu, kenapa ada yang mengatakan TIDAK WAJIB?

Alasannya adalah berdasarkan keumuman ayat:

فاقرءوا ما تيسر من القرآن

“Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran.” (QS. Al Muzammil (73): 20)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda;

إذا قمت إلى الصلاة فكبر، ثم اقرأ ما تيسر معك من القرآن

“Jika kamu hendak shalat, maka bertakbirlah, lalu bacalah apa yang mudah bagimu dari Al Quran.” 5]

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata tentang kelompok ini:

قالوا: فأمره بقراءة ما تيسر، ولم يعين له الفاتحة ولا غيرها، فدل على ما قلناه

“Mereka berkata: Rasulullah memerintahkan untk membaca yang termudah, bukan mengkhususkan Al Fatihah dan tidak pula yang lainnya. Ini menunjukkan kebenaran apa yang kami katakan.” 6]

Dalam pandangan kami –wallahu a’lam- pendapat yang lebih kuat adalah pendapat jumhur, yaitu dengan kompromi beberapa hadits yang zahirnya nampak bertentangan, hadits yang satu memerintahkan membaca yang termudah dari Al Quran, yang lain memerintahkan membaca Al Fatihah, dan semuanya shahih, tidak ada yang dinasakh, apalagi didhaifkan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh ungkapan seorang sahabat nabi, yakni Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu:

أُمرنا أن نقرأ بفاتحة الكتاب وما تيسر

“Kami diperintahkan membaca Fatihatul Kitab dan apa-apa yang mudah dari Al Quran.” 7]

Jadi, kedua riwayat tersebut dipakai, yaitu membaca Al Fatihah dan juga surat lain yang mudah.

Demikian. Wallahu a’lam

🌾🍃🌾🍃🌾🍃🌾🍃

✍ Farid Nu’man Hasan


[1] HR. Bukhari No. 723, Muslim No. 394, 395.

[2] Sunan At Tirmidzi no. 247

[3] HR. Muslim no. 395

[4] HR. Ibnu Khuzaimah no. 490, Ibnu Abi Syaibah, 1/397, mauquf dr Ibnu Umar

[5] HR. Bukhari No. 724, 5897, 6290. Muslim No. 397

[6] Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/108

[7] HR. Abu Daud no. 818, Shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud no. 818

Jangan Takut Menyerupai Orang Shalih, Walau Kita Merasa Belum Shalih

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Manusia biasanya suka mengikuti atau meniru apa yang dilihatnya dan disukainya

📌 Maka tirulah orang-orang baik, baik pada penampilan, perbuatan, dan perkataannya

📌 Sering manusia berkata: “Jadilah diri sendiri!” Ini bagus jika memang diri kita baik. Tapi, jika ternyata buruk maka jangan berlama-lama dalam keburukan dgn alasan jadilah diri sendiri.

📌 Maka, tidak usah malu meniru para shalihin, ulama, dan orang-orang baik lainnya walau kita masih jauh seperti mereka.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum tersebut.

(HR. Abu Daud no. 4031. Dishahihkan oleh Imam Al ‘Iraqi dan Imam Ibnu Hibban. Lihat Imam Al ‘Ajluni, Kasyful Khafa, 2/240)

📌 Berdasarkan hadits ini, maka tirulah orang shalih pada kebaikan yang mereka lakukan.

Al ‘Alqami Rahimahullah mengatakan:

أَيْ مَنْ تَشَبَّهَ بِالصَّالِحِينَ يُكْرَمْ كَمَا يُكْرَمُونَ وَمَنْ تَشَبَّهَ بِالْفُسَّاقِ لَمْ يُكْرَمْ وَمَنْ وُضِعَ عَلَيْهِ عَلَامَةُ الشُّرَفَاءِ أُكْرِمَ وَإِنْ لَمْ يَتَحَقَّقْ شَرَفُهُ

Yaitu siapa yang meniru orang-orang shalih maka dia akan dimuliakan sebagaimana orang-orang shalih dimuliakan. Siapa yang menyerupai orang fasiq maka dia tidak akan dimuliakan. Siapa yang pada dirinya ada tanda orang-orang mulia maka dia akan dimuliakan, walau dia sendiri belum bisa merealisasikan apa yang dilakukan orang-orang mulia tersebut. (Aunul Ma’bud, 7/153)

📌 Maka, janganlah mencela saudara-saudara kita yang kesehariannya memakai pakaian ala ulama, kiayi, dan shalihin, seprti peci, surban, gamis, kain sarung, koko, dan semisalnya. Walau kita kenal orang itu bukan siapa-siapa.

📌 Sebab, apa yang dilakukannya adalah upaya memulai utk meraih kemuliaan sebagaimana orang-orang baik yang diikutinya, dibanding tidak sama sekali.

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🍀🌿🌸🌻🍃🌳🍁

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top