Mimpi Erotis Tapi Tidak Keluar Mani, Apakah Tetap Harus Mandi Wajib?

◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Bismillahirrahmanirrahim. Ustadz, saya pernah melihat jawaban Syaikh Shalih Fauzan atas pertanyaan tentang mandi janabah di Youtube bahwa, wajib mandi bagi yang bermimpi erotis, sekalipun ketika tidur tidak merasakan apa-apa. Mohon penjelasannya, apakah ini benar? Terimakasih

✒️❕JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Mimpi erotis saja, tanpa inzaal (keluar mani), tidaklah mengharuskan mandi. Adanya keluar mani menjadi syarat baginya wajib mandi.

Hal ini berdasarkan hadits, ada seorang wanita bertanya:

فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ غُسْلٌ إِذَا احْتَلَمَتْ فَقَالَ نَعَمْ إِذَا رَأَتْ الْمَاءَ

Apakah wanita wajib mandi jika mimpi basah? Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab: “Ya, Jika dia lihat adanya air.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Guru dari Syaikh Shalih Fauzan, yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Baaz mengatakan:

لا يجب الغسل على من رأى احتلامًا إلا إذا وجد الماء

Tidak wajib mandi bagi siapa yang mimpi basah kecuali bagi yang dia mendapatkan adanya air (mani)

Dalam Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah:

فإن مجرد الاحتلام لا يوجب الغسل ما لم يحصل إنزال ولو رأى النائم نفسه في حالة جماع

Semata-mata mimpi basah tidaklah mewajibkannya untuk mandi selama tidak terjadi inzaal, walau orang yang bermimpi itu melihat jima’ dalam mimpinya.

(Fatwa no. 163349)

Ada pun JIKA KASUSNYA lain, yaitu seorang yang berjima’ dengan istrinya, dan keduanya sama-sama BELUM INZAL, ini wajib tetap mandi jika sudah terjadi jima’ itu.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam :

إِذَا جَاوَزَ الْخِتَانُ الْخِتَانَ وَجَبَ الْغُسْلُ

Jika khitan sudah bertemu khitan (maksudnya bertemunya kelamin suami dan istri), maka wajib mandi. (HR. At Tirmidzi no. 109, hasan shahih)

Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Panduan Kenabian Dalam Memilih Pemimpin

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma bahwa Rasulullah ﷺ  bersabda:
مَنِ اسْتَعْمَلَ عَامِلاً مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّ فِيهِمْ أَوْلَى بِذَلِكَ مِنْهُ وَأَعْلَمُ بِكِتَابِ اللَّهِ وَسُنَّةِ نَبِيِّهِ فَقَدْ خَانَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَجَمِيع الْمُسْلِمِينَ
Barang siapa yang memilih seseorang untuk mengurus urusan kaum muslimin padahal dia tahu ada orang lain yang lebih pantas darinya, lebih paham Kitabullah dan Sunnah Rasulnya, maka dia telah mengkhianati Allah, Rasul, dan semua Kaum Muslimin.
(HR.  Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 20861,  Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7023, katanya: shahih)
▶️ Hadits ini mengarahkan kita agar memilih atau mengangkat seorang pemimpin yang paling cakap dalam menjalankan amanahnya, plus paling paham Al Quran dan As Sunnah di antara calon-calon lainnya.
▶️ Jika yang seperti itu tidak dipilih, maka itu adalah pengkhianatan kepada Allah, Rasul, dan semua kaum muslimin.
▶️ Secara implisit menunjukkan pula bahwa pemilihan pemimpin bukan didasari semata-mata kedekatan suku, marga, pergaulan, dengan para pemilihnya, tapi lebih pada kapasitas. Hal ini sejalan dengan hadits lainnya:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah  ﷺ bersabda:
إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَة
َ
“Jika urusan dikembalikan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancurannya.” (HR. Bukhari  No. 59)
▶️ Penerapan masalah ini berlaku atas semua jenis dan level kepemimpinan, baik dari yg terendah di masyarakat maupun kepemimpinan yang tertinggi.
▶️ Dalam banyak hadits sangat sering Rasulullah ﷺ memberikan arahan tentang kepemimpinan, hal ini menunjukkan Islam sangat konsern terhadap kebaikan para pemimpin. Oleh karena itu Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan:
لو كان لنا دعوة مجابة لدعونا بها للسلطان
Seandainya kami memiliki doa yang mustajab, niscaya akan kami  doakan penguasa (Imam Ibnu Taimiyah, AS Siyasah Asy Syar’iyyah, hal. 169)
▶️ Oleh karenanya, Imam Al Ghazali mengatakan:
 والملك والدين توأمان؛ فالدين أصل والسلطان حارس، وما لا أصل له فمهدوم، وما لا حارس له فضائع، ولا يتم الملك والضبط إلا بالسلطان
“Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar; agama merupakan  pondasi dan penguasa adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur, dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang. Dan tidaklah sempurna kekuasaan dan hukum kecuali dengan adanya pemimpin.”
 (Imam Al Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, 1/17. Mawqi’ Al Warraq)
Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwamith Thariq
✍ Farid Nu’man Hasan

Ambillah Ilmu Dari Ahlinya

Allah Ta’ala berfirman:
قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَ
Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
(QS. Az-Zumar, Ayat 9)
Pertanyaan dalam ayat ini jawabannya sudah diketahui; bahwa tidak sama antara orang berilmu dan orang bodoh. Sebagaimana tidak sama antara ilmu dan kebodohan, maka tidak sama pula antara pengusung ilmu dan pengusung kebodohan.
Sementara Imam Al Qurthubi menjelaskan ttg siapa ahli ilmu itu:
قال الزجاج: أي كما لا يستوي الذين يعلمون والذين لا يعلمون كذلك لا يستوي المطيع والعاصي. وقال غيره: الذين يعلمون هم الذين ينتفعون بعلمهم ويعملون به، فأما من لم ينتفع بعلمه ولم يعمل به فهو بمنزلة من لم يعلم
Berkata Az Zajaj: “yaitu sebagaimana tidak sama antara orang-orang yangvtahu dan orang-orang yang tidak tahu, maka demikian pula tidak sama antara orang yang taat dan yang maksiat.
Yang lain mengatakan: “Arti orang-orang yang tahu (berilmu) adalah orang-orang yang ilmunya bermanfaat dan dia mengamalkan ilmunya, sedangkan orang yang ilmunya tidak bermanfaat dan dia tidak mengamalkannya maka kedudukannya sama saja dengan orang-orang yang tidak tahu. (Tafsir Al Qurthubi, 9/81)
Maka, ambillah ilmu dari ulama yang ‘amilin, ulama yang menjalankan ilmunya. Kepada merekalah ilmu menjadi hidup, bukan semata di lembar-lembar kertas semata.
Selain itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memuji:
 فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ
“Keutamaan seorang alim dari seorang abid (ahli ibadah) seperti keutamaanku dari orang yang paling rendah di antara kalian.”
(HR. At Tirmidzi no. 2685, At Tirmidzi mengatakan: hasan shahih)
Syaikh Abul ‘Ala al Mubarkafuri mengatakan:
وفيه إشارة إلى وجه الأفضلية بأن نفع العلم معتد و نفع العبادة قاصر
Ini menjadi isyarat tentang sisi  keutamaan, karena manfaat ilmu itu berkepenjangan sedangkan manfaat ibadah itu pendek (terbatas).  (Tuhfah al Ahwadzi, 8/106)
Kembali kepada Al Quran dan As Sunnah, tanpa melalui ulama pakar yang menjelaskan makna-maknanya, hikmah, dan hukumnya, adalah tindakan gegabah, sombong, dan berbahaya.
Betapa banyak manusia khususnya lagi anak muda, yg tergelincir hanya bermodalkan semangat tanpa didasari oleh ilmu yang bisa dipertanggungjawabkan. Akhirnya terjadilah budaya takfir (pengkafiran), tabdi’ (pembid’ahan), dan tafsiq (pemfasikan), tanpa dalil, tidak terkendali dan begitu liar.
Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwamith Thariq
✍ Farid Nu’man Hasan 

Menyapih Anak Sebelum Dua Tahun

◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum mohon pencerahannya semua,bagaimana seharusnya ibu hamil punya anak umur 1 th sedang menyusui, sementara dalam islam anak disapih umur 2 th,apakah boleh disusui anaknya atau tidak sama sekali?? Bagaimana seharusnya ini dalam islam??? (+62 852-6458-xxxx)

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Menyusui sampai dua tahun itu sunnah, jika seorang ibu ada halangan syar’i tidak sampai tuntas dua tahun maka tidak berdosa..

Allah Ta’ala berfirman:

وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَا دَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَا مِلَيْنِ لِمَنْ اَرَا دَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَة

“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna.”

(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 233)

Ayat ini menunjukkan bahwa menggenapkan susuan selama dua tahun bukan kewajiban tapi bagi dikembalikan kepada kehendak ibunya.

Imam Al Qurthubi menjelaskan:

فيه دليل على أن إرضاع الحولين ليس حتما فإنه يجوز الفطام قبل الحولين

Ayat ini adalah dalil bahwa menyusui sampai dua tahun bukanlah keharusan, boleh baginya menyapih sebelum dua tahun.

(Tafsir Al Qurthubi, 3/162)

Hamil di masa masih menyusui anak, salah satu alasan syar’i untuk terhentinya menyusui .. Sebab biasanya wanita hamil air susunya sangat sedikit bahkan berhenti. Tapi sebagian wanita ada pula yang tetap memproduksi ASI. Maka bagi yang masih lancar ASI hendaknya tetap menyusui, asalkan ibu tsb menjaga asupannya agar tetap fit. Bagi yang sedikit, lemah, atau bahkan berhenti sama sekali, maka tidak apa-apa baginya tidak sampai dua tahun.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top