Shalat Raghaib

 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz. Ijin bertanya ttg lailatul/shalat raghaib, apa & bagaimana hukumnya. Jazakallahu khayr ustadz (+62 877-6567-xxxx)


 JAWABAN

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Penamaan Shalat Raghaib ada beberapa versi:

1. Shalat Raghaib Adalah 12 rakaat di malam pertama bulan rajab

Imam Nawawi menyebut sebagai bid’ah yang munkar, walau shalat tersebut ada disebutkan dalam kitab Ihya-nya Imam Al Ghazali dan Qutul Qulub-nya Abu Thalib Al-Makki.

Beliau berkata:

الصلاة المعروفة بصلاة الرغائب وهي ثنتى عشرة ركعة تصلي بين المغرب والعشاء ليلة أول جمعة في رجب وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة وهاتان الصلاتان بدعتان ومنكران قبيحتان ولا يغتر بذكرهما في كتاب قوت القلوب واحياء علوم الدين ولا بالحديث المذكور فيهما فان كل ذلك باطل

“Shalat yang sudah dikenal dengan sebutan shalat Ragha’ib yaitu shalat 12 rakaat yang dilakukan antara Maghrib dan Isya’, yakni malam awal hari Jumat pada bulan Rajab, dan shalat malam pada nishfu sya’ban seratus rakaat, maka dua shalat ini adalah bid’ah munkar yang buruk, janganlah terkecoh karena keduanya disebutkan dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya Ulumuddin , dan tidak ada satu pun hadits yang menyebutkan dua shalat ini, maka semuanya adalah batil.” (Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/56)

Hal senada dikatakan ulama lainnya seperti Abdul Muhsin Al ‘Abbad, Abdul Karim Khudhair, Abdullah Al Bassam, dll.

2. Shalat Raghaib Adalah Dua rakaat sebelum subuh

Kita sering menyebutnya sunnah fajar, atau qabliyah subuh. Ini sunnah yang begitu kuat.

Sebagaimana hadits dari jalur Anas:

عليكم بركعتي الفجر، فإن فيهما الرغائب

Hendaknya kalian melakukan dua rakaat sunnah fajar, karena di dalamnya terdapat RAGHAIB.

RAGHAIB, jamak dari raghibah, yang artinya harapan-harapan atau kehendak-kehendak.

Imam Shan’ani berkata:

وهي ما يرغب فيه من الأموال والذخائر أراد أن فيهما الأجر الجزيل والثواب الكثير

Itu adalah apa-apa yang diharapkan dari berbagai amal dan gudang simpanan, yang dari keduanya menginginkan pahala yang banyak besar dan banyak. (At Tanwir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, 7/315)

Juga jalur Ibnu Umar:

لا تدعوا الركعتين اللتين قبل صلاة الفجر فإن فيهما الرغائب

Jangan kalian tinggalkan Dua rakaat sebelum fajar (subuh) karena pada keduanya terdapat RAGHAIB.

Imam Al Munawi berkata:

أي ما يرغب فيه فإنه من عظيم الثواب وبه سميت صلاة الرغائب

Yaitu apa yang diinginkan padanya, sesungguhnya shalat ini terdapat pahala yang agung, dan dengannya dinamakan shalat RAGHAIB. (Faithful Qadir, 6/393)

Namun Riwayat ini dinilai dhaif, menurut Al Haitsami di dalam sanadnya terdapat Abdurrahim bin Yahya, dia dhaif. (Ibid)

3. Shalat Raghaib Adalah Dua Rakaat Shalat Dhuha

Hal ini juga berdasarkan Riwayat dari jalur Anas:

عليكم بركعتي الضحى، فإن فيهما الرغائب

Hendaknya kalian melalukan Dua rakaat shalat dhuha, karena di dalamnya terdapat RAGHAIB.

Imam Shan’ani berkata:

ما يرغب فيه من الأجر العظيم وبه سميت صلاة الرغائب

Apa-apa yg diinginkan padanya berupa pahala yang besar, dan dengannyalah dinamakan dengan shalat raghaib. (At Tanwir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, 7/315)

Hanya saja Riwayat ini juga dinilai dhaif, krn sanadnya terdapat Ibrahim bin Sulaiman az Ziyat. Yang dinilai dhaif para ulama seperti Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil fidh Dhu’afa.

Demikian. Wallahu A’lam

Baca juga: Shalat Awwabin; Shalat Dhuha atau Shalat Ba’da Maghrib?

✍ Farid Nu’man Hasan

Bolehkah Shalat Sunnah Qobliyah Subuh sebelum Adzan?

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz saya mau bertanya, tentang shalat kobliah subuh yang dikerjakan pada 5 menit sebelum adzan subuh, apakah diperbolehkan?

Jawaban

‌وعليكم السلام و رحمة الله و بركاته

Qabliyah subuh itu dilakukan di antara Azan dan Iqamah subuh, itu termasuk shalat rawatib. Tertulis dalam Al mausu’ah:

وهي السنن التابعة للفرائض ، ووقتها وقت المكتوبات التي تتبعها

“Ini adalah shalat sunah yang mengiringi/mengikuti shalat-shalat wajib, dan waktunya adalah sama dengan shalat wajib yang diiringinya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 22/44)

Imam Ibnu Qudamah mengatakan:

كل سنة قبل الصلاة , فوقتها من دخول وقتها إلى فعل الصلاة , وكل سنة بعدها , فوقتها من فعل الصلاة إلى خروج وقتها

Semua shalat sunnah qabliyah, waktunya adalah SETELAH masuk waktu utk melakukan shalat (wajib). Semua sunnah ba’diyah waktunya adalah sejak dilakukan shalat (wajib) sampai keluar (habis) waktu shalatnya.

(Al Mughni, 2/544)

Jadi kalau belum waktunya atau sebelum azan, bukan shalat rawatib qabliyah namanya. Jika dilakukan sebelum adzan subuh walau 5 menit, maka itu masih kategori shalat malam. Baik tahajud atau witir.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Membaca Al Fatihah Bagi Makmum, Bgmn Caranya?

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz saya mau bertanya, membaca surat al-Fatihah bagi makmum itu cukup dengan menggerakkan bibir saja atau sampai terdengar suara?

Jawaban

‌و عليكم السلام و رحمة الله و بركاته

– Dalam konteks mazhab Syafi’i, makmum tetap wajib baca Al-Fatihah

– Dalam mazhab Hanafi, tidak perlu baca Al-Fatihah baik dishalat sirr atau jahr

– Dalam mazhab Hambali dan Maliki, Al-Fatihah tetap dibaca jika shalatnya sirr, dan tidak dibaca jika shalatnya Jahr

– Bacanya bukan hati, sebab itu bukan membaca tapi merenung.

– Bacanya tetap mesti dilisankan, lisan digerakan, batasan minimal adalah hak-hak sifat hurufnya terpenuhi dengan mulut yang komat kamit, baik suara lirih untuk diri sendiri atau tidak bersuara..

Al Kharrasyi menjelaskan:

وَاعْلَمْ أَنَّ أَدْنَى السِّرِّ أَنْ يُحَرِّكَ لِسَانَهُ بِالْقِرَاءَةِ، فَإِنْ لَمْ يُحَرِّكْ لِسَانَهُ لَمْ يَجْزِهِ، لِأَنَّهُ لَا يُعَدُّ قِرَاءَةً بِدَلِيلِ جَوَازِهَا لِلْجُنُبِ، وَأَعْلَاهُ أَنْ يُسْمِعَ نَفْسَهُ فَقَطْ. انتهى

Ketahuilah, sirr yang paling minimal adalah menggerakkan lisan saat membaca, jika tidak bergerak maka itu tidak boleh sebab itu tidak dinamakan “qiro’ah” (membaca), dalilnya orang junub masih boleh baca dihati. Ada pun sirr yang paling maksimal adalah terdengar oleh diri sendiri saja. (Syarh Al Kharrasyi ‘ala Mukhtashar Al Khalil, 1/275)

Wallahu a’lam.

✍ Farid Nu’man Hasan

Walimatussafar Bagi Yang Hendak Haji atau Umrah

Di banyak negeri muslim, bukan hanya Indonesia, banyak kaum muslimin yang melakukan walimatussafar

Yaitu mengundang saudara, kerabat, kawan handai taulan, untuk makan-makan, dan mendoakan yang akan pergi.

Ini adalah perkara adat, kebiasaan duniawi, bukan bagian dari ibadah haji atau umrah itu sendiri.

Seseorang mengumpulkan manusia disaat dirinya bergembira lalu mengundang makan-makan, adalah perkara yg berlangsung berabad-abad lamanya sejak zaman salaf. Hal itu dilakukan para sahabat dan generasi setelahnya.

Hal ini dibolehkan dan bagus-bagus saja, tahaduts bin ni’mah, asalkan tidak sampai berlebihan dan ajang pamer kesombongan, sum’ah, atau tercampur hal-hal yg munkar.

Kaidahnya, seperti yang disampaikan Imam Ibnu Taimiyah:

والأصل في العادات لا يحظر منها إلا ما حظره الله

Hukum asal dari adat adalah tidak terlarang kecuali apa-apa yang Allah larang. (Majmu’ Al Fatawa, 17/29)

Oleh karenanya, umumnya para ulama tidak mempermasalahkan adat walimatussafar yg biasa dilakukan calon jamaah haji dan umrah.

Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan:

فعمل الحاج وليمة لعائلته وأحبابه قبل ذهابه للحج وبعد رجوعه منه شيء حسن وعادة طيبة لأن في ذلك إطعام الطعام وهو مرغب فيه، وفيه دعوة للألفة والمحبة، قال الإمام النووي رحمه الله في المجموع: يستحب النقيعة وهي طعام يعمل لقدوم المسافر ويطلق على ما يعمله المسافر القادم وعلى ما يعمله غيره له
ولكن ننبه إلى أنه ينبغي ألا يكون في ذلك إسراف أو مشقة وحرج على الحاج

Yang dilakukan jamaah haji, pesta untuk keluarganya dan handai taulannya sebelum bepergian haji atau sepulangnya dari haji adalah sesuatu yang baik, dan kebiasaan yang bagus. Sebab dalam acara ini ada jamuan makan yang memang dianjurkan, suasana ikatan dan cinta. Imam An Nawawi Rahimahullah  mengatakan dalam Al Majmu’: “Disunahkan melakukan Naqi’ah, yaitu jamuan makan untuk menyambut kedatangan musafir, dan secara mutlak juga dianjurkan bagi  yang musafir  datang itu untuk menghargai perbuatan orang lain itu untuknya.

Tetapi kami memberikan peringatakan hendaknya tidak melakukan secara berlebihan atau hal yang susah bagi orang yang akan haji.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 47017)

Wallahu a’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top