Hukum Sembelihan Penjagal Yang Tidak Shalat

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Meninggalkan shalat ada yang disebabkan karena MENGINGKARI KEWAJIBANNYA, maka ini dinilai murtad dan tidak halal sembelihannya, dan tidak ada beda pendapat ulama dalam hal ini. Kekafiran orang murtad dinilai lebih parah dibanding kafirnya ahli kitab, sebab sembelihan ahli kitab masih halal dimanfaatkan kaum muslimin berdasarkan Al Quran dan ijma’.

Ada pun tidak shalat karena MALAS, tapi masih mengakui kewajibannya, maka dia diperselisihkan statusnya. Bagi HAMBALIYAH, org itu juga murtad dan sembelihannya tidak boleh dimakan.

Ada pun bagi MAYORITAS ULAMA, orang tersebut masih muslim tapi berdosa besar dan sembelihannya masih HALAL bagi umat Islam.

Dalam Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 52953:

وإما أن يكون هذا التارك مقراً بوجوب الصلاة وفرضيتها، ولكنه يتكاسل عن أدائها وإقامتها كما أمره الله تعالى، ويعترف بالقصور والذنب والخطيئة، ويسوف بالتوبة، فهذا عند الجمهور مسلم آثم مرتكب لجريمة كبيرة وعظيمة يستحق عليها القتل من قبل الحاكم المسلم، ولكن لو قدر أنه ذبح ذبيحة فهي حلال

Ada pun orang yang meninggalkan shalat tapi dia masih mengakui kewajibannya, hanya saja dia malas menjalankannya, dia juga masih mengakui itu sebagai dosa dan kesalahan, yang suatu saat dia akan bertobat, maka menurut MAYORITAS ULAMA dia masih MUSLIM namun DOSA BESAR, wajib dihukum mati oleh pemerintahan Islam, tapi jika dia mampu melakukan penyembelihan maka sembelihannya itu HALAL. (selesai)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🍀🌿🌸🌻🍃🌳🍁

✍ Farid Nu’man Hasan

Mengubah Gereja atau Rumah Ibadah Lain Menjadi Masjid

💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamulaikum wr.wb.
Semoga Ustadz Farid sekeluarga senantiasa dalam keadaan sehat. Ustadz, Ini ada pertanyaan terkait dengan kondisi terkini di Turki. Terlepas dari “kebahagiaan” kita semua dari proses pengembalian Haghia Sophia menjadi masjid, apakah ada penjelasan yang bisa kita ambil baik dari Al Qur’an ataupun Sunnah terkait pengalihan fungsi rumah2 ibadah umat Agama lain atau bangunan apapun milik mereka baik pada saat perang maupun pasca perang. Jazakallahu khair. (+62 811-8202-xxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Mengubah tempat ibadah agama lain menjadi masjid, baik karena sudah tidak berfungsi, atau karena pembebasan, atau karena dibeli, adalah dibolehkan. Dengan syarat simbol-simbol agama mereka sudah dilenyapkan, minimal ditutup, dan juga perubahan itu bermaslahat bagi kaum muslimin.

Hal itu sudah terjadi sejak masa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Imam an Nasa’i dalam Sunannya, menulis sebuah Bab: Ittikhadzul biya’i masaajid – menjadikan Gereja sebagai masjid.

Berikut ini haditsnya:

أَخْبَرَنَا هَنَّادُ بْنُ السَّرِيِّ عَنْ مُلَازِمٍ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَدْرٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ عَنْ أَبِيهِ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ خَرَجْنَا وَفْدًا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ وَصَلَّيْنَا مَعَهُ وَأَخْبَرْنَاهُ أَنَّ بِأَرْضِنَا بِيعَةً لَنَا فَاسْتَوْهَبْنَاهُ مِنْ فَضْلِ طَهُورِهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ وَتَمَضْمَضَ ثُمَّ صَبَّهُ فِي إِدَاوَةٍ وَأَمَرَنَا فَقَالَ اخْرُجُوا فَإِذَا أَتَيْتُمْ أَرْضَكُمْ فَاكْسِرُوا بِيعَتَكُمْ وَانْضَحُوا مَكَانَهَا بِهَذَا الْمَاءِ وَاتَّخِذُوهَا مَسْجِدًا قُلْنَا إِنَّ الْبَلَدَ بَعِيدٌ وَالْحَرَّ شَدِيدٌ وَالْمَاءَ يَنْشُفُ فَقَالَ مُدُّوهُ مِنْ الْمَاءِ فَإِنَّهُ لَا يَزِيدُهُ إِلَّا طِيبًا فَخَرَجْنَا حَتَّى قَدِمْنَا بَلَدَنَا فَكَسَرْنَا بِيعَتَنَا ثُمَّ نَضَحْنَا مَكَانَهَا وَاتَّخَذْنَاهَا مَسْجِدًا فَنَادَيْنَا فِيهِ بِالْأَذَانِ قَالَ وَالرَّاهِبُ رَجُلٌ مِنْ طَيِّئٍ فَلَمَّا سَمِعَ الْأَذَانَ قَالَ دَعْوَةُ حَقٍّ ثُمَّ اسْتَقْبَلَ تَلْعَةً مِنْ تِلَاعِنَا فَلَمْ نَرَهُ بَعْدُ

Telah mengabarkan kepada kami [Hunnad bin As-Sariy] dari [Mulazim] dia berkata; telah menceritakan kepadaku [‘Abdullah bin Badr] dari [Qais bin Thalaq] dari Bapaknya [Thalaq bin ‘Ali] dia berkata;

“Kami datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam sebagai utusan, lalu kami berbaiat kepadanya dan shalat bersamanya. Aku kabarkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bahwa di daerah kami ada bi’ah (gereja) milik kita, maka aku hendak meminta sisa air bersucinya. Beliaupun meminta air lalu berwudhu dan berkumur, kemudian menuangkan air ke dalam ember dan menyuruh kami untuk mengambilnya. Beliau lalu bersabda, `Keluarlah (pulanglah) kalian. Bila telah sampai ke negeri kalian, maka hancurkan gereja itu dan siramlah Puing-puingnya dengan air ini, lalu jadikanlah sebagai masjid’. Kami berkata, “Negeri kami jauh dan sangat panas sekali, sedangkan air ini akan mengering’. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda. ‘Perbanyaklah airnya. Air ini tidak akan menambah apa-apa kecuali kebaikan’. Kamipun keluar hingga ke negeri kami, lalu kami menghancurkan kuil itu dan menyiramkan air tersebut ke puing-puing bangunannya. Kemudian kami jadikan sebagai masjid dan kami mengumandangkan adzan.” la berkata lagi, “Pendetanya adalah laki-laki dari Thayyi’. Ketika mendengar adzan, ia berkata, `Ini dakwah yang hak’. Kemudian ia pergi ke tempat yang tinggi yang ada di daerah kami, dan kami tidak pernah melihatnya lagi setelah itu.”

(HR. An Nasa’i no. 701. Dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban)

Kata Bi’ah – بيعة bermakna ma’bad an nashara (tempat ibadah kaum Nasrani). (Imam Ali Al Qari, Mirqah Al Mafatih, 2/602)

Maksud dari “hancurkan gereja itu” adalah:

أي: غيروا محرابها وحولوه إلى الكعبة

Ubahlah bentuk mihrabnya dan arahkan ke ka’bah. (Imam Al Baidhawi, Tuhfatul Abrar, 1/259)

Jadi, bukan meratakannya dengan tanah dan dibangun bangunan baru, tapi bangunan yang sudah ada cukup direnovasi saja.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid menjelaskan:

نعم يجوز شراؤها وجعلها مسجداً وتجب إزالة الصلبان والصور المعلقة والمنقوشة فيها ، وكل ما يشعر بأنها كنيسة ، ولا نعلم مانعاً يمنع من ذلك

Ya, boleh membeli gereja dan menjadikannya sebagai masjid. Wajib menghilangkan salibnya, lukisan, dan ukiran yang terkait dengan itu, dan semua dekorasi yang mencitrakan itu adalah gereja. Kami tidak ketahui adanya larangan dalam hal ini. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 2194)

Dalam sejarah, ketika kaum muslimin telah membebaskan sebuah negeri dan negeri itu telah menjadi muslim, maka gereja dihancurkan. Ada pun bagi yang mayoritas masih non muslim, maka tidak dibenarkan menghancurkan gereja. Inilah dua kondisi yang membedakannya.

Banyak orang yang nyinyir dengan kebijakan mengubah Ayasophia menjadi masjid, padahal itu sudah terjadi sejak tahun 1453M, karena mereka tidak memahami perbedaannya. Mereka berdalil dgn kasus-kasus pembiaran gereja yang dilakulan dalam beberapa peristiwa sejarah lainnya, tanpa melihat sisi perbedaannya.

Imam Ibnul Qayyim menceritakan tentang Khalifah Umar bin Abdil Aziz seperti yang diceritakan Imam Ahmad Rahimahullah:

أَنَّهُ أَمَرَ بِهَدْمِ الْكَنَائِسِ، فَإِنَّهَا الَّتِي أُحْدِثَتْ فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ، وَلِأَنَّ الْإِجْمَاعَ قَدْ حَصَلَ عَلَى ذَلِكَ فَإِنَّهَا مَوْجُودَةٌ فِي بِلَادِ الْمُسْلِمِينَ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ

Umar bin Abdil Aziz memerintahkan perobohan gereja, dan itu yang ada di negeri-negeri Islam, sesungguhnya ijma’ telah melahirkan hal itu, bahwa adanya gereja-gereja itu di negeri kaum muslimin tidak ada yang mengingkari.

Imam Ibnul Qayyim juga berkata:

إِنَّ الْإِمَامَ يَفْعَلُ فِي ذَلِكَ مَا هُوَ الْأَصْلَحُ لِلْمُسْلِمِينَ، فَإِنْ كَانَ أَخْذُهَا مِنْهُمْ أَوْ إِزَالَتُهَا هُوَ الْمَصْلَحَةَ – لِكَثْرَةِ الْكَنَائِسِ أَوْ حَاجَةِ الْمُسْلِمِينَ إِلَى بَعْضِهَا وَقِلَّةِ أَهْلِ الذِّمَّةِ – فَلَهُ أَخْذُهَا أَوْ إِزَالَتُهَا بِحَسَبِ الْمَصْلَحَةِ، وَإِنْ كَانَ تَرْكُهَا أَصْلَحَ – لِكَثْرَتِهِمْ وَحَاجَتِهِمْ إِلَيْهَا وَغِنَى الْمُسْلِمِينَ عَنْهَا – تَرَكَهَا

Seorang pemimpin melakukan itu (menghancurkan gereja) berdasarkan kemaslahatan kaum muslimin, seandainya mengambil gereja dari mereka atau menghilangkannya membawa maslahat -krn gereja terlalu banyak sementara kafir dzimmi minoritas sedangkan kaum muslimin membutuhkannya- maka hendaknya pemimpin itu mengambil alih atau menghilangkannya, sejauh maslahat yang ada. Jika seandainya membiarkan gereka itu lebih bermaslahat – karena penduduk kaum Nasrani banyak dan mereka membutuhkannya, dan kaum muslimin pun sudah cukup- maka biarkan saja gereja itu.

(Ahkam Ahlidz Dzimmah, 3/1200)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🍀🌿🌸🌻🍃🌳🍁

✍ Farid Nu’man Hasan

Berqurban dengan Hewan Yang Sudah Dikebiri

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Tidak apa-apa, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah melakukannya:

ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ مَوْجِيَّيْنِ خَصِيَّيْنِ

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berqurban dengan dua kambing kibasy yang berwarna putih dicampur hitam, dan sudah dikebiri.

(HR. Ahmad, shahih. Lihat Irwa’ul Ghalil, no. 1147)

Syaikh Ibn al ‘Utsaimin Rahimahullah menjelaskan:

يجوز الأضحية بالخصي ؛ لأنه ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه ضحى بكبشين موجوءين – يعني: مقطوعي الخصيتين- ووجه ذلك أن الخصي يكون لحمه أطيب ، فالخصاء لن يضره شيئا “

Bolehnya berqurban dgn hewan qurban yang dikebiri, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah berqurban dengan hewan yang sudah dikebiri, yaitu dipotong dua bijinya, dan hal itu membuat dagingnya semakin bagus. Kebiri tsb sama sekali tidak membahayakannya.

(Al Liqo Asy Syahri, 3/111)

Demikian. Wallahu A’lam

🌷🍀🌿🌸🌻🍃🌳🍁

✍ Farid Nu’man Hasan

Bahaya Tidak Bayar Hutang

💢💢💢💢💢💢💢

Ada dua bahaya, yaitu bahaya di dunia dan akhirat.

1. Bahaya di Dunia

Banyak bahaya di dunia bagi orang yang menunda bahkan tidak membayar hutang. Kami sebut beberapa saja, di antaranya:

– Dinilai sebagai pencuri

Dari Shuhaib Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَيُّمَا رَجُلٍ يَدِينُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لَا يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللَّهَ سَارِقًا

Siapa pun yang berhutang dan dia tidak berencana untuk membayarnya kepada pemiliknya, maka ia akan menjumpai Allah dengan status sebagai pencuri. (HR. Ibnu Majah No. 2401, hasan)

– Dinilai sebagai kezaliman

Dari Abu Hurairah Radhiallahyu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ

Menunda pembayaran hutang bagi yang mampu adalah kezaliman.

(HR. Bukhari no. 2225)

– Boleh dita’dzir (diberikan hukuman)

Dari Amru bin asy Syarid, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

ليُّ الواجِدِ يحل عِرضَه وعقوبَتَه

Menunda-nunda pembayaran hutang maka halal atas kehormatannya dan memberikan hukuman atasnya.

(HR. Abu Daud no. 3628, hasan)

Imam Abdullah bin Mubarak mengatakan:

حلُّ عرضَه: يُغلَّظُ له، وعقوبتُه: يُحبَسُ له

Makna “Halal kehormatannya” : yaitu halal memcelanya, makna “memberikannya sanksi”: yaitu memenjarakannya. (Lihat Sunan Abi Daud no. 3628)

Ini menjadi dalil bagi Bank Syariah, bolehnya memberikan hukuman denda uang (gharamah) kepada nasabah yang menunda pembayaran hutang padahal dia mampu. Itu bukan riba. Hanya saja uang tersebut dikembalikan untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk keuntungan bagi Bank.

💢💢💢💢💢💢💢💢

2. Bahaya Akhirat

– Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mau menshalatkan mayit yang memiliki hutang

Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُصَلِّي عَلَى رَجُلٍ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَأُتِيَ بِمَيِّتٍ فَقَالَ أَعَلَيْهِ دَيْنٌ قَالُوا نَعَمْ دِينَارَانِ قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ

Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menshalatkan laki-laki yang memiliki hutang. Lalu didatangkan mayit ke hadapannya. Beliau bersabda: “Apakah dia punya hutang?” Mereka menjawab: “Ya, dua dinar.” Beliau bersabda: “Shalatlah untuk sahabat kalian.” (HR. Abu Daud No. 3343, shahih)

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan:

Jika didatangkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seorang mayit, lalu dia hendak menshalatkan maka Beliau akan bertanya, apakah dia punya hutang atau tidak? Jika dia tidak punya hutang maka Beliau menshalatkannya, jika dia punya hutang maka Beliau tidak mau menshalatkannya, namun mengizinkan para sahabat menshalatkan mayit itu. Sesungguhnya shalat Beliau (untuk si mayit, pen) adalah syafaat (penolong) dan syafaat Beliau adalah hal yang niscaya.

(Zaadul Ma’ad, 1/503)

– Jiwa Mayit Yang Berhutang Terkatung-katung

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

“Jiwa seorang mukmin tergantung karena hutangnya, sampai hutang itu dilunaskannya.”

(HR. At Tirmidzi No. 1079, katanya: hasan. Ahmad No. 10607. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 10607)

Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarfkafuri Rahimahullah menjelaskan:

Berkata As Suyuthi, yaitu orang tersebut tertahan untuk mencapai tempatnya yang mulia. Sementara Imam Al ‘Iraqi mengatakan urusan orang tersebut terhenti (tidak diapa-apakan), sehingga tidak bisa dihukumi sebagai orang yang selamat atau binasa, sampai ada kejelasan nasib hutangnya itu sudah dibayar atau belum. Selesai. (Tuhfah Al Ahwadzi, 4/193)

Ada juga yang memaknai bahwa jiwa orang tersebut masyghul (gelisah) karena hutangnya. Hal itu dikatakan Imam Ash Shan’ani Rahimahullah sebagai berikut:

Hadits ini di antara dalil yang menunjukkan bahwa mayit akan senantiasa gundah (masyghul) dengan hutangnya setelah dia wafat. Pada hadits ini juga terdapat anjuran untuk membersihkannya dari hutang sebelum wafat, karena hutang adalah hak yang paling penting. Hal ini jika pada hutang yang diberikan menurut kerelaan pemiliknya, maka apa jadinya pada harta yang mengambilnya secara paksa dan merampas?
(Subulus Salam, 2/92)

– Terhalang masuk surga walau mati syahid

Dari Abdullah bin Amr bin Al Ash Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْن

“Orang yang mati syahid diampuni semua dosanya kecuali hutangnya.” (HR. Muslim No. 1886)

Dari Muhammad bin Jahsy Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ رَجُلاً قُتِلَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيِىَ ثُمَّ قُتِلَ مَرَّتَيْنِ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ دَيْنُهُ

Demi yang jiwaku ada ditanganNya, seandainya seorang laki-laki terbunuh di jalan Allah, kemudian dihidupkan lagi, lalu dia terbunuh lagi dua kali, dan dia masih punya hutang, maka dia tidak akan masuk surga sampai hutangnya itu dilunasi.

(HR. Ahmad No. 22546, Al Hakim No. 2212, katanya: shahih)

Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah menjelaskan:

Pada hadits ini terdapat peringatan bahwa hak-hak yang terkait dengan manusia dan tanggungannya, tidaklah bisa dihapuskan dengan amal shalih, sebab amal shalih itu hanya menghapuskan hal-hal yang terkait antara manusia dengan Rabbnya. (Ikmalul Mu’lim, 6/155. Al Syarh Shahih Muslim, 6/362)

Imam Al Munawi Rahimahullah mengatakan:

Maksud hutang di sini adalah semua hak manusia baik berupa darah, harta, dan kehormatan. Hal itu tidaklah bisa diampuni dengan mati syahid, itu untuk syahid perang darat, ada pun syahid perang laut, maka dia diampuni termasuk hutangnya, berdasarkan adanya riwayat tentang itu.

(Faidhul Qadir, 6/599)

📌 Hutang Yang Bagaimanakah Yang Berbahaya bagi pelakunya?

Yaitu hutang yang pelakunya tidak ada niat baik melunasinya, padahal dia mampu dan ada harta untuk melunasinya.

Dari Maimunah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasululah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلَّا أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ فِي الدُّنْيَا

“Tidaklah seorang muslim berhutang, dan Allah mengetahui bahwa dia hendak menunaikannya, melainkan Allah Ta’ala akan menunaikannya di dunia.”

(HR. Ibnu Majah No. 2408, shahih)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

“Barangsiapa mengambil harta manusia dan dia hendak melunasinya, maka niscaya Allah akan melunaskan baginya. Barangsiapa yang mengambil lalu hendak menghancurkannya maka Allah akan menghancurkan dia.”

(HR. Bukhari No. 2387)

Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan:

Bahaya ini berlaku bagi orang yang memiliki sesuatu (mampu) untuk melunasi hutangnya. (Al Ikmal, 6/155)

Berkata Imam As Syaukani Rahimahullah:

Ini terikat pada siapa saja yang memiliki harta yang dapat melunasi hutangnya. Ada pun orang yang tidak memiliki harta dan dia bertekad melunaskannya, maka telah ada beberapa hadits yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala akan melunasi untuknya. (Nailul Authar, 4/23)

Imam Ash Shan’ani Rahimahullah:

Yang demikian itu diartikan bagi siapa saja yang berhutang namun dia tidak berniat untuk melunasinya. (Subulus Salam, 3/51)

Ini juga dikatakan Imam Al Munawi:

Perbincangan tentang ini berlaku pada siapa saja yang ingkar terhadap hutangnya. Ada pun bagi orang yang berhutang dengan cara yang diperbolehkan dan dia tidak menyelisihi janjinya, maka dia tidaklah terhalang dari surga baik sebagai syahid atau lainnya. (Faidhul Qadir, 6/ 559)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🍀🌿🌸🌻🍃🌳🍁

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top