Krim Pelembab Wajah Bagi Jamaah Haji

◼◼◼◼◽◽◽◽

📨 PERTANYAAN:

Apakah boleh jamaah haji memakai krim pelembab wajah?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Memakai pelembab wajah bagi jamaah haji ada dua keadaan:

1. Saat di luar aktifitas ihram, di luar seluruh aktifitas haji. Maka, ini tidak masalah sama sekali.

2. Ketika sudah niat ihram, sudah pakai ihram.

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:

أما عن الادهان بالكريمات ونحوها: فقد ذهب الحنفية والمالكية إلى أن المحرم ممنوع منه قياساً على الطيب، وذهب الشافعية إلى أن المحرم ممنوع منها في شعر الرأس والوجه دون سائر البدن. وذهب الحنابلة إلى جواز ذلك مطلقاً إذا خلت من الطيب

Adapun Memakai krim dan semisalnya:

– Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan terlarang, diqiyaskan dengan larangan memakai parfum.

– Syafi’iyah mengatakan tidak boleh untuk rambut dan wajah, selainnya boleh.

– Hambaliyah mengatakan boleh secara mutlak, selama tidak mengandung parfum.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 43631)

Nah, untuk Krim yang lebih pas dikatakan obat, utk mencegah kerusakan kulit seperti iritasi, lecet, dan sejenisnya. Maka dia bukan minyak wangi atau parfum yang terlarang.

Dalam fatawa Al Lajnah Ad Daimah, disebutkan dibolehkannya memakai krim di paha bagian dalam, bagi jamaah yang biasanya paha bagian dalamnya lecet karena sering bergesek saat thawaf dan sa’i.

Mereka mengatakan:

لا مانع منه ، ولا محذور فيه ؛ لأنه نوع من العلاج ، وليس من أنواع الطيب ، فلا يأخذ حكمه

Hal tersebut tidak terlarang, dan tidak masalah, karena itu salah satu jenis obat, bukan jenis parfum, maka tidaklah itu dihukumi parfum.

(Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 10/157)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:

وعليه ، فيجوز للمحرم أن يضع الكريمات في ذلك الموضع لمنع التسلخات ؛ لأن المقصود منها العلاج

Atas dasar itu, maka boleh bagi oleh yg ihram memakai krim bagian tersebut untuk mencegah lecet, karena maksud krim tersebut adalah sebagai obat.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 212287)

Demikian. Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa’ ala aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌿🌸🌳🍁🍀🍃🌷

Farid Nu’man Hasan

Dzikir Setelah Shalat Mengeraskan Suara Atau Lirih Saja?

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Ustad yang kami hormati..saya mau bertanya apakah setelah sholat imam boleh membaca dhikir agak di keraskan atau cukup komat kamit tidak ada suara menghadap makmum? sekian maturnuwun
(Suwondo, Boyolali)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Berdzikir setelah shalat, baik dengan suara lirih atau suara dikeraskan, sebenarnya sama-sama memiliki pedoman dalam syariat. Maka, jika kita ingin memilih salah satunya itu adalah hal yang lapang saja.

📌 Melirihkan Suara

Melirihkan suara dalam dzikir, hal ini sejalan dengan perintah Allah Ta’ala berikut:

وَٱذۡكُر رَّبَّكَ فِي نَفۡسِكَ تَضَرُّعٗا وَخِيفَةٗ وَدُونَ ٱلۡجَهۡرِ مِنَ ٱلۡقَوۡلِ بِٱلۡغُدُوِّ وَٱلۡأٓصَالِ وَلَا تَكُن مِّنَ ٱلۡغَٰفِلِينَ

Dan berdzikirlah kepada Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah.

(QS. Al-A’raf, Ayat 205)

Imam al Qurthubi Rahimahullah mengatakan:

أَيْ دُونَ الرَّفْعِ فِي الْقَوْلِ. أَيْ أَسْمِعْ نَفْسَكَ …. وَدَلَّ هَذَا عَلَى أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ مَمْنُوعٌ

Yaitu dengan tidak meninggikan suara dalam ucapan, yaitu dengarkanlah oleh dirimu… Ini menunjukkan bahwa meninggikan suara dalam dzikir adalah terlarang. (Tafsir Al Qurthubi, 7/355)

📌 Mengeraskan Suara

Ada pun mengeraskan suara, sejalan dengan hadits shahih berikut:

أَنَّ أَبَا مَعْبَدٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ

Sesungguhnya Abu Ma’bad pelayan Ibnu Abbas, mengabarkan bahwa Ibnu Abbas menceritakan kepadanya, tentang meninggikan suara dalam berdzikir ketika manusia selesai dari shalat wajib, dan hal itu terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkatalah Ibnu Abbas: “Aku mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dengan suara keras) apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan (masjid).“ (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah berkata:

وَفِيهِ دَلِيل عَلَى جَوَاز الْجَهْر بِالذِّكْرِ عَقِب الصَّلَاة

“Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengeraskan dzikir setelah shalat.“

Di halaman yang sama beliau mengutip dari Imam An Nawawi:

وَقَالَ النَّوَوِيّ : حَمَلَ الشَّافِعِيّ هَذَا الْحَدِيث عَلَى أَنَّهُمْ جَهَرُوا بِهِ وَقْتًا يَسِيرًا لِأَجْلِ تَعْلِيم صِفَة الذِّكْر ، لَا أَنَّهُمْ دَاوَمُوا عَلَى الْجَهْر بِهِ ، وَالْمُخْتَار أَنَّ الْإِمَام وَالْمَأْمُوم يُخْفِيَانِ الذِّكْر إِلَّا إِنْ احْتِيجَ إِلَى التَّعْلِيم

Berkata An Nawawi: “Imam Asy Syafi’i memahami hadits ini bahwa mereka mengeraskan suara yang dengan itu menjadi waktu yang mudah untuk mempelajari sifat dzikir, tidak berarti mereka membiasakan mengeraskan suara, dan pendapat yang dipilih adalah bahwa imam dan makmum hendaknya merendahkan suara dalam dzikir, kecuali karena kebutuhan untuk mengajar.“ (Fathul Bari, 2/325)

Jadi, selama kebutuhan mengajar itu masih ada maka tidak mengapa mengeraskan suara.

Syaikh Ibn ‘Utsaimin mengkritik keras pihak yang membid’ahkan dzikir dengan suara keras:

الجهر بالذكر بعد الصلوات المكتوبة سنة ، دل عليها ما رواه البخاري من حديث عبد الله بن عباس رضي الله عنهما أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد النبي صلى الله عليه وسلم

Mengeraskan suara dzikir setelah shalat wajib adalah SUNNAH. Itu ditunjukkan oleh riwayat Imam Bukhari, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma bahwasanya setelah manusia usai shalat wajib mereka berdzikir dengan suara keras. Ini terjadi pada masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Kemudian Syaikh Ibnu Utsaimin juga berkata:

وأما من قال : إن الجهر بذلك بدعة ، فقد أخطأ فكيف يكون الشيء المعهود في عهد النبي صلى الله عليه وسلم بدعة ؟!

Ada pun

orang yang mengatakan: “Berdzikir dikeraskan adalah BID’AH,” maka itu SALAH. Bagaimana dikatakan bid’ah terhadap sesuatu yang terjadi di masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?

(Selengkapnya lihat Majmu’ Fatawa wa Rasaail, 13/247-261)

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mengatakan bahwa meninggikan suara itu bagus dilakukan setiap selesai shalat:

ورفع الصوت بالتكبير إثر كل صلاة حسن

Meninggikan suara saat bertakbir pada setiap shalat adalah HASAN (bagus). (Al Muhalla, 3/180)

Imam Al Buhuti, mengutip dari Imam Ibnu Taimiyah, dia berkata:

ويستحب الجهر بالتسبيح والتحميد والتكبير عقب كل صلاة

DISUNNAHKAN mengeraskan suara saat tasbih, tahmid, takbir setiap selesai shalat. (Kasysyaaf Al Qinaa’, 1/366)

Bagaimanakah batasan meninggikan suara?

Batasannya adalah jangan sampai menganggu orang lain di sekitarnya. Hal ini ditegaskan oleh Imam an Nawawi Rahimahullah sebagai berikut:

وَقَدْ جَمَعَ النَّوَوِيُّ بَيْنَ الأَحَادِيْثِ الوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ وَالوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّياَءَ أَوْتَأَذَّى المُصَلُّوْنَ أَوْالنَّائِمُوْنَ. وَالجَهْرُ أَفْضَلُ فِيْ غَيْرِ ذَالِكَ لِأَنَّ العَمَلَ فِيْهِ أَكْثَرُ وَلِأَنََّ فَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى إِلَى السَّامِعِيْنَ وَلِأَنَّهُ يُوْقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيُصَرِّفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيُطَرِّدُ النَّوْمَ

“Imam Nawawi mengkompromikan (al jam’u wat taufiq) antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadist yang mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut. Bahwasanya memelankan dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya’, mengganggu orang yang shalat atau orang tidur. Dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan kantuk serta menambah semangat.” (Ruhul Bayan, 3/306)

Pertengahan adalah jalan yang terbaik. Allah berfirman:

قُلِ ٱدۡعُواْ ٱللَّهَ أَوِ ٱدۡعُواْ ٱلرَّحۡمَٰنَۖ أَيّٗا مَّا تَدۡعُواْ فَلَهُ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ وَلَا تَجۡهَرۡ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتۡ بِهَا وَٱبۡتَغِ بَيۡنَ ذَٰلِكَ سَبِيلٗا

Katakanlah (Muhammad), “Serulah Allah atau serulah Ar-Raḥmān. Dengan nama yang mana saja kamu dapat menyeru, karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (Asmā’ul Ḥusnā) dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam shalat dan janganlah (pula) merendahkannya dan usahakan jalan tengah di antara kedua itu.

(QS. Al-Isra’, Ayat 110)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🍀🌿🌸🌻🍃🌳🍁

✍ Farid Nu’man Hasan

Dalil Shaum (Puasa) 9 Hari Awal Dzulhijjah

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ust mau tanya sepuluh hr pertama bln zulhijah kita dianjurkan puasa dr tg 1 s/d 9 apa ada dalilnya ust mohon jawabannya trms
(Efendi, Kab Sambas, Kalbar)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Puasa tgl 1 sd 9 Dzulhijjah itu disyariatkan. Haditsnya shahih, hukumnya SUNNAH sepakat semua ulama. Jika dilakukan full tentu bagus, atau kita lakukan semampunya jika tidak apa-apa.

Dalilnya:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَتِسْعًا مِنْ ذِي الْحِجَّةِ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ الشَّهْرِ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ

“Bahwa Nabi ﷺ berpuasa pada hari Asyura, sembilan hari dari bulan Dzulhijjah dan tiga hari setiap bulan, hari Senin pertama tiap bulan dan dua hari Kamis.”

(HR. An Nasa’i no. 2372. Shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i no. 2372)

Tertulis dalam Al Mausu’ah :

اتفق الفقهاء على استحباب صوم الأيام الثمانية التي من أول ذي الحجة قبل يوم عرفة

Para ahli fiqih SEPAKAT sunahnya puasa di hari-hari delapan di awal dzulhijjah sebelum hari arafah .. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 28/91)

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

ومن المسنون صوم شعبان ومنه صوم الايام التسعة من اول ذى الحجة وجاءت في هذا كله احاديث كثيرة

Di antara shaum yang disunnakan adalah shaum bulan sya’ban, shaum 9 hari di awal Dzulhijjah, dan tentang semua ini haditsnya begitu banyak. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 6/386)

ADA hadits dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah ﷺ katanya tidak pernah melakukannya:

ما رأيت رسول الله -صلى الله عليه وسلم- صائما فى العشر قط

Sedikit pun aku belum pernah lihat Rasulullah ﷺ berpuasa di 10 hari Dzulhijjah. (HR. Muslim no. 2846)

Para ulama menjelaskan bawa Rasulullah ﷺ meninggalkan puasa di hari-hari tersebut karena khawatir dianggap kewajiban. Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, memasukkan hadits ini dalam bab: Dzikr Ifthar An Nabi fi ‘Asyri Dzil Hijjah – Tentang Nabi tidak berpuasa di 10 hari Dzulhijjah. Setelah itu Imam Ibnu Khuzaimah membuat Bab:

بَاب ذِكْر عِلَّةٍ قَدْ كَانَ النَبِيّ – صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَتْرُكُ لَهَا بَعْضَ أَعْمَالِ التَّطَوُّعِ وَإِنْ كَانَ يَحُثُّ عَلَيْهَا، وَهِيَ خَشْيَةَ أَنْ يُفْرَضَ عَلَيْهِمْ

Tentang alasan Nabi meninggalkan sebagian amal sunnah walaupun itu begitu dianjurkan sebab khawatir hal itu diwajibkan atas mereka.

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah juga menjelaskan:

لاحتمال أن يكون ذلك لكونه كان يترك العمل وهو يحب أن يعمله خشية أن يفرض على أمته

Kemungkinannya, Beliau ﷺ meninggalkan sebuah amal padahal dia suka dengan amal itu, khawatir itu menjadi wajib bagi umatnya. (Fathul Bari, 2/593)

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

فقال العلماء هو متأول على أنها لم تره ولا يلزم منه تركه في نفس الأمر لأنه صلى الله عليه وسلم كان يكون عندها في يوم من تسعة أيام والباقي عند باقي أمهات المؤمنين رضي الله عنهن أو لعله صلى الله عليه وسلم ، كان يصوم بعضه في بعض الأوقات وكله في بعضها ويتركه في بعضها لعارض سفر أو مرض أو غيرهما وبهذا يجمع بين الاحاديث

Para ulama memberikan takwil bahwa Aisyah tidak melihatnya bukan berarti Rasulullah tidak melakukannya, sebab Rasulullah ﷺ bersama Aisyah di sebagian waktu di 9 hari Dzulhijjah dan sebagian lain bersama Ummahatul Mu’minin (istri-istri) yang lain. Atau bisa jadi Rasulullah ﷺ puasa pada sebagian waktu dan semuanya saat bersama sebagin istriya dan meninggalkan puasa di saat bersama istrinya yang lain baik karena safar, sakit, atau sebab lainnya. Seperti inilah cara kompromi berbagai hadits. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 6/387)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🍀🌿🌸🌻🍃🌳🍁

✍ Farid Nu’man Hasan

Benarkah Wanita Dilarang Mengikat Rambut Saat Shalat?

▪▪▪▪▫▫▫▫

Bismillahirrahmanirrahim..

Tersebar BC yang melarang wanita shalat sambil terikat rambutnya. Hebohlah kaum muslimah. Penulisnya mengartikan penjelasan Syaikh Bin Baaz adalah larangan mengikat rambut utk laki-laki dan perempuan saat shalat, padahal itu tidak tegas dikatakan demikian.

Jadi, Larangan di atas KHUSUS LAKI-LAKI bukan buat wanita ..

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةٍ لَا أَكُفُّ شَعَرًا وَلَا ثَوْبًا

Aku diperintah untuk sujud dengan tujuh anggota badan, tidak menahan rambut, tidak pula menahan pakaian. (HR. Bukhari No. 816 dan Muslim No. 490)

Imam Al Ghazali Rahimahullah mengatakan:

وقد يكون الكف في شعر الرأس ، فلا يصلين وهو عاقص شعره ، والنهى للرجال

Menahan rambut itu adalah rambut kepala, maka janganlah shalat sambil menahan rambutnya. LARANGAN INI BERLAKU BAGI LAKI-LAKI.

(Ihya ‘Ulumuddin, 1/157)

Imam Asy Syaukani mengutip dari Imam Zainuddin Al ‘Iraqi Rahimahullah:

وَهُوَ مُخْتَصٌّ بِالرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ

Larangan ini KHUSUS bagi laki-laki BUKAN WANITA.

(Nailul Authar, 2/393)

Imam Zakaria Anshari Rahimahullah mengatakan:

قَالَ الزَّرْكَشِيُّ وَيَنْبَغِي تَخْصِيصُهُ – يعني الكفت – فِي الشَّعْرِ بِالرَّجُلِ ، أَمَّا فِي الْمَرْأَةِ فَفِي الْأَمْرِ بِنَقْضِهَا الضَّفَائِرَ مَشَقَّةٌ وَتَغْيِيرٌ لِهَيْئَتِهَا الْمُنَافِيَةِ لِلتَّجْمِيلِ ” انتهى

Az Zarkasi mengatakan bahwa larangan itu khususnya bagi LAKI-LAKI, ada pun bagi wanita PERINTAH MELEPAS IKATAN RAMBUT TENTU MEMBERATKAN dan bisa mengubah penampilan dan mengurangi keindahan … dst.

(Asnal Mathalib, 1/163)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah:

وعلى ذلك : فلا حرج على المرأة في كف شعرها ، وعقده ، وهي في الصلاة ، ولا تكلف بأن تنقض ضفائرها
والله أعلم

Oleh karena itu TIDAK APA2 bagi wanita menahan rambutnya, mengikatnya, saat dia shalat, dia tidak dibebani mengurai (melepas) anyaman rambutnya.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 191390)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🍀🌿🌸🌻🍃🌳🍁

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top