Sederhana Dalam Mencintai

💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Cinta itu anugerah kata orang bijak. Adanya jagat raya dan makhluk di dalamnya juga disebabkan Cinta.

📌 Cinta ada yg menjadi sebab bahagia di dunia dan surga di akhirat, ada juga yg menjadi sebab sengsara dunia dan akhirat.

📌 Dengan alasan cinta seseorang bisa menjadi ulama, ahli ibadah, pahlawan, dan pengukir sejarah

📌 Dengan alasan cinta pula seseorang bisa menjadi bedebah, koruptor, pelakor, dan hidung belang.

📌 Islam datang mengarahkan cinta, memberikan pedoman bahwa cinta kepada Allah, Rasul, dan Jihad adalah cinta tertinggi. (QS. At Taubah: 24), maka buktikanlah!

📌 Ada pula yang alami atau natural, siapa pun memiliki rasa ini, seperti mencintai istri, anak-anak, harta benda, emas perak, kendaraan, sawah ladang, dan kesenangan dunia. (QS. Ali ‘Imran: 14), maka sederhanalah dan hati-hatilah!

📌 Ada pula yang rendah yaitu ketika kecintaan terhadap dunia mengorbankan akhiratnya. Walau mereka berilmu, Allah Ta’ala rendahkan mereka. (QS. Al A’raf: 176, Huud: 15-16), maka jauhilah jangan jual akhirat untuk mengambil dunia.

📌 Sesungguhnya Islam mengajarkan sikap i’tidal dan wasath, yaitu lurus dan pertengahan, termasuk dalam cinta kepada hal yg alami.

📌 Sebab, mencintai makhluk tidak akan mampu memenuhi semua hasrat, atau kita akan sakit dan kecewa saat mereka gagal memenuhinya.

📌 Bukankah banyak fans berat yang berbalik membenci idolanya krn kecewa setelah sebelumnya mengaguminya?

📌 Maka, wajar jika para hukama (Orang-orang bijak) mengatakan:

خير الأمور أوسطها

Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahannya (Ibnu Abdil Bar, dalam Al Istidzkar)

📌 Inilah Islam, Allah Ta’ala berfirman:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ

Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia. (QS. Al-Baqarah, Ayat 143)

Jabir bin Samurah Radhiallahu ‘Anhu menceritakan tentang shalat dan khutbah Rasulullah ﷺ:

كُنْتُ أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَتْ صَلَاتُهُ قَصْدًا وَخُطْبَتُهُ قَصْدًا

Saya pernah shalat (Jumat) bersama Rasulullah ﷺ, lama shalat dan khutbah beliau pertengahan (tidak terlalu panjang atau terlalu pendek). (HR. Muslim no. 866)

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin Wa ‘ala Aalihi Wa Shahbihi Wa Sallam

🍃🌻🌷🌸🌿🍀🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Lele Pemakan Ayam Tiren

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Saya ijin bertanya, apakah ayam tiren boleh kita gunakan sebagai pakan ikan lele? Tentunya bisa langsung kita masukan ke kolam, atau kita rebus dulu untuk menghilangkan bakteri dan lain lainnya.

(MFU, Banjarnegara)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah alhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah Wa Ba’d:

Ayam tiren (mati kemarin) yg dikenal oleh masyarakat adalah ayam yang mati secara tdk disembelih secara syar’i shgga menjadi bangkai. Baik mati karena penyakit atau sebab lainnya.

Jika bangkai ini diberikan kepada lele, maka lele tersebut menjadi hewan pemakan bangkai, terlepas dari ayam tiren tsb direbus dulu atau tidak, tidaklah mengubah status bangkainya.

Status ikan Lele tersebut adalah Jalaalah, dan menjadi najis.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:

إذا كان الطعام الذي يقدم للسمك أكثره طاهر ، جاز أكل السمك ولا حرج في ذلك
وإن كان أكثره من الميتات النجسة (فهذه يسميها العلماء الجلالة) فلا يجوز أكل السمك حتى تمنع عنه النجاسة ثلاثة أيام فأكثر ، ويُطعم من الطاهرات ليطيب لحمه

Jika makanan ikan tersebut mayoritas adalah makanan yang suci, maka boleh makan ikan tsb dan tidak masalah.

Jika paling banyak makannya adalah bangkai yg najis (istilahnya Al Jalaalah), maka tidak boleh memakannya sampai ditahan dulu tiga hari atau lebih, lalu dimakan karena dagingnya sudah kembali baik.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 170264)

Imam Al Buhutiy Rahimahullah berkata Kasysyaf Al Qina’:

فَصْل وَتَحْرُمُ الْجَلَّالَةُ وَهِيَ الَّتِي أَكْثَرُ عَلَفِهَا النَّجَاسَةُ وَلَبَنُهَا) لِمَا رَوَى ابْنُ عُمَرَ قَالَ: «نَهَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ أَكْلِ الْجَلَّالَةِ وَأَلْبَانِهَا» رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ قَالَ حَسَنٌ غَرِيبٌ

Pasal tentang haramnya Al Jalaalah dan susunya, yaitu hewan yang mayoritas makanannya adalah benda najis. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma: “Nabi ﷺ melarang memakan hewan Al Jalaalah dan susunya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, katanya: Hasan Gharib)

(Kasysyaf Al Qina’, 6/193-194)

Kenapa setelah TIGA HARI dipisahkan dari makanan najisnya sudah kembali boleh dimakan? Diperkirakan itulah masa recovery kembali hewan tersebut untuk kembali suci, oleh karena itu Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma memakan hewan tersebut setelah tiga hari dipisahkan dari makanan najisnya.

Imam Al Buhutiy Rahimahullah berkata:

أَيْ ثَلَاثَ لَيَالٍ بِأَيَّامِهِنَّ لِأَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ إذَا أَرَادَ أَكْلَهَا يَحْبِسُهَا ثَلَاثًا

Yaitu tiga hari tiga malam, karena dahulu Ibnu Umar jika hendak makan hewan Jalaalah dia tahan (pisahkan) selama tiga hari lamanya. ” (Ibid, 6/194)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍️ Farid Nu’man Hasan

Jangan Ganggu Tetangga

💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Tetangga saya memelihara ayam banyak sekali dan sudah bertahun2 sampai sekarang masih, ayamnya itu dilepas liarkan sehingga membuat saya dan tetangga2 lainnya setiap hari kedatangan “kotoran ayam2 tersebut”, saya sudah berulang kali menyindir tetangga saya ketika saya mengeluh membersihkan kotoran ayam2 tersebut, tapi tidak pernah ada perubahan. Ayamnya pun kalau hujan dibiarkan begitu saja, kedinginan dan sebagainya. Jika saya menegur secara langsung saya tidak enak dan pasti beliau akan mencari2 kesalahan saya. Kira2 dosa tidak tetangga macam begitu? Padahal dia tau dia salah, dia sudah membuat tetangga2nya tidak nyaman dengan kotoran ayam2nya bertahun2, dan membiarkan ayam2nya kehujanan dan kedinginan. (Ibu D, Tegal)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Salah satu ciri orang beriman adalah berlaku baik dengan tetangga dan jangan mengganggunya.

Sebagaimana hadits:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ

Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia mengganggu tetangganya. (HR. Bukhari no. 6136)

Tentunya sikap tetangga yang Anda ceritakan tersebut, yang tidak peduli keluhan tetangga lainnya dengan kotoran ayam miliknya yang begitu banyak, tidaklah mencerminkan hidup bertetangga yang baik.

Cukuplah seseorang disebut jahat ketika dia membuat tidak nyaman tetangganya. Hal ini sebagaimana hadits berikut:

َ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya. (HR. Muslim no. 46)

Oleh karena itu sebaiknya sampaikan dgn baik, dgn bahasa yang santun dan momen yang tepat, agar dia bertanggungjawab atas hewan peliharaannya.

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍️ Farid Nu’man Hasan

Percikan Air Kencing ke Kolam

💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Bagaimana cara menyucikan air bak mandi yang kurang dari 2 qullah yang terkena percikan kencing? Nor, Jawa Tengah

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Sebelumnya yang perlu dibahas adalah percikan air kencing ke air kolam, apakah membuat air kolam itu berubah najis juga? Kata “percikan” mengesankan tidak banyak, berbeda dgn menumpahkan air kencing ke dalam kolam tentu beda lagi.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

“Sesungguhnya air itu suci, dan tidak ada suatu apa pun yang bisa menajiskannya.” [1]

Jika kita pakai hadits ini saja, tentu kita akan berpikir air tidak bisa jadi najis, apa pun yang terjadi pada air itu. Tapi tidak demikian kenyataannya. Sebab, kita dapati riwayat lain:

وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ اَلْبَاهِلِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ – صلى الله عليه وسلم – إِنَّ اَلْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ, إِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ, وَلَوْنِهِ – أَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ

Dari Abu Umamah Al Baahili Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Bersabda Rasulullah ﷺ: “Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang menajiskannya, kecuali apa-apa yang bisa mengubah baunya, rasanya, dan warnanya.” [2]

Walau hadits ini dhaif tapi secara makna shahih, Imam Ash Shan’ani Rahimahullah berkata:

قال ابن المنذر: قد أجمع العلماء: على أن الماء القليل والكثير إذا وقعت فيه نجاسة فغيرت له طعماً، أو لوناً، أو ريحاً فهو نجس، فالإجماع هو الدليل على نجاسة ما تغير أحد أوصافه، لا هذه الزيادة

“Berkata Ibnul Mundzir: “Para ulama telah ijma’ (sepakat) bahwa air yang sedikit dan banyak, jika terkena najis lalu berubah rasa, warna, dan aroma, maka dia menjadi NAJIS.” Maka, ijma’ adalah merupakan dalil atas kenajisan sesuatu yang telah berubah salah satu sifat-sifatnya, bukan berdalil pada kalimat tambahan hadits ini. “ [3]

Jadi, yang menjadi standar adalah apakah air itu berubah sifatnya atau tidak. Jika ada perubahan aroma, atau warna, atau rasa, maka air tersebut menjadi najis.

Dalam Al Mausu’ah tertulis:

اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ الْمَاءَ إِذَا خَالَطَتْهُ نَجَاسَةٌ، وَغَيَّرَتْ أَحَدَ أَوْصَافِهِ، كَانَ نَجِسًا، سَوَاءٌ أَكَانَ الْمَاءُ قَلِيلاً أَمْ كَثِيرًا. قَال ابْنُ الْمُنْذِرِ: أَجْمَعَ أَهْل الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ الْمَاءَ الْقَلِيل وَالْكَثِيرَ إِذَا وَقَعَتْ فِيهِ نَجَاسَةٌ، فَغَيَّرَتْ لِلْمَاءِ طَعْمًا أَوْ لَوْنًا أَوْ رَائِحَةً أَنَّهُ نَجِسٌ مَا دَامَ كَذَلِكَ.وَاخْتَلَفُوا فِي الْمَاءِ إِذَا خَالَطَتْهُ نَجَاسَةٌ وَلَمْ تُغَيِّرْ أَحَدَ أَوْصَافِهِ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Ahli fiqih sepakat bahwa air yang tercampur najis dan berubah salah satu sifatnya maka itu menjadi najis, baik air itu sedikit atau banyak. Ibnul Mundzir mengatakan: “Ulama sepakat bahwa air yang sedikit dan banyak jika terjatuh padanya najis lalu ada perubahan rasa, atau warna, atau aroma, maka itu najis selama keadaannya seperti itu. Para ulama berbeda pendapat jika air bercampr dengan yang najis tapi TIDAK BERUBAH SIFAT SALAH SATU AIR tersebut, dalam hal ini ada dua pendapat:

الْقَوْل الأْوَّل: أَنَّ الْمَاءَ إِذَا خَالَطَتْهُ نَجَاسَةٌ وَلَمْ تُغَيِّرْ أَحَدَ أَوْصَافِهِ، فَهُوَ طَاهِرٌ سَوَاءٌ أَكَانَ كَثِيرًا أَمْ قَلِيلاً، وَهَذِهِ رِوَايَةٌ عَنْ مَالِكٍ، وَإِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ أَحْمَدَ، وَبِهِ قَال بَعْضُ الشَّافِعِيَّةِ، وَإِلَيْهِ ذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ … الْقَوْل الثَّانِي: يُفَرِّقُ بَيْنَ كَوْنِهِ قَلِيلاً وَبَيْنَ كَوْنِهِ كَثِيرًا، فَإِنْ كَانَ الْمَاءُ قَلِيلاً يَنْجُسُ، وَإِنْ كَانَ كَثِيرًا لاَ يَنْجُسُ. وَإِلَى هَذَا ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ، وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنْ مَالِكٍ، وَالْمَذْهَبُ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ، وَالْمَشْهُورُ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ، وَهُوَ رَأْيُ جَمَاعَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ

Pertama. Air yang bercampur najis dan tidak ada perubahan salah satu sifatnya maka itu TETAP SUCI baik air itu sedikit atau banyak. Ini adalah salah satu riwayat dari Imam Malik, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan pendapat sebagian Syafi’iyyah, dan segolongan sahabat dan tabi’in. ….. Kedua. Dibedakan dulu antara sedikit dan banyaknya air, jika airnya sedikit maka itu najis, jika airnya banyak maka tidak najis. Inilah pendapat Hanafiyah, salah satu riwayat Imam Malik, dan madzhab Syafi’i, pendapat terkenal dari Hanabilah, ini juga pendapat segolongan sahabat dan tabi’in. (Al Mausu’ah, 39/367-368)

Jadi, jika air kolam tersebut tidak ada perubahan apa pun dari salah satu dari tiga (aeoma, rasa, warna), maka dia tetap suci menurut sebagian ulama dan tidak perlu membuang dan mengurasnya.

Ada pun jika sudah berubah, maka cara membersihkannya jika Hendaknya dikuras, disikat dindingnya karena dindingnya pasti bersentuhan dengan najisnya air kolam tersebut, lalu bilas, dan diganti air baru.

Kesimpulan:

– Jika cipratan kencing itu tidak merusak air, air itu tetap tidak berubah sifat dasarnya, yaitu aroma, rasa, dan warna, maka dia tetap suci, baik air itu jumlahnya sedikit atau banyak.

– Sementara Syafi’iyyah mensyaratkan jika sudah dua qullah maka itu tetap suci, tapi jika tidak mencapai dua qullah maka tidak mensucikan.

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍️ Farid Nu’man Hasan


🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

[1] HR. Abu Daud no. 67

[2] HR. Ibnu Majah no. 521. Para ulama mendhaifkan hadits ini seperti Imam Asy Syafi’iy, Imam An Nawawi, Imam Ibnul Mulaqin, dll

[3] Imam Ash Shan’aniy, Subulus Salam, 1/19

scroll to top