Imam Asy Syafi’i, Maksiat, dan Hapalan

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Imam asy Syafi’i Rahimahullah bercerita tentang dirinya dalam kumpulan sya’irnya, Diwan asy Syafi’i:

شَكَوْتُ إلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي …فَأرْشَدَنِي إلَى تَرْكِ المعَاصي … وَأخْبَرَنِي بأَنَّ العِلْمَ نُورٌ …ونورُ الله لا يهدى لعاصي

“Aku keluhkan kepada Waki’ tentang buruknya hapalanku, … lalu dia membimbingku agar aku meninggalkan maksiat, …. dan dia memberitahuku bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya dari Allah ﷻ tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.”

(Diwan al Imam asy Syafi’i, hal. 13)

Sya’ir Imam asy Syafi’i Rahimahullah ini dikutip oleh banyak ulama dalam kitab-kitab mereka, di antaranya Imam Ibnu al Qayyim Rahimahullah saat membahas dampak buruk maksiat salah satunya adalah Hirmanul ‘Ilmi (terhalangnya ilmu). (Ad Da’u wa ad Dawa, hal. 132)

Ada beberapa pelajaran dari sya’ir Imam asy Syafi’i ini, di antaranya:

– Kerendah hatian Imam asy Syafi’i Rahimahullah, dia menyebut buruk hapalannya, padahal dia hapal Al Quran di usia belum tujuh tahun, dan hapal kitab Al Muwaththa-nya Imam Malik Rahimahullah di usia belasan tahun.

– Maksiat bagi seseorang termasuk salah satu sebab terhalangnya ilmu pada dirinya, sebab maksiat itu mengotori jiwa dan hati, sedangkan ilmu adalah cahaya, dan cahaya tidak akan bagus dipantulkan oleh cermin yang kotor.

– Ilmu itu bukan hanya sesuatu yang diusahakan oleh manusianya, tapi juga karunia Allah ﷻ kepada hambaNya. Maka, tidak cukup bagi penuntut ilmu mengandalkan usahanya semata, tapi melupakan doa kepada Allah ﷻ agar diberikan karunia ilmu.

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Manja Bersama Keluarga

💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Di luar rumah, suami adalah pertarung, jangan lembek dan jangan mudah mengeluh

📌 Apalagi bagi seorang muslim, bukan hanya ‘Izzah (kehormatan) seorang laki-laki tapi juga ‘Izzah seorang muslim

📌 Namun, saat di rumah, bersama anak dan istri, turunkanlah tensinya

📌 Berguraulah dan bercengkrama dengan mereka, walau nampak seperti kekanak-kanakan

📌 Di luar Anda bisa jadi seorang yang dianggap punya wibawa, terhormat, dan punya kedudukan

📌 Tapi di rumah, lepaskan itu semua, agar kehidupanmu tidak kaku dan menegangkan

📌 Umar bin al Khathab Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:

يَنْبَغِي لِلرَّجُلِ أَنْ يَكُونَ فِي أَهْلِهِ مِثْلَ الصَّبِيِّ، فَإِذَا الْتُمِسَ مَا عِنْدَهُ وُجِدَ رَجُلًا

Seyogyanya seorang laki-laki menjadi seperti bocah kecil saat dia bersama keluarganya, namun saat dicari apa yang ada pada dirinya maka akan didapatkan padanya sifat kesatria. (Imam as Suyuthi, Jaami’ al Ahadits, no. 30804)

📌 Sufyan ats Tsauri Rahimahullah berkata:

وَبَلَغَنَا عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ أَنَّهُ كَانَ مِنْ أَفْكَهِ النَّاسِ فِي أَهْلِهِ وَأَزْمَتِهِمْ إِذَا جَلَسَ مَعَ الْقَوْمِ

Telah sampai kepada kami dari Zaid bin Tsabit, bahwa dia adalah manusia yang paling periang saat bersama keluarganya, namun paling berwibawa saat bersama manusia. (Abu Bakar ad Dainuri, al Majalisah wa Jawahir al ‘Ilmi, no. 1038)

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Bolehkah Dzikir di Hati Saja?

💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Boleh dan tidak ada beda pendapat para ulama atas kebolehannya. Yang para ulama berbeda adalah mana yang lebih utama antara di hati saja atau di lisan saja?

Dalilnya adalah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, “Nabi ﷺ bersabda, “Aku berada dalam prasangka hamba-Ku, dan Aku selalu bersamanya jika ia mengingat-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku, dan jika ia mengingat-Ku dalam perkumpulan, maka Aku mengingatnya dalam perkumpulan yang lebih baik daripada mereka, jika ia mendekatkan diri kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekatkan diri kepadanya sehasta, dan jika ia mendekatkan diri kepada-Ku sehasta, Aku mendekatkan diri kepadanya sedepa, jika ia mendatangi-Ku dalam keadaan berjalan, maka Aku mendatanginya dalam keadaan berlari.” (HR. Bukhari no. 7405)

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

الذكر يكون بالقلب، ويكون باللسان، والأفضلُ منه ما كانَ بالقلب واللسان جميعاً، فإن اقتصرَ على أحدهما، فالقلبُ أفضل. ثم لا ينبغي أن يُتركَ الذكرُ باللسان مع القلب خوفاً من أن يُظنَّ به الرياءُ، بل يذكرُ بهما جميعاً، ويقصدُ به وجهُ الله تعالى، وقد قدمنا عن الفضيل بن عِياض -رحمه الله- أن ترك العمل لأجل الناس رياءٌ

Dzikir itu dilakukan bisa dengan hati, bisa dengan lisan, dan yang paling afdhal adalah dengan hati dan lisan bersamaan, seandainya diambil yang minimal salah satunya saja maka dzikir di hati lebih utama. Lalu, janganlah meninggalkan dzikir hati dan lisan gara-gara takut prasangka orang lain dirinya riya’, tetapi berdzikirlah dengan keduanya dengan maksud mengharap wajah Allah Ta’ala. Kami telah menyampaikan riwayat dari Al Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah bahwa meninggalkan amal karena manusia adalah riya’. (Al Adzkar, Hal. 7)

Imam Ibnu Bathal Rahimahullah mengatakan:

قال الطبرى: فإن قيل: أي الذِّكْرين أعظم ثوابًا: الذكر الذي هو بالقلب، أو الذِّكْر الذي هو باللسان؟ قيل: قد اختلف السَّلف في ذلك، فروي عن عائشة أنَّها قالت: “لأن أذكرَ الله في نفسي أحبُّ إليَّ من أن أذكُره بلساني سبعين مرَّة”، وقال آخرون: ذِكْر الله باللِّسان أفضل؛ روي عن أبي عُبيدة بن عبدالله بن مسعود قال: “ما دام قلْب الرَّجُل يذكر الله تعالى فهو في صلاة، وإن كان في السُّوق، وإن تحرَّك بذلك اللِّسان والشَّفتان، فهو أعظم”

Berkata Ath Thabari: “Jika ada pertanyaan mana yang lebih utama dzikir hati saja atau lisan?” Para salaf telah berbeda pendapat. Di riwayatlan dari Aisyah bahwa dia berkata: “Dzikir di hatiku lebih aku sukai dibanding dzikir di lisanku 70 kali.” Sedangkan Yang lain berkata: Dzikrullah dengan lisan lebih utama. Dari Abu ‘Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ ud, dia berkata: “Hati seorang laki-laki senantiasa berdizkir kepada Allah disaat shalatnya, tapi saat di pasar dia berdizkir dengan lisan dan bibirnya maka itu lebih besar. (Syarh Shahih Al Bukhari, 10/430)

Maka, berdzikirlah kepada Allah Ta’ala baik lisan atau hati, apalagi bisa menggabungkan keduanya.

Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ ala aalihi wa shahbihi wa salam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

[Tata Cara Shalat] Salam

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Ini adalah akhir shalat. Para ulama telah ijma’ atas disyariatkannya salam dan sebagai tanda keluarnya seseorang dari shalat. (Syaikh Abdullah al Bassam, Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 1/486)

Sebagaimana dalam hadits:

مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

Kuncinya shalat adalah bersuci, pengharamnya adalah takbir (takbiratul ihram), dan penghalalnya adalah salam.
(HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dll. Hasan shahih)

Maksud dari “Bersuci adalah Kuncinya shalat” adalah tidaklah sah shalat tanpa bersuci dari hadats kecil dan besar, baik mandi, wudhu, atau tayammum. Sebagaimana yang biasa dibahas dalam Bab Thaharah dalam kitab-kitab Fiqih. Imam an Nawawi mengatakan bahwa telah ijma’ haramnya bagi orang yang tidak bersuci, baik dengan air atau debu, melakukan shalat baik shalat wajib dan sunnah. (Ibnu Sayyidinnaas, An Nafhu asy Syadzi Syarh at Tirmidzi, 1/341)

Maksud dari “pengharamnya adalah takbir (takbiratul ihram)” adalah setelah takbiratul ihram maka terlarang semua perkataan dan perbuatan di luar shalat, kecuali ucapan dan perbuatan yang memang ada dasarnya dibolehkan saat shalat.

Maksud dari “penghalalnya adalah salam” adalah setelah ucapan salam maka shalat telah berakhir, dan semua hal yang tadinya terlarang kembali halal. (Syaikh Sa’id Hawwa, Al Asas fis Sunnah wa Fiqhiha, 2/770)

Hukumnya

Syaikh Said Hawwa Rahimahullah menjelaskan bahwa salam pertama adalah wajib (salam kedua adalah sunnah) sebagaimana pendapat Syafi’iyah dan Malikiyah. Hambaliyah mengatakan kedua-duanya wajib. Hanafiyah juga mengatakan kedua-duanya wajib, tapi jika tanpa salam pun shalat tetap sah namun makruh.
(Al Asas fis Sunnah wa Fiqhiha, 2/770)

Dalil Hanafiyah sahnya shalat tanpa salam adalah ucapan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu berikut:

إذا جلس مقدار التشهد ثم أحدث فقد تمت صلاته

Jika seseorang telah duduk selama untuk membaca tasyahud maka telah sempurna shalatnya. (HR. Al Baihaqi)

Hadits ini dinyatakan tidak shahih oleh Imam Ahmad bin Hambal (Imam al Baihaqi, Ma’rifatus Sunan wal Aatsar, 3/101)

Tapi, Syaikh Said Hawwa mengatakan: “Hadits ini mauquf (ucapan sahabat nabi, yaitu Ali) tapi dihukumi marfu’ (ucapan nabi) dan sanadnya hasan.” (Al Asas fis Sunnah wa Fiqhiha, 2/770)

Ini juga pendapat Ishaq bin Ibrahim, bahwa jika seseorang telah selesai dari tasyahud dan belum salam, maka shalatnya telah sempurna. Hal itu berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengajarkan shalat kepadanya: “Jika engkau telah selesai dari ini (tasyahud) maka engkau telah menunaikannya.” Tapi, riwayat ini dinilai dhaif oleh Yahya bin Said al Qaththan dan Imam Ahmad bin Hambal. (Lihat Tuhfah al Ahwdzi, 2/371)

Bagi mereka, berakhirnya shalat bisa dengan salam, atau kalam (bicara), atau apa pun yang dapat menafikan shalat, tapi hal ini makruh tahrim, dan jika makruh tahrim maka wajib mengulangi shalatnya. (Syaikh Abdullah al Bassam, Taudhihul Ahkam, 1/487)

Sementara itu mayoritas ulama mengatakan salam pertama adalah wajib, salam kedua adalah sunnah. Berdasarkan hadits berikut:

ثم يُصلِّي ركعتينِ وهو جالسٌ ثم يُسلِّمُ تسليمةً واحدةً: السَّلامُ عليكم، يرفَعُ بها صوتَه حتَّى يوقِظَنا

Lalu Beliau shalat dua rakaat dalam keadaan duduk, kemudian salam dengan SEKALI SALAM: “Assalamu ‘Alaikum,” dengan meninggikan suara sampai membangunkan kami.
(HR. An Nasa’ i. Imam Ibnul Mulaqin mengatakan: “Shahih sesuai syaratnya Imam Muslim.” Badrul Munir, 4/54)

Dalil lainnya, Imam al Qurthubi mengatakan bahwa hadits- وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ Dan penghalalnya adalah salam, menunjukkan kata AT TASLIM, bermakna sekali salam (taslimah wahidah). (Tafsir Al Qurthubi, 1/262)

Artinya, jika sudah sekali salam pertama, maka sudah selesai shalatnya walau dia tidak salam kedua. Inilah pendapat jumhur sahabat nabi dan tabi’in. (Al Majmu’ Syarh al Muhadzdab, 3/481)

Bagaimana kalimat ucapan salamnya?

Tentang ucapan salam selesainya shalat, baik  As Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh atau As Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah saja, atau As Salamu ‘Alaikum saja, ketiganya ada dalam sunah.

📌 Pertama. Berikut ini keterangan bacaan salam dengan lafaz: As Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Dari ‘Alqamah bin Wa-il, dari ayahnya, katanya:

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ وَعَنْ شِمَالِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ

Saya shalat bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau mengucapkan salam ke kanan: “As Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh,” dan ke kirinya: “As Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah.” (HR. Abu Daud No. 997)

Sederetan muhaqqiqin telah menshahihkan hadits ini dan memastikannya ada dalam kitab Sunan Abi Daud.

Syaikh Al Albani berkata: “Isnad hadits ini shahih,  dan dishahihkan oleh Imam An Nawawi, Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, lalu juga oleh Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, dan Imam Ibnu Sayyidin Naas.” *(Shahih Abi Daud No. 915),Imam Ibnu Abdil Hadi juga mengatakan shahih. *(Al Muharrar fil Hadits, 1/207, No. 271)**

Sebagian ulama, seperti Imam Ibnu Ash Shalah Rahimahullah mengatakan bahwa tambahan “wa barakatuh” tidak ada dalam kitab-kitab hadits. Pernyataan ini telah dikoreksi Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Rahimahullah sebagai berikut:

تنبيه : وقع في صحيح ابن حبان من حديث ابن مسعود زيادة ” وبركاته ” ، وهي عند ابن ماجه أيضا ، وهي عند أبي داود أيضا في حديث وائل بن حجر ، فيتعجب من ابن الصلاح حيث يقول : إن هذه الزيادة ليست في شيء من كتب الحديث

Peringatan: hadits ini terdapat dalam Shahih Ibnu Hibban dari haditsnya Ibnu Mas’ud dengan tambahan “wa barakatuh”, ini juga diriwayatkan Ibnu Majah, juga Abu Daud dalam hadits Wa-il bin Hujr, maka sungguh mengherankan apa yang dikatakan Ibnu Ash Shalah ketika dia berkata: “Sesungguhnya tambahan tersebut tidak ada sedikit pun dalam kitab-kitab hadits.” (At Talkhish Al Habir, 1/271)

Al Hafizh Ibnu Hajar –sebagaimana dikutip oleh Asy Syaikh Abul Hasan Ubaidullah Al Mubarkafuri-  juga mengoreksi Imam An Nawawi yang menyebutkan bahwa kalimat “wa barakatuh” hanya diriwayatkan secara menyendiri. Beliau berkata:

فهذه عدة طرق تثبت بها “وبركاته”، بخلاف ما يوهمه كلام الشيخ أنها رواية فردة-انتهى

Inilah sejumlah jalur yang dengannya menjadi shahih kalimat “wa barakatuh”, berbeda dengan yang disangka oleh Asy Syaikh (An Nawawi) bahwa itu adalah riwayat yang menyendiri. Selesai. (Mir’ah Al Mafatih, 3/307)

Nah, dari hadits di atas terlihat jelas sunahnya tambahan “wa barakatuh”, hanya saja mereka menyunnahkan hanya pada salam yang pertama  sebagaimana yang nampak secara tekstual dalam haditsnya.

Disebutkan oleh pengarang kitab Al Minhal:

وبهذا تعلم استحباب زيادة ” وبركاته ” في التسليمة الأولى

Maka dengan ini Anda mengetahui sunahnya tambahan “wa barakatuh” dalam salam yang pertama. (Al Minhal al ‘Adzb al Maurud, 6/117)

Ini juga pendapat Syaikh Al Albani Rahimahullah, bahwa tambahan tersebut hanya pada salam pertama. (Tamamul Minnah, Hal. 171)

Tetapi, Imam Abdurrazzaq meriwayatkan dalam Al Mushannaf-nya, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengucapkan As Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh secara jahr (dikeraskan) hingga terlihat pipinya yang putih, baik ke kanan (salam pertama) dan ke kiri (salam kedua). (Al Mushannaf Abdurrazaaq, 2/219), itu juga dilakukan oleh sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ‘Ammar bin Yasir. *(Ibid, 2/220), Syaikh Muhammad bin  Ali bin Adam mengatakan: semua rijal dalam isnad hadits ini terpercaya. (Raf’ul Ghain, Hal. 5)

Imam Al Bazzar juga meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengucapkan As Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh sebanyak dua kali ke kanan dan kiri. (Musnad Al Bazzar No.  1574)

Selain itu, Imam Ibnu Hazm Rahimahullah juga meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhubahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallammengucapkan salam ke kanan As Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh, ke kiri juga As Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh. (Al Muhalla, 3/275), riwayat yang seperti ini – dari Ibnu Mas’ud- juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban *(No. 1993) dan Imam Ibnu Khuzaimah (No. 728) dalam kitab Shahih-nya masing-masing.

Maka, tambahan “wa barakatuh” baik dalam salam pertama dan kedua adalah masyru’ (disyariatkan) sebagaimana keterangan dalil dan komentar para imam di atas.

📌 Kedua. Lafaz bacaan salam: As Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah

Dari ‘Ammar bin Yaasir Radhiallahu ‘Anhuma, beliau berkata:

كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ خَدِّهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ

Dahulu ketika mengucapkan salam, Beliau menengok ke kanan dan kirinya sampai terlihat pipinya yang putih (dan mengucapkan): Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah. **(HR. Abu Daud No. 996, Ibnu Majah No. 916. Shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 996)

Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dari NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

أَنَّهُ كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ

Bahwa nabi mengucapkan salam ke kanan dan ke kirinya: Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah.  (HR. At Tirmidzi No. 295, katanya: hasan shahih)

Imam At Tirmidzi mengatakan:

والعمل عليه عند أكثر أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم ومن بعدهم وهو قول سفيان الثوري وابن المبارك وأحمد وإسحق

Hadits ini diamalkan oleh kebanyakan ulama dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamdan generasi setelah mereka, dan ini adalah pendapat Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad, dan Ishaq. (Lihat Sunan At Tirmidzi No. 295)

Salam seperti ini juga dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar Radhiallahu ‘Anhuma, sebagaimana kesaksian dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu. *(Imam An Nasa’i, As Sunan Al Kubra No. 1242)*

📌 Ketiga. Lafaz salam yang paling singkat: As Salamu ‘Alaikum

Dari Jabir bin Samurah, katanya:

كنا نصلي خلف النبي صلى الله عليه وسلم فقال: (ما بال هؤلاء يسلمون بأيديهم كأنها أذناب خيل شمس  إنما يكفي أحدكم أن يضع يده على فخذه ثم يقول: السلام عليكم السلام عليكم) رواه النسائي وغيره وهذا لفظه

“Kami shalat di belakang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia bersabda: “Kenapa mereka mengucapkan salam sambil mengisyaratkan tangan mereka, tak ubahnya seperti kuda liar! Cukuplah bagi kalian meletakkan tangannya di atas pahanya, lalu mengucapkan: Assalamu ‘Alaikum, Assalamu ‘Alaikum. “ (HR. An Nasa’i  No. 1185, dan lainnya, dan ini adalah lafaz darinya. Shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1185)

Hadits yang seperti di atas juga diriwayatkan imam lainnya –juga dari Jabir bin Samurah- dengan lafaz yang sedikit berbeda. *(HR. Muslim No. 431)*

Cara salam seperti ini juga dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib. *(Mushannaf Abdurrazzaq No. 3131, Ma’rifatus Sunan Lil Baihaqi No. 978, Kanzul ‘Ummal No. 22380),Abdurrahman bin Abi Laila *(Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No. 3077),** dan lainnya.

Sekian. Wallahu A’lam

Wa akhirud da’wana anil hamdulillahi rabbil ‘aalamin

Wa Shallallahu ‘ala Sayyidil Anbiyaa wal Mursalin  wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi ajma’in.

🌷🍀🌿🌸🌻🍃🌳🍁

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top