Hijrah dan Profesionalitas

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Baqarah: 218)

Jalan hijrah dan jihad tidak bisa dipisahkan. Tidak mungkin seseorang bisa maksimal jihad tanpa diawali hijrah yang benar. Oleh karena itu, Syaikh Abdullah ‘Azzam Rahimahullah menegaskan dari ayat di atas bahwa Islam dibangun atas tiga prinsip: iman, hijrah, dan jihad. Iman adalah fondasinya, hijrah disertai i’dad (persiapan) adalah prosesnya, dan jihad adalah puncaknya. Kemudian Allah Ta’ala turunkan rahmat yaitu ampunan dan surgaNya, sebagaimana kata Imam Ibnul Jauzi. (Zaadul Masir, 1/183)

Dua Model Hijrah

Hijrah bermakna at tarku (meninggalkan) dan al intiqaal (perpindahan), yaitu perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, dari satu keadaan ke keadaan lainnya. Para ulama sering mengartikan perpindahan dari negeri kufur ke negeri tauhid, inilah Hijrah Makani. Minimal perpindahan dari daerah yang memusuhi dakwah ke daerah yang kondusif bagi dakwah seperti dahulu dari Mekkah ke Madinah. Para ulama mengatakan hijrah jenis ini wajib disaat umat Islam tidak dapat menjalankan kewajiban agamanya dengan bebas.

Syaikh Sa’di Abu Habib mengatakan, hijrah itu tarku maa nahallahu ‘anhu – meninggalkan apa yang Allah Ta’ala larang, sebagaimana yang dikatakan Al Hafizh Ibnu Hajar. (Al Qamus Al Fiqhi, hlm. 365). Inilah yang diistilahkan dengan Hijrah Ma’nawi, yaitu hijrah secara value, nilai hidup, pandangan hidup, dan sikap. Dari syirik menjadi tauhid, maksiat menjadi ta’at, malas menjadi giat, membangkang menjadi tunduk dan pasrah kepada syariat, musik menjadi murattal, komunitas fasiq dan sekuler menjadi komunitas Islami, cuek dengan nasib kaum muslimin menjadi peduli, bakhil menjadi dermawan, terbuka aurat menjadi tertutup rapat sempurna, dst.

Hijrah Mekkah ke Madinah; Profesionalitas yang menyejarah

Jika kita kaji proses hijrah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat dari Mekkah ke Madinah, kita akan dapati apa yang namanya profesional (al Itqan) dalam amal. Sebelum hijrah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengirim Mush’ab bin Umair Radhiallahu ‘Anhu, untuk lebih dulu berangkat untuk melakukan conditioning masyarakat Madinah. Mengenalkan Islam kepada masyarakat Madinah sebelum hijrah terlaksana, agar mereka sudah siap menyambut kedatangan kaum muslimin Muhajirin (Mekkah). Dipilihnya kota Yastrib (Madinah), juga pilihan yang jitu, sebab mata pencaharian masyarakatnya yang umumnya petani dan berkebun, membentuk mereka untuk tidak gampang curiga dengan pendatang. Berbeda dengan Mekkah yang umumnya para pedagang yang hidupnya dipenuhi intrik dan tipu menipu.

Kemudian, ketika menjelang hijrah, orang Quraisy mengepung rumah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk membunuhnya agar hijrah tidak terlaksana, sebuah rencana yang mereka sepakati di Darun Nadwah. Maka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menunjuk Ali Radhiallahu ‘Anhu sebagai penggantinya di kasur. Dipilihnya Ali, karena Beliau anak Abu Thalib, yang jika dibunuh maka murkalah Bani Hasyim. Ditambah lagi cara orang Quraisy membunuh tidak pernah asal bunuh dibalik selimut, tapi mereka membukanya dulu agar tidak salah sasaran. Artinya, sudah diperkirakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa Ali Radhiallahu ‘Anhu tidak akan terbunuh. Bebas dari situ, dengan izin Allah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersembunyi di gua Hira, bersama Abu Bakar, di temani seorang pemandu bernama Abdullah bin Uraiqith, yang masih musyrik. Ada pun makanan diurus oleh Asma binti Abu Bakar, sementara yang mengamati kondisi kota Mekkah adalah putra Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu, yaitu Abdullah. Sedangkan sang Jawara, Umar bin Khathab Radhiallahu ‘Anhu, hijrah paling akhir sebagai tim sapu jagat, karena sudah diketahui tidak akan ada yang mengganggunya walau dia sendirian. Akhirnya, mereka sampai ke Madinah dengan selamat dan menjadi tonggak baru sejarah dakwah Islam. Hijrah ini begitu berjalan berat, jauh, sulit, namun dijalankan dengan begitu rapi sejak awal sampai akhirnya. Maka, Allah Ta’ala memuji mereka dengan ayat “kalian umat yang terbaik”, Imam Ibnu Jarir mengatakan umat terbaik dalam ayat ini adalah para sahabat nabi yang berhijrah dari Mekkah ke Madinah. (Tafsir Ath Thabari, 7/100-101)

Bagaimana dengan kita?

Proses hijrah hanyalah salah satu contoh saja tentang aksi munazhzham fi syu’unih – rapi dan teratur aktifitasnya, yang terjadi pada masa awal Islam. Hari ini, kita ada perhelatan besar yang mau tidak mau kita mesti mengikutinya sebagai bagian dari umat Islam dan warga negara Indonesia, yaitu kontestasi dalam politik. Tentunya kembali kepada kita, apakah kita hanya menjadi pembaca sejarah atau ingin mengambil pelajaran dari sejarah?

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسانِ

Sesungguhnya Allah memerintahkan agar berbuat adil dan Ihsan. (QS. An nahl: 90)

Wallahu yahdina ilaa sawaa’is sabiil

✍ Farid Nu’man Hasan

Ijtihad Para Sahabat

PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustad.
Mohon kesediaannya menjelaskan pertanyaan saya.

Dalam berijtihad seseorang bisa salah atau benar,jika benar maka mendapatkan 2 fahala jika salah mendapatkan satu fahala bagi Mujtahid.

Apakah Para sahabat pernah salah dalam berijtihad,jika pernah adalah qoul ulama yg menjelaskan tentang larangan tidak boleh mngikuti ijtihad tersebut ?

Trimaksih ustad.

JAWABAN

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Para sahabat pernah salah dalam ijtihad, misalnya:

– Berkenaan tawanan perang Badr. Abu Bakar berpendapat BEBASKAN saja, sedangkan Umar berpendapat bunuh semua. Umumnya para sahabat ikut pendapat Abu Bakar. Ternyata Allah Ta’ala membenarkan pendapat Umar, radhiallahu ‘anhum.

– Terjadinya Perang Shiffin, antara pengikut Ali dan Muawiyah, menurut Imam an Nawawi karena perbedaan ijtihad mereka. Muawiyah berpendapat cari dan hukum pembunuh Utsman, sementara Ali berkehendak menunda hal itu tetapi lebih memilih menstabilkan kondisi negara terlebih dahulu yang banyak pemberontakan sana sini. Para ulama ahlus sunnah umumnya mengatakan pendapat Ali yang benar, Muawiyah yang keliru. Radhiallahu ‘anhuma.

Sebuah ijtihad jika telah jelas salahnya maka TIDAK BOLEH DIIKUTI. Tapi jika masih samar, sehingga sebagian orang memilih ijtihad yang satu, pihak lain memilih yang lain, maka tidak boleh ada pengingkaran yang satu atas yang lainnya, sebab belum ada kejelasan mana yang benar-benar salah atau benar dalam ijtihadnya.

Imam Ibnu Daqiq al ‘Id menjelaskan sbb:

والعلماء إنما ينكرون ما أجمع عليه أما المختلف فيه فلا إنكار فيه لأن على أحد المذهبين: أن كل مجتهد مصيب وهو المختار عند كثير من المحققين. وعلى المذهب الآخر: أن المصيب واحد والمخطئ غير متعين لنا والإثم موضوع عنه لكن على جهة النصيحة للخروج من الخلاف فهو حسن مندوب إلى فعله برفق

Para ulama hanyalah mengingkari apa-apa yang telah ijma’ (kemungkarannya), sedangkan perkara yg masih diperselisihkan tidak boleh ada pengingkaran dalam hal itu. Sebab, bagi seseorang ada dua madzhab yang berlaku:

1. Seluruh Mujtahid itu benar. Inilah yang dipilih oleh banyak muhaqqiq (peneliti).

2. Yang benar hanya satu yang lainnya salah, namun yg salah itu tidak tentu yg mana, dan dosa tidak berlaku.

Namun dia dinasihati agar keluar dari perselisihan. Ini adalah hal yang bagus dan diajurkan melakukannya dengan lembut.

(Imam Ibnu Daqiq al ‘Id, Syarah al Arbain an Nawawiyah, Hal. 113)

Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Talfiq Dalam Mazhab

Definisi Talfiq

Talfiq adalah:

هو ما كان في المسألة الواحدة بالأخذ بأقوال عدد من الأئمة فيها، أما الأخذ بأقوال الأئمة في مسائل متعددة فليس تلفيقا، وإنما هو تنقل بين المذاهب أو تخير منها

Yaitu mengambil beberapa pendapat para imam dalam satu permasalahan, ada pun mengambil beberapa pendapat imam dalam beberapa permasalahan bukanlah talfiq, itu adalah menukil atau memilih di antara pendapat-pendapat mazhab.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 13/294)

Contoh talfiq:

– Dalam hal akad nikah, seseorang yang nikah tanpa wali dan tanpa saksi, hanya ada penganten, ijab qabul dan mahar. Alasannya, karena menurut Hanafiyah adanya wali bukanlah rukun nikah. Ada pun tanpa saksi, karena menurut Malikiyah saksi bukanlah rukun nikah. Ini adalah tatabbu’ ar rukhash (nyari yang enak-enak) dari perbedaan mazhab, ini tercela dan batil.

– Dalam hal shalat, seseorang meyakini mimisan tidak batal shalat, sebagaimana Syafi’iyah. Dia tidak ikut pendapat Hanafiyah yang menyatakan batal. Tp, saat yang bersamaan dia bersentuhan wanita bukan mahram, dia ambil pendapat Hanafiyah bahwa itu tidak batal wudhunya yang dapat membatalkan shalatnya, dia tidak ambil pendapat Syafi’iyyah yang mengatakan batal.

Hukum Talfiq

Imam Ibnu ‘Abidin mengatakan:

والْحُكْمَ الْمُلَفَّقَ بَاطِلٌ بِالإِْجْمَاعِ

Keputusan hukum berdasarkan talfiq adalah batil berdasarkan ijma’. (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 4/363)

Adakah talfiq yang diperbolehkan?

– Jika talfiq tersebut adalah mencampur beberapa pendapat mazhab dalam satu masalah, atas dasar hawa nafsu, mencari yang ringan-ringan dan enak-enak, maka ini terlarang dan tidak ada beda pendapat ulama dalam larangannya.

– Jika talfiq terjadi karena adanya situasi haraj (sulit) atau masyaqqah (sempit/payah), maka hal itu diperbolehkan.

Misal, seorang khathib yang ikut Syafi’iyyah meyakini bahwa Shalawat itu salah satu rukun khutbah Jumat, sedangkan menurut Malikiyah dan Hanafiyah bukan rukun. Lalu saat khutbah Jumat, dia kejatuhan tahi burung, dan itu najis menurut Syafi’iyyah. Jika dia keukeuh dengan pendapat itu, maka dia akan mengalami kesulitan, dia mesti ganti pakaian dulu, atau pulang dulu ganti pakaian, tentu ini mengacaukan prosesi khutbah dan shalat Jumat. Dalam kondisi seperti itu, dia boleh ambil pendapat Malikiyah yang mengatakan kotoran burung itu bukan najis, sementara itu menurut Malikiyah Shalawat bukanlah rukun khutbah. Ini boleh dilakukan untuk raf’ul haraj (menghilangkan kesulitan) bagi dirinya dan mendapatkan maslahat bagi jamaah. Kasus-kasus seperti ini juga dilakukan para ulama terdahulu.

– Sebagian ulama membolehkan talfiq jika didasari tarjih, adu kuat dalil, bukan mencari yg enak-enak, di antara yg menyatakan demikian adl Syaikh Ahmad Ad Dusuqi Al Maliki. (Hasyiyah Ad Dusuqi, 1/20). Ini bukan domain org awam.

Ini juga pendapat Imam Ar Ruhaibani Al Hambali:

وَاَلَّذِي أَذْهَبُ إلَيْهِ وَأَخْتَارُهُ : الْقَوْلُ بِجَوَازِ التَّقْلِيدِ فِي التَّلْفِيقِ ، لَا بِقَصْدِ تَتَبُّعِ ذَلِكَ ؛ لِأَنَّ مَنْ تَتَبَّعَ الرُّخَصَ فَسَقَ

Pendapat yang aku ikuti dan aku pilih adalah pendapat yg mengatakan bolehnya taklid dalam talfiq, bukan bermaksud untuk mencari yang ringan-ringan, karena mencari yang ringan-ringan adalah kefasikan.

(Mathalib Ulin Nuha, 1/391)

Yang Bukan Talfiq

Ada pun mengikuti mazhab tertentu dalam satu masalah, lalu dia ikut mazhab lain dalam masalah lain, maka ini bukan talfiq.

Syaikh Walid bin Rasyid As Su’aidan mengutip dari Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam Rahimahullah, pemuka madzhab Syafi’i yang dijuluki Sulthanul ‘Ulama di masanya:

يجوز تقليد كل واحدٍ من الأئمة الأربعة رضي الله عنهم ، ويجوز لكل واحدٍ أن يقلد واحداً منهم في مسألة ويقلد إماماً آخر منهم في مسألة أخرى ، ولا يجوز تتبع الرخص

Diperbolehkan taklid terhadap salah satu imam madzhab yang empat, dan setiap orang boleh saja mengikuti salah satu dari pendapat mereka dalam satu masalah dan mengikuti pendapat imam lainnya dalam masalah yang lain, namun tidak diperkenankan mencari-cari rukhshah (yang gampang-gampang). (Syaikh Walid bin Rasyid As Su’aidan,

Ta’rif ath Thulab bi Ushul al Fiqh fi Su’al wa Jawab, hal. 102)

Syaikh Abdul Fattah Rawwah Al Makki menjelaskan:

(انه) يجوز تقليد كل واحد من الآئمة الآربعة رضي الله عنهم ويجوز لكل واحد آن يقلد واحدا منهم فى مسالة ويقلد اماما آخر في مسالة آخرى ولا يتعين تقليد واحد بعينه في كل المسائل

Bahwa sesungguh nya diperbolehkan taklid terhadap salah satu imam madzhab yang empat, dan setiap orang boleh saja mengikuti salah satu dari mereka dalam satu masalah dan mengikuti imam lainnya dalam masalah yang lain. Tidak ada ketentuan yang mengharuskan mengikuti satu mazhab dalam semua masalah.

(Syaikh Abdul Fattah Rawwah Al Makki, Al Ifshah ‘ala Masailil Idhah ‘alal Madzahib al Arba’ah, hal. 219)

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Lebih Baik Tahajud Berjamaah Atau Sendiri Aja?

PERTANYAAN:

Mana lebih afdhal shalat tahajjud sendirian dengan baca bacaan ayat yang difahami artinya, ketimbang shalat berjamaah suami dengan bacaan ayat-ayat tidak dipahami artinya bahkan ayat yang kita tidak hafal? (Ustzh A Maemunah DSW Sulbar)

JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Shalat sunnah, umumnya dilakukan sendiri. Itulah yang lebih utama dibanding berjamaah, kecuali shalat sunnah tertentu seperti tarawih, istisqa, khusuf/kusuf, dan shalat di dua hari raya.

Imam An Nawawi menjelaskan:

أَنَّ النَّوَافِلَ لَا تُشْرَعُ الْجَمَاعَةُ فِيهَا إلَّا فِي الْعِيدَيْنِ وَالْكُسُوفَيْنِ وَالِاسْتِسْقَاءِ وَكَذَا التَّرَاوِيحُ وَالْوِتْرُ بَعْدَهَا إذَا قُلْنَا بِالْأَصَحِّ إنَّ الْجَمَاعَةَ فِيهَا أَفْضَلُ وَأَمَّا بَاقِي النَّوَافِلِ كَالسُّنَنِ الرَّاتِبَةِ مَعَ الْفَرَائِضِ وَالضُّحَى وَالنَّوَافِلِ الْمُطْلَقَةِ فَلَا تُشْرَعُ فِيهَا الْجَمَاعَةُ أَيْ لَا تُسْتَحَبُّ لَكِنْ لَوْ صَلَّاهَا جَمَاعَةً جَازَ وَلَا يُقَالُ إنَّهُ مَكْرُوهٌ وَقَدْ نَصَّ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي مُخْتَصَرَيْ الْبُوَيْطِيِّ وَالرَّبِيعِ عَلَى أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِالْجَمَاعَةِ فِي النَّافِلَةِ وَدَلِيلُ جَوَازِهَا جَمَاعَةُ أَحَادِيثَ كَثِيرَةٍ فِي الصَّحِيحِ

ٍShalat nawafil (sunnah) tidaklah disyariatkan secara berjamaah kecuali shalat ‘id, gerhana (matahari dan bulan), istisqa’, demikian juga tarawih dan witir setelahnya. kami katakan dengan yang lebih shahih bahwa berjamaah pada shalat-shalat ini lebih utama. Ada pun shalat-shalat sunnah lainnya, seperti rawatib, dhuha, shalat mutlak, tidaklah disyariatkan berjamaah yaitu tidak mustahab (sunnah), tapi jika dilakukan berjamaah maka itu boleh, dan tidak dikatakan makruh. Imam Asy Syafi’i telah mengatakan dalam Mukhtashar Al Buwaithi dan Ar Rabi’, bahwa tidak apa-apa shalat sunnah berjamaah. Dalil kebolehannya sejumlah hadits yang banyak dalam kitab Shahih. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/55)

Maka, jika seseorang istri memilih sendiri shalat tahajud, maka itu sesuai keumuman keutamaan shalat sunnah yang memang lebih utama sendiri.

Ada pun jika berjamaah tahajud bersama suami, bukan berarti tidak ada keutamaan, itu pun memiliki keutamaan yang luar biasa berdasarkan hadits berikut:

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا أَيْقَظَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّيَا أَوْ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَمِيعًا كُتِبَا فِي الذَّاكِرِينَ وَالذَّاكِرَاتِ

“Jika seorang laki-laki bangun tidur pada malam hari, lalu membangunkan isterinya untuk shalat dua rakaat bersama-sama (jami’an), maka mereka berdua dicatat sebagai orang yang banyak berdzikir. ” (HR. Abu Daud no. 1309. Imam An Nawawi menyatakan shahih. Lihat Riyadhushshalihin, hal. 134)

Shalat tahajudnya sendiri adalah sunnah, ada pun berjamaahnya adalah sekedar boleh saja selama tidak dilakukan sebagai kebiasaan.

Imam Ibnu Taimiyah mengatakan:

مَا لَيْسَ بِسُنَّةِ رَاتِبَةٍ مِثْلَ الِاجْتِمَاعِ لِصَلَاةِ تَطَوُّعٍ مِثْلَ قِيَامِ اللَّيْلِ أَوْ عَلَى قِرَاءَةِ قُرْآنٍ أَوْ ذِكْرِ اللَّهِ أَوْ دُعَاءٍ . فَهَذَا لَا بَأْسَ بِهِ إذَا لَمْ يُتَّخَذْ عَادَةً رَاتِبَةً

Hal Sunah yang bukan rawatib, berkumpul untuk melaksanakan tathawwu’ (ibadah sunah), seperti qiyamullail, membaca Al Quran, dzikrullah, atau berdoa. Itu semua tidak apa-apa dilakukan berjamaah, jika tidak dijadikan kebiasaan. (Majmu’ Al Fatawa, 23/132)

Kadang, persoalan ini tidak bisa dipukul rata. Ada orang tertentu merasa lebih nikmat, syahdu, dan khusyu’ shalat malam secara berjamaah dengan imam yang bacaannya bagus dan merdu, dibanding dia shalat sendiri yang surat dibaca itu-itu lagi. Walau pun hukumnya tetap boleh, bisa jadi buat orang seperti ini -saat itu- dia lebih baik berjamaah dengan imam yang bagus itu dibanding dia shalat sendiri dengan bacaan yang tidak terlalu bagus dan tidak mengantarkannya kepada kekhusyukan.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top