Shalat Sulit Menghadap Kiblat

Pertanyaan

Saya menyampaikan pertanyaan teman saya yang sedang ditahan didalam penjara, teman saya mengalami kesulitan dalam sholat terutama dalam hal arah kiblat, karena di sel khusus arah kiblat sholat tidak sesuai dengan semestinya karena sangat sempit, apa hukumnya jika sholat dilakukan dengan arah kiblat yang tidak sesuai? Apakah sah sholatnya? Mengingat teman saya sudah lama di dalam sel tersebut. Sandhi, Bandung

Jawaban

Bismillahirrahmanirrahim..

Salah satu syarat sahnya shalat -dan tidak ada beda pendapat dalam hal ini- adalah menghadap kiblat bagi YANG MAMPU. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, jilid. 32, hal. 302)

Dengan kata lain, bagi yang tidak mampu seperti orang yang berbaring sakit dan lemah, orang yang terikat di kayu, orang yang tenggelam, orang yang dikendaraan dan tidak bisa turun karena khwatir jiwa atau hartanya, atau dia takut tertinggal rombongannya, maka dia shalat sesuai kemampuan kondisinya. (Ibid, jilid. 32, hal. 302)

“Tidak tahu atau sulit ke arah kiblat” seperti yang ditanyakan karena sedang berada di sel atau di penjara, tidak satu pun yang tahu arah kiblat, tidak ada info dari siapa pun, atau dia di penjara seorang diri, dia sudah berusaha kuat untuk mencari arah kiblatnya, atau sudah tahu tapi sangat sulit ke arah kiblat, maka kemana saja dia mengarah maka dia tetap sah.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

فَا تَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.

(QS. At-Taghabun: Ayat 16)

Ayat lainnya:

وَلِلّٰهِ الْمَشْرِقُ وَا لْمَغْرِبُ فَاَ يْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ وَا سِعٌ عَلِيْمٌ

Dan milik Allah Timur dan Barat. Ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.
(QS. Al-Baqarah : 115)

Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan:

Empat orang melaksanakan shalat dan masing-masing orang menghadap kea rah yang berbeda dengan lainnya dan masing-masing meyakini bahwa kiblat ada di arah mereka. Maka shalat keempat orang itu benar (sah) adanya, sedangkan shalat yang tepat mengahdap kiblat, dialah yang mendapat dua pahala. (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa, Jilid, 20, hal. 224)

Ada pun jika kondisinya arah kiblat sudah diketahui secara pasti, dan mampu, maka mestilah ke arah itu, dan tidak sah ke arah lainnya.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Menulislah, Agar Kebaikanmu Terus Menemanimu!

Saat kita mati, tubuh kita akan membusuk lalu menjadi tulang belulang.

Saat kita mati, ibadah fisik sudah tidak bisa kita jalankan, tinggal pahalanya yang kita peroleh, itu pun jika amal tsb benar-benar diterima sebagai amal shalih yang berpahala

Saat kita mati, kita sudah tidak bisa lagi mengajar, tidak bisa lagi hadir di majelis ilmu, baik sebagai nara sumber atau peserta

Saat kita mati, bisa jadi manusia perlahan akan melupakan kita, melupakan majelis kita bahkan nama kita

Tapi, ada cara “mengabadikan” dan mendokumentasikan kebaikan itu.. Yaitu tulislah kebaikan, ide, ilmu, gagasan, pengajaran, dan apa pun yang bermanfaat..

Baik buku, jurnal, esay, makalah, artikel, dan lainnya. Tidak apa-apa jika sedikit pembacanya disaat kemunculannya. Sebab, itu tetap menjadi data base diri kita di dunia yang suatu saat manusia akan membutuhkan dan mencarinya.

Imam asy Syafi’i sudah wafat 12 Abad lalu, tapi karyanya masih kita nikmati. Pahala ilmu bermanfaat tiada henti baginya..

Begitu pula para imam hadits seperti Bukhari, Muslim, dan ashabus sunan, mereka wafat sudah 11 Abad lalu.. Tp kumpulan hadits mereka menjadi rujukan miliyaran umat Islam

Inilah cara cerdik mengawetkan manfaat ilmu dan amal shalih…

Telah shahih dari Umar bin Khathab dan Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhuma, mereka berkata:

قَيَّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابَةِ

Ikatlah ilmu dengan tulisan

(Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak, Ath Thabarani dalam Al Kabir, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, dll)

Telah shahih pula dari Anas bin Malik bahwan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

قَيَّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابِ

Ikatlah ilmu dengan (menulis) buku

(HR. Khathib Al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyqi, Ibnu Abdil Bar dalam Jaami’ Al Bayan Al ‘Ilmi wa Fadhlih, Ramahurmuzi dalam Al Muhaddits Al Fashil, dll)

Begitulah, mujahid ditemani dan dikenang karena darahnya, para ulama ditemani dan dikenang karena goresan tintanya.

Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

✍ Farid Nu’man Hasan

Shalat Shubuh di Indonesia Terlalu Pagi?

Bismillahirrahmanirrahim..

Masalah ini beberapa kali kembali ditanyakan, dan sudah pernah kami bahas kira-kira tahun 2008-2009 lalu. Sudah puluhan tahun kaum muslimin menggunakan patokan waktu shalat yang tertera dari tim ahli kementerian agama. Selama itu pula kaum muslimin nyaman dan tenang menggunakannya.

Waktu Subuh adalah Fajar Shadiq (sudah terang), tapi menyegerakannya saat gelap adalah sunnah

Kita mengetahui bahwa Shalat adalah ibadah yang telah ditentukan waktunya. Waktu-waktu itu, sudah diterangkan secara rinci dalam as-Sunah, dan diisyaratkan pula dalam al-Qur’an.

Tak terkecuali Shalat Subuh. Shalat Subuh dimulai dari terbitnya fajar shadiq (langit sudah mulai agak terang di ufuk secara merata) hingga terbitnya matahari. Hal ini berdasarkan hadits Jibril ‘Alaihissalam berikut (haditsnya cukup panjang, saya kutip bagian waktu Shalat Subuh saja),

ثُمَّ جَاءَهُ لِلصُّبْحِ حِينَ أَسْفَرَ جِدًّا فصل فصلى العشاءفَصَلَّى الصُّبْحَ

“Kemudian dia (Jibril) mendatanginya untuk Shalat Subuh ketika langit terang, lalu dia berkata, ‘Bangunlah dan shalatlah!’ maka Beliau (Rasulullah) melaksanakan Shalat Subuh.”  (HR.  An Nasa’i no. 526 , Ahmad no. 14011, shahih)

Dalam hadits ini disebutkan, “Hiina Asfara Jiddan” (ketika langit benar-benar menguning). Maksudnya ketika langit benar-benar terang. Inilah yang disebut dengan fajar shadiq dan inilah dimulainya waktu Subuh. Tetapi disukai untuk menyegerakannya.

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

بتدئ الصبح من طلوع الفجر الصادق ويستمر إلى طلوع الشمس، كما تقدم في الحديث.استحباب المبادرة لها

“Shalat subuh dimulai dari terbitnya fajar shadiq dan terus berlangsung hingga terbit matahari, sebagaimana yang telah lalu dijelaskan dalam hadits. Dan disukai untuk menyegerakannya.” (Fiqhus Sunnah, 1/104. Darul Kitab al-‘Arabi)

Kapan menyegerakannya?

Disunahkan untuk disegerakan, apa maksud “menyegerakannya”? yakni ketika masih gelap (ghalas), berdasarkan riwayat shahih berikut:

Dari Abu Mas’ud al-Anshari Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

وَصَلَّى الصُّبْحَ مَرَّةً بِغَلَسٍ ثُمَّ صَلَّى مَرَّةً أُخْرَى فَأَسْفَرَ بِهَا ثُمَّ كَانَتْ صَلَاتُهُ بَعْدَ ذَلِكَ التَّغْلِيسَ حَتَّى مَاتَ وَلَمْ يَعُدْ إِلَى أَنْ يُسْفِرَ

“Dan Beliau (Rasulullah) Shalat Subuh di saat gelap pada akhir malam. Kemudian beliau shalat pada kesempatan lain ketika mulai terang. Kemudian setelah itu shalat beliau dilakukan saat gelap dan itu dilakukannya sampai wafat. Beliau tidak lagi melakukannya di waktu hari telah terang.”

(HR. Abu Daud No. 394, diriwayatkan pula dari jalur Jabir dengan sanad shahih, Abu hurairah dengan sanad hasan, dan Abdullah bin Amr bin al-‘Ash dengan sanad hasan)

Menyegerakan subuh di waktu gelap merupakan mayoritas dilakukan di negeri-negeri muslim, dan pendapat sebagian sahabat nabi, seperti Umar, Utsman, Anas, Abu Hurairah, Ibnu Zubeir, Abu Musa, Ibnu Mas’ud, Abu Mas’ud, penduduk Hijaz, dan dikalangan imam kaum muslimin seperti Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Al Auza’I, Daud, dan Abu Ja’far Ath Thabari.

Hadits di atas menyebutkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Shalat subuh saat ghalas. Imam Ibnul Atsir mengatakan ghalas adalah kegelapan malam bagian akhir ketika akan bercampur dengan terangnya pagi. (‘Aunul Ma’bud, 2/45. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim Abadi Rahimahullah menjelaskan:

وَالْحَدِيث يَدُلّ عَلَى اِسْتِحْبَاب التَّغْلِيس وَأَنَّهُ أَفْضَل مِنْ الْإِسْفَار وَلَوْلَا ذَلِكَ لَمَا لَازَمَهُ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى مَاتَ ، وَبِذَلِكَ اِحْتَجَّ مَنْ قَالَ بِاسْتِحْبَابِ التَّغْلِيس . وَقَدْ اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِي ذَلِكَ فَذَهَبَ مَالِك وَالشَّافِعِيّ وَأَحْمَد وَإِسْحَاق وَأَبُو ثَوْر وَالْأَوْزَاعِيُّ وَدَاوُدُ وَأَبُو جَعْفَر الطَّبَرِيُّ وَهُوَ الْمَرْوِيّ عَنْ عُمَر وَعُثْمَان وَابْن الزُّبَيْر وَأَنَس وَأَبِي مُوسَى وَأَبِي هُرَيْرَة إِلَى أَنَّ التَّغْلِيس أَفْضَل وَأَنَّ الْإِسْفَار غَيْر مَنْدُوب ، وَحَكَى هَذَا الْقَوْل الْحَازِمِيُّ عَنْ بَقِيَّة الْخُلَفَاء الْأَرْبَعَة وَابْن مَسْعُود وَأَبِي مَسْعُود الْأَنْصَارِيّ وَأَهْل الْحِجَاز ، وَاحْتَجُّوا بِالْأَحَادِيثِ الْمَذْكُورَة فِي هَذَا الْبَاب وَغَيْرهَا ، وَلِتَصْرِيحِ أَبِي مَسْعُود فِي هَذَا الْحَدِيث بِأَنَّهَا كَانَتْ صَلَاة النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ التَّغْلِيس حَتَّى مَاتَ وَلَمْ يَعُدْ إِلَى الْإِسْفَار . وَقَدْ حَقَّقَ شَيْخنَا الْعَلَّامَة السَّيِّد مُحَمَّد نَذِير حُسَيْن الْمُحَدِّث هَذِهِ الْمَسْأَلَة فِي كِتَابه مِعْيَار الْحَقّ : وَرَجَّحَ التَّغْلِيس عَلَى الْإِسْفَار وَهُوَ كَمَا قَالَ . وَذَهَبَ الْكُوفِيُّونَ أَبُو حَنِيفَة رَضِيَ اللَّه عَنْهُ وَأَصْحَابه وَالثَّوْرِيُّ وَالْحَسَن بْن حَيّ ، وَأَكْثَر الْعِرَاقِيِّينَ وَهُوَ مَرْوِيّ عَنْ عَلِيّ وَابْن مَسْعُود إِلَى أَنَّ الْإِسْفَار أَفْضَل

“Hadits ini menunjukkan bahwa disunahkannya (Shalat Subuh) pada saat gelap. Ini lebih afdhal dibanding ketika terang. Seandainya tidak demikian, mengapa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merutinkannya hingga beliau wafat? Dan dengan inilah hujjah orang-orang yang mengatakan disukainya waktu gelap (akhir malam). Para ulama telah berbeda pendapat dalam hal ini. Pendapat Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, al-Auza’i, Daud, Abu Ja’far ath-Thabari, dan pendapat ini juga diriwayatkan dari Umar, Utsman, Ibnu Zubeir, Anas, Abu Musa al-Asy’ari, dan Abu Hurairah, bahwa ketika gelap adalah lebih utama. Sedangkan ketika terang tidaklah dianjurkan (ghairu mandub). Secara kuat disebutkan bahwa ini juga pendapat Khulafa’ur Rasyidin lainnya, juga Ibnu Mas’ud, Abu Mas’ud al-Anshari, dan penduduk Hijaz. Mereka berhujjah dengan hadits-hadits yang telah disebutkan dalam masalah ini dan hadits lainnya. Dan juga penjelasan Abu Mas’ud dalam hadits ini bahwa shalatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah dalam keadaan gelap (at-Taghlis) dilakukannya sampai beliau wafat, dan dia tidak lagi melakukan dalam keadaan terang. Syaikh kami al-‘Allamah as-Sayyid Muhammad Nadzir Husain telah meneliti masalah ini dalam kitabnya, Mi’yar Al Haq: Bahwa beliau menguatkan shalat ketika gelap dibanding terang, dan pendapat itu sebagaimana yang dikatakan. Adapun kalangan Kuffiyyin (penduduk kufah), seperti Abu Hanifah dan para sahabatnya, ats-Tsauri, al-Hasan bin Hay, kebanyakan penduduk Iraq, dan itu juga diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Mas’ud, bahwa shalat ketika terang adalah lebih utama.” (‘Aunul Ma’bud, 2/45)

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah mengatakan:

وإنما فعله في بعض الأحيان لبيان الجواز ولبيان أن ذلك سائغ، ولكن الذي داوم عليه والمعروف من فعله صلى الله عليه وسلم أنه كان يصليها بغلس

“Sesungguhnya perbuatan Nabi pada sebagian waktu (melakukan saat terang) sebagai penjelas kebolehannya dan menjelaskan bahwa masalah ini lapang saja, tetapi yang menjadi rutinitasnya dan diketahui sebagai perbuatannya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah bahwa beliau Shalat Subuh pada saat masih gelap.” (Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad al-Badr, Syarh Sunan Abi Daud No. 60. Maktabah Misykah)

Namun, demikian ada sebagian ulama yang mengatakan ketika terang adalah lebih utama, yaitu pendapat sebagian salaf dan fuqaha, seperti Ali, Ibnu Mas’ud, Abu Hanifah dan sahabatnya, Sufyan Ats Tsauri, dan mayoritas penduduk Iraq .

Maka, tidak masalah dengan waktu shalat subuh di Indonesia saat ini. Ini hal yang lapang saja. Bagi yang menginginkan di waktu sudah terang, silahkan. Bagi yang ingin menyegerakannya di waktu masih gelap akhirnya malam (ghalas), silahkan, inilah yang lebih utama menurut mayoritas ulama dan dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai wafatnya.

Demikian. Wallahu A’lam.

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

✍ Farid Nu’man Hasan

Tegar di Belantara Fitnah

Allah Ta’ala berfirman:

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (2) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكاذِبِينَ (3)

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. Al ‘Ankabut: 2-3)

Ayat ini menunjukkan bahwa keimanan itu ditakar melalui ujian. Ada yang setelah datangnya ujian, iman semakin bagus, ada pula yang menjadi kufur. Yang jujur dan dusta akan tersingkap karena ujian.

Jika dilihat dari sebab turunnya ayat, dalam berbagai versi menunjukkan ayat ini turun bagi kaum muslimin di Mekkah yang diuji atas keislaman, dakwah, dan hijrahnya.

Imam Al Qurthubi Rahimahullah menceritakan dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma tentang sebab turunnya ayat ini:

يُرِيدُ بِالنَّاسِ قَوْمًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ كَانُوا بِمَكَّةَ، وَكَانَ الْكُفَّارُ مِنْ قُرَيْشٍ يُؤْذُونَهُمْ وَيُعَذِّبُونَهُمْ عَلَى الْإِسْلَامِ، كَسَلَمَةَ بْنِ هِشَامٍ وَعَيَّاشِ بْنِ أَبِي رَبِيعَةَ وَالْوَلِيدِ بْنِ الْوَلِيدِ وَعَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ وَيَاسِرٌ أَبُوهُ وَسُمَيَّةُ أُمُّهُ وَعِدَّةٌ مِنْ بَنِي مَخْزُومٍ وَغَيْرِهِمْ

Maksud dari “manusia” pada ayat ini adalah segolongan orang beriman di kota Mekkah, saat itu orang-orang kafir Quraisy menganggu mereka dan menyiksa mereka karena keislamannya, seperti Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah, Al Walid bin Al Walid, ‘Ammar bin Yasir, ayahnya, dan ibunya, Sumayyah, serta sejumlah orang dari Bani Makhzum dan lainnya. (Imam al Qurthubi, Jaami’ Li Ahkamil Quran, 8/184)

Muqatil Rahimahullah berkata:

نَزَلَتْ فِي مِهْجَعٍ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ كَانَ أَوَّلَ قَتِيلٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَ بَدْرٍ، رَمَاهُ عَامِرُ بْنُ الْحَضْرَمِيِّ بِسَهْمٍ فَقَتَلَهُ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَئِذٍ:” سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ مِهْجَعٌ وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ يُدْعَى إِلَى بَابِ الْجَنَّةِ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ”. فَجَزِعَ عَلَيْهِ أَبَوَاهُ وَامْرَأَتُهُ فَنَزَلَتْ” الم أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا”

Ayat ini turun tentang Mihja’, pelayan Umar bin al Khathab, dia adalah orang pertama yang terbunuh dalam perang Badar, dia dipanah oleh ‘Amir bin al Hadhrami. Saat itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. bersabda: “Pemimpin para syuhada adalah Mihja’, dia orang pertama yang akan dipanggil di pintu surga dari umat ini.” Kedua orangtuanya dan istrinya pun terkejut, lalu turunlah ayat: “Alif lam mim, Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan.” (Ibid, 8/184-185)

Asy Sya’bi Rahimahullah berkata:

نَزَلَ مُفْتَتَحُ هَذِهِ السُّورَةِ فِي أُنَاسٍ كَانُوا بِمَكَّةَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، فَكَتَبَ إِلَيْهِمْ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنِ الْحُدَيْبِيَةِ أَنَّهُ لَا يُقْبَلُ مِنْكُمْ إِقْرَارُ الْإِسْلَامِ حَتَّى تُهَاجِرُوا، فَخَرَجُوا فَأَتْبَعَهُمُ الْمُشْرِكُونَ فَآذَوْهُمْ. فَنَزَلَتْ فِيهِمْ هَذِهِ الْآيَةِ

Permulaan ayat ini turun tentang orang-orang Islam di Mekkah, para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, menulis surat kepada mereka dari Hudaibiyah bahwa pengakuan Islam kalian tidaklah diterima sampai kalian berhijrah, lalu mereka pun keluar (hijrah) namun diikuti kaum musyrikin dan mereka menganggunya. Maka turunlah ayat ini tentang mereka. (Ibid, 8/185)

Belasan abad dakwah Islam berjalan, kita bisa melihat beragam ujian dialami kaum muslimin. Baik berupa tuduhan, permusuhan, penangkapan, pengusiran, pemboikotan, sampai pembunuhan. Maka, apa yang dialami umat Islam secara umum hari ini, dan aktifis dakwah secara khusus, berupa berbagai fitnah dari musuh-musuh mereka dengan sebutan radikal, ekstrimis, sumbu pendek, teroris, intoleran dan sebagainya, itu hanyalah pengulangan sejarah yang sudah berkali-kali terjadi sejak masa nabi sampai hari ini.

Kadang ujian datang dari keluarga terdekat dan masyarakatnya sendiri, bahkan tidak sedikit diuji dengan kesenangan dunia; harta, kedudukan, ketenaran, sanjungan, dan syahwat. Ada yang lulus dan ada yang gagal.

Setelah kita tahu tabiat kehidupan dunia seperti itu, apalagi tabiat jalan dakwah, maka yang kita lakukan bukannya lari dari kenyataan. Tapi, perkuat kaki dan punggung untuk tegar menghadapi semuanya. Di antaranya adalah dengan beramal jama’i bersama semua komponen umat, agar beban dakwah menjadi tanggung jawab bersama dan lebih ringan. Mintalah kepada Allah Ta’ala kesabaran dan kekuatan pendirian (istiqamah) di jalan dakwah, baik saat bersama yang lain atau seorang diri dalam dakwah.

Imam al Munawi menceritakan nasihat Luqman al Hakim kepada anaknya:

يا بني الذهب والفضة يختبران بالنار والمؤمن يختبر بالبلاء

Wahai anakku, emas dan perak itu ditempa dengan api, sedangkan orang beriman ditempa dengan musibah. (Faidhul Qadir, 2/459)

Emas dan perak menjadi logam mulia dan berharga setelah diuji dengan panasnya api, maka mulianya manusia setelah dia lulus uji dengan musibah dan bencana. Syaikh Ahmad Farid Hafizhahullah berkata:

قد تداول الإمام أحمد أربع خلفاء, بعضهم بالتهديد والوعيد وبعضهم بالضرب والحبس وبعضهم بالنفي والتشريد وبعضهم بالترغيب في الرياسة و المال, ولا يزداد الإمام الا ثقة و إيمانا ويقينا وهذا شأن الإيمان الصادق ; وقال الله تعالي : وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الْأَحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلَّا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا

Imam Ahmad telah melewati pergantian empat orang khalifah, di antara mereka ada yang melakukan intimidasi dan ancaman, ada yang mencambuk dan memenjara, ada yang menolak dan mengusirnya, ada pula yang merayunya dengan jabatan. Namun, tidaklah menambah apa-apa bagi Imam Ahmad kecuali kepercayaan, keimanan, dan keyakinan. Inilah makna dari iman yang benar. Allah Ta’ala berfirman: Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata : “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.” Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (A’lamus Salaf, hal. 340)

Demikianlah para pemenang, mereka tidak menyerah, tidak lemah, dan tidak diam, implementasi sabar yang aktif dan positif bukan diam dan pasif berpangku tangan.

Wallahul Musta’an

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top