Bolehkah Dzikir di Hati Saja?

💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Boleh dan tidak ada beda pendapat para ulama atas kebolehannya. Yang para ulama berbeda adalah mana yang lebih utama antara di hati saja atau di lisan saja?

Dalilnya adalah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, “Nabi ﷺ bersabda, “Aku berada dalam prasangka hamba-Ku, dan Aku selalu bersamanya jika ia mengingat-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku, dan jika ia mengingat-Ku dalam perkumpulan, maka Aku mengingatnya dalam perkumpulan yang lebih baik daripada mereka, jika ia mendekatkan diri kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekatkan diri kepadanya sehasta, dan jika ia mendekatkan diri kepada-Ku sehasta, Aku mendekatkan diri kepadanya sedepa, jika ia mendatangi-Ku dalam keadaan berjalan, maka Aku mendatanginya dalam keadaan berlari.” (HR. Bukhari no. 7405)

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

الذكر يكون بالقلب، ويكون باللسان، والأفضلُ منه ما كانَ بالقلب واللسان جميعاً، فإن اقتصرَ على أحدهما، فالقلبُ أفضل. ثم لا ينبغي أن يُتركَ الذكرُ باللسان مع القلب خوفاً من أن يُظنَّ به الرياءُ، بل يذكرُ بهما جميعاً، ويقصدُ به وجهُ الله تعالى، وقد قدمنا عن الفضيل بن عِياض -رحمه الله- أن ترك العمل لأجل الناس رياءٌ

Dzikir itu dilakukan bisa dengan hati, bisa dengan lisan, dan yang paling afdhal adalah dengan hati dan lisan bersamaan, seandainya diambil yang minimal salah satunya saja maka dzikir di hati lebih utama. Lalu, janganlah meninggalkan dzikir hati dan lisan gara-gara takut prasangka orang lain dirinya riya’, tetapi berdzikirlah dengan keduanya dengan maksud mengharap wajah Allah Ta’ala. Kami telah menyampaikan riwayat dari Al Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah bahwa meninggalkan amal karena manusia adalah riya’. (Al Adzkar, Hal. 7)

Imam Ibnu Bathal Rahimahullah mengatakan:

قال الطبرى: فإن قيل: أي الذِّكْرين أعظم ثوابًا: الذكر الذي هو بالقلب، أو الذِّكْر الذي هو باللسان؟ قيل: قد اختلف السَّلف في ذلك، فروي عن عائشة أنَّها قالت: “لأن أذكرَ الله في نفسي أحبُّ إليَّ من أن أذكُره بلساني سبعين مرَّة”، وقال آخرون: ذِكْر الله باللِّسان أفضل؛ روي عن أبي عُبيدة بن عبدالله بن مسعود قال: “ما دام قلْب الرَّجُل يذكر الله تعالى فهو في صلاة، وإن كان في السُّوق، وإن تحرَّك بذلك اللِّسان والشَّفتان، فهو أعظم”

Berkata Ath Thabari: “Jika ada pertanyaan mana yang lebih utama dzikir hati saja atau lisan?” Para salaf telah berbeda pendapat. Di riwayatlan dari Aisyah bahwa dia berkata: “Dzikir di hatiku lebih aku sukai dibanding dzikir di lisanku 70 kali.” Sedangkan Yang lain berkata: Dzikrullah dengan lisan lebih utama. Dari Abu ‘Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ ud, dia berkata: “Hati seorang laki-laki senantiasa berdizkir kepada Allah disaat shalatnya, tapi saat di pasar dia berdizkir dengan lisan dan bibirnya maka itu lebih besar. (Syarh Shahih Al Bukhari, 10/430)

Maka, berdzikirlah kepada Allah Ta’ala baik lisan atau hati, apalagi bisa menggabungkan keduanya.

Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ ala aalihi wa shahbihi wa salam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

[Tata Cara Shalat] Salam

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Ini adalah akhir shalat. Para ulama telah ijma’ atas disyariatkannya salam dan sebagai tanda keluarnya seseorang dari shalat. (Syaikh Abdullah al Bassam, Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 1/486)

Sebagaimana dalam hadits:

مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

Kuncinya shalat adalah bersuci, pengharamnya adalah takbir (takbiratul ihram), dan penghalalnya adalah salam.
(HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dll. Hasan shahih)

Maksud dari “Bersuci adalah Kuncinya shalat” adalah tidaklah sah shalat tanpa bersuci dari hadats kecil dan besar, baik mandi, wudhu, atau tayammum. Sebagaimana yang biasa dibahas dalam Bab Thaharah dalam kitab-kitab Fiqih. Imam an Nawawi mengatakan bahwa telah ijma’ haramnya bagi orang yang tidak bersuci, baik dengan air atau debu, melakukan shalat baik shalat wajib dan sunnah. (Ibnu Sayyidinnaas, An Nafhu asy Syadzi Syarh at Tirmidzi, 1/341)

Maksud dari “pengharamnya adalah takbir (takbiratul ihram)” adalah setelah takbiratul ihram maka terlarang semua perkataan dan perbuatan di luar shalat, kecuali ucapan dan perbuatan yang memang ada dasarnya dibolehkan saat shalat.

Maksud dari “penghalalnya adalah salam” adalah setelah ucapan salam maka shalat telah berakhir, dan semua hal yang tadinya terlarang kembali halal. (Syaikh Sa’id Hawwa, Al Asas fis Sunnah wa Fiqhiha, 2/770)

Hukumnya

Syaikh Said Hawwa Rahimahullah menjelaskan bahwa salam pertama adalah wajib (salam kedua adalah sunnah) sebagaimana pendapat Syafi’iyah dan Malikiyah. Hambaliyah mengatakan kedua-duanya wajib. Hanafiyah juga mengatakan kedua-duanya wajib, tapi jika tanpa salam pun shalat tetap sah namun makruh.
(Al Asas fis Sunnah wa Fiqhiha, 2/770)

Dalil Hanafiyah sahnya shalat tanpa salam adalah ucapan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu berikut:

إذا جلس مقدار التشهد ثم أحدث فقد تمت صلاته

Jika seseorang telah duduk selama untuk membaca tasyahud maka telah sempurna shalatnya. (HR. Al Baihaqi)

Hadits ini dinyatakan tidak shahih oleh Imam Ahmad bin Hambal (Imam al Baihaqi, Ma’rifatus Sunan wal Aatsar, 3/101)

Tapi, Syaikh Said Hawwa mengatakan: “Hadits ini mauquf (ucapan sahabat nabi, yaitu Ali) tapi dihukumi marfu’ (ucapan nabi) dan sanadnya hasan.” (Al Asas fis Sunnah wa Fiqhiha, 2/770)

Ini juga pendapat Ishaq bin Ibrahim, bahwa jika seseorang telah selesai dari tasyahud dan belum salam, maka shalatnya telah sempurna. Hal itu berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengajarkan shalat kepadanya: “Jika engkau telah selesai dari ini (tasyahud) maka engkau telah menunaikannya.” Tapi, riwayat ini dinilai dhaif oleh Yahya bin Said al Qaththan dan Imam Ahmad bin Hambal. (Lihat Tuhfah al Ahwdzi, 2/371)

Bagi mereka, berakhirnya shalat bisa dengan salam, atau kalam (bicara), atau apa pun yang dapat menafikan shalat, tapi hal ini makruh tahrim, dan jika makruh tahrim maka wajib mengulangi shalatnya. (Syaikh Abdullah al Bassam, Taudhihul Ahkam, 1/487)

Sementara itu mayoritas ulama mengatakan salam pertama adalah wajib, salam kedua adalah sunnah. Berdasarkan hadits berikut:

ثم يُصلِّي ركعتينِ وهو جالسٌ ثم يُسلِّمُ تسليمةً واحدةً: السَّلامُ عليكم، يرفَعُ بها صوتَه حتَّى يوقِظَنا

Lalu Beliau shalat dua rakaat dalam keadaan duduk, kemudian salam dengan SEKALI SALAM: “Assalamu ‘Alaikum,” dengan meninggikan suara sampai membangunkan kami.
(HR. An Nasa’ i. Imam Ibnul Mulaqin mengatakan: “Shahih sesuai syaratnya Imam Muslim.” Badrul Munir, 4/54)

Dalil lainnya, Imam al Qurthubi mengatakan bahwa hadits- وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ Dan penghalalnya adalah salam, menunjukkan kata AT TASLIM, bermakna sekali salam (taslimah wahidah). (Tafsir Al Qurthubi, 1/262)

Artinya, jika sudah sekali salam pertama, maka sudah selesai shalatnya walau dia tidak salam kedua. Inilah pendapat jumhur sahabat nabi dan tabi’in. (Al Majmu’ Syarh al Muhadzdab, 3/481)

Bagaimana kalimat ucapan salamnya?

Tentang ucapan salam selesainya shalat, baik  As Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh atau As Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah saja, atau As Salamu ‘Alaikum saja, ketiganya ada dalam sunah.

📌 Pertama. Berikut ini keterangan bacaan salam dengan lafaz: As Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Dari ‘Alqamah bin Wa-il, dari ayahnya, katanya:

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ وَعَنْ شِمَالِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ

Saya shalat bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau mengucapkan salam ke kanan: “As Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh,” dan ke kirinya: “As Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah.” (HR. Abu Daud No. 997)

Sederetan muhaqqiqin telah menshahihkan hadits ini dan memastikannya ada dalam kitab Sunan Abi Daud.

Syaikh Al Albani berkata: “Isnad hadits ini shahih,  dan dishahihkan oleh Imam An Nawawi, Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, lalu juga oleh Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, dan Imam Ibnu Sayyidin Naas.” *(Shahih Abi Daud No. 915),Imam Ibnu Abdil Hadi juga mengatakan shahih. *(Al Muharrar fil Hadits, 1/207, No. 271)**

Sebagian ulama, seperti Imam Ibnu Ash Shalah Rahimahullah mengatakan bahwa tambahan “wa barakatuh” tidak ada dalam kitab-kitab hadits. Pernyataan ini telah dikoreksi Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Rahimahullah sebagai berikut:

تنبيه : وقع في صحيح ابن حبان من حديث ابن مسعود زيادة ” وبركاته ” ، وهي عند ابن ماجه أيضا ، وهي عند أبي داود أيضا في حديث وائل بن حجر ، فيتعجب من ابن الصلاح حيث يقول : إن هذه الزيادة ليست في شيء من كتب الحديث

Peringatan: hadits ini terdapat dalam Shahih Ibnu Hibban dari haditsnya Ibnu Mas’ud dengan tambahan “wa barakatuh”, ini juga diriwayatkan Ibnu Majah, juga Abu Daud dalam hadits Wa-il bin Hujr, maka sungguh mengherankan apa yang dikatakan Ibnu Ash Shalah ketika dia berkata: “Sesungguhnya tambahan tersebut tidak ada sedikit pun dalam kitab-kitab hadits.” (At Talkhish Al Habir, 1/271)

Al Hafizh Ibnu Hajar –sebagaimana dikutip oleh Asy Syaikh Abul Hasan Ubaidullah Al Mubarkafuri-  juga mengoreksi Imam An Nawawi yang menyebutkan bahwa kalimat “wa barakatuh” hanya diriwayatkan secara menyendiri. Beliau berkata:

فهذه عدة طرق تثبت بها “وبركاته”، بخلاف ما يوهمه كلام الشيخ أنها رواية فردة-انتهى

Inilah sejumlah jalur yang dengannya menjadi shahih kalimat “wa barakatuh”, berbeda dengan yang disangka oleh Asy Syaikh (An Nawawi) bahwa itu adalah riwayat yang menyendiri. Selesai. (Mir’ah Al Mafatih, 3/307)

Nah, dari hadits di atas terlihat jelas sunahnya tambahan “wa barakatuh”, hanya saja mereka menyunnahkan hanya pada salam yang pertama  sebagaimana yang nampak secara tekstual dalam haditsnya.

Disebutkan oleh pengarang kitab Al Minhal:

وبهذا تعلم استحباب زيادة ” وبركاته ” في التسليمة الأولى

Maka dengan ini Anda mengetahui sunahnya tambahan “wa barakatuh” dalam salam yang pertama. (Al Minhal al ‘Adzb al Maurud, 6/117)

Ini juga pendapat Syaikh Al Albani Rahimahullah, bahwa tambahan tersebut hanya pada salam pertama. (Tamamul Minnah, Hal. 171)

Tetapi, Imam Abdurrazzaq meriwayatkan dalam Al Mushannaf-nya, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengucapkan As Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh secara jahr (dikeraskan) hingga terlihat pipinya yang putih, baik ke kanan (salam pertama) dan ke kiri (salam kedua). (Al Mushannaf Abdurrazaaq, 2/219), itu juga dilakukan oleh sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ‘Ammar bin Yasir. *(Ibid, 2/220), Syaikh Muhammad bin  Ali bin Adam mengatakan: semua rijal dalam isnad hadits ini terpercaya. (Raf’ul Ghain, Hal. 5)

Imam Al Bazzar juga meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengucapkan As Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh sebanyak dua kali ke kanan dan kiri. (Musnad Al Bazzar No.  1574)

Selain itu, Imam Ibnu Hazm Rahimahullah juga meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhubahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallammengucapkan salam ke kanan As Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh, ke kiri juga As Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh. (Al Muhalla, 3/275), riwayat yang seperti ini – dari Ibnu Mas’ud- juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban *(No. 1993) dan Imam Ibnu Khuzaimah (No. 728) dalam kitab Shahih-nya masing-masing.

Maka, tambahan “wa barakatuh” baik dalam salam pertama dan kedua adalah masyru’ (disyariatkan) sebagaimana keterangan dalil dan komentar para imam di atas.

📌 Kedua. Lafaz bacaan salam: As Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah

Dari ‘Ammar bin Yaasir Radhiallahu ‘Anhuma, beliau berkata:

كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ خَدِّهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ

Dahulu ketika mengucapkan salam, Beliau menengok ke kanan dan kirinya sampai terlihat pipinya yang putih (dan mengucapkan): Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah. **(HR. Abu Daud No. 996, Ibnu Majah No. 916. Shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 996)

Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dari NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

أَنَّهُ كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ

Bahwa nabi mengucapkan salam ke kanan dan ke kirinya: Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah.  (HR. At Tirmidzi No. 295, katanya: hasan shahih)

Imam At Tirmidzi mengatakan:

والعمل عليه عند أكثر أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم ومن بعدهم وهو قول سفيان الثوري وابن المبارك وأحمد وإسحق

Hadits ini diamalkan oleh kebanyakan ulama dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamdan generasi setelah mereka, dan ini adalah pendapat Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad, dan Ishaq. (Lihat Sunan At Tirmidzi No. 295)

Salam seperti ini juga dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar Radhiallahu ‘Anhuma, sebagaimana kesaksian dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu. *(Imam An Nasa’i, As Sunan Al Kubra No. 1242)*

📌 Ketiga. Lafaz salam yang paling singkat: As Salamu ‘Alaikum

Dari Jabir bin Samurah, katanya:

كنا نصلي خلف النبي صلى الله عليه وسلم فقال: (ما بال هؤلاء يسلمون بأيديهم كأنها أذناب خيل شمس  إنما يكفي أحدكم أن يضع يده على فخذه ثم يقول: السلام عليكم السلام عليكم) رواه النسائي وغيره وهذا لفظه

“Kami shalat di belakang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia bersabda: “Kenapa mereka mengucapkan salam sambil mengisyaratkan tangan mereka, tak ubahnya seperti kuda liar! Cukuplah bagi kalian meletakkan tangannya di atas pahanya, lalu mengucapkan: Assalamu ‘Alaikum, Assalamu ‘Alaikum. “ (HR. An Nasa’i  No. 1185, dan lainnya, dan ini adalah lafaz darinya. Shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1185)

Hadits yang seperti di atas juga diriwayatkan imam lainnya –juga dari Jabir bin Samurah- dengan lafaz yang sedikit berbeda. *(HR. Muslim No. 431)*

Cara salam seperti ini juga dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib. *(Mushannaf Abdurrazzaq No. 3131, Ma’rifatus Sunan Lil Baihaqi No. 978, Kanzul ‘Ummal No. 22380),Abdurrahman bin Abi Laila *(Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No. 3077),** dan lainnya.

Sekian. Wallahu A’lam

Wa akhirud da’wana anil hamdulillahi rabbil ‘aalamin

Wa Shallallahu ‘ala Sayyidil Anbiyaa wal Mursalin  wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi ajma’in.

🌷🍀🌿🌸🌻🍃🌳🍁

✍ Farid Nu’man Hasan

Akhir Zaman: Banyak Penceramah, Qurra (Ahli Baca Al Quran), Tapi Sedikit Fuqaha (Ahli Fiqih)

💢💢💢💢💢💢💢

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّكُمْ قَدْ أَصْبَحْتُمْ فِي زَمَانٍ كَثِيرٍ فُقَهَاؤُهُ، قَلِيلٍ خُطَبَاؤُهُ، كَثِيرٍ مُعْطُوهُ قَلِيلٍ سُؤَّالُهُ الْعَمَلُ فِيهِ خَيْرٌ مِنَ الْعِلْمِ، وَسَيَأتِي [مِنْ بَعْدِكُمْ] زَمَانٌ قَلِيلٌ فُقَهَاؤُهُ، كَثِيرٌ خُطَبَاؤُهُ , كَثِيرٌ سُؤَّالُهُ، قَلِيلٌ مُعْطُوهُ، الْعِلْمُ فِيهِ خَيْرٌ مِنَ الْعَمَلِ

Sungguh, saat ini kalian hidup di mana banyak fuqaha (ahli fiqih), sedikit khuthaba (penceramah, tukang pidato, orator), banyak yang memberi, dan sedikit peminta-minta. Setelah kalian, akan datang zaman sedikit ahli fiqihnya, banyak penceramahnya, orang yang memberi sedikit, sedangkan yang meminta-minta banyak. Saat itu manusia lebih mementingkan ilmu dibanding amal.

(HR. Ath Thabarani dalam Mu’jam al Kabir, no. 3111)

Hadits di atas dinyatakan dhaif oleh Imam Zainuddin al ‘Iraqi. (Takhrijul Ihya’, Hal. 14)

Namun, ada yg shahih sebagai ucapan Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu:

إنك في زمان كثير فقهاؤه قليل قراؤه تُحْفَظُ فِيهِ حُدُودُ الْقُرْآنِ وَتُضَيَّعُ حُرُوفُهُ قَلِيلٌ مَنْ يَسْأَلُ كَثِيرٌ مَنْ يُعْطِي يُطِيلُونَ فِيهِ الصَّلَاةَ وَيُقَصِّرُونَ الْخُطْبَةَ يُبَدُّونَ أَعْمَالَهُمْ قَبْلَ أَهْوَائِهِمْ وَسَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ قَلِيلٌ فُقَهَاؤُهُ كَثِيرٌ قُرَّاؤُهُ يُحْفَظُ فِيهِ حُرُوفُ الْقُرْآنِ وَتُضَيَّعُ حُدُودُهُ كَثِيرٌ مَنْ يَسْأَلُ قَلِيلٌ مَنْ يُعْطِي يُطِيلُونَ فِيهِ الْخُطْبَةَ وَيُقَصِّرُونَ الصَّلَاةَ يُبَدُّونَ فِيهِ أَهْوَاءَهُمْ قَبْلَ أَعْمَالِهِمْ

Kalian (para sahabat nabi) hidup di zaman banyak fuqaha, sedikit qurra (ahli baca Al Quran), di zaman ini terjaga hukum-hukum Al Quran, hilang huruf-hurufnya (bacaan tidak terlalu bagus), peminta-minta lebih sedikit dibanding yang memberi, shalatnya panjang dan khutbahnya pendek, mereka mengutamakan amal-amalnya dibanding hawa nafsunya.

Akan datang zaman kepada manusia, fuqahanya sedikit, banyak ahli baca Al Quran, mereka hanya menjaga huruf-hurufnya tapi luput dari menjaga hukum-hukum syariat yang ada pada Al Quran, peminta-minta lebih banyak dibanding pemberi, khutbah mereka panjang tapi shalat mereka pendek, mereka lebih menampakkan hawa nafsunya dibanding amalnya.

(HR. Malik, Dishahihkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 5/510. Imam Ibnu Abdil Bar berkata: “diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dengan banyak jalur yang bersambung, bagus, dan mutawatir.” (Al Istidzkar, 2/363)

Beberapa faedah:

📌 Riwayat ini merupakan pujian dan keutamaan atas zaman di mana ahli fiqih, orang yang paham agama, lebih banyak dibanding penceramah dan penghapal Al Quran.

Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah mengatakan:

وَفِيهِ مِنَ الْفِقْهِ مَدْحُ زَمَانِهِ لِكَثْرَةِ الْفُقَهَاءِ فِيهِ وَقِلَّةِ الْقُرَّاءِ وَزَمَانُهُ هَذَا هُوَ الْقَرْنُ الْمَمْدُوحُ عَلَى لِسَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dalam hadits ini terdapat pemahaman adanya pujian untuk zaman banyak fuqahanya, saat itu sedikitnya qurra, dan zaman tersebut telah dipuji lewat lisan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

📌 Sekaligus sebagai celaan atas kondisi yang berubah yaitu banyak ahli baca Al Quran, tapi sedikit amalnya.

Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah berkata:

وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ كَثْرَةَ الْقُرَّاءِ لِلْقُرْآنِ دَلِيلٌ عَلَى تَغَيُّرِ الزَّمَانِ وَذَمِّهِ لِذَلِكَ. وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم أَكْثَرُ مُنَافِقِي أُمَّتِي قُرَّاؤُهَا

Ini menjadi dalil bahwa banyaknya ahli baca Al Quran sebagai perubahan zaman dan itu tercela. Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam: “Paling banyak golongan munafiq dari umatku adalah para qurra-nya.”

📌 Ini pun menjadi dalil, bacaan tidak bagus tidak apa-apa, asalkan dia menjaga syariat di dalamnya.

Imam Ibnu Abdil Bar berkata:

وَفِيهِ دَلِيلٌ أَنَّ تَضْيِيعَ حُرُوفِ الْقُرْآنِ لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ لِأَنَّهُ قَدْ مَدَحَ الزَّمَانَ الَّذِي تُضَيَّعُ فِيهِ حُرُوفُهُ وَذَمَّ الزَّمَانَ الَّذِي يُحْفَظُ فِيهِ حُرُوفُ الْقُرْآنِ وَتُضَيَّعُ حُدُودُهُ

Ini menjadi dalil bahwa hilangnya huruf-huruf saat melafalkannya adalah tidak apa-apa, karena zaman disaat hilangnya huruf-huruf dilafalkan itu telah dipuji, yang tercela adalah menjaga huruf-hurufnya tapi tidak menjaga hukum syariat dalam Al Quran. (Al Istidzkar, 2/363)

Apa yg disebutkan dalam riwayat di atas sepertinya saat ini telah terjadi. Menjamurnya perhatian manusia terhadap hapalan Al Quran, dan bagusnya bacaan. Ada pun bagaimana menggali memahami hukum, syariat, hikmah, dan menjalankannya, kurang mendapat perhatian. Serta banyaknya para penceramah, bahkan dadakan, tapi sedikitnya ahli fiqih. Intinya adalah hilangnya keseimbangan, itulah yang dicela, adapun membaca Al Quran , menghapalnya, adalah hak yang mulia.

Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwamith

🌸🌿🌻🌷🍃🍀🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Cara Mengusap Kepala Saat Wudhu

Salahkah wudhu mengusap ubun-ubun saja?

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ …

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki .. (QS. Al Maidah: 6)

Dalam mengusap kepala ini, para ulama sepakat itu adalah RUKUN atau KEWAJIBAN dalam wudhu bersama membasuh wajah, tangan sampai siku, dan membasuh kaki sampai mata kaki, tanpanya wudhu tersebut batal. (Al Mausu’ah, 43/332-351, Fiqhus Sunnah, 1/42)

Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam kadarnya. Apakah sebagian saja sudah cukup, ataukah wajib seluruh bagian kepala. Ayat di atas memang tidak merinci, hanya memerintahkan: … wamsahuu bi ru’uusikum – dan sapulah kepalamu. Kata “bi” dalam ayat ini ada yang mengartikan keseluruhan bagian kepala, ada juga yang mengartikan sebagian.

1. Membasuh seluruhnya

Pendapat ini didukung oleh Ahli Bait, Imam Malik, Al Muzani, Al Juba’i, Ibnu ‘Ulayah, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. (Nailul Authar, 1/196-197), bagi mereka jika tidak seluruhnya maka tidak sah wudhunya. Seperti ayat: walyathawaffuu bil baitil ‘atiiq – dan hendaknya mereka melakukan thawaf terhadap rumah tua tersebut (ka’bah). Ayat ini menggunakan “bi” dan menunjukkan bahwa thawaf itu adalah pada keseluruhan ka’bah, bukan sebagiannya saja.

Berikut ini adalah penjelasan Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah:

فَقَالَ مَالِكٌ الْفَرْضُ مَسْحُ جَمِيعِ الرَّأْسِ فَإِنْ تَرَكَ شَيْئًا مِنْهُ كَانَ كَمَنْ تَرَكَ غَسْلَ شَيْءٍ مِنْ وَجْهِهِ هَذَا هُوَ الْمَعْرُوفُ مِنْ مذهب مالك. وهو مذهب بن علية قال بن عُلَيَّةَ قَدْ أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِمَسْحِ الرَّأْسِ فِي الْوُضُوءِ كَمَا أَمَرَ بِمَسْحِ الْوَجْهِ فِي التَّيَمُّمِ وَأَمَرَ بِغَسْلِهِ فِي الْوُضُوءِ. وَقَدْ أَجْمَعُوا أَنَّهُ لَا يَجُوزُ غَسْلُ بَعْضِ الْوَجْهِ فِي الْوُضُوءِ وَلَا مَسْحُ بَعْضِهِ فِي التَّيَمُّمِ. وَقَدْ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الرَّأْسَ يُمْسَحُ كُلُّهُ وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ إِنَّ مَسْحَ بَعْضِهِ سُنَّةٌ وَبَعْضِهِ فَرِيضَةٌ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ مَسْحَهُ كُلَّهُ فَرِيضَةٌ. وَاحْتَجَّ إِسْمَاعِيلُ وَغَيْرُهُ مِنْ أَصْحَابِنَا عَلَى وُجُوبِ الْعُمُومِ فِي مَسْحِ الرَّأْسِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى (وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ) الْحَجِّ 29 وَقَدْ أَجْمَعُوا أَنَّهُ لَا يَجُوزُ الطَّوَافُ بِبَعْضِهِ فَكَذَلِكَ مَسْحُ الرَّأْسِ. وَالْمَعْنَى في قوله (وامسحوا برؤوسكم) أَيْ امْسَحُوا رُؤُوسَكُمْ وَمَنْ مَسَحَ بَعْضَ رَأْسِهِ فَلَمْ يَمْسَحْ رَأْسَه

Berkata Imam Malik, “Mengusap semua bagian kepala adalah fardhu (wajib), barang siapa yang meninggalkan sebagiannya maka dia seperti orang yang tidak membasuh sebagian wajahnya.” Inilah yang dikenal dalam madzhab Malik. Ini juga madzhabnya Ibnu ‘Ulayah. Berkata Ibnu ‘Ulayah: “Allah Ta’ala telah memerintahkan mengusap kepala dalam wudhu, sebagaimana perintah mengusap wajah dalam tayamum, dan memerintahkan membasahinya dalam wudhu. Mereka telah sepakat bahwa tidak boleh membasuh sebagian wajah dalam wudhu, dan tidak boleh pula membasuh sebagian wajah dalam tayamum. Mereka telah sepakat bahwa mengusap kepala itu seluruhnya, tidak ada seorang pun mengatakan bahwa mengusap sebagian adalah sunah, mengusap sebagian lain adalah wajib. Maka, ini menunjukkan bahwa membasuh semuanya bagiannya adalah wajib.” Ismail dan lainnya –dari kalangan sahabat kami (Malikiyah)- mengatakan wajibnya mengusap semua bagian kepala, sebagaimana firmanNya: وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ – dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). Mereka telah sepakat bahwa tidak boleh melakukan thawaf hanya sebagian saja. Demikian dalam mengusap kepala. Dan, makna dari firmanNya: “wamsahuu bi ru’uusikum” adalah usaplah kepala kalian, barang siapa yang mengusap sebagian saja, maka dia tidak mengusap kepalanya.

(Imam Ibnu Abdil Bar, Al Istidzkar, 1/130)

Kelompok ini juga berhujjah dengan hadits berikut:

Abdullah bin Zaid Radhiallahu ‘Anhu, ketika mencontohkan wudhunya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam disebutkan:

فَمَسَحَ بِرَأْسِهِ، فَأَقْبَلَ بِيَدَيْهِ وَأَدْبَرَ بِهِمَا

Beliau mengusap kepalanya, lalu kedua tangannya mengusap bagian depan lalu bagian belakangnya. (HR. Bukhari No. 192, Muslim No. 235)

Pernah juga dengan membasuh dari depan, kebelakang, lalu ke depan lagi. Sebagaimana hadits ini:

بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ, حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ, ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى اَلْمَكَانِ اَلَّذِي بَدَأَ مِنْهُ

Beliau memulai usapan dengan kepala bagian depan sampai kedua tangannya ke bagian punggungnya, lalu mengembalikan lagi kedua tangannya ke tempat awal memulai. (HR. Bukhari No. 185, Muslim No. 235)

Riwayat ini menunjukkan bahwa yang diusap bukan bagian ubun-ubun saja, tetapi dari depan sampai ke belakangnya, atau dia bisa mengembalikan lagi ke depan. Inilah yang sering Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lakukan dalam sebagian kondisi.

Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah menjelaskan:

“Cara inilah yang sering dilakukan Beliau. Ini menunjukkan bahwa inilah sunnah Rasulullah, yakni mengusap bagian muka dan belakang dan bagian lain pada sebagian kondisi.” (Fikih Thaharah, Hal. 185)

Pernah pula Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membasuh dengan cara kepala bagian depan, lalu ke belakang, ke depan lagi, lalu langsung ke telinga, semua dalam satu Gerakan tanpa mengambil air lagi ke tangan. Dari Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu ‘Anhuma, bercerita tentang cara wudhunya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

ثُمَّ مَسَحَ – صلى الله عليه وسلم – بِرَأْسِهِ, وَأَدْخَلَ إِصْبَعَيْهِ اَلسَّبَّاحَتَيْنِ فِي أُذُنَيْهِ, وَمَسَحَ بِإِبْهَامَيْهِ ظَاهِرَ أُذُنَيْهِ

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membasuh kepalanya dan memasukkan kedua jari telunjuknya pada kedua telinganya, dan mengusap bagian luar kedua telinganya dengan kedua ibu jarinya. (HR. Abu Daud no. 135, dishahihkan Syaikh Syu’aib al Arna’uth)

2. Sebagian sudah cukup misal di ubun-ubun

Imam Asy Syaukani menceritakan (Nailul Authar, 1/197), bahwa Imam Asy Syafi’i mengatakan sudah sah walau sebagian saja, dan tidak ada batasan secara khusus, bebas saja yang penting kepalanya diusap.
Ibnu Sayyidin Naas mengatakan: ini juga pendapat Imam Ath Thabari. Imam Abu Hanifah mengatakan wajib seperempat bagiannya. Sementara Al Auza’i, Ats Tsauri, dan Al Laits, mengatakan: sudah sah sebagian saja ditambah dengan bagian depannya. Ini juga pendapat Ahmad, Naashir, Al Baaqir, dan Ash Shaadiq. At Tsauri dan Asy Syafi’i mengatakan sudah sah mengusap kepala walau dengan satu jari. Sementara kalangan Zhahiriyah terjadi perbedaan pendapat: ada yang mewajibkan seluruh bagiannya, ada pula yang mengatakan sudah sah sebagiannya. Selesai dari Imam Asy Syaukani.

“Wamsahuu bi ru’uusikum” dan usaplah kepala kalian, maknanya sebagian sudah cukup. Sebagaimana seseorang mengusap dinding, tidak harus mengusap semua bagian dinding untuk disebut “mengusap dinding”, atau saat Anda mengusap meja bagian tertentu saja, tetaplah Anda dikatakan ”sedang mengusap meja.”

Pendapat ini diperkuat oleh hadits shahih, Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu ‘Anhu menceritakan tantang wudhunya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, di antaranya:

وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ

Beliau mengusap ubun-ubunnya dan sorban yang dipakainya. (HR. Muslim No. 274)

Ini menunjukkan bahwa yang diusap oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah bagian ubun-ubunnya (jambul), bukan semuanya. Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

هذا مما احتج به أصحابنا على أن مسح بعض الرأس يكفي ولا يشترط الجميع لأنه لو وجب الجميع لما اكتفى بالعمامة عن الباقي

Inilah di antara hujjah para sahabat kami (Syafi’iyah) bahwa mengusap sebagian kepala sudah mencukupi, tidak disyaratkan mesti semua bagiannya. Sebab, jika wajib semuanya, maka tidaklah cukup mengusap sorban untuk mewakili sisanya. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/172)

Ada pun dalam madzhab Hanafi mewajibkan seperempat bagian kepala dengan cara mengira-ngira apa yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits ini.

Menurut Imam an Nawawi, hadits yang menunjukkan membalikkan kembali ke bagian depan bukanlah menunjukkan sebuah kewajiban tapi sunnah menurut kesepakatan ulama. Hadits-hadits yang menceritakan tentang tata cara mengusap kepala berbeda-beda ukurannya, ada yang ubun-ubun saja, ada yang sampai belakang, dan ada yang ke depan lagi. Tidak mungkin dikatakan mengembalikan ke depan itu wajib, sebab itu sama juga menyalahkan hadits lain yang tidak seperti itu. Keragaman ini menunjukkan semua cara itu sah dan benar, berdasarkan hadits-hadits yang shahih.

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

هذا مستحب باتفاق العلماء فإنه طريق إلى استيعاب الرأس ووصول الماء إلى جميع شعره قال أصحابنا وهذا الرد إنما يستحب لمن كان له شعر غير مضفور أما من لا شعر على رأسه وكان شعره مضفورا فلا يستحب له الرد إذ لا فائدة فيه

Ini (membalikkan ke depan) adalah sunah menurut kesepakatan ulama, karena hal itu merupakan cara untuk menguasai semua bagian kepala dan sampainya air ke seluruh rambut. Para sahabat kami (Syafi’iyah) mengatakan, “mengembalikan ke belakang” hanya disunahkan bagi yang rambutnya tidak dikepang. Sedangkan orang yang tidak memiliki rambut di kepalanya, dan yang dikepang, tidaklah disunahkan mengembalikan tangan ke depan, karena itu tidak ada manfaatnya. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/123)

Maka, jika membasuh kepala hanya bagian tertentu dari kepala, maka itu sudah sah menurut Syafi’iyah dan Hanafiyah, berdasarkan hadits Shahih Muslim, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membasuh bagian ubun-ubunnya saja, tidak semua sisi kepala.

Demikian. Wallahu a’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top