Mengganti Nama Yang Buruk

💢💢💢💢💢💢💢

Ya, Dianjurkan ganti nama jika terlanjur memiliki nama yang Buruk.

Ini dicontohkan langsung oleh Rasulullah ﷺ ketika ia mengganti nama-nama para sahabatnya.

Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma bercerita:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: غَيَّرَ اسْمَ عَاصِيَةَ قَالَ: ” أَنْتِ جَمِيلَةُ “

Bahwasanya Rasulullah ﷺ mengganti nama ‘Ashiyah (wanita pembangkang), dia berkata: “Kaum Jamilah (cantik).” (HR. Muslim no. 2139)

Imam Muslim dalam Shahih-nya, memasukkan hadits ini dalam bab:

بَابُ اسْتِحْبَابِ تَغْيِيرِ الِاسْمِ الْقَبِيحِ إِلَى حَسَنٍ، وَتَغْيِيرِ اسْمِ بَرَّةَ إِلَى زَيْنَبَ وَجُوَيْرِيَةَ وَنَحْوِهِمَا

Bab istihbab (hal yang disukai/sunnah) mengubah nama buruk kepada yang baik, dan mengubah nama Barrah menjadi Zainab, Juwairiyah, dan semisalnya.

Ali Radhiallahu ‘Anhu berkata:

كُنْتُ رَجُلا أُحِبُّ الْحَرْبَ ، فَلَمَّا وُلِدَ الْحَسَنُ هَمَمْتُ أَنْ أُسَمِّيَهُ حَرْبًا ، فَسَمَّاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَسَنَ ، فَلَمَّا وُلِدَ الْحُسَيْنُ هَمَمْتُ أَنْ أُسَمِّيَهُ حَرْبًا ، فَسَمَّاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحُسَيْنَ

“Saya adalah laki-laki yang suka perang, ketika Al Hasan lahir saya ingin menamakannya dengan harb, namun Rasulullah ﷺ menamakannya dengan Al Hasan. Ketika lahir Al Husein, saya ingin menamakannya dengan harb, namun Beliau menamakannya dengan Al Husein.”

(HR. Ath Thabarani dalam Al Kabir no. 2777. Al Haitsami mengatakan: perawinya perawi shahih. Majma’ az Zawaid, 8/52)

Nama dalam Islam bukan hanya label atau kode panggilan, tapi juga syiar, doa, dan citra pemiliknya.

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

[Tata Cara Shalat] Bangun dari Sujud dan Duduk di Antara Dua Sujud

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Yaitu bangun dari sujud dengan bertakbir, dengan posisi tetap duduk, sampai badan tegak, posisi kedua telapak tangan diletakkan di atas ujung paha dekat lutut.

Cara duduknya adalah IFTIRASY (menghampar), bagaimana itu? Yaitu telapak kaki kanan di tegakkan dgn jari jemarinya mengarah kiblat, lalu pantat duduk pada telapak kaki kiri.

Abu Humaid Radhiyallahu ‘Anhu berkata:

فَافْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَأَقْبَلَ بِصَدْرِ الْيُمْنَى عَلَى قِبْلَتِهِ وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى

Seusainya (sujud) Beliau (Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam) duduk iftirasy (duduk di atas kaki kiri) dengan menghadapkan punggung kaki kanan ke arah kiblat, dan meletakkan kaki kanan di atas lutut kanan.

(HR. Abu Daud no. 730, shahih)

Sdgkan bacaan duduk di antara dua sujud adalah:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَعَافِنِي وَاهْدِنِي وَارْزُقْنِي

Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan diantara dua sujudnya “ALLAHUMMA GHFIR LI WARHAMNI WA’AFINI WAHDINI WARZUQNI” (ya Allah anugerahkanlah untukku ampunan, rahmat, kesejahteraan, petunjuk dan rizki).”

(HR. Abu Daud no. 850, hasan)

Versi lainnya ada dalam kitab As Sunan Al Kubra -nya Imam Al Baihaqi:

قل اللهم اغفر لي وارحمني واهدني وارزقني وعافني واعف عني

Katakanlah: Allahummaghfirliy warhamniy wahdiniy warzuqniy wa ‘aafiniy wa’fu ‘anniy.

(HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3979)

Doa ini merupakan kalimat yang diajarkan Nabi ﷺ kepada sahabatnya yang merasa tidak bagus bacaan Al Qurannya, Beliau meminta kepada Nabi ﷺ diajarkan kalimat yang bisa mencukupi kekurangannya itu, maka Nabi ﷺ mengajarkannya dan di antaranya adalah doa ini.

Kemudian, doa ini dipakai para ulama dan dimaknai oleh mereka sebagai bagian dari doa di antara dua sujud.

Imam Syihabuddin An Nafrawiy –seorang ulama madzhab Malikiy- berkata:

وَفِي الْحَدِيثِ أَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يَقُولُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ: «اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَارْزُقْنِي وَاهْدِنِي وَعَافَنِي وَاعْفُ عَنِّي»
وَقَالَ ابْنُ نَاجِي: قِيلَ يُسْتَحَبُّ الدُّعَاءُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ بِهَذَا الدُّعَاء

Dalam hadits disebutkan bahwa Nabi ﷺ membaca di saat duduk di antara dua sujud: Allahummaghfirliy warhamniy wahdiniy warzuqniy wa ‘aafiniy wa’fu ‘anniy._

Ibnu Najiy berkata: “Dikatakan bahwa sunnah berdoa di antara dua sujud dengan doa ini.”

(Al Fawakih Ad Dawaniy, 1/184)

Sementara dalam kitab Fiqhul ‘Ibadat ‘alal Madzhabil Malikiy tertulis:

يكره الدعاء في الركوع لأنه شُرِعَ للتسبيح، أما قبل الركوع وبعد الرفع منه فيجوز، وكذا بين السجدتين مطلوب أن يقول بينهما: “اللَّهم اغفر لي وارحمني واسترني واجبرني وارزقني وعافني واعف عني

Dimakruhkan berdoa saat ruku’, sebab yang disyariatkan adalah bertasbih. Ada pun sebelum ruku’ dan setelah bangun ruku’ boleh berdoa, demikian pula saat duduk di antara dua sujud diperintahkan membaca: Allahummaghfirliy warhamniy wasturniy wajburniy warzuqniy wa ‘aafiniy wa’fu ‘anniy.

(Fiqhul ‘Ibadat ‘alal Madzhabil Malikiy, 1/170)

Dalam madzhab Syafi’iy pun, bacaan ini sunnah saat duduk di antara dua sujud.

Disebutkan:

وَيُسَنُّ فِي الْجُلُوسِ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ الاِفْتِرَاشُ، وَوَضْعُ يَدَيْهِ قَريباً مِنْ رُكْبَتَيْهِ، وَنَشْرُ أَصَابِعِهِمَا وَضَمُّهَا قَائِلاً: رَبِّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَاجْبُرْنِي وَارْفَعْنِي وَارْزُقْنِي وَاهْدِني وَعَافِنِي وَاعْفُ عَنِّي

Disunnahkan saat duduk di antara dua sujud dengan cara iftirasy, dan melatakkan tangan dekat lutut, membuka jari jemari dan menggenggam lutut, lalu membaca: Rabbighfirliy warhamniy wajburniy warfa’niy warzuqniy wahdiniy wa ‘aafiniy wa’fu ‘anniy.

(Imam Abu Bakar Bafadhal Al Hadhramiy, Al Muqadimah Al Hadhramiyah, Hal. 71)

Sementara Imam Ibnu Hajar Al Haitamiy mengatakan bahwa kalimat: wa’fu ‘anniy merupakan tambahan dari Imam Al Ghazaliy, karena

kesesuaiannya dengan kalimat sebelumnya. (Al Minhaj Al Qawim, 1/105). Imam Al Ghazaliy menyebut doa ini dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin (1/161)

Demikian. Wallahu A’lam

🌺🌿🌷🌻🌸🍃🌴🌵

✍ Farid Nu’man Hasan

[Tata Cara Shalat] Sujud

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Turun Untuk Sujud, Tangan Dulu Atau Lutut Dulu?

Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ahli fiqih mengatakan lutut dulu, seperti Umar, Ibrahim an Nakha’i, Muslim bin Yasar, Sufyan ats Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah dan murid-muridnya, Ibnul Mundzir, Ibnul Qayyim. Sedangkan sebagian lain mengatakan tangan dulu, dan ini dianut oleh Malik, al Auza’i, Ibnu Hazm, dan para ahli hadits.

(Lihat Fiqhus Sunnah, 1/164. Zaadul Ma’ad, 1/223)

Tapi, mereka sepakat masalah ini tidak ada kaitan dengan sah atau tidaknya shalat. Keduanya sama-sama sah. Oleh karena itu sikap yang paling bagus dan bijaksana adalah seperti yang disampailan Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah.

Berikut ini perkataannya:

أَمَّا الصَّلَاةُ بِكِلَيْهِمَا فَجَائِزَةٌ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ، إنْ شَاءَ الْمُصَلِّي يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِنْ شَاءَ وَضَعَ يَدَيْهِ ثُمَّ رُكْبَتَيْهِ، وَصَلَاتُهُ صَحِيحَةٌ فِي الْحَالَتَيْنِ، بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ. وَلَكِنْ تَنَازَعُوا فِي الْأَفْضَلِ. فَقِيلَ: الْأَوَّلُ كَمَا هُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ، وَالشَّافِعِيِّ، وَأَحْمَدَ فِي إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ.
وَقِيلَ: الثَّانِي، كَمَا هُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ، وَأَحْمَدَ فِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى وَقَدْ رُوِيَ بِكُلٍّ مِنْهُمَا حَدِيثٌ فِي السُّنَنِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Adapun shalat dengan kedua cara tersebut diperbolehkan menurut kesepakatan ulama, kalau dia mau silahkan meletakkan kedua lutut sebelum kedua telapak tangan, dan kalau dia mau silahkan meletakkan kedua telapak tangan sebelum kedua lutut, dan shalatnya sah pada kedua cara tersebut menurut kesepakatan para ulama. Hanya saja mereka berselisih pendapat tentang mana yang afdhal.

Ada yang mengatakan cara pertama (meletakkan lutut dulu) yang lebih utama seperti madzhab Abu Hanifah, Asy Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Ahmad di antara dua riwayat darinya. Ada yang mengatakan cara kedua (meletakkan tangan dulu) yang lebih utama seperti madzhab Malik, Ahmad dalam riwayat lainnya. Kedua cara ini sama-sama ada dasarnya dalam Sunah Nabi ﷺ.

(Al Fatawa Al Kubra, 2/187)

Tata Cara Sujud

Sujud secara bahasa artinya خضع – khadha’a (menyerah, tunduk). (Zainuddin ar Razi, Mukhtar ash Shihah, 1/142)

Secara syariat, artinya:

والسجود في الصلاة هو وضع الجبهة والأنف والكفّين والركبتين وأصابع القدم على الأرض تعبّداً لله تعالى، وسَجَدَ سجوداً: أي خاضعاً لله مطمئنّ الجبهة على الأرض

Sujud dalam shalat adalah meletakkan kening, hidung, dua telapak tangan, dua lutut, dan jari jemari kaki di atas bumi/tanah, dalam rangka peribadatan kepada Allah Ta’ala. Sajada-sujudan, artinya tunduk kepada Allah dengan menempelkan kening ke bumi secara thuma’ninah.

(Mu’jam al Ma’aniy al Jaami’)

Menempelkan tujuh anggota badan

Berdasarkan hadits berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ وَلَا نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعَرَ

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Aku diperintahkan untuk melaksanakan sujud dengan tujuh tulang (anggota sujud); kening, dan Beliau memberi isyarat dengan tangannya menunjuk hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung jari dari kedua kaki dan tidak boleh menahan rambut atau pakaian.”

(HR. Bukhari no. 812)

Menempelkan kening (dahi/jidat) dan hidung

Sebagian ulama menilai kening dan hidung adalah satu kesatuan, tidak boleh hanya menempel kening tanpa hidung, atau sebaliknya, tapi mayoritas ulama mengatakan boleh menempelkan kening saja, sebaliknya tidak boleh menempelkan hidung saja.

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

وَنَقَلَ اِبْن الْمُنْذِرِ إِجْمَاع الصَّحَابَة عَلَى أَنَّهُ لَا يُجْزِئ السُّجُود عَلَى الْأَنْف وَحْده ، وَذَهَبَ الْجُمْهُور إِلَى أَنَّهُ يُجْزِئُ عَلَى الْجَبْهَة وَحْدهَا ، وَعَنْ الْأَوْزَاعِيِّ وَأَحْمَد وَإِسْحَاق وَابْن حَبِيب مِنْ الْمَالِكِيَّة وَغَيْرهمْ يَجِب أَنْ يَجْمَعهُمَا وَهُوَ قَوْلٌ لِلشَّافِعِيِّ أَيْضًا

“Dikutip dari Ibnul Mundzir adanya ijma’ (kesepakatan) para sahabat nabi bahwasanya menempelkan hidung saja tidaklah cukup ketika sujud. Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa menempelkan jidat saja sudah cukup. Sedangkan dari Al Auza’i, Ahmad, Ishaq, Ibnu Habib dari kalangan  Malikiyah dan selain mereka mewajibkan menggabungkan antara jidat dan hidung. Ini juga pendapat Asy Syafi’i.” (Fathul Bari, 3/204)

Meletakkan tangan sejajar pundak atau kepala, dengan jari rapat dan lurus ke kiblat

وَوَضَعَ كَفَّيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ

Rasulullah meletakkan kedua telapak tangannya sejajar pundaknya

(HR. At Tirmidzi no. 270, hasan shahih)

وَضَعَ رَأْسَهُ بِذَلِكَ الْمَنْزِلِ مِنْ يَدَيْهِ

Beliau meletakkan kepalanya sejajar dengan kedua tangannya.

(HR. An Nasa’i no. 1265, shahih)

وإذا سجد ضم أصابعه

Jika Beliau sujud sambil merapatkan jari jemarinya.

(HR. Al Baihaqi,  as Sunan al Kubra no. 2695)

وإذ سجد وجه أصابعه قبل القبلة

Jika  Beliau sujud, mengarahkan jari jemarinya ke kiblat. (HR. Ibnu Hibban, shahih. Juga Al Baihaqi, as Sunan al Kubra no. 2697)

Posisi lengan dan siku menjauh dari lambung, dan tidak menempel dilantai

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَلْفِهِ فَرَأَيْتُ بَيَاضَ إِبِطَيْهِ وَهُوَ مُجَخٍّ قَدْ فَرَّجَ بَيْنَ يَدَيْهِ

Dari Ibnu Abbas dia berkata; “Saya menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari belakang beliau, lalu saya melihat putih ketiaknya ketika beliau sujud, beliau merenggangkan antara kedua tangannya.” (HR. Abu Daud no. 899, shahih)

Hadits lainnya:

وَنَحَّى يَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ

Kedua tangannya menjauh dari lambungnya  (HR. At Tirmidzi no. 270, hasan shahih)

Hadits lainnya:

فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلَا قَابِضِهِمَا

Dan jika sujud maka beliau meletakkan tangannya dengan tidak menempelkan lengannya ke tanah atau badannya. **(HR. Bukhari no. 828)**

Ada pun menempelkan siku sampai lantai/sajadah saat sujud adalah makruh, sebab itu menyelisihi perintah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan menyerupai Anjing:

إذا سجدت فضع كفيك وارفع مرفقيك

Jika kamu sujud maka letakkan kedua tanganmu dan angkatlah sikumu. (HR. Al Baihaqi, as Sunan al Kubra no. 2699)

Hadits lain:

وَلَا يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ

Dan janganlah salah seorang di antara kalian menghamparkan kedua sikunya sebagaimana anjing menghampar.

(HR. Muslim no. 493)

Posisi ini jika shalat sendiri, tapi jika sedang shalat berjamaah maka posisi tangan disesuaikan dgn posisi jamaah sebelahnya.

Posisi kedua paha tidak dekat dengan perut, dan tidak terlalu jauh, tapi lurus dan seimbang (i’tidal)

اعْتَدِلُوا فِي السُّجُودِ

Lurus dan seimbanglah saat sujud (HR. Muslim no. 493)

وإذا سجد فرج بين فخذيه غير حامل بطنه علي شيء من فخذيه

“Apabila beliau sujud, beliau merenggangkan kedua pahanya tanpa memikul beban perutnya.” (HR. Abu Daud no. 735, Al Baihaqi, as Sunan al Kubra no. 2712)

Ujung telapak kaki menempel lantai, dan jari-jari menghadap kiblat

وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ

Dan dalam posisi sujud itu beliau menghadapkan jari-jari kakinya ke arah kiblat. (HR. Bukhari no. 828)

Perselisihan Ulama Antara Kaki Renggang atau Rapat

Masalah rapatnya tumit saat sujud, diperselisihkan para ulama. Sebagian ulama menetapkan bahwa sujud itu hendaknya tumit dirapatkan, dengan jari-jemari kaki mengarah ke kiblat.

Dasarnya adalah, dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata:

فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ مَعِي عَلَى فِرَاشِي، فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِ مُسْتَقْبِلًا بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ الْقِبْلَةَ

Aku kehilangan Rasulullah ﷺ, saat itu dia bersamaku di pembaringan, aku dapati Beliau sedang sujud, merapatkan tumitnya, dan mengarahkan jari jemari kaki ke kiblat.

(HR. Ibnu Khuzaimah No. 654, Al Hakim, Al Mustadrak No. 832, Ibnu Hibban No. 1933, Ath Thahawi dalam Musykilul Atsar No. 111)

Hadits ini SHAHIH menurut Imam Al Hakim., dan sesuai syarat Al Bukhari dan Muslim. (Al Mustadrak No. 932), Imam Adz Dzahabi menyepakatinya dalam At Talkhish. Imam Ibnul Mulaqin juga menyatakan shahih. (Badrul Munir, 1/621)

Dishahihkan pula oleh Syaikh Muhammad Mushthafa Al A’zhami dalam tahqiq beliau terhadap kitab Shahih Ibni Khuzaimah. Sementara Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Ibnu Hibban memasukan hadits ini dalam kitab SHAHIH mereka masing-masing, artinya dalam pandangan mereka ini hadits SHAHIH.

Syaikh Al Albani juga menshahihkan haidts ini. (Ta’liqat Al Hisan No. 1930)

Bagi yang menshahihkan tentu menjadikan hadits ini sebagai hujjah bahwa saat sujud hendaknya tumit bertemu atau rapat.

Sementara ulama lain mendhaifkan hadits ini, karena dalam sanadnya terdapat perawi bernama Yahya bin Ayyub Al Ghafiqi. Beliau pribadi yang kontroversi, ada yang mendhaifkan ada pula yang menyatakan tsiqah (terpercaya).

Ibnu Sa’ad mengatakan: “Dia haditsnya munkar.” (Ath Thabaqat Al Kubra No. 7090)

Al ‘Ijli mengatakan: “terpercaya.” (Ats Tsiqat No. 1791)

Yahya bin Ma’in mengatakan: “Orang mesir, shalih, dan terpercaya.” Sementara Abu Hatim berkata: “Haditsnya ditulis tapi tidak bisa dijadikan hujjah.” (Ibnu Abi Hatim, Al Jarh wat Ta’dil, 9/128)

Imam An Nasa’i mengatakan: “Tidak kuat dan tidak bisa dijadikan hujjah.” (Ibnul Jauzi, Adh Dhuafa wal Matrukin, No. 3694)

Imam Ahmad mengatakan: “Buruk hapalannya.” Imam Ad Daruquthni mengatakan: “Sebagian haditsnya goncang.” (Adz Dzahabi, Al Mughni fidh Dhuafa No. 6931)

Tapi, Imam Al Bukhari dan Imam Muslim memasukan Yahya bin Ayyub sebagai salah satu perawinya, dalam hadits-hadits yang sifatnya penguat saja.

Oleh karena itu, sebagaian ulama menganggap ini hadits dhaif, dan secara lafal juga syadz (janggal), karena bertentangan dengan hadits yang lebih shahih darinya. Apalagi Imam Al Hakim berkata:

وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ بِهَذَا اللَّفْظِ، لَا أَعْلَمُ أَحَدًا ذَكَرَ ضَمَّ الْعَقِبَيْنِ فِي السُّجُودِ غَيْرَ مَا فِي هَذَا الْحَدِيثِ

Imam Al Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkan dengan lafaz seperti ini. Aku tidak ketahui seorang pun yang menyebut adanya merapatkan dua mata kaki saat sujud selain yang ada pada hadits ini saja. (Al Mustadrak No. 832)

Dengan kata lain, inilah satu-satunya hadits yang menyebutkan merapatkan tumit atau mata kaki saat sujud.

Ada pun hadits yang lebih shahih tidak menyebutkan merapatkan kaki, yaitu:

فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ

Aku kehilangan Rasulullah ﷺ suatu malam dari pembaringannya, maka aku menyentuhnya, tanganku memegang bagian dalam kedua kakinya dan dia sedang dimasjid dan beliau berdiri. (HR. Muslim, 486/222)

Dalam riwayat lain:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا فَقَدَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مَضْجَعِهِ، فَلَمَسَتْهُ بِيَدِهَا، فَوَقَعَتْ عَلَيْهِ وَهُوَ سَاجِدٌ

Dari ‘Aisyah bahwa dia kehilangan Nabi ﷺ dari pembaringannya, dia menyentuhnya dengan tangannya dan nabi sedang sujud. (HR. Ahmad No. 25757. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: para perawinya terpercaya, semua perawinya Bukhari dan Muslim, kecuali Shalih bin Sa’id. Ibnu Hibban mengatakan terpercaya)

Nah, riwayat-riwayat ini tidak ada yang menyebutkan rapatnya kedua tumit saat sujud. Secara sanad pun ini yang lebih kuat dibanding sebelumnya. Inilah yang dipilih oleh banyak ulama, juga Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Muqbil, dan lainnya, bahwa saat sujud kedua telapak kaki direnggangkan.

Bacaan Saat sujud?

Ada beberapa versi dzikir dan doa sujud yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam contohkan, kita boleh memilihnya atau memakai semuanya.

Pertama

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى

Subhana Rabbiyal A’la (3x)

(HR. An Nasa’i no. 1133, shahih)

Kedua.

سُبْحَانَ رَبِّيَ الأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ ثَلاثًا

Subhana Rabbiyal a’la wabihamdih (baca saat sujud 3x)

(HR. Abu Daud no. 870. Shahih. Lihat Shifah Ash Shalah, Hal. 133)

Ketiga

سبوح قدوس رب الملائكة والروح

Subbuuhun quddus rabbul malaaikati war ruuh (baca saat ruku dan sujud)

(HR. Muslim no. 487)

Keempat

سبحانك اللهم ربنا وبحمدك اللهم اغفر لي

Subhanaka Allahumma rabbana wa bihamdika Allahummaghfir liy (baca saat ruku’ dan sujud)

(HR. Muttafaq ‘Alaih)

Kelima

اللهم اغفر لي ذنبي كله. دقه وجله. وأوله وآخره. وعلانيته وسره

Allahummaghfirli Dzanbi Kullahu Diqqahu Wajullahu Wa Awwalahu Wa Akhirahu Wa ‘Alaniyatahu Wa Sirrahu

“Ya Allah ampunilah dosa-dosaku semua, baik yang halus atau yang jelas, yang awal dan yang akhir, dan yang nampak dan tersembunyi. (HR. Muslim no. 483)

Tentang doa-doa di atas, Imam An Nawawiy menjelaskan:

ولكن الأفضل أن يجمعَ بين هذه الأذكار كلها إن تمكن من ذلك بحيث لا يشقّ على غيره ، ويقدّم التسبيح منها ، فإن أراد الاقتصارَ فيستحبُّ التسبيح . وأدنى الكمال منه ثلاث تسبيحات ، ولو اقتصر على مرّة كان فاعلاً لأصل التسبيح . ويُستحبّ إذا اقتصر على البعض أن يفعل في بعض الأوقات بعضها ، وفي وقت آخر بعضاً آخر ، وهكذا يفعل في الأوقات حتى يكون فاعلاً لجميعها ” انتهى

Tetapi yang lebih utama adalah menggabungkan semua itu kalau memungkinkan, dan tidak membuat berat orang lain (makmum). Bacaan tasbih hendaknya didahulukan. Kalau hendak baca yg pendek maka disunnahkan yang tasbih. Kesempurnaan yg minimal adalah dia baca 3 kali tasbih itu.

Juga disukai jika dia membaca yang pendek adalah satu jenis, maka di waktu lain jenis yg lain. Begitulah yg dia lalukan diberbagai kesempatan, sehingga semuanya pernah dibaca.

(Al Adzkar, Hal. 86)

Untuk berdoa di dalam sujud dengan selain bahasa Arab, penjelasannya ada di sini: Berdoa Di Dalam Shalat; Bolehkah Dengan Bahasa Selain Arab?

Makna “Rasulullah ﷺ memperpanjang sujud”

Maksud dari Rasulullah memperpanjang sujudnya adalah Rasulullah ﷺ memperlama sujudnya dengan dzikir dan doa. Bukan memperpanjang pose sujudnya seolah sedang hampir tiarap. Ini salah pemahaman.

Hal ini sebagaimana hadits berikut:

ثُمَّ سَجَدَ، فَأَطَالَ السُّجُودَ

Lalu Beliau sujud dan memanjangkan sujudnya. (HR. Bukhari no. 745, 1044)

Bahkan saking lamanya Rasulullah ﷺ sujud diceritakan dalam riwayat lain dari Ibnu Khuzaimah tentang sujudnya shalat Kusuf:

ثمَّ سجد فَأطَال حَتَّى قيل: لَا يرفع

Lalu Beliau sujud dan memanjangkan sujudnya, sampai-sampai dikatakan Beliau tidak bangun. (HR. Ibnu Khuzaimah no. 1393. Hadits ini shahih. Lihat Tuhfah al Ahwadzi, 3/143)

Jadi, demikianlah makna memanjangkan sujud yaitu memperlama sujud dengan dzikir dan doa.

Hal ini sesuai dengan hadits lainnya, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

“Posisi paling dekat antara hamba dengan Rabbnya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah kalian berdoa.”

(HR. Muslim no. 482)

Sujud yang manakah itu?

Sebagian orang ada yang memanjangkan sujud terakhir. Sebenarnya tidak ada petunjuk khusus tentang itu. Bebas saja, di sujud awal, tengah, atau akhir. Semua silahkan saja, asalkan lihat-lihat kondisi makmum jika dia sebagai imam sebab bisa jadi ada makmum yang sakit, lemah, atau tua.

Sebenarnya, lamanya sujud Rasulullah ﷺ seimbang dengan posisi lainnya. Hal ini diterangkan oleh berita dari Al Bara bin ‘Azib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كَانَ رُكُوعُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسُجُودُهُ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ وَبَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ قَرِيبًا مِنْ السَّوَاءِ

Adalah Nabi ﷺ pada saat ruku, sujud, dan jika bangun dari ruku’nya (i’tidal), serta duduk di antara dua sujud, lama (tuma’ninah)-nya kurang lebih sama.

(HR. Muttafaq ‘Alaih)

Sebagian ulama ada yang menilai mengkhususkan sujud akhir sebagai momen memperlama sujud adalah hal yang tidak berdasar oleh karena itu tidak dipantas dilakukan. Misal, pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah yang mengatakan:

الإطالة في السجدة الأخيرة ليست من السنة لأن السنة أن تكون أفعال الصلاة متقاربة الركوع والرفع منه والسجود والجلوس بين السجدتين كما قال ذلك البراء بن عازب رضي الله عنه قال (رمقت الصلاة مع النبي صلى الله عليه وسلم فوجدت قيامه فركوعه فسجوده فجلسته ما بين التسليم والانصراف قريباً من السواء) هذا هو الأفضل ولكن هناك محلٌ للدعاء غير السجود وهو التشهد فإن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم لما علم عبد الله بن مسعود التشهد قال (ثم ليتخير من الدعاء ما شاء) فليجعل الدعاء قل أو كثر بعد التشهد الأخير قبل أن يسلم

Memperpanjang sujud terakhir bukanlah bagian dari sunah, karena sunahnya adalah gerakan-gerakan dalam shalat itu hampir sama seperti ruku’, bangun dari ruku, sujud, dan duduk di antara dua sujud, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Bara bin ‘Azib Radhiallahu ‘Anhu : (Aku shalat bersama Nabi ﷺ dan aku dapatkan bahwa lamanya Beliau berdiri, ruku, sujud, dan duduknya antara salam dan selesainya, adalah mendekati sama). Inilah yang lebih utama, tetapi ada tempat lain untuk berdoa selain ketika sujud, yaitu pada saat tasyahud, sebab Nabi ﷺ ketika mengetahui Abdullah bin Mas’ud sedang tasyahud, Beliau berkata:

(Kemudian hendaknya kamu pilih doa apa pun yang kamu kehendaki), maka hendaknya dia berdoa sedikit atau banyak setelah tasyahud akhir sebelum salam.

(Fatawa Nuur ‘Alad Darb, 134/7)

Namun, jika dia memanjangkan sujud akhirnya, hal itu tidak merusak shalatnya, shalatnya tetap sah.

Demikian. Wallahu A’lam

[Fiqih Berdoa] Hukum Mengusap Wajah Setelah Berdoa

💦💥💦💥💦💥💦

Secara umum ada dua kelompok ulama dalam memposisikan ini; melarang dan membolehkan. Berikut ini rinciannya.

📚Para ulama yang melarang, baik memakruhkan bahkan membid’ahkan

1. Imam Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu

Tertulis dalam kitab Mukhtashar Kitab Al Witr:

وسئل عبد الله رضي الله عنه عن الرجل يبسط يديه فيدعو ثم يمسح بهما وجهه فقال كره ذلك سفيان

Abdullah -yakni Abdullah bin Al Mubarak- ditanya tentang seorang laki-laki menengadahkan kedua tangannya dia berdoa, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, Beliau menjawab: “Sufyan memakruhkan hal itu.” (Mukhtashar Kitab Al Witr, Hal. 162)

2. Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu

Imam Ahmad bin Ali Al Muqrizi menceritakan:

وسئل مالك رحمه الله تعالى عن الرجل يمسح بكفيه وجهه عند الدعاء فأنكر ذلك وقال: ما علمت

Imam Malik Rahimahullah ditanya tentang seorang laki-laki yang mengusap wajahnya dengan kedua tangannya ketika berdoa, lalu dia mengingkarinya, dan berkata: “Aku tidak tahu.” (Mukhtashar Kitab Al Witri, Hal. 152)

3. Imam Abdullah bin Al Mubarak Radhiallahu ‘Anhu

Imam Al Baihaqi meriwayatkan dalam As Sunan Al Kubra:

عَلِىُّ الْبَاشَانِىُّ قَالَ : سَأَلَتُ عَبْدَ اللَّهِ يَعْنِى ابْنَ الْمُبَارَكِ عَنِ الَّذِى إِذَا دَعَا مَسَحَ وَجْهَهُ ، قَالَ : لَمْ أَجِدْ لَهُ ثَبَتًا. قَالَ عَلِىٌّ : وَلَمْ أَرَهُ يَفْعَلُ ذَلِكَ. قَالَ : وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ يَقْنُتُ بَعْدَ الرُّكُوعِ فِى الْوِتْرِ ، وَكَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ

Ali Al Basyani berkata: Aku bertanya kepada Abdullah –yakni Abdullah bin Al Mubarak- tentang orang yang jika berdoa mengusap wajahnya, Beliau berkata: “Aku belum temukan riwayat yang kuat.” Ali berkata: “Aku tidak pernah melihatnya melakukannya.” Aku melihat Abdullah melakukan qunut setelah ruku dalam witir, dan dia mengangkat kedua tangannya. (As Sunan Al Kubra No. 2970)

Imam Ibnul Mulaqin mengutip dari Imam Al Baihaqi sebagai berikut:

ثمَّ رَوَى بِإِسْنَادِهِ عَن ابْن الْمُبَارك أَنه سُئِلَ عَن مسح الْوَجْه إِذا دَعَا الْإِنْسَان قَالَ : لم أجد لَهُ شَاهدا . هَذَا آخر كَلَام الْبَيْهَقِيّ

Kemudian Beliau (Al Baihaqi) meriwayatkan dengan isnadnya, dari Ibnul Mubarak bahwa dia ditanya tentang mengusap wajah jika manusia berdoa, Beliau menjawab: “Saya belum temukan syahid-(hal yang menguatkan)nya.” Inilah akhir ucapan Al Baihaqi (Imam Ibnul Mulaqin, Al Badrul Munir, 3/640)

4. Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu

Imam Ibnul Mulaqin Rahimahullah menuliskan:

وَقَالَ أَحْمد : لَا يعرف هَذَا أَنه كَانَ يمسح وَجهه بعد الدُّعَاء إِلَّا عَن الْحسن

Berkata Imam Ahmad: “Tidak diketahui hal ini, tentang mengusap wajah setelah doa, kecuali dari Al Hasan.” (Ibid, 3/639)

5. Imam Al Baihaqi Rahimahullah

Beliau berkata:

فأما مسح اليدين بالوجه عند الفراغ من الدعاء فلست أحفظه عن أحد من السلف في دعاء القنوت وإن كان يروي عن بعضهم في الدعاء خارج الصلاة وقد روي فيه عن النبي صلى الله عليه و سلم حديث فيه ضعف وهو مستعمل عند بعضهم خارج الصلاة وأما في الصلاة فهو عمل لم يثبت بخبر صحيح ولا أثر ثابت ولا قياس فالأولى أن لا يفعله ويقتصر على ما فعله السلف رضي الله عنهم من رفع اليدين دون مسحهما بالوجه في الصلاة وبالله التوفيق

Ada pun mengusap wajah dengan kedua tangan setelah selesai doa, maka tak ada satu pun yang saya hafal dari kalangan salaf yang melakukan pada doa qunut, kalau pun ada adalah riwayat dari mereka pada doa di luar shalat. Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hadits dhaif tentang masalah ini. Sebagian mereka menggunakan hadits ini untuk berdoa di luar shalat, ada pun dalam shalat itu adalah perbuatan yang tidak dikuatkan oleh riwayat yang shahih, tidak pula atsar yang kuat, dan tidak pula qiyas. Maka, yang lebih utama adalah tidak melakukannya, dan hendaknya mencukupkan dengan apa yang dilakukan para salaf –Radhiallahu ‘Anhum- berupa mengangkat kedua tangan tanpa mengusap wajah dalam shalat. Wa billaahit taufiq. (As Sunan Al Kubra No. 2968)

6. Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam Rahimahullah

Imam Al Munawi Rahimahullah menyebutkan dari Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam, kata Beliau:

لا يمسح وجهه إلا جاهل

Tidak ada yang mengusap wajah

melainkan orang bodoh. (Faidhul Qadir, 1/473. Lihat juga Mughni Muhtaj, 2/360)

7. Imam An Nawawi Rahimahullah

Imam An Nawawi menyatakan yang benar adalah berdoa mengangkat kedua tangan tetapi tanpa mengusap wajah, berikut ini ucapannya:

والحاصل لاصحابنا ثلاثة أوجه (الصحيح) يستحب رفع يديه دون مسح الوجه (والثاني) لا يستحبان (والثالث) يستحبان وأما غير الوجه من الصدر وغيره فاتفق أصحابنا علي أنه لا يستحب بل قال ابن الصباغ وغيره هو مكروه والله أعلم

Kesimpulannya, para sahabat kami (Syafi’iyah) ada tiga pendapat; (yang shahih) disunnahkan mengangkat kedua tangan tetapi tanpa mengusap wajah, (kedua) tidak disunnahkan keduanya, (ketiga) disunnahkan keduanya. Ada pun selain wajah, seperti dada dan selainnya, para sahabat kami sepakat bahwa hal itu tidak dianjurkan, bahkan Ibnu Ash Shabagh mengatakan hal itu makruh. Wallahu A’lam (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/501)

8. Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Beliau berkata:

وَأَمَّا رَفْعُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ: فَقَدْ جَاءَ فِيهِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ صَحِيحَةٌ، وَأَمَّا مَسْحُهُ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ فَلَيْسَ عَنْهُ فِيهِ إلَّا حَدِيثٌ، أَوْ حَدِيثَانِ، لَا يَقُومُ بِهِمَا حُجَّةٌ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.

Ada pun Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengangkat kedua tangan ketika berdoa, hal itu telah diterangkan dalam banyak hadits shahih, sedangkan mengusap wajah dengan kedua tangannya, maka tidak ada yang menunjukkan hal itu kecuali satu hadits atau dua hadits yang keduanya tidak bisa dijadikan hujjah. Wallahu A’lam (Al Fatawa Al Kubra, 2/219, Majmu’ Al Fatawa, 22/519, Iqamatud Dalil ‘Ala Ibthalit Tahlil, 2/408)

9. Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah

Berikut fatwa ini Beliau:

السؤال: ذكرتم حكم رفع اليدين في الدعاء، فما القول في مسح الوجه بهما؟ الجواب: لم يثبت، وقد ورد فيه أحاديث ضعيفة، والسنة أن ترفع الأيدي ثم تنزل بدون مسح

Pertanyaan:

Anda telah menyebutkan hukum tentang mengangkat kedua tangan ketika doa, lalu apa pendapat Anda tentang mengusap wajah dengan keduanya?

Jawaban:

Tidak shahih, hadits-hadits yang ada tentang hal itu adalah lemah, dan sunnahnya adalah Anda mengangkat kedua tangan kemudian menurunkannya dengan tanpa mengusap wajah. (Syarh Sunan Abi Daud, 15/145)

Pada halaman lain juga tertulis demikian:

السؤال: هل ننكر على من يمسح وجهه بعد الدعاء؟ الجواب: لم ترد في هذا سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، فيبين لمن يعمل ذلك أنه ما ثبت في هذا شيء، إنما الثابت هو رفع اليدين، وأما مسح الوجه باليدين بعد الدعاء فقد وردت فيه أحاديث ضعيفة

Pertanyaan:

Apakah kita mesti mengingkari orang yang mengusap wajahnya setelah berdoa?

Jawaban:

Tidak ada sunah yang valid dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang masalah ini, maka hendaknya dijelaskan kepada orang yang melakukannya bahwa hal itu tidak ada satu pun yang kuat haditsnya. Yang kuat adalah mengangkat kedua tangan, ada pun mengusap wajah dengan kedua tangan setelah doa telah ada hadits-hadits lemah yang membicarakannya. (Ibid, 15/474)

10. Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah

Beliau berkata:

وأما مسح الوجه عقب الدعاء فلم يثبت فيه حديث صحيح ، بل إن بعض أهل العلم نصوا على بدعيته انظر معجم البدع (ص 227)

فلا تفعل أنت البدعة ولا تُشارك فيها ولكن انصح وأمر بالسنّة وذكّر النّاس وأخبرهم بالحكم الشّرعي

Ada pun mengusap wajah setelah berdoa, tidak ada hadits kuat lagi shahih tentang hal itu, bahkan sebagian ulama ada yang menyebutkan bid’ahnya hal itu. Lihat Mu’jam Al Bida’ (Hal. 227).

Maka, jangan Anda lakukan bid’ah, dan jangan berpartisipasi di dalamnya, tetapi hendaknya menasihatkan dan memerintahkan dengan sunah, serta mengingatkan manusia dan mengabarkan mereka terhadap hukum-hukum syar’i. (Fatawa Al Islam Sual wa Jawab, Hal. 5538)

11. Fatwa Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah

Beliau berkata:

وأما مسح الوجه بعد الدعاء فمسألة خلافية بين العلماء، منهم من استحبه ومنهم من منعه، والأمر واسع في ذلك وإن كنا نرجح من باب الورع عدم المسح، لأن الحديث الوارد في المسح لا يخلو من كلام، ولعدم اشتهار ذلك عند السلف. والله أعلم

Ada pun mengusap wajah setelah doa, maka ini adalah persoalan yang diperselisihkan para ulama. Di antara mereka ada yang menyunahkannya dan ada pula yang melarangnya. Dan, masalah ini adalah masalah yang lapang. Sedangkan kami menguatkan diri sisi kehati-kehatian untuk tidak mengusap, karena hadits-hadits yang ada dalam masalah ini tidak kosong dari perbincangan para ulama, serta tidak ada yang masyhur dari kalangan salaf yang melakukan hal ini. Wallahu A’lam (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah No. 36932)

12. Fatwa Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi Rahimahullah

Berikut ini fatwanya:

سئل الشيخ : ما حكم مسح الوجه باليدين بعد الانتهاء من الدعاء وهل ورد فيه حديث عن النبى صلى الله عليه وسلم ؟

فقال الشيخ – رحمه الله – : ليس مسح الوجه بعد الدعاء من السنة بل هو بدعة لان مسح الوجه باليدين عقب دعاء يعتبر نسك وعبادة وهو لم يثبت ان النبي صلى الله عليه وسلم فعله فيكون بدعة فى الدين والحديث الذى ورد فى هذا ضعيف ولم يصح

Syaikh ditanya: Apa hukum mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdoa, apakah ada hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang ini?

Syaikh Rahimahullah menjawab:

Mengusap wajah setelah berdoa bukan termasuk sunah, bahkan itu adalah bid’ah, karena mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdoa telah dianggap sebagai ibadah. Hal itu tidak ada yang shahih dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka itu adalah bid’ah dalam agama. Sedangkan hadits yang membicarakan ini adalah lemah dan tidak shahih. (Fatawa Asy Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, Hal. 315)

13. Fatwa Syaikh Sulaiman bin Wail At Tuwaijiri

Beliau berkata:

مسح الوجه بعد الدعاء ورد فيه أحاديث، ورجال الجرح والتعديل طعنوا فيها، فهي لا ترتقي إلى درجة العمل بها، ويبقى الأمر على ما هو الأصل فيه وهو عدم المسح؛ لأن الأحاديث الواردة في المسح ليست بصحيحة، ولا ترتقي إلى درجة الاحتجاج بها. انظر مثلاً ما رواه أبو داود (1485)، وابن ماجة (1181) من حديث ابن عباس -رضي الله عنهما- بإسناد ضعيف

Telah datang sejumlah hadits tentang mengusap wajah setelah doa, dan para ulama Al Jarh wat Ta’dil telah mengkritiknya, sehingga hadits tersebut tidak terangkat mencapai derajat yang layak diamalkan, jadi masalah ini dikembalikan kepada hukum asalnya yaitu tidak mengusap wajah, karena hadits-hadits tentang mengusap wajah tidak ada yang shahih, dan tidak terangkat sampai derajat yang bisa dijadikan hujjah. Lihat misalnya riwayat Abu Daud (1485), Ibnu Majah (1181) dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, dengan isnad yang dhaif. (Fatawa Istisyaraat Al Islam Al Yaum, 14/224)

📚Para Ulama Yang Membolehkan dan Menyunahkan

1. Sahabat nabi, Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Zubeir Radhiallahu ‘Anhuma

Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam Adabul Mufrad:

عن أبى نعيم وهو وهب قال : رأيت بن عمر وبن الزبير يدعوان يديران بالراحتين على الوجه

Dari Abu Nu’aim –dia adalah Wahb, berkata: “Aku melihat Ibnu Umar dan Ibnu Az Zubeir mereka mengusap wajah dengan telapak tangannya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 609. Dihasankan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Amali Al Adzkar. Lihat Al Fatawa Al Haditsiyah, Hal. 55. Sementara Syaikh Al Albani mendhaifkannya. Lihat Dhaif Adabil Mufrad No. 609)

2. Imam Al Hasan bin Abil Hasan Radhiallahu ‘Anhu

Disebutkan dalam Mukhtashar Kitab Al Witr:

وعن المعتمر رأيت أبا كعب صاحب الحرير يدعو رافعا يديه فإذا فرغ من دعائه يمسح بهما وجهه فقلت له من رأيت يفعل هذا فقال الحسن

Dari Al Mu’tamar: aku melihat Abu Ka’ab pengarang Al Harir berdoa dengan mengangkat kedua tangannya, lalu ketika dia selesai berdoa, dia mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Lalu aku bertanya kepadanya: “Siapa orang yang kau lihat melakukan ini?” Beliau menjawab: “Al Hasan.” (Imam Ahmad bin Ali Al Muqrizi, Mukhtashar Kitab Al Witr, Hal. 152)

Imam As Suyuthi mengatakan: “isnadnya hasan.” (Lihat Fadhul Wi’a, No. 59)

3. Imam Ishaq bin Rahawaih Radhiallahu ‘Anhu

Beliau termasuk yang menganggap baik menggunakan hadits-hadits tentang mengusap wajah setelah doa sebagai dalilnya. Berikut ini keterangannya:

قال محمد بن نصر ورأيت إسحاق يستحسن العمل بهذه الأحاديث

Berkata Muhammad bin Nashr: Aku melihat Ishaq menganggap baik beramal dengan hadits-hadits ini. (Ibid)

4. Imam Al Khathabi Rahimahullah

Beliau mengomentari perkataan  yang menyebut “bodoh” orang yang mengusap wajah setelah berdoa, katanya:

وَقَوْل بَعْضِ الْفُقَهَاءِ فِي فَتَاوِيهِ : وَلاَ يَمْسَحُ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ عَقِبَ الدُّعَاءِ إِلاَّ جَاهِلٌ ، مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَطَّلِعْ عَلَى هَذِهِ الأْحَادِيثِ

Pendapat sebagian fuqaha dalam fatwa mereka:  “tidaklah mengusap wajah dengan kedua tangannya setelah berdoa melainkan orang bodoh”, bisa jadi bahwa dia belum menelaah masalah ini dalam banyak hadits. (Al Futuhat Ar Rabbaniyah ‘Alal Adzkar, 7/258)

5. Imam Az Zarkasyi Rahimahullah

Beliau  berkomentar mirip dengan Imam Al Khathabi.

Katanya:

وأما قول العز في فتاويه الموصلية: مسح الوجه باليد بدعة في الدعاء لا يفعله إلا جاهل, فمحمول على أنه لم يطلع على هذه الأحاديث وهي وإن كانت أسانيدها لينة لكنها تقوى باجتماع طرقها

Ada pun perkataan Al ‘Izz (bin Abdissalam) dalam fatwanya: mengusap wajah dengan tangan adalah bid’ah dalam doa, dan tidak ada yang melakukannya kecuali orang bodoh, maka dimungkinkan bahwa dia belum mengkaji hadits-hadits yang berkenaan masalah ini, walaupun sanad-sanadnya lemah tetapi menjadi kuat dengan mengumpulkan banyak jalurnya. (Al Juz’u fi mashil wajhi, Hal. 26)

6. Imam Amir Ash Shan’ani Rahimahullah

Beliau berkata:

وعن عمر رضي الله عنه قال: “كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا مد يديه في الدعاء لم يردهما حتى يمسح بهما وجهه” أخرجه الترمذي وله شواهد منها حديث ابن عباس عند أبي داود وغيره ومجموعها يقضي بأنه حديث حسن وفيه دليل على مشروعية مسح الوجه باليدين بعد الفراغ من الدعاء

Dari Umar Radhiallahu ‘Anhu, katanya: “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika mengangkat kedua tangannya dalam berdoa, dia tidak akan mengembalikannya sampai mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.” Dikeluarkan oleh At Tirmidzi dan memiliki beberapa syawahid (saksi penguat), di antaranya adalah hadits dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan selainnya. Kumpulan semuanya mencukupi hadits ini dihukumi hasan. Pada hadits ini terdapat dalil disyariatkannya mengusap wajah dengan kedua telapak tangan setelah selesai shalat. (Subulus Salam, 4/219, Maktabah Mushthafa Al Baabi Al Halabi)

7. Lajnah Ulama penyusun kitab Al Fatawa Al Hindiyah

Mereka mengatakan:

قِيل مَسْحُ الْوَجْهِ بِالْيَدَيْنِ لَيْسَ بِشَيْءٍ ، وَكَثِيرٌ مِنْ مَشَايِخِنَا اعْتَبَرُوا مَسْحَ الْوَجْهِ هُوَ الصَّحِيحَ وَبِهِ وَرَدَ الْخَبَرُ

Dikatakan bahwa mengusap wajah

dengan kedua tangan adalah bukan apa-apa. Banyak guru-guru kami yang menyebutkan bahwa mengusap kedua tangan adalah benar adanya, dan telah ada riwayat tentang itu. (Al Fatawa Al Hindiyah, 5/318)

8. Syaikh Abul ‘Ala Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarkafuri Rahimahullah

Beliau berkata dalam kitabnya Tuhfah Al Ahwadzi:

أي لم يضعهما ( حتى يمسح بهما وجهه ) قال بن الملك وذلك على سبيل التفاؤل فكأن كفيه قد ملئتا من البركات السماوية والأنوار الإلهية

Yaitu Beliau tidak meletakkan kedua tangannya (sampai Beliau mengusap wajahnya dengan keduanya) berkata Ibnul Malak hal itu menunjukkan rasa optimis yang kuat seakan kedua telapak tangannya telah dipenuhi oleh keberkahan dari langit dan cahaya ketuhanan. (Tuhfah Al Ahwadzi, 9/232. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

9. Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah:

Fatwa pertama:

والسؤال هو : ما حكم مسح الوجه باليدين بعد الدعاء وخاصة بعد دعاء القنوت وبعد النوافل ؟ حفظكم الله وأثابكم ، والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

ج : وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته.

بعده : حكمه أنه مستحب ؛ لما ذكره الحافظ في البلوغ في باب الذكر والدعاء ، وهو آخر باب في البلوغ أنه ورد في ذلك عدة أحاديث مجموعها يقضي بأنه حديث حسن ، وفق الله الجميع والسلام عليكم.

Pertanyaan:

Apa hukum mengusap wajah dengan kedua tangan setelah doa, khususnya setelah doa qunut dan setelah nawafil (shalat sunah)? Semoga Allah menjaga dan memberikan ganjaran buat Anda. Wassalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Jawaban:

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Hukumnya adalah sunah, sebagaimana yang disebutkan oleh Al Hafizh (Ibnu Hajar) dalam Bulughul Maram pada Bab Adz Dzikr wad Du’a, yaitu pada bab terakhir kitab Bulughul Maram, bahwasanya terdapat beberapa hadits tentang itu yang jika dikumpulkan semuanya mencapai derajat hasan. Semoga Allah memberi taufiq. Wassalamu ‘Alaikum.

(Lihat Majmuu’ Fatawaa Ibni Baaz, 26/148)

Fatwa kedua: (Jawaban Syaikh Ibnu Baaz agak berbeda dengan fatwa pertama)

وأما مسح الوجه فلم يحفظ في الأحاديث الصحيحة، ولكن جاء في أحاديثها ضعف فذهب بعض أهل العلم بأنه لا مانع من ذلك؛ لأنها يشد بعضها بعضا ، ويقوي بعضها بعضا إذا مسحه، فلا بأس، لكن الأفضل والأولى الترك؛ لأن الأحاديث الصحيحة ليس فيها مسح بعد الدعاء.

Ada pun mengusap wajah, tidak ada yang terekam dalam hadits-hadits shahih, tetapi adanya dalam hadits-hadits dhaif. Pendapat sebagian ulama adalah bahwa hal itu tidak terlarang, karena hadits tersebut satu sama lain saling menguatkan, jadi jika dia mengusapnya tidak apa-apa, tetapi lebih utama dan pertama adalah meninggalkannya, karena hadits-hadits shahih tidak menyebutkan mengusap wajah setelah doa. (Lihat Majmuu’ Fatawaa Ibni Baaz, 30/43-44)

Sebelumnya beliau menyatakan sunah, namun yang ini menyatakan tidak apa-apa, tetapi lebih baik ditinggalkan.

10. Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah:

Fatwa pertama:

هل يسن مسح الوجه باليدين بعد الدعاء أم أن هذا بدعة؟

فأجاب رحمه الله تعالى: اختلف أهل العلم في هذا فمنهم من قال إنه ينبغي إذا فرغ من الدعاء وهو رافعٌ يديه أن يمسح بهما وجهه واستدلوا بحديث ضعيف لكن قال ابن حجر رحمه الله له طرقٌ يقوي بعضها بعضاً ومجموعها يقضي بأنه حديثٌ حسن ومن العلماء من قال إنه لا يمسح وجهه بيديه والأحاديث في هذا ضعيفة فيكون مسحه بيديه بدعة وإلى هذا ذهب شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله وأرى أنه لا ينكر على من مسح ولا يؤمر بمسح من لم يمسح.

Apakah disunnahkan mengusap wajah dengan kedua tangan setelah doa ataukah itu perbuatan bid’ah?

Jawaban Syaikh Rahimahullah:

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Di antara mereka ada yang menganjurkan jika selesai doa dan dia dalam keadaan mengangkat kedua tangannya, hendaknya mengusap wajahnya dengan keduanya. Mereka berdalil dengan hadits dhaif tetapi Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan bahwa hadits tersebut memiliki beberapa jalan yang saling menguatkan satu sama lain, dan kumpulan semuanya telah mencukupi hadits itu menjadi hasan.

Di antara ulama ada yang mengatakan tidak usah mengusap wajah dengan kedua tangan, dan hadits-hadits dalam masalah ini dhaif, maka mengusap wajah dengan kedua tangan adalah bid’ah. Inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah. Saya b

erpendapat hendaknya jangan diingkari orang yang mengusap wajahnya, dan tidak pula diperintahkan untuk mengusap wajah bagi orang yang tidak mengusapnya. (Selesai fatwa pertama).

Fatwa kedua:

ما حكم مسح اليدين على الوجه بعد الدعاء؟

فأجاب رحمه الله تعالى: الصحيح أنه لا يسن مسح الوجه بهما لأن الأحاديث الواردة في ذلك ضعيفة جدا لا تقوم بها حجة ولا يلتئم بعضها ببعض فالصواب أن مسح الوجه باليدين بعد الدعاء ليس بسنة ولكن الإنسان لا يفعله ولا ينكر على من فعله لأن بعض العلماء استحبه.

Apakah hukum mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdoa?

Jawaban Syaikh Rahimahullah:

Yang benar adalah tidak disunnahkan mengusap wajah dengan kedua tangan, karena hadits-hadits yang berkenaan hal itu sangat lemah (dhaif jiddan). Tidak bisa berhujjah dengannya dan tidak dapat dikumpulkan satu sama lainnya. Jadi, yang benar adalah mengusap wajah dengan kedua tangan setelah doa adalah bukan sunah. Tetapi manusia tidak melakukannya, dan jangan diingkari orang yang melakukannya, karena sebagian ulama ada yang menyunahkannya. (selesai fatwa kedua)

(Lihat keduanya dalam Fatawaa Nuur ‘Alad Darb Lil Utsaimin, Kitab Fatawa Mutafariqaat, Bab Ad Du’a, Hal. 50)

Fatwa ketiga:

السؤال
ما حكم مسح الوجه باليدين بعد الدعاء؟
الجواب
يرى بعض أهل العلم أنه من السنة، ويرى شيخ الإسلام أنه من البدعة، وهذا بناءً على صحة الحديث الوارد في هذا، والحديث الوارد في هذا قال شيخ الإسلام : إنه موضوع.
يعني: مكذوب على الرسول صلى الله عليه وسلم.
والذي أرى في المسألة: أن من مسح لا ينكر عليه، ومن لم يمسح لا ينكر عليه، وهو أقرب إلى السنة ممن مسح.

Pertanyaan:

Apa hukum mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdoa?

Jawaban:

Sebagian ulama berpendapat hal itu sunah, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat itu adalah bid’ah. Perbedaan ini terjadi karena terkait keshahihan hadits yang ada tentang masalah ini. Hadits yang ada menurut Syaikhul Islam adalah palsu (maudhu’), yakni dusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Saya berpendapat dalam masalah ini bahwa mengusap wajah jangan diingkari, dan orang yang tidak mengusap wajah juga jangan diingkari, inilah sikap yang lebih dekat dengan sunah terhadap orang yang mengusap wajahnya. (Selesai fatwa ketiga)

(Lihat Liqaa’ Al Baab Al Maftuuh, 197/27)

11. Fatwa Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin Rahimahullah

Beliau berkata ketika ditanya hukum mengusap wajah setelah berdoa:

أما مسألة مسح الوجه فقد ورد فيها أحاديث لا تخلو من مقال، وإن كان مجموعها حسناً، فقد حسنها الحافظ ابن حجر ، بمجموعها لا بأفرادها، يقول الحافظ رحمه الله: إنها تبلغ درجة الحسن كما نبه على ذلك في آخر بلوغ المرام، لكن ورد العمل بها عن الصحابة وعن الأئمة وعن التابعين وعلماء الأمة، فورد أنهم كانوا يرفعون أيديهم ثم يمسحون بها وجوههم، فأصبح العمل بها من الصحابة دليل على أنهم تأكدوا من مشروعية ذلك

Adapun pertanyaan tentang mengusap wajah, telah terdapat beberapa hadits tentang hal itu namun tidak sepi dari pembicaraan ulama, yang jika semuanya dikumpulkan hadits tersebut menjadi hasan. Al Hafizh Ibnu Hajar telah menghasankannya, dengan terkumpulnya hadits itu bukan secara satu-satu. Berkata Al Hafizh Rahimahullah: “Sesungguhnya hadits tersebut telah sampai derajat hasan,” sebagaimana yang Beliau kabarkan pada akhir kitab Bulughul Maram. Namun, telah sampai kabar bahwa hal itu dilakukan oleh para sahabat, para imam, para tabi’in, dan ulama umat. Telah warid (datang) berita bahwa mereka mengangkat kedua tangan lalu mengusap wajah mereka dengan kedua tangan mereka. Maka, para sahabat telah melakukan perbuatan ini, dan itu menjadi dalil bahwa mereka menguatkan disyariatkannya perbuatan ini. (Syarh ‘Umdatul Ahkam, 21/37)

Demikian. Semoga bermanfaat. Tetap jaga adab terhadap masalah khilafiyah.

Wa Shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam.

🍃🌻🌸🌾🌺☘🌷🌴

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top