Bolehkah Menjamak Shalat Karena Hujan di Rumah?

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Boleh kah menjamah sholah di rumh saat hujan deras

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim…

Menjamak Shalat Karena Hujan

Boleh menjamak shalat karena hujan, dan itu merupakan pendapat mayoritas ulama:

– Malikiyah. (Mawahib al Jalil, 2/514, Syarh Mukhtashar Al Khalil, 2/70).

Dalam standar madzhab Maliki, Hujannya adalah hujan yang lebat (ghaziran), dan jika kita keluar mesti pakai penutup kepala (payung) dan tanah pun berlumpur menghalangi jalan.

– Syafi’iyah (Al Hawi Al Kabir, 2/398, Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 4/381-382)

Bagi Syafi’iyah sama saja hujan besar atau kecil, asalkan sudah membuat pakaian basah. Mereka mensyaratkan, jika hujannya turun di waktu awal, maka jamaknya di taqdim.

– Hambaliyah (Al Mughni, 2/202, Al Iqna’, 1/184)

Standarnya adalah jika hujan tsb membuat sulit keluar rumah, atau membuay kuyup pakaian. Hujan kecil tidak boleh jamak.

Menurut Imam Ibnu Qudamah, kebolehan jamak krn hujan adalah ijma’ (Al Mughni, 2/202)

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

روى الاثرم في سننه عن أبي سلمة ابن عبد الرحمن أنه قال: من السنة إذا كان يوم مطير أن يجمع بين المغرب والعشاء. وروى البخاري أن النبي صلى الله عليه وسلم جمع بين المغرب والعشاء في ليلة مطيرة

“Al Atsram meriwayatkan dalam Sunan-nya, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, bahwa dia berkata: “Termasuk sunah jika turun hujan menjamak antara Maghrib dan Isya’.” Bukhari telah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjamak antara maghrib dan isya’ pada malam hujan.” (Fiqhus Sunnah , 1/290)

Menjamak Shalat Karena Hujan di Rumah

Ada dua pendapat:

PENDAPAT PERTAMA. Boleh di rumah, sebab kebolehannya mutlaq, selama memang hujan itu terjadi dan tetap adanya masyaqqat (kesulitan) atau tidak.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

يجوز الجمع مطلقاً سواء وُجدت المشقة ، أم لم تُوجد ، وسواء كان ذلك في المسجد أم في البيت ، وهو المذهب عند الحنابلة

Boleh secara muthlaq menjamak (saat hujan), sama saja apakah ditemui adanya kesulitan atau tidak, apakah di masjid atau di rumah, dan ini merupakan pendapat Hanabilah (Hambaliyah).

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 146853)

Imam Al Mardawi Rahimahullah -salah satu ulama Hambaliy- mengatakan:

يجوز ، وهو المذهب

Boleh (di rumah), dan inilah pendapat resmi madzhab. (Al Inshaf, 2/340)

Dalam Al Mausu’ah disebutkan:

والأرجح عند الحنابلة : أن الرخصة عامة ، فلا فرق بين من يصلي جماعة في مسجد ، وبين غيره ممن يصلي في غير مسجد أو منفردا ; لأنه قد روي : ( أن النبي صلى الله عليه وسلم جمع في المطر وليس بين حجرته والمسجد شيء ) ، ولأن العذر إذا وجد استوى فيه وجود المشقة وغيره “

Pendapat yang lebih unggul bagi Hanabilah adalah keringanan ini berlaku umum, tidak ada perbedaan antara mereka yg shalat berjamaah di masjid atau mereka yang bukan di masjid atau shalat sendiri. Hal ini sesuai riwayat bahwasannya Nabi ﷺ menjamak saat hujan dan antara kamarnya dan masjid tidak ada apa-apa yang menjadi penghalangnya.

Karena, yang namanya uzur itu jika sudah didapatkan, maka sama saja apakah di dalamnya ada kesulitan atau tidak.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 15/292)

PENDAPAT KEDUA. Tidak boleh di rumah, mesti di masjid.

Imam Asy Syafi’iy Rahimahullah menjelaskan:

وَيَجْمَعُ مِنْ قَلِيلِ الْمَطَرِ وَكَثِيرِهِ ، وَلَا يَجْمَعُ إلَّا مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ إلَى مَسْجِدٍ يَجْمَعُ فِيهِ , قَرُبَ الْمَسْجِدُ , أَوْ كَثُرَ أَهْلُهُ , أَوْ قَلُّوا , أَوْ بَعُدُوا ، وَلَا يَجْمَعُ أَحَدٌ فِي بَيْتِهِ ; لِأَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم جَمَعَ فِي الْمَسْجِدِ ، وَالْمُصَلِّي فِي بَيْتِهِ مُخَالِفُ الْمُصَلِّي فِي الْمَسْجِدِ

Menjamak shalat boleh baik karena hujan sedikit atau banyak, dan TIDAK BOLEH menjamak kecuali bagi yg keluar dari rumahnya menuju masjid dan dia menjamak di dalamnya, baik yg dekat dengan masjid, atau banyak penduduknya, sedikit, atau juga jauh dari masjid, tidak boleh seorang pun jamak di rumah. Dalilnya, karena Nabi ﷺ menjamak shalatnya di masjid, dan orang yang shalatnya di rumah maka dia telah menyelisihi orang-orang yang di masjid.

(Al Umm, 1/95)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Sudah Shalat, Tapi Diminta Lagi Jadi Imam?

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalaamu’alaikum ustadz, izin bertanya ustadz, apakah boleh kita menjadi imam 2x atau 3x dalam shalat yg sama, misal disebuah masjid krn banyak jama’ah yg shalat, maka l shalat berjama’ahnya di bagi jd beberapa kali, di kloter pertama si A jadi imam, kemudian di kloter ke 2 tetap si A lg yg jd imam, apakah di bolehkan ustadz?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim…

Hal itu diperselisihkan ulama. Sebagian membolehkan hal itu, yaitu shalat yang kedua dihitung sebagai shalat sunnah bagi imam tsb, hal ini berdasarkan beberapa hadits, di antaranya:

Pertama. Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anhu, katanya:

أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ كَانَ يُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى قَوْمِهِ، فَيُصَلِّي بِهِمْ تِلْكَ الصَّلَاةَ

Bahwa Mu’adz bin Jabal pernah shalat Isya terlambat bersama Rasulullah ﷺ, kemudian dia kembali menuju kaumnya dan ikut shalat bersama kaumnya. (HR. Muslim no. 465)

Imam Al Khathabi Rahimahullah mengatakan:

فيه من الفقه جواز صلاة المفترض خلف المتنفل لأن صلاة معاذ مع رسول الله صلى الله عليه وسلم هي الفريضة وإذا كان قد صلى فرضه كانت صلاته بقومه نافلة له

Dalam hadits ini terdapat fiqih, bolehnya orang yg shalat wajib jadi makmum orang yang shalat sunnah. Sebab, shalatnya Muadz bin Jabal bersama Rasulullah ﷺ itu shalat wajib, jadi jika shalatnya bersama nabi adalah shalat wajib maka shalatnya bersama kaumnya adalah shalat sunnah baginya. (Ma’alim as Sunan, jilid. 1, hal. 170)

Kedua, dari Abu Said al Khudri Radhiyallahu ‘Anhu:

جَاءَ رَجُلٌ وَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّكُمْ يَتَّجِرُ عَلَى هَذَا فَقَامَ رَجُلٌ فَصَلَّى مَعَهُ

Datang seseorang dan Rasulullah ﷺ telah selesai shalat, Beliau besabda:

“Siapakah di antara kalian yang mau menemaninya?” maka berdirilah seorang laki-laki dan shalat bersamanya.

(HR. At Tirmidzi No. 220, katanya: hasan. Imam Al Haitsami mengatakan perawinya adalah para perawi shahih. Lihat Majma’ Az Zawaid, 2/174 )

Laki-laki itu adalah Abu bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah. (Nailul Authar, 3/185)

Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:

وَالْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ الدُّخُولِ مَعَ مَنْ دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ مُنْفَرِدًا ، وَإِنْ كَانَ الدَّاخِلُ مَعَهُ قَدْ صَلَّى فِي جَمَاعَة قَالَ ابْنُ الرِّفْعَةِ : وَقَدْ اتَّفَقَ الْكُلُّ عَلَى أَنَّ مَنْ رَأَى شَخْصًا يُصَلِّي مُنْفَرِدًا لَمْ يَلْحَقْ الْجَمَاعَةَ فَيُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ مَعَهُ وَإِنْ كَانَ قَدْ صَلَّى فِي جَمَاعَةٍ وَقَدْ اسْتَدَلَّ التِّرْمِذِيُّ بِهَذَا الْحَدِيثِ عَلَى جَوَازِ أَنْ يُصَلِّيَ الْقَوْمُ جَمَاعَةً فِي مَسْجِدٍ قَدْ صُلِّيَ فِيهِ

Hadits ini menunjukkan disyariatkannya masuk berjamaah bersama orang yang shalat sendiri, walau orang yang masuk itu sudah shalat jamaah sebelumnya. Berkata Ibnur Rif’ah: “ Para ulama sepakat bahwa apabila seseorang melihat orang lain sedang melakukan shalat sendirian karena terlambat ikut jamaah, ia dianjurkan ikut berjamaah bersama orang tersebut, walau dia sudah shalat jamaah. “ At Tirmidzi juga berdalil dengan hadits ini bahwa bolehnya sekelompok orang shalat berjamaah di mesjid yang di dalamnya sudah di adakan shalat berjamaah sebelumnya.” (Nailul Authar, Jilid. 3, hal. 185)

Syaikh Abu Abdirrahman bin Hamd al Bassam mengatakan bahwa inilah pendapat ‘Atha, al Awza’i, Asy Syafi’i, Abu Tsaur, dan salah satu riwayat yang kuat dari Ahmad, dan dipilih oleh Ibnu Taimiyah. (Taysir al ‘Alam Syarh’ Umdah al Ahkam, hal. 201)

Sementara Az Zuhri, Malik, Hanafiyah, dan Masyhur dari Ahmad dan mayoritas pengikutnya, adalah tidak sah. Dalilnya adalah “Imam diangkat untuk diikuti, maka janganlah menyelisihinya”, maka perbedaan niat antara makmum dan imam tidak diperkenankan. (Ibid)

Sementara Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad dalam Syarh Sunan Abi Dawud (no. 081), juga nampak mendukung pendapat yang membolehkan berdasarkan hadits Muadz bin Jabal yang begitu jelas.

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Mengebiri/Mensteril Kucing

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

assalamualaikum wr wb ustadz, terkait steril kucing gimana ya ustadz?

Jazakallahu khayran (+62 818-874-xxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Mengebiri atau mensteril kucing, pada dasarnya tidak boleh. Sebab itu termasuk menyiksanya. Hal itu berlaku bagi hewan yang tidak bisa dimakan seperti kucing, dan semisalnya. Ada pun bagi hewan yang bisa dimakan larangan berlaku saat hewan itu sudah besar.

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

لا يجوز خصاء حيوان لا يؤكل لا في صغره ولا في كبره، ويجوز خصاء المأكول في صغره؛ لأن فيه غرضاً وهو طيب لحمه، ولا يجوز في كبره” انتهى

Tidak boleh mengkebiri hewan yang tidak bisa dimakan, baik saat masih kecil atau sudah besar. Ada pun hewan yang bisa dimakan, maka boleh dikebiri saat kecilnya hal itu bertujuan membaguskan kualitas dagingnya, dan tidak boleh dikebiri saat sudah besar.

(Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 6/177)

Ada pun jika kebiri atau steril dilakukan dalam rangka menekan bahaya, atau karena ada manfaat bagi kehidupan hewan tersebut secara menyeluruh, atau menjaga kehidupan manusia, maka tidak apa-apa.

Imam Ibnu Mazah al Bukhari al Hanafi Rahimahullah mengatakan:

في إخصاء السنور: إنه لا بأس به إذا كان فيه منفعة، أو دفع ضرره”

Tentang mengebiri kucing, hal itu dibolehkan jika memang bermanfaat dan dapat mencegah bahaya/kerusakan.

(Al Muhith Al Burhani, 5/376)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Kami Tidak Punya Raja, yang Kami Punya Adalah Pemimpin!

💢💢💢💢💢💢💢💢

Syaikh Abu Bakar bin Jabir al Jazairi Rahimahullah menceritakan:

Diriwayatkan bahwa Kaisar Romawi mengutus kepada Umar bin Khathab seorang utusan untuk melihat bagaimana keadaan dan perbuatannya. Ketika dia memasuki kota Madinah, dia bertanya tentang Umar: “Di mana raja kalian?”

Mereka jawab: “Kami tidak punya raja, yang kami punya adalah pemimpin, dia sedang keluar Madinah.” Lalu utusan itu mencarinya dan dia dapatkan Umar sedang tidur di pasir, dan bersandar di tongkat kecilnya yang bisa dia pakai untuk meluruskan kemungkaran.

Ketika utusan itu melihat Umar dalam keadaan seperti itu, hati utusan ini begitu tenang, lalu berkata: “Inilah laki-laki yang semua raja tidak bisa menghukumnya karena kehebatannya, beginilah dia keadaannya, tetapi engkau wahai Umar telah berbuat adil dan saat ini engkau tertidur pulas, sedangkan raja kami telah berbuat zalim dan kezalimannya itu bagaikan ahli sihir yang menakutkan!”

Hikmah dan Pelajaran:

– Kesederhanaan justru membawa kewibawaan dan penghormatan secara alami dari manusia apalagi bagi seorang pemimpin yang sebenarnya begitu mudah mendapat fasilitas negara.

– Tetap sederhana disaat terbuka lebarnya fasilitas adalah luar biasa, dan sederhana ketika memang tidak ada fasilitas itu sudah biasa, tentu dua kesederhaan yang berbeda nilainya. Yang pertama lebih sulit dibanding yang kedua. Umar Radhiallahu ‘Anhu termasuk yang tetap sederhana dikala fasilitas begitu mudah diraihnya.

– Kesederhanaan Umar Radhiallahu ‘Anhu itu nyata, dan teladanan dalam bentuk contoh nyata lebih tajam pengaruhnya dibanding kata-kata.

Semoga Allah Ta’ala meridhai dan merahmati Umar.

Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam

🌸🌿🌳🌻🍃🍀🌷

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top