Di antara Adab Murid Kepada Gurunya

💢💢💢💢💢💢💢💢

Para salaf adalah panutan bagi umat Islam secara umum. Salah satunya adalah tentang akhlak mereka terhadap guru-guru mereka.

Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah mengatakan:

وإني لأدعو للشافعي منذ أربعين سنة في صلاتي

“Dalam shalat saya, sejak 40 tahun yang lalu saya berdoa untuk Asy Syafi’i.”

(Imam Al Baihaqi, Manaqib Asy Syafi’i, 1/54)

Imam Yahya bin Said Al Qaththan Rahimahullah berkata:

أنا أدعو الله للشافعي، أخصه به

“Saya berdoa kepada Allah untuk Asy Syafi’i, saya khususkan doa baginya.”

(Imam Al Baihaqi, Manaqib Asy Syafi’i, 2/243)

Sementara Imam Abu Bakar bin Khalad Rahimahullah berkata:

أنا أدعو الله في دبر صلاتي للشافعي

“Aku berdoa kepada Allah untuk Asy Syafi’i setelah selesai shalat.”

(Imam Ibnu ‘Asakir, Tarikh Dimasqi, 14/409)

📚 Pelajaran:

– Salah satu adab murid kepada guru adalah mendoakannya: baik doa keberkahan ilmunya, usianya, agar tertutup aibnya, dan doa kebaikan lainnya.

– Berdoa di dalam shalat atau setelahnya, walau dengan doa yang tidak ma’tsur (tidak ada dalam sunnah), adalah boleh dan merupakan perilaku para salafush shalih.

Demikian. Wallahu A’lam

📙📘📗📕📒📔📓

✍ Farid Nu’man Hasan

Biarkan Adik-Adik Santri Tidak Mendengarkan Musik

💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Viral sebuah video tentang anak-anak remaja santri yang menutup telinga saat mereka antri vaksin dan menggema suara musik di ruangan tsb

📌 Lalu video ini memunculkan banyak komen miring, ada banyak pula yang mendukungnya

📌 Kita tidak sedang membahas hukum musik tapi tentang sportifitas

📌 Kenapa anak-anak santri yang memiliki keyakinan bahwa musik itu terlarang atau dapat menganggu hapalan mereka, dituduh yang tidak-tidak?

📌 Kembali muncul istilah untuk menyerang mereka: radikal, tidak pro NKRI, pro Taliban.. Apa hubungannya coba?

📌 Apakah kurang puas setelah menuduh bahasa Arab sebagai pintu radikalisme, atau dulunya menuduh ciri-ciri radikal adalah yang hapal Al Quran dan rajin ke masjid?

📌 Biarlah adik-adik Santri meyakini dan mengikuti hadits:

Dari Abu Malik Al Asy’ari, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bersabda:

“Manusia di antara umatku akan benar-benar minum khamr, mereka menamakannya dengan bukan namanya, dipukulkan di hadapan mereka alat-alat musik, Allah membenamkan mereka di bumi, dan menjadikan sebagian mereka sebagai kera dan babi.”

(HR. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 17383 dan 20989, dengan tambahan: mughanniyat (biduanita), Shahih. Ghayatul Maram No. 402)

📌 Bahkan bisa jadi mengambil dari Imam Asy Syafi’i, yang mengatakan bahwa sekedar mengetuk-ngetuk batang (pohon untuk hiburan) adalah perbuatan zindik. Al Qadhi Abu Thayyib menceritakan:

وحكي عن الشافعي أنه كان يكره الطقطقة ابلقضيب ويقول وضعته الزَندقة ليشتغلوا به عن القرآن

Diceritakan dari Imam Asy Syafi’i, bahwa Beliau membenci mengetuk-ketuk batang pohon dan mengatakan itu adalah perbuatan orang zindiq yang dengannya orang menjadi lalai dari Al Quran.

(Imam Al Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, 2/269)

📌 Terlepas dari perbedaan pendapat ulama tentang hukum musik, maka sangat tidak fair menuduh dan menjelak-jelekkan santri ini.

📌 Kenyataan ini menunjukkan kesekian kalinya, siapa sebenarnya yang anti toleransi. Siapa sebenarnya yang tidak siap berbeda pendapat.

📌 Sungguh adik-adik ini bukanlah masalah bagi kita, apalagi ancaman bagi negara. Masalah itu adalah ada pada remaja yang mabuk, judi, narkoba, pergaulan bebas, tukang bolos, dan memiliki bakat koruptor. Ingat itu!

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Imam Lupa Duduk Tasyahud Awal

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustadz, dalam sholat berjamaah pada raka’at kedua imam lupa duduk tasyahud awal dan imam berdiri tegak untuk raka’at ke tiga sedangkan makmumnya duduk tasyahud awal dan menegur imam. Apakah imam yang harus mengikuti makmumnya duduk tasyahud awal atau makmumnya ikut imam walaupun makmumnya benar.? Mohon pencerahannya dan Jazakallah Khairan katsiro. Hamdani, Lombok Barat

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Apa yang dilakukan imam, yaitu terlanjur tegak sempurna saat seharusnya duduk tasyahud, lalu dia melanjutkan maka itu sudah benar saat menyikapi kesalahan itu. Namun, sebelum salam hendaknya sujud sahwi dua kali. Itulah yang dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Kecuali, jika dirinya imam belum tegak sempurna, lalu dia teringat itu kesalahan krn seharusnya duduk tasyahud awal, maka hendaknya dia duduk.

Inilah yang ditegaskan oleh ‘Alqamah, Qatadah, Abdurrahman bin Abi Laila, Al Auza’i, Ibnul Qasim dalam Al Mudawanah, dan Imam Asy Syafi’i. (Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Al Bukhari, jilid. 3, hal. 212)

Dalilnya adalah, dari Ibnu Buhainah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فَقَامَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ فَسَبَّحُوا فَمَضَى فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat, beliau bangun pada rakaat kedua, maka jamaah mengucapkan ‘subhanallah’ maka beliau tetap melanjutkannya, lalu ketika selesai shalat, Belia sujud dua kali lalu salam.” (HR. An Nasa’i No. 1177, 1178, Ibnu Majah No. 1206, 1207. Shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1177, 1178)

Menurut hadits ini jika sudah terlanjur tegak berdiri, maka imam tidak usah duduk lagi, dia lanjutkan saja tetapi setelah selesai shalat dia sujud dua kali (sahwi) lalu salam. Tetapi, jika berdirinya belum sempurna tegaknya, maka boleh baginya untuk duduk lagi untuk tasyahhud awal, dan akhirnya tanpa melakukan sujud sahwi.

Hal ini ditegaskan dalam riwayat dari Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنْ الرَّكْعَتَيْنِ فَلَمْ يَسْتَتِمَّ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ فَإِذَا اسْتَتَمَّ قَائِمًا فَلَا يَجْلِسْ وَيَسْجُدْ سَجْدَتَيْ السَّهْوِ

“Jika salah seorang kalian berdiri ketika rakaat kedua tetapi belum sempurna, maka hendaknya duduk, jika sudah sempurna maka janganlah duduk. Lalu sujudlah dua kali sebagai sahwi.” (HR. Abu Daud No. 949, 950, Ibnu Majah No. 1208. Hadits ini shahih. Lihat Al Misykah Al Mashabih No. 1020)

Riwayat ini menunjukkan bahwa sujud sahwi juga bisa dilakukan sebelum salam, yakni ketika kesalahan tersebut diketahui dan diingat masih di dalam shalat.

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Perkara Halal Dalam Islam

💢💢💢💢💢💢💢💢

Halal itu jelas – innal halaala bayyin, kata Rasulullah ﷺ dalam hadits Muttafaq ‘Alaih. Dalam menentukan kehalalan, maka ada beberapa jalan yang bisa kita ketahui dan biasa ditempuh para ulama.

I. Lugas dan jelas disebutkan HALAL dalam Al Quran

Berikut ini beberapa contohnya:

1. Kehalalan hasil buruan laut

Allah Ta’ala berfirman:

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ

Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu. (QS. Al Maidah: 96)

Jika kita lihat secara zahiriyah ayat ini, maka semua yang hidup atau berasal dari laut adalah halal. Termasuk dalam kategori ayat ini adalah semua hewan yang hidupnya di air seperti di sungai, danau, dan lainnya.

Dalam hal ini, bahkan ada ulama yang sangat longgar, sampai-sampai membolehkan memakan buaya karena termasuk hewan air.

Halalnya makan Buaya merupakan pendapat resmi Malikiyah. (Ibnu Abdil Bar, Al Istidzkar, 5/284. Hasyiyah Ad Dasuqi, 1/49, Hasyiyah Ash Shawi, 2/182).

Juga salah satu pendapat Syafi’iyah (Zakariya al Anshari, Asnal Mathalib, 1/566, An Nawawi, al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 9/32)

Juga salah satu pendapat dari Hanabilah (Ibnu Muflih, al Furu’, 10/377, Al Mardawi, al Inshaf, 10/275)

Serta sebagian ulama salaf seperti al Auza’i. (al Istidzkar, 5/284), Sa’id bin al Musayyab (an Nawadir waz Ziyadat, 4/358).

Ini juga pendapat Ibnu ‘Utsaimin (Syarh al Mumti’, 15/35), Amin Asy Syanqiti (Adhwa’ul Bayan, 1/51), dan ulama di Al Lajnah ad Daimah (22/319).

Tapi, mayoritas ulama mengatakan Buaya itu haram walau dia hidup di air, sebab dia termasuk hewan buas, bertaring, dan pemakan manusia. Itulah pendapat resmi dari Hanafiyah (Ibnu Nujaim, Bahr ar Raiq, 3/29, Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 2/561), Syafi’iyah (An Nawawi, al Majmu’, 9/32, Ibn Hajar al Haitami, Tuhfatul Muhtaj, 9/378), dan Hambaliyah (Al Buhuti, Kasysyaf al Qina’, 6/193, Ibnu Muflih, al Fuqu’, 10/377).

Perbedaan ini juga terjadi terhadap Hiu (al Qarsyu), dimana sebagian ulama mengharamkan tapi umumnya membolehkan. (Lihat Fatawa Asy Syabakah al Islamiyah no. 5215).

Begitu pula pada kepiting (As Surthan), di mana Malikiyah (Lihat Tadzibul Mudawanah, 1/63) dan Hambaliyah (Lihat Al Inshaf, 10/289) mengatakan HALAL. Sementara Hanafiyah (Lihat al Bahr ar Raiq, 8/196, al Hidayah Syarh al Bidayah, 4/69), dan Syafi’iyah (lihat al Majmu, 9/32) mengatakan HARAM.

Tapi, ternyata ayat di atas ada yang memaknai secara terbatas. Kalangan yang paling sempit adalah Hanafiyah. Bagi mereka ayat: “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut”, hanyalah ikan, bukan lainnya. (Al Kasani, Bada’i ash Shana’i, 5/35-36).

Sehingga selain ikan seperti cumi, kepiting, udang, pinguin, anjing laut, dll, adalah haram menurut mereka. Sebab, bagi Hanafiyah semua itu tetaplah bangkai sebagaimana ayat lain bahwa bangkai itu haram. Ikan dibolehkan, berdasarkan dalil lain yaitu adanya dua bangkai yang dikecualikan yaitu ikan dan belalang, sebagaimana riwayat mauquf dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma.

Jika kita lihat, lerbedaan pendapat ini, karena masing-masing ulama berbeda dalam memahami ayat tersebut, dan juga kaitannya dengan dalil lainnya.

💢💢💢💢💢💢💢💢

2. Kehalalan Bergaul Dengan Istri di Malam Ramadhan

Allah Ta’ala berfirman:

أُحِلَّ لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ هُنَّ لِبَاسٞ لَّكُمۡ وَأَنتُمۡ لِبَاسٞ لَّهُنَّۗ

Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka.

(QS. Al-Baqarah, Ayat 187)

Ayat ini juga lugas dan jelas Allah katakan halal tentang kebolehan menggauli istri setelah terbenam matahari sampai terbitnya fajar, di bulan Ramadhan.

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan, dulu kaum muslimin jika selesai shalat Isya di malam hari Ramadhan, mereka mengharamkan makan dan bergaul dengan istri-istri mereka. Lalu ada sebagian yang makan dan menggauli istrinya setelah Isya, mereka mengadu kepada Rasulullah ﷺ, di antaranya Umar bin al Khathab, lalu turunlah ayat di atas.

(Lihat Ibnu Jarir dalam Tafsirnya, 2/96, lalu Al Wahidi dalam Asbab an Nuzul, Hal. 39)

3. Kehalalan Sembelihan Ahli Kitab

Kebolehan memakan sembelihan mereka ditegaskan dalam Al Quran:

طَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ

Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (QS. Al Maidah: 5)

Makna “tha’am/makanan” dalan ayat di atas adalah SEMBELIHAN. Sebagaimana dijelaskan Ibnu Abbas, Abu Umamah, Mujahid, Said bin Jubeir, ‘Ikrimah, ‘Atha, Al Hasan, Mak-hul, Ibrahim An Nakha’i, As Suddi, dan Muqatil bin Hayyan.

(Tafsir Ibnu Katsir, 3/40)

Kebolehan ini telah menjadi konsensus (ijma’) ulama dan kaum muslimin.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

أمر مجمع عليه بين العلماء أن ذبائحهم حلال للمسلمين

“Ini adalah perkara yang telah menjadi ijma’ (kesepakatan) di antara ulama: bahwa sembelihan mereka adalah halal bagi kaum muslimin.” (Ibid)

Imam Ibnu Katsir menyebutkan keterangan dari Mak-hul, bahwa Al Maidah ayat 5 ini, telah menasakh (menghapus) hukum pada surat Al An’am: 121 yang melarang makan makanan yang tidak disebut nama Allah Ta’ala. (Ibid)

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:

وأجمع أهل العلم على إباحة ذبائح أهل الكتاب؛ لقول الله تعالى: {وطعام الذين أوتوا الكتاب حل لكم} [المائدة: 5] . يعني ذبائحهم

“Ulama telah ijma’ bolehnya hewan sembelihan Ahli kitab, karena firmanNya Ta’ala: (Makanan orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu) yakni sembelihan-sembelihan mereka.”

(Al Mughni, 9/390)

Dan masih sangat banyak ayat-ayat Al Quran yang lugas dalam menyatakan halal, seperti halalnya hewan ternak. (QS. Al Maidah: 1), halalnya berburu dengan anjing dan melepasnya dengan Bismillah. (QS. Al Maidah: 4), halalnya apa pun yang baik-baik (QS. Al Maidah: 5), halalnya laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab (QS. Al Maidah: 5) namun sebagian sahabat nabi berpendapat tidak boleh seperti Umar dan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, halalnya jual beli (QS. Al Baqarah: 275), halalnya membunuh dalam keadaan peperangan (QS. At Taubah: 111), halalnya berkata kotor bagi yang sedang dianiaya kepada pelaku penganiayaan. (QS. An Nisa: 148), bolehnya wanita menampakkan aurat ringannya kepada ayahnya sendiri, anak kandung, anak kecil yg belum paham aurat, sesama muslimah, orang yg sudah tidak ada syahwat terhadap perempuan (QS. An Nuur: 31), dan masih banyak lainnya.

Wallahu A’lam

🌴🌵🌿🌷🌸🍃🌺🌳🌻

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top