Wafat Belum Berbai’at Kepada Pemimpin Matinya Jahiliyah?

💢💢💢💢💢💢💢

📌 Sebagian orang ada yang memahami seperti ini, sehingga mereka menganggap kafir orang yang tidak berbai’at dengan pimpinan kelompok mereka.

📌 Mereka beralasan dengan hadits berikut:

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallalalhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa yang mati dan dilehernya tidak ada bai’at maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Muslim No. 1851)

📌 Maksud “jahiliyah” dalam hadits ini adalah BUKAN JAHILIYAH ORANGNYA seperti sangkaan mereka, tapi jahiliyah dalam arti seolah dia mati di zaman jahiliyah, zaman di mana tidak ada pemimpin. Begitulah penjelasan para ulama.

📌 Imam An Nawawi dalam Syarah-nya atas Shahih Muslim, tentang makna miitatan jahiliyah berikut:

هِيَ بِكَسْرِ الْمِيم ، أَيْ : عَلَى صِفَة مَوْتهمْ مِنْ حَيْثُ هُمْ فَوْضَى لَا إِمَام لَهُمْ

Dengan huruf mim dikasrahkan (jadi bacanya miitatan bukan maitatan), artinya kematian mereka disifati sebagaimana mereka dahulu tidak memiliki imam (pada masa jahiliyah).

(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 12/238)

📌 Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menjelaskan:

وَالْمُرَادُ بِالْمِيتَةِ الْجَاهِلِيَّةِ وَهِيَ بِكَسْرِ الْمِيمِ أَنْ يَكُونَ حَالُهُ فِي الْمَوْتِ كَمَوْتِ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ عَلَى ضَلَالٍ وَلَيْسَ لَهُ إمَامٌ مُطَاعٌ لِأَنَّهُمْ كَانُوا لَا يَعْرِفُونَ ذَلِكَ ، وَلَيْسَ الْمُرَادُ أَنْ يَمُوتَ كَافِرًا بَلْ يَمُوتَ عَاصِيًا

Dan yang dimaksud dengan miitatan jahiliyah dengan huruf mim yang dikasrahkan adalah dia mati dalam keadaan seperti matinya ahli jahiliyah yang tersesat di mana dia tidak memiliki imam yang ditaati karena mereka tidak mengenal hal itu, dan bukanlah yang dimaksud matinya kafir tetapi mati sebagai orang yang bermaksiat.

(Fathul Bari, 13/7)

📌 Imam Al Waqidi mencatat ada 7 orang sahabat nabi yang tidak memberikan bai’at pada Khalifah Ali Radhiallahu ‘Anhu yaitu: Sa’ad bin Abi Waqqash, AbdullaH bin Umar, Shuhaib bin Sinan, Zaid bin Tsabbit, Muhammad bin Maslamah, Salamah bin Aqwa’ dan Usamah bin Zaid Radhiallahu ‘Anhum. (Tarikh Ar Rusul, 4/429)

📌 Imam Ath Thabari menceritakan, bahwa Ali Radhiallah ‘Anhu berkata pada Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiallahu ‘Anhu: “Berbai’atlah Engkau!” Sa’ad menjawab: “Aku tidak akan berbai’at sebelum orang-orang semua berbai’at. Tapi demi Allah tidak ada persoalan apa-apa bagiku.” Mendengar itu Ali berkata: “Biarkanlah dia.”
Lalu Ali menemui Ibnu Umar dan berkata yang sama, maka jawab Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma: “Aku tidak akan berbai’at sebelum orang-orang semua berbai’at.” Jawab Ali: “Berilah aku jaminan.” Jawab Ibnu Umar : “Aku tidak punya orang yang mampu memberi jaminan.” Lalu Al Asytar berkata: “Biar kupenggal lehernya!” Jawab Ali : “Akulah jaminannya, biarkan dia.” (Imam Ibnu Hazm, Al Fashl fil Milal wal Ahwa’ An Nihal, 4/103)

📌 Penjelasan ulama dan kenyataan sejarah ini menunjukkan kelirunya pihak yang mengkafirkan orang yang tidak berbai’at kepada pemimpin.

📌 Zaman ini implementasi bai’at sudah terpenuhi dengan orang-orang yang memilihmya saat pemilihan, atau ketika seorang pemimpin sudah dilantik dan tidak ada yang menentangnya.

Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam.

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Salah Satu Tanda Taqwa: Menafkahi Keluarga

💢💢💢💢💢💢💢

📌 Allah ﷻ menceritakan salah satu ciri orang bertaqwa adalah dalam surat Al Baqarah, ayat 3

📌 Bunyinya:

وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ

dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka

📌 Salah satu makna ayat tersebut seperti penjelasan Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu :

نفقة الرجل على أهله

Nafkah seorang laki-laki (suami) kepada keluarganya

(Al Mawardi, An Nukat wa Al’ Uyun, jilid. 1, hal. 70)

📌 Imam Al Qurthubi Rahimahullah menjelaskan alasannya:

لأن ذلك أفضل النفقة

Karena nafkah kepada keluarga adalah sebaik-baiknya nafkah (infaq). (Al Jami’ Li Ahkamil Quran, Jilid. 1, hal. 155)

📌 Apa yang dikatakan oleh Imam Al Qurthubi Rahimahullah berdasarkan hadits berikut:

دينار أنفقته في سبيل الله ودينار أنفقته في رقبة ودينار تصدقت به على مسكين ودينار أنفقته على أهلك أعظمها أجرا الذي أنفقته على أهلك

Dinar yang kau infakkan fisabilillah, dinar yang kau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang kau pakai untuk bersedekah ke orang miskin, dan dinar yang kau nafkahkan untuk keluargamu, maka pahala yang paling besar adalah dinar yang kau nafkahkan untuk keluargamu.

(HR. Muslim No. 995)

📌 Maka – wahai para suami- jangan remehkan masalah nafkah (yang halal) kepada keluarga.

📌 Sebab, ini bukan hanya tuntutan fungsional di masyarakat sebagai suami, tapi juga menjadi tolok ukur ketaqwaan bagi Anda.

Wallahu A’lam.

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Air Musta’mal Terkumpul Sampai Dua Qullah, Bolehkah Buat Bersuci?

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh. Saya mau bertanya : Apakah dua jenis air musta’mal ketika di satukan volume nya sampai dua qullah hukum nya menjadi suci dan mensucikan atau tetap musta’mal.? Terimakasih Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh. Usep, Ciamis, (+62 821-1535-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Definisi Air musta’mal, dijelaskan oleh Syaikh Sa’diy Abu Habib dalam Qamus Al Fiqhiy:

Air musta’mal menurut Hanafiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Zhahiriyah, adalah air yang lepas (menetes) dari anggota badan orang yang berwudhu dan orang yang mandi.

(Syaikh Sa’diy Abu Habib, Al Qamus Al Fiqhiy, Hal. 263)

Sederhananya kalau kita berwudhu biasanya banyak air menetes dari anggota tubuh kita, baik saat wudhu atau setelahnya, begitu juga saat mandi wajib. Itulah air musta’mal.

Lalu, bagaimana status air musta’mal? Apakah suci dan mensucikan? Atau suci tapi tidak mensucikan?

Ternyata para ulama berbeda pendapat. Berikut ini uraian Imam Ibnu Hazm Rahimahullah dalam Al Muhalla:

Imam Malik berkata: “Boleh berwudhu dengannya jika tidak ada air yang lain dan tidak usah tayammum.”

Imam Abu Hanifah berkata: “Tidak boleh berwudhu dan mandi menggunakan air yang telah digunakan wudhu dan mandi sebelumnya …”

Imam Asy Syafi’iy berkata: “Tidak sah berwudhu dgn air yang sudah dipakai untuk wudhu dan mandi walau itu air suci semuanya.” Para sahabatnya (Syafi’iyah) mengatakan bahwa orang yang mencelupkan tangannya ke bejana untuk wudhu, dia ambil air untuk kumur, menghirup air ke hidung, mencuci wajah, lalu dia memasukkan tangannya ke bejana lagi, maka haram wudhu dengan air tersebut. Karena air tersebut menjadi musta’mal. (Imam Ibnu Ham, Al Muhalla, 1/183-184)

Sementara Imam Ibnu Hazm Rahimahullah sendiri membolehkan air musta’mal dijadikan buat wudhu dan mandi. Beliau berkata:

Wudhu dengan air musta’mal itu BOLEH, begitu pula mandi junub, baik ada air yang lain atau tidak. Itu adalah air yang dipakai untuk wudhu baik shalat wajib atau sunnah, atau untuk mandi junub atau lainnya, ini berlaku baik yg wudhu laki-laki atau perempuan. (Ibid, 1/182)

Dalam Al Mausu’ah disebutkan bahwa mayoritas madzhab menyatakan tidak sahnya bersuci dengan air musta’mal kecuali Malikiyah:

“Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Hambaliyah) menetapkan bahwa air musta’mal itu suci, tapi tidak dapat mensucikan yang lain. Malikiyah berbeda dengan ini, mereka membolehkan tapi makruh jika masih ada air lain, tapi jika tidak ada air lain maka tidak masalah.”

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 4/21)

Syaikh Wahbah Az Zuhailiy Rahimahullah menyebutkan tentang pendapat Syafi’iyyah: “Kesimpulannya, tidak sah bersuci dengan air musta’mal yang sedikit untuk keperluan menghilangkan hadats dan membersihkan najis. Jika seorang yang berwudhu memasukkan tangannya ke air yang sedikit (misal di gayung, pen) setelah mencuci wajahnya, maka air yang tersisa tersebut adalah musta’mal.”

(Syaikh Wahbah Az Zuhailiy, Al Fiqhu Asy Syafi’iyyah Al Muyassar, 1/82)

Namun dari sumber yg lain disebutkan bahwa Imam Abu Hanifah dan Imam Asy Syafi’iy Rahimahumallah termasuk yang berpendapat boleh dan sah berwudhu dengan air musta’mal.

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan bahwa internal madzhab Syafi’i memang ada dua pendapat. (Al Majmu’ Syarh al Muhadzdab, 1/150)

Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim Abadi Rahimahullah menjelaskan:

وذهب جماعة من العلماء كعطاء وسفيان الثوري والحسن البصري والزهري والنخعي وأبي ثور وجميع أهل الظاهر ومالك والشافعي وأبي حنيفة في إحدى الروايات عن الثلاثة المتأخرين إلى طهارة الماء المستعمل للوضوء

Jamaah para ulama seperti ‘Atha, Sufyan Ats Tsauri, Al Hasan Al Bashri, Az Zuhri, An Nakha’i, Abu Tsaur, semua ahli zhahir (tekstualis), Malik, Asy Syafi’iy, Abu Hanifah pada salah satu riwayat dari tiga riwayat kalangan generasi muta’akhirin (belakangan), mereka berpendapat bahwa sucinya air musta’mal untuk berwudhu.

(Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, 1/93)

Sehingga dari keterangan Imam Abu Thayyib menunjukkan umumnya para imam perintis madzhab adalah membolehkan. Alasannya adalah hadits Shahih Bukhari, dari Abu Juhaifah Radhiallahu ‘Anhu yang menceritakan para sahabat menggunakan air bekas wudhu nabi untuk mengusap diri mereka, juga dari Abu Musa dan Bilal Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. memerintahkan Abu Musa dan Bilal untuk meminum sisa wudhu Beliau, juga mengusap wajah mereka berdua dengannya. (Ibid, 1/93)

Bagaimana jika air musta’mal mencapai dua qullah?

Terkumpulnya air musta’mal sampai dua qullah, itu menjadi suci dan mensucikan menurut madzhab Syafi’i. Walau hal ini sangat sulit terjadi.

Imam Al Bujairimiy Rahimahullah – dia Syafi’iyah- mengatakan bahwa air musta’mal jika disatukan (dikumpulkan) dan mencapai dua qullah, maka itu suci dan (Imam Al Bujairimiy, Hasyiyah Al Bujaimiry ‘alal Khathib, 1/87)

Syaikh Wahbah Az Zuhailiy Rahimahullah menyebutkan bahwa jika air musta’mal telah mencapai dua qullah, yang shahih adalah itu thahur (suci dan mensucikan). (Syaikh Wahbah Az Zuhailiy, Al Fiqh Asy Syafi’iyyah Al Muyassar, 1/81)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

[Tata Cara Shalat] Duduk Tasyahud

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Tata Cara Duduk Tasyahud

– Untuk shalat yang memiliki dua kali tasyahud

Seperti shalat zuhur, ashar dan maghrib, maka tasyahud awal SUNNAHnya adalah duduk dengan cara iftirasy (seperti duduk di antara dua sujud) dan tasyahud akhir sunnahnya adalah tawaruk (telapak kaki kanan di tegakkan dan jarinya menghadap kiblat sedangkan kaki kiri ke bawah kaki kanan).

Dalilnya, Abu Humaid as Saidi Radhiallahu ‘Anhu bercerita tentang shalat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:

فإذا جلَس في الرَّكعتينِ جلَس على رِجْلِه اليُسرى، ونصَبَ اليُمنى، وإذا جلَس في الرَّكعةِ الآخِرةِ، قدَّم رِجْلَه اليُسرى، ونصَبَ الأخرى، وقعَدَ على مَقعدتِه

“Apabila duduk pada rakaat kedua, beliau duduk di atas kakinya yang kiri dan menegakkan kakinya yang kanan. Dan jika duduk pada rakaat terakhir, maka beliau memasukkan kaki kirinya (di bawah kaki kananya) dan menegakkan kaki kanannya dan beliau duduk pada tempat duduknya.” (HR. Bukhari no. 828)

Hadits lainnya:

كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إذا قعَد في الصَّلاةِ، جعَل قدَمَه اليُسرى بين فخِذِه وساقِه، وفرَشَ قدَمَه اليُمنى، ووضَعَ يدَه اليُسرى على رُكبتِه اليُسرى، ووضَعَ يدَه اليُمنى على فخِذِه اليُمنى، وأشار بإِصبَعِه

“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk dalam shalat, beliau meletakkan telapak kaki kirinya diantara pahanya dan betisnya, serta menghamparkan telapak kaki kanannya, sambil meletakkan tangan kirinya diatas lutut kirinya, dan beliau letakkan tangan kanannya diatas paha kanannya, lalu beliau memberi isyarat dengan telunjuknya.” (HR. Muslim no. 579)

Ini adalah pendapat Syafi’iyah (Imam Ibnu Hajar al Haitami, Tuhfatul Muhtaj, 2/78, Imam asy Syarbini, Mughnil Muhtaj, 1/172), Hambaliyah (Imam al Mardawi, Al Inshaf, 2/65, Imam al Buhuti, Kasysyaaf al Qinaa’, 1/363, 392).

Ini dipilih oleh Imam Ibnul Qayyim (Zaadul Ma’ad, 1/235, 245), Syaikh Bin Baaz (Fatawa Nuur ‘alad Darb, 8/353)’ *, dan Syaikh ‘Utsaimin, Beliau berkata sebagaimana dikutip dalam situs resminya:

وأمَّا الافتراش فيسن في الجلوس بين السَّجدتين، وفي التشهد في كلِّ صلاة ليس فيها إلَّا تشهد واحد، وفي التشهد الأوَّل في كلِّ صلاة فيها تشهُّدان، وأمَّا التورك فيكون في التشهد الثاني من كلِّ صلاة فيها تشهدان

Ada pun duduk iftirasy, itu disunnahkan saat duduk di antara dua sujud, di saat tasyahud pada shalat yang hanya ada sekali tasyahudnya, di tasyahud awal di shalat yang memiliki dua kali tasyahud, ada pun tawaruk dilakukan di tasyahud kedua pada shalat yang memiliki dua kali tasyahud. (selesai)

– Untuk shalat yang hanya ada sekali duduk tasyahud

Seperti shalat subuh, atau shalat-shalat lain yang hanya dua rakaat-dua rakaat.**

Dalam hal ini ada dua pendapat:

1. Disunnahkan duduknya dengan iftirasy

Dalilnya:

Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, berkata:

… وكان يقولُ في كلِّ ركعتين التحيةَ، وكان يفرشُ رِجلَه اليُسرَى، وينصبُ رِجلَه اليُمنَى

Beliau (Rasulullah) membaca tahiyyat pada setiap dua raka’at. Beliau melalukan iftirasy dengan menghamparkan kaki kirinya dan memasang tegak lurus kakinya yang kanan. (HR. Muslim no. 498)

Abu Humaid as Saidi Radhiallahu ‘Anhu bercerita tentang shalat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:

فإذا جلَس في الرَّكعتينِ جلَس على رِجْلِه اليُسرى، ونصَبَ اليُمنى

“Apabila duduk pada rakaat kedua, beliau duduk di atas kakinya yang kiri dan menegakkan kakinya yang kanan.” (HR. Bukhari no. 828)

Ini pendapat Hanafiyah (Imam al ‘Aini, al Binayah, 2/273), dan dalam madzhab Hanafi baik duduk tasyahud awal dan akhirnya cara duduknya sama-sama iftirasy. Kemudian Hambaliyah (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 1/382, Imam al Hijawi, Al Iqna’, 1/135). Ini juga pendapat Sufyan Ats Ts

auri, Ishaq bin Rahawaih, dan ashabur ra’yi. (Al Mughni, 1/382). Ini juga pendapat Syaikh Bin Baaz dan Syaikh ‘Utsaimin.

2. Disunnahkan duduknya tawaruk

Inilah pendapat Malikiyah, bagi mereka semua shalat baik yang dua kali tasyahud atau sekali saja, duduknya adalah tawaruk. (Syaikh Wahbah az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/853)

Dalilnya adalah:

أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يجلس في وسط الصلاة وآخرها متوركا

Bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam duduk pada pertengahan shalat dan akhirnya dengan cara tawaruk.
(HR. Ahmad, Lihat Nashbur Rayah, 1/422)

Ini juga pendapat Syafi’iyah. Tersebut dalam al Mausu’ah:

وقال الشافعية يسن التورك في كل تشهد يسلم فيه وإن لم يكن ثانيا، كتشهد الصبح والجمعة، لأنه تشهد يسن تطويله فسن فيه التورك كالثاني

Syafi’iyah mengatakan, disunnahkan duduk tawaruk di setiap tasyahud menjelang salam, walau pun tidak ada tasyahud kedua, di tasyahud tersebut disunnahkan memanjangkan bacaan maka sunnah pula tawaruk sebagaimana tawaruk pada duduk tasyahud kedua.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 15/268)

Bacaan Tasyahud

Ada beberapa jalur periwayatan tentang bacaan duduk tasyahud.

Pertama. Dari jalur Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu

التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

AT-TAHIYYATUT LILLAHI WASH-SHALAWAATU WATH-THAYYIBAATU, ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA RAHMATULLAHI WA BARAKAATUH, ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN. ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUH

Penghormatan, shalawat, dan kebaikan hanya milik Allah. Semoga keselamatan, rahmat, dan keberkahan tetap ada pada engkau wahai Nabi. Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tiada Dzat yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

(HR. Bukhari no. 6265, Muslim no. 402)

Kedua. Dari jalur Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu

التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

AT-TAHIYYATUT LILLAHI WASH-SHALAWAATUTH THAYYIBAATU, ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA RAHMATULLAHI WA BARAKAATUH, ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN. ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUH

Penghormatan, shalawat kebaikan hanya milik Allah. Semoga keselamatan, rahmat, dan keberkahan tetap ada pada engkau wahai Nabi. Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tiada Dzat yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. (HR. Abu Daud no. 971. Shahih)

Ketiga. Jalur Umar bin al Khathab Radhiallahu ‘Anhu

التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ الزَّاكِيَاتُ لِلَّهِ الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ لِلَّهِ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

ATTAHIYYAATU LILLAHI AZZAKIYAATU LILLAHI AT THAYYIBAAT ASHSHALAWAATU LILLAHI ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WA RAHMATULLAHI WA BARAKAATUH, ASSALAMU ‘ALAINAA WA ‘ALAA ‘IBAADILLAH ASH-SHAALIHIIN. ASYHADU AN LAA ILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUH

Segala penghormatan yang suci hanya milik Allah, shalawat yang baik hanya milik Allah. Keselamatan bagimu wahai Nabi dan Rahmat Allah dan barakah-Nya, keselamatan bagi kami dan Hamba Hamba Allah yang Shalih. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan -yang berhak diibadahi- selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.

(HR. Malik no. 204, shahih)

Ini dibaca saat tasyahud awal dan tasyahud akhir. Jika mau, maka baca semua versi dan itu lebih utama. Jika hanya salah satu saja, itu juga sudah cukup.

Kemudian, membaca shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ini juga ada beberapa jalur.

Pertama. Dari Abu Humaid As Sa’idi Radhiallahu ‘Anhu, bahwa mereka (para sahabat) bertanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ فَقَالَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

“Ya Rasulullah, bagaimana bershalawat kepadamu?”, Nabi menjawab: “Katakanlah: Allahumma shalli ‘Ala Muhammad wa azwajihi wa dzurriyatihi kama shalaita ‘ala Ali Ibrahim wa baarik ‘ala Muhammadin wa azwajihi wa dzurriyatihi kama baarakta ‘ala Ali Ibrahim innaka hamiidum majid.” (HR. Bukhari No. 3189, 5999, Muslim No. 407)

Kedua. Dari Ka’ab bin Ujrah Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengajarkan:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

Allahumma shalli ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa aali Muhammad kamaa shollaita ‘alaa Ibrahiim wa ‘alaa aali Ibrahim innaka hamiidun majid. Allahumma baarik ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa aali Muhammadin kamaa baarakta ‘alaa Ibrahiim wa ‘alaa aali Ibrahim innaka hamiidun majiid”

(Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada Ibrahiim dan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkah Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah berilah barakah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi barakah kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkah Maha Terpuji dan Maha Mulia). (HR. Bukhari no. 3370)

Ketiga. Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu dengan kalimat shalawat yang agak berbeda, katanya:

اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَآلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَآلِ إِبْرَاهِيمَ

Allahumma shallai ‘ala Muhammad ‘abdika wa rasulika, kama shallaita ‘ala Ibrahim, wa baarik ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad, kama baarakta ‘ala Ibrahim wa Aali Ibrahim.”

(HR. Bukhari No. 4520)

Semua shalawat di atas adalah shalawat terbaik dan paling utama. Istilahnya shalawat Ibrahimiyah. Bagus jika kita bisa membaca semuanya, namun jika memilih salah satunya, itu sudah cukup.

Syaikh An Nawawi Al Bantani Rahimahullah mengatakan:

وأكملها الصلاة الإبراهيمية وهي أفضل الصيغ فيبر بها من حلف أنه يصلي بأفضلها اهـ

Yang paling sempurna adalah shalawat Ibrahimiyyah yang merupakan shighat (bentuk kalimat) shalawat dalam shalat yang paling utama, maka semakin bertambah bagus jika orang yang shalat (dalam masalah ini) memakai shalawat yang paling utama.

(Kaasyifah as Sajaa, Hal. 140)

Minimal membaca shalawat adalah Allahumma shalli ‘ala Muhammad, ini pun sudah sah.

Imam Abu Zariya an Nawawi Rahimahullah (bukan Syaikh An Nawawi yang di atas), berkata:

ﺃﻗﻞ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ، ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ : ( ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺻﻞ ﻋﻠﻰ ﻣﺤﻤﺪ ) ﺃﻭ ( ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺤﻤﺪ ) ﺃﻭ ( ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﺭﺳﻮﻟﻪ ) ، ﻭﻓﻲ ﻭﺟﻪ : ﻳﻜﻔﻲ ( ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ) ، ﻭﺃﻗﻞ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻋﻠﻰ ﺍﻵﻝ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ ( ﻭﺁﻟﻪ ) ﻭﺃﻛﻤﻠﻬﺎ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ : ( ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺻﻞ ﻋﻠﻰ ﻣﺤﻤﺪ ، ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻝ ﻣﺤﻤﺪ ، ﻛﻤﺎ ﺻﻠﻴﺖ ﻋﻠﻰ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ، ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻝ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ، ﻭﺑﺎﺭﻙ ﻋﻠﻰ ﻣﺤﻤﺪ ، ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻝ ﻣﺤﻤﺪ ، ﻛﻤﺎ ﺑﺎﺭﻛﺖ ﻋﻠﻰ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ، ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻝ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ، ﺇﻧﻚ ﺣﻤﻴﺪ ﻣﺠﻴﺪ )

Minimal shalawat kepada Nabi adalah “Allahumma shalli ‘ala Muhammad”, atau “Shallallahu’ Ala Muhammad” atau “Shallallahu ‘Ala Rasulih”, dalam salah satu pendapat cukup membaca “Shallallahu’ Alaih”, sedangkan shalawat kepada keluarganya adalah membaca “wa aalihi”. Ada pun yang sempurna adalah “Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ ala aali Muhammad kamaa shalaita ‘ala Ibrahim wa’ ala aali Ibrahim, wa baarik ‘ala Muhammad wa’ ala aali Muhammad kamaa barakta ‘ala Ibrahim wa’ ala aali Ibrahim, innaka hamidum majid.”

(Raudhatuth Thalibin, 1/265)

Apa hukumnya membaca shalawat pada duduk tasyahud?

– Pada Tasyahud Awal

Pada tasyahud awal, umumnya fuqaha mengatakan tidak ada shalawat, kecuali menurut Imam asy Syafi’i yang mengatakan sunnah, bukan wajib, sebagaimana dalam qaul jadid (pendapat baru). Ada pun dalam qaul qadim, Beliau juga mengatakan tidak ada tambahan shalawat di tasyahud awal.

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan:

وَهَذَا قد اخْتلف فِيهِ فَقَالَ الشَّافِعِي رَحمَه الله فِي الْأُم يصلى على النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم فِي التَّشَهُّد الأول هَذَا هُوَ الْمَشْهُور من مذْهبه وَهُوَ الْجَدِيد لكنه يسْتَحبّ وَلَيْسَ بِوَاجِب وَقَالَ فِي الْقَدِيم لَا يزِيد على التَّشَهُّد وَهَذِه رِوَايَة الْمُزنِيّ عَنهُ وَبِهَذَا قَالَ احْمَد أَبُو حنيفَة وَمَالك وَغَيرهم

Hal ini diperselisihkan para ulama. Imam asy Syafi’i dalam Al Umm, menyatakan hendaknya bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi

wa Sallam di tasyahud awal. Ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhabnya yaitu qaul jadid. Namun ini SUNNAH bukan wajib.

Ada pun dalam qaul qadim, tidak ada tambahan apa pun dalam bacaan tasyahud (hanya baca tahiyat saja, pen), sebagaimana kata Al Muzani dari Imam asy Syafi’i. Ini juga pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad, serta lainnya.

(Jalaa’ul Afhaam, Hal. 180)

Beliau berkata juga:

وَقَالَ الْآخرُونَ لَيْسَ التَّشَهُّد الأول بِمحل لذَلِك وَهُوَ الْقَدِيم من قولي الشَّافِعِي وَهُوَ الَّذِي صَححهُ كثير من أَصْحَابه لِأَن التَّشَهُّد الأول تخفيفه مَشْرُوع وَكَانَ النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم إِذا جلس فِيهِ كَأَنَّهُ على الرضف وَلم يثبت عَنهُ أَنه كَانَ يفعل ذَلِك فِيهِ وَلَا علمه للْأمة وَلَا يعرف أَن أحدا من الصَّحَابَة استحبه

Yang lainnya mengatakan, Tasyahud awal bukanlah tempat bershalawat sebagaimana pendapat Imam Asy Syafi’i dalam qaul qadim. Inilah yang dibenarkan oleh banyak para sahabatnya (Syafi’iyah). Sebab, meringankan tasyahud awal itu hal yang disyariatkan. Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika duduk tasyahud awal begitu cepat seperti kepanasan. Tidak ada riwayat shahih dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang hal itu. Beliau juga tidak mengajarkannya kepada umat. Tidak diketahui pula seorang sahabat pun yang menyunnahkan hal itu. (Ibid, hal. 181)

– Pada tasyahud akhir

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:

Pertama. SUNNAH bershalawat di duduk tasyahud akhir.

Inilah pendapat Hanafiyah (Imam az Zaila’i, Tabyinul Haqaiq, 1/108. Imam al ‘Aini, Al Binayah, 2/274), Malikiyah (Imam Ibnu Abdil Bar, Al Kaafi, 1/205, Imam al Qarafi, Adz Dzakhirah, 2/218), salah satu riwayat dari Imam Ahmad (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 1/388), madzhab zhahiriyah (Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, 3/50), dan ini adalah pendapat mayoritas ulama (Imam al Qurthubi, Al Jaami’ Liahkamil Quran, 14/235), bahkan Imam Ibnu Baththal mengutip dari Imam Ath Thabari dan Imam Ath Thahawi, bahwa telah ijma’ baik salaf dan khalaf, bahwa itu adalah sunnah. (Syarh Shahih al Bukhari, 2/447)

Kedua. WAJIB bershalawat saat duduk tasyahud akhir

Ini adalah pendapat para sahabat nabi seperti Ibnu Mas’ud, Abu Mas’ud al Badri, Ibnu Umar, serta para tabi’in seperti Abu Ja’far Muhammad bin Ali, Asy Sya’bi, dan Muqatil bin Hayyan. (Imam Ibnul Qayyim, Jalaa’ul Afhaam, Hal. 163)

Inilah pendapat Imam asy Syafi’i dan pengikutinya. (Imam an Nawawi, Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 3/465), juga Hambaliyah (Imam al Buhuti, Qassyaaf al Qinaa’, 1/388, Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 1/388), sebagian Malikiyah (Imam Ibnul ‘Arabi, Ahkamul Quram, 3/623), juga Syaikh bin Baaz. (Majmu’ Fatawa, 3/291)

Maka, klaim yang mengatakan bahwa terjadi ijma’ ini adalah sunnah, bukan wajib, tidaklah benar.

Berdoa pada akhir duduk tasyahud akhir

Disunnahkan berdoa setelah shalawat di duduk tasyahud akhir, lebih utama dengan doa-doa yang ma’tsur, atau boleh lainnya sesuai hajat kita. Sebagaimana hadits berikut:

فَضَالَةَ بْنَ عُبَيْدٍ صَاحِبَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
سَمِعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا يَدْعُو فِي صَلَاتِهِ لَمْ يُمَجِّدْ اللَّهَ تَعَالَى وَلَمْ يُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَجِلَ هَذَا ثُمَّ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَمْجِيدِ رَبِّهِ جَلَّ وَعَزَّ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَدْعُو بَعْدُ بِمَا شَاءَ

Fadhalah bin Ubaid, seorang sahabat Nabi, berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam mendengar seorang yang berdoa dalam shalatnya, tanpa memuji Allah Ta’ala, belum bershalawat kepada Rasulullah, Maka beliau bersabda: “Segera kemari,” lalu dia memanggilnya dan berkata kepadanya –atau kepada lainnya: “Jika salah seorang kalian shalat, maka hendaknya dia memulai dengan memuji Allah ‘Azza wa Jalla, dan memuliakanNya, kemudian bershalawat atas Rasulullah, lalu berdoalah setelah itu sekehendaknya.” (HR. At Tirmidzi No. 3477, katanya: hasan shahih. Dishahihkan pula oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam al Hakim)

Syaikh Abul Hasan al Mubarkafuri menyebutkan bahwa Imam Malik dan Imam asy Syafi’i mengatakan:

يجوز أن يدعوا بكل شيء من أمور الدين والدنيا مما يشبه كلام الناس ما لم يكن إثماً، ولا يبطل صلاته بشيء من ذلك

Bolehnya berdoa dengan doa apa pun baik urusan agama dan dunia yang perkataannya menyerupai perkataan manusia, selama tidak mengandung dosa. Hal itu sama sekali tidak membatalkan shalatnya.

Beliau juga menyebut bahwa Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad menyatakan tidak boleh berdoa kecuali dengan doa yang ma’tsur, atau yang berasal dari Al Quran, atau semisal itu.

Lalu Syaikh Abul Hasan al Mubarkafuri mengomentari:

قلت: لا دليل على هذا التقييد لا من كتاب الله، ولا من سنة رسوله، ولا من قول صحابي فلا يلتفت إليه

Aku berkata: “Tidak ada dalilnya pengkhususan doa tersebut (hanya doa ma’tsur), baik dalil dari Al Quran, As Sunnah, dan perkataan para sahabat nabi, maka jangan hiraukan hal tersebut.” (Mir’ah Al Mafatih, 3/312)

Kami kutipkan beberapa contoh doa setelah tasyahud akhir yg tertera dalam sunnah:

Pertama. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللهِ مِنْ أَرْبَعٍ يَقُولُ: اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ

Jika kalian selesai tasyahud, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari empat hal, dengan mengucapkan: ALLAHUMMA A’UDZU BIKA MIN ‘ADZABI JAHANNAM, WA MIN’ ADZABIL QABRI, WA MIN FITNATIL MAHYA, WA MIN FITNATIL MAMAAT, WA MIN SYARRI FITNATIL MASIIHID DAJJAAL (Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari adzab neraka jahanam, adzab kubur, fitnah kehidupan dan kematian, dan dari kejahatan fitnah Dajjal).

(HR. Muslim no. 577)

Kedua. Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu bahwa di antara bacaan tasyahus akhir dan salam, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membaca:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، وَمَا أَسْرَفْتُ وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

ALLAHUMMAGHFIRLI MAA QADDAMTU WA MAA AKHKHARTU, WA ASRARTU WA MAA A’LANTU, WA MAA ASRAFTU WA MAA ANTA A’LAMU BIHI MINNI, ANTAL MUQADDAM WA ANTAL MUAKHKHAR LAA ILAAHA ILLA ANTA. (Ya Allah ampunilah aku apa yang aku dahulukan dan yang aku akhirkan, apa yang aku sembunyikan dan yang aku tampakkan, apa yang aku berlebihan dan apa yang Enkau lebih tahu dariku tentangnya, Engkaulah Maha Mendahulukan dan Mengakhirkan, Tiada Ilah Kecuali Engkau).

(HR. Ibnu Khuzaimah no. 723.l, shahih. Sementara dalam Sunan At Tirmidzi no. 3423, Abu Daud no. 1509, Ahmad no. 803, disebutkan bahwa doa ini dibacanya setelah selesai shalat sesudah salam)

Ketiga. Syihab bin Abi Syaibah (Syihab bin Al Majnun) Radhiallahu ‘Anhu berkata:

دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّي وَقَدْ وَضَعَ يَدَهُ اليُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ اليُسْرَى، وَوَضَعَ يَدَهُ اليُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ اليُمْنَى وَقَبَضَ أَصَابِعَهُ وَبَسَطَ السَّبَّابَةَ، وَهُوَ يَقُولُ: يَا مُقَلِّبَ القُلُوبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

Aku masuk ke rumah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Beliau sedang shalat, dengan tangan kiri diletakkan di atas paha kiri, tangan kanan di atas paha kanan, dengan jari jemari digenggam serta jari telunjuk dibentangkan, Beliau berdoa:

YA MUQALLIBAL QULUUB TSABBUT QALBIY ‘ALAD DIINIK (Wahai Yang Maha Membolak balikkan hati, mantapkanlah hatiku di atas agamaMu).

(HR. At Tirmidzi no. 3587. Didhaifkan oleh Syaikh al Albani: “Hadits ini munkar dengan bentuk kalimat seperti ini.” Lihat Dhaif Sunan At Tirmidzi, 1/473)

Namun doa seperti ini juga disebutkan dari jalur beberapa sahabat nabi Anas bin Malik, Jabir, Ummu Salamah, An Nawas bin Sam’an, dengan sanad yang semuanya shahih, tanpa menyebut itu doa saat akhir tasyahud.

Demikian….

🌷🍀🌿🌸🌻🍃🌳🍁

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top