Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag. 3)

💥💦💥💦💥💦

3⃣ Sejak Kapan Puasa Ramadhan Diwajibkan?

Telah diketahui secara pasti bahwa puasa Ramadhan adalah wajib berdasarkan Al Quran (QS. Al Baqarah (2): 183), Al Hadits, dan ijma. Telah masyhur pula bahwa puasa Ramadhan diwajibkan sejak tahun kedua hijriyah, dan sepanjang hayat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hanya menjalankan sembilan kali puasa Ramadhan. Dalam sejarah Islam, pewajiban puasa pun tidak langsung, melainkan diberikan anjuran puasa sebagai memberikan pengalaman dan pembiasaan.

Berkata Syaikh Ibnu Al Utsaimin Rahimahullah:

وحكمه: الوجوب بالنص والإجماع.
ومرتبته في الدين الإسلامي: أنه أحد أركانه، فهو ذو أهمية عظيمة في مرتبته في الدين الإسلامي. وقد فرض الله الصيام في السنة الثانية إجماعاً، فصام النبي صلّى الله عليه وسلّم تسع رمضانات إجماعاً، وفرض أولاً على التخيير بين الصيام والإطعام؛ والحكمة من فرضه على التخيير التدرج في التشريع؛ ليكون أسهل في القبول؛ كما في تحريم الخمر

“Hukumnya adalah wajib berdasarkan nash (teks Al Quran dan Al Hadits) dan ijma’. Kedudukannya dalam agama Islam adalah dia sebagai salah satu rukun Islam yang memiliki urgensi yang agung dalam Islam. Telah ijma bahwa Allah   mewajibkan puasa pada tahun kedua,  dan ijma pula  bahwa puasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah sembilan kali Ramadhan. Pertama kali diwajibkan adalah sebagai  takhyir  (pemberian opsi) antara puasa dan makan, hikmah dari pewajiban dengan cara ini adalah sebagai pentahapan dalam pensyariatannya agar lebih mudah diterima, sebagaimana dalam pengharaman khamr. (Syarhul Mumti , 6/298. Mawqi Ruh Al Islam)

4⃣ Rukun Puasa

Puasa ada dua rukun. Pertama, menahan diri dari yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga tenggelam matahari. Kedua, niat untuk puasa. Niat dilakukan paling lambat sebelum terbit fajar. (Lengkapnya lihat Fiqhus Sunnah, 1/437)

📕Niat, Bagaimanakah itu?

📌Definisinya

Secara Lughah, niat adalah Al Qashdu (maksud/kehendak) dan Al Azm (tekad/kemauan kuat) untuk melakukan sesuatu. (Imam Ibnul Qayyim, Ighatsatul Lahfan, Hal. 136)

Dalam Al Mausu’ah disebutkan, makna niat secara mutlak adalah Al Qashdu. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/287)

Dia juga bermakna Al Hifzhu (penjagaan), nawallahu fulanan, yaitu Allah menjaganya (Hafizhahu). (Al Mausu’ah, 42/59)

Makna secara Syariat,   hakikat niat adalah kehendak (Al Iradah) yang terarah pada  sebuah perbuatan untuk mencari ridha Allah Taala dengan menjalankan hukumNya. (Fiqhus Sunnah, 1/42. Al Mausuah, 2/287. Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/137)

Menurut fuqaha Hanafiyah, artinya adalah  kehendak ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah Taala. Kalangan Malikiyah mengatakan kehendak di hati terhapap apa-apa yang dikehendaki manusia untuk dilakukan, itu termasuk pembahasan Al Uzuum (tekad) dan Al Iradaat (kehendak), bukan pembahasan ilmu dan aqidah. Kalangan Syafi’iyah mengartikan kehendak terhadap sesuatu yang tersambung dengan perbuatannya. Ada pun fuqaha hanabilah mengartikan kemauan kuat di hati untuk melakukan ibadah demi mendekatkan diri kepada Allah Taala, menjadikan Allah Taala sebagai tujuannya bukan selainnya.  (Al Mausu’ah, 42/59-60)

Ada beberapa istilah yang terkait dengan niat, yakni:

✅ Al ‘Azm  (tekad),  bermakna kehendak yang pasti setelah adanya keraguan (Jazmul Iradah bada taraddud). Hubungan  antara niat dan Al ‘Azm adalah keduanya merupakan marhalah (tahapan/tingkatan) dari kehendak. Al ‘Azm merupakan  ism (kata benda) yang lebih dahulu ada sebelum  berwujud  perbuatan. Sedangkan niat adanya langsung bersambung dengan perbuatan yang dibarengi dengan pengetahuan terhadap apa yang diniatkan.

✅ Al Iradah (kehendak), artinya adalah Ath Thalab (tuntutan), Al Ikhtiyar (daya untuk memilih), dan Al Masyi’ah  (kemauan). Jika dikatakan Araada syai’a artinya dia menghendaki sesuatu dan menyukainya. Secara istilah,  Al Iradah adalah sifat yang mesti  ada pada sesuatu yang hidup dan terjadinya pada perbuatan, pada satu  sisi tidak pada sisi lainnya.  (Lihat semua dalam Al Mausu’ah, 42/60)

📌Letaknya

Niat terletak di hati, demikianlah yang dikatakan semua literatur fiqih, kamus, tradisi dan akal manusia. Kami tidak perlu menyampaikan referensinya sebab hal itu sudah diketahui dengan mudah oleh semua manusia.

Berkata Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki:

( وَالنِّيَّةُ بِالْقَلْبِ ) إجْمَاعًا هُنَا وَفِي سَائِرِ مَا تُشْرَعُ فِيهِ لِأَنَّهَا الْقَصْدُ وَهُوَ لَا يَكُونُ إلَّا بِهِ فَلَا يَكْفِي مَعَ غَفْلَتِهِ

(Niat itu di hati) berdasarkan ijma’, dan mesti ada pada setiap amal yang disyariatkan karena niat adalah maksud, dan tidaklah perbuatan dianggap ada kecuali dengan adanya niat, maka tidaklah mencukupi jika melalaikannya. (Tuhfah Al Muhtaj, 5/285)

Mayoritas fuqaha kalangan Hanafiyah, dan ini juga pendapat Malikiyah, dan Syafiiyah,  serta Hanabilah, menyatakan bahwa niat adalah syarat sahnya ibadah. Pendapat mayoritas Syafi’iyah menyatakan bahwa niat adalah rukunnya ibadah. Sedangkan kalangan Malikiyah menyatakan bahwa niat adalah fardhu (wajib) ketika wudhu. Berkata Al Mazari: itu adalah pendapat yang lebih terkenal (pada madzhab Maliki). Berkata Ibnu Hajib: itu adalah pendapat yang lebih benar.  (Al Asybah wan Nazhair Libni Nujaim, Hal. 20, 24, 52. Al Mawahib Al Jalil, 1/182-230. Adz Dzakhirah, Hal. 235-236. Al Qawaid Al Ahkam, Hal. 175-176. Hasyiah Al Jumal, 1/103. Mughni Muhtaj, 1/148. Al Asybah Wan Nazhair Lis Suyuthi, Hal. 10, 43, 44. Kasyful Qina, 1/85, 313. Al Mughni, 3/91)

📌Melafazkan Niat

Ada pun melafazkan niat, tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, para sahabat, dan para tabi’in, bahkan imam empat madzhab. Wacana tentang melafazkan  niat baru ada pada masa pengikut-pengikut mereka.

Sejak berabad-abad lamanya, umat Islam mulai dari ulama hingga kaum awamnya, berpolemik tentang melafazkan niat (At Talafuzh An Niyah), seperti lafaz niat hendak shalat:

ushalli fardha subhi rak’ataini mustaqbilal qiblati adaan lillahi ta’ala,  atau lafaz niat hendak wudhu: nawaitu wudhu’a liraf’il hadatsil asghari lillahi ta’ala, atau lafaz niat hendak berpuasa Ramadhan: nawaitu shaama ghadin an ada’i fardhusy syahri Ramadhana haadzihis sanati lillahi ta’ala, dan lainnya. Di negeri ini, kalimat-kalimat ini sering diajarkan dalam pelajaran agama di sekolah-sekolah dasar, umumnya pesantren, dan forum-forum pengajian. Polemik ini bukan hanya terjadi di negeri kita, tapi juga umumnya di negeri-negeri Muslim. Di antara mereka ada yang membid’ahkan, memakruhkan, membolehkan, menyunnahkan, bahkan mewajibkan (namun yang mewajibkan   telah dianggap   pendapat yang syadz janggal lagi menyimpang).

Di sisi lain, tidak ada perbedaan pendapat tentang  keberadaan niat di hati dalam melaksanakan ibadah. Mereka juga sepakat bahwa melafazkan niat tidaklah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, para sahabat, dan tabi’in, bahkan imam empat madzhab. Perbedaan mereka adalah  dalam hal legalitas pengucapan niat ketika ibadah.

📌Menurut Pendapat Madzhab

Sebelumnya, mari kita tengok bagaimana pandangan para ulama madzhab tentang melafazkan niat dalam beribadah ritual.

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ فِي الْمُخْتَارِ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ فِي الْمَذْهَبِ إِلَى أَنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ فِي الْعِبَادَاتِ سُنَّةٌ لِيُوَافِقَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ 
وَذَهَبَ بَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ وَبَعْضُ الْحَنَابِلَةِ إِلَى أَنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ مَكْرُوهٌ
وَقَال الْمَالِكِيَّةُ بِجَوَازِ التَّلَفُّظِ بِالنِّيَّةِ فِي الْعِبَادَاتِ ، وَالأْوْلَى تَرْكُهُ ، إِلاَّ الْمُوَسْوَسَ فَيُسْتَحَبُّ لَهُ التَّلَفُّظُ لِيَذْهَبَ عَنْهُ اللَّبْسُ

Pendapat kalangan Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah) berdasarkan pendapat yang dipilih, dan Syafi’iyah (pengikut imam Asy Syafi’i) serta Hanabilah (Hambaliyah-pengikut Imam Ahmad bin Hambal) menurut pendapat madzhab bahwasanya melafazkan niat dalam peribadatan adalah SUNAH, agar lisan dapat membimbing hati.

Sebagian Hanafiyah dan sebagian Hanabilah menyatakan bahwa melafazkan niat adalah MAKRUH. Kalangan Malikiyah (pengikut Imam Malik) mengatakan bolehnya melafazkan niat dalam peribadatan, namun yang lebih utama adalah meninggalkannya, kecuali bagi orang yang was-was maka baginya dianjurkan untuk melafazkannya untuk menghilangkan kekacauan dalam pikirannya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 42/67)

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah menyebutkan:

ولا يشترط التلفظ بها قطعاً، لكن يسن عند الجمهور غير المالكية التلفظ بها لمساعدة القلب على استحضارها، ليكون النطق عوناً على التذكر، والأولى عند المالكية: ترك التلفظ بها   ؛ لأنه لم ينقل عن النبي صلّى الله عليه وسلم وأصحابه التلفظ بالنية، وكذا لم ينقل عن الأئمة الأربعة.

“Secara qah’i melafazkan niat tidaklah menjadi syarat sahnya, tetapi disunahkan menurut jumhur (mayoritas) ulama -selain Malikiyah- melafazkannya untuk menolong hati menghadirkan niat, agar pengucapan itu menjadi pembantu dalam mengingat, dan yang lebih utama menurut kalangan Malikiyah adalah meninggalkan pelafazan niat itu, karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya tentang melafazkan niat, begitu pula tidak ada riwayat dari imam yang empat. (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/137)

Jadi, secara umum kebanyakan ulama madzhab adalah menyunnahkan melafazkan niat, ada pun sebagian Hanafiyah dan sebagian Hanabilah memakruhkan. Sedangkan Malikyah membolehkan walau lebih utama meninggalkannya, kecuali bagi orang yang was-was maka dianjurkan mengucapan niat untuk mengusir was-was tersebut. Sedangkan para imam perintis empat madzhab, tidak ada riwayat dari mereka tentang pensyariatan melafazkan niat.

📌Pandangan Para Imam Kaum Muslimin

Berikut adalah pandangan para ulama yang mendukung pelafazan niat, baik yang menyunnahkan atau membolehkan.

📌Imam Muhammad bin Hasan Rahimahullah, kawan sekaligus murid Imam Abu Hanifah Rahimahullah.

Beliau  mengatakan:

النِّيَّةُ بِالْقَلْبِ فَرْضٌ ، وَذِكْرُهَا بِاللِّسَانِ سُنَّةٌ ، وَالْجَمْعُ بَيْنَهُمَا أَفْضَل

“Niat di hati adalah wajib, menyebutnya di lisan adalah sunah, dan menggabungkan keduanya adalah lebih utama.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 42/100)

📌Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Rahimahullah

Beliau mengatakan:

( وَيَنْدُبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ وَإِنْ شَذَّ وَقِيَاسًا عَلَى مَا يَأْتِي فِي الْحَجِّ

“(Disunahkan mengucapkan) dengan apa yang diniatkan (sesaat sebelum takbir) agar lisan  membantu hati dan keluar dari khilaf (perbedaan pendapat) dengan kalangan yang mewajibkan, walaupun yang mewajibkan ini adalah pendapat yang syadz (janggal),  sunnahnya ini  diqiyaskan dengan apa yang ada pada haji (yakni pengucapan kalimat talbiyah, pen).” (Tuhfah Al Muhtaj, 5/285)

📌Imam Syihabuddin Ar Ramli Rahimahullah

Beliau mengatakan:

ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس وللخروج من خلاف من أوجبه

“Dianjurkan mengucapkan apa yang diniatkan sesaat sebelum takbir untuk membantu hati, karena hal itu dapat menjauhkan was-was dan untuk keluar dari perselisihan pendapat dengan pihak yang mewajibkannya.” (Nihayatul Muhtaj, 1/457. Darul Fikr)

📌Imam Al Bahuti Rahimahullah

Beliau mengatakan ketika membahas niat dalam shalat:

وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ وُجُوبًا وَاللِّسَانُ اسْتِحْبَابًا

“Tempatnya niat  adalah  di hati sebagai hal yang wajib, dan disukai (sunah) diucapkan lisan ..  (Kasyful Qina’,  2/442. Mawqi Islam)

Dan lain-lain.

(Bersambung …)

🌻🌸🌾🍃🌴🌺☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag 1)

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag 2)

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag 3)

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag 4)

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag 5)

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag 6)

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag 7)

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag 8)

Versi Lengkap Silsilah Panduan Shaum Ramadhan, Klik di link berikut: Silsilah Panduan Shaum Ramadhan

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag. 2)

💦💥💦💥💦💥💦💥

2⃣ Keutamaan-Keutamaannya

Sangat banyak keutamaan puasa. Di sini kami hanya paparkan sebagian kecil saja.

📌 Berpuasa Ramadhan menghilangkan dosa-dosa yang lalu

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ومن صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan ihtisab,  maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No. 38, 1910, 1802. Al Baihaqi, Syu’abul Iman No. 3459)

Makna ‘diampuninya dosa-dosa yang lalu adalah dosa-dosa kecil, sebab dosa-dosa besar seperti membunuh, berzina, mabuk, durhaka kepada orang tua, sumpah palsu, dan lainnya- hanya bisa dihilangkan dengan tobat nasuha, yakni dengan menyesali perbuatan itu, membencinya, dan tidak mengulanginya sama sekali.  Hal ini juga ditegaskan oleh hadits berikut ini.

📌 Diampuni dosa di antara Ramadhan ke Ramadhan

Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

الصلوات الخمس. والجمعة إلى الجمعة. ورمضان إلى رمضان. مكفرات ما بينهن. إذا اجتنب الكبائر

“Shalat yang lima waktu, dari jumat ke jumat, dan ramadhan ke Ramadhan, merupakan penghapus dosa di antara mereka, jika dia menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim No. 233)

📌 Dibuka Pintu Surga, Dibuka pintu Rahmat, Dibuka pintu langit,  Ditutup Pintu Neraka, dan Syetan dibelenggu

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا جَاءَ رَمَضَان فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتْ الشَّيَاطِين

“Jika datang Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka dan syetan dibelenggu.” (HR. bukhari No. 1800. Muslim No. 1079.  Malik No. 684. An Nasa’i No. 2097, 2098, 2099, 2100, 2101, 2102, 2104, 2105)

📌 Buat Orang berpuasa akan dimasukkan ke dalam surga melalui pintu Ar Rayyan

Dari Sahl Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ

“Sesungguhnya di surga ada pintu yang disebut Ar Rayyan, darinyalah orang-orang puasa masuk surga pada hari kiamat, tak seorang pun selain mereka  masuk lewat pintu itu. Akan ditanya: Mana orang-orang yang berpuasa? Maka mereka berdiri, dan tidak akan ada yang memasukinya kecuali  mereka. Jika mereka sudah masuk, maka pintu itu ditutup dan tak ada yang memasukinya seorang pun.

(HR. Bukhari No. 1797, 3084. Muslim No. 1152. An NasaI No. 2273, Ibnu Hibban No. 3420. Ibnu Abi Syaibah 2/424)

(Bersambung ..)

🍃🌾🌻🌸🌴🌺☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag 1)

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag 2)

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag 3)

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag 4)

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag 5)

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag 6)

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag 7)

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag 8)

Versi Lengkap Silsilah Panduan Shaum Ramadhan, Klik di link berikut: Silsilah Panduan Shaum Ramadhan

Di antara Adab Peziarah Kubur: Melepaskan Sendal di Area Makam

💢💢💢💢

يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ، وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ» فَنَظَرَ الرَّجُلُ فَلَمَّا عَرَفَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلَعَهُمَا فَرَمَى بِهِمَا

Wahai pemakai sendal! Celaka kamu, lepaskan sendalmu! Maka laki-laki itu memandang dan tahu bahwa itu adalah Rasulullah ﷺ  maka dia melepas kedua sendalnya dan melemparnya. (HR. Abu Daud No. 3230, Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad No. 775. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)

Ada keragaman komentar para ulama kita   terhadap hadits ini:

✅       Bahwa berjalan di antara kubur dengan sendal adalah makruh. (‘Aunul Ma’bud, 9/36)

📌     Bahwa berjalan di antara kubur dengan sendal adalah boleh, kecuali sendal sibtiyah. Ini pendapat Imam Ibnu Hazm. Namun pendapat ini dikoreksi, para ulama seperti Imam Ibnu Hajar, yang menurutnya itu merupakan jumud yang parah dari Ibnu Hazm, bagi Imam Ibnu Hajar  larangan tersebut mutlak bagi semua sendal. Ada pun sendal sibtiyah karena memang sendal yang biasa dipakai saat itu. (Fathul Bari, 3/206)

✅ Larangan ini terkait karena kesombongan (khuyala) si pemakainya. Sebagaimana kata Imam Al Khathabi. (‘Aunul Ma’bud, 9/37) Ini juga dikritik oleh Imam Ibnu Hajar, bahwasanya para sahabat terbiasa memakai sendal sibtiyah, bagaimana mungkin itu disebut pakaian khuyala (sombong).  (Fathul Bari, 3/206)

📌   Perintah melepaskan sendal karena untuk menghormati kuburan dan menghindari kesombongan. Ini dikatakan Imam Al ‘Aini (‘Aunul Ma’bud, Ibid)

✅    Sementara Imam Ath Thahawi mengatakan tidak makruh, sebab larangan Nabi ﷺ kepada laki-laki itu disebabkan adanya kotoran pada sendal laki-laki tersebut. Dalil lain ketidakmakruhannya  adalah hadits shahih   bahwa  mayit mendengarkan suara sendal pengantarnya. Juga hadits shahih bahwa Nabi ﷺ shalat menggunakan sendal di masjid, maka itu menunjukkan jika dimasjid dibolehkan maka di kubur lebih utama untuk dibolehkan.   (‘Aunul Ma’bud, Ibid, Fathul Bari, 3/206  dan 10/309)

📌  Imam Ibnu Hajar mengoreksi Imam Ath Thahawi, bahwa larangan ini untuk menghormati mayit, sebagaimana hadits larangan duduk di kuburan, penyebutan sendal sibtiyah bukan menunjukkan pengkhususan.  Larangan ini sudah disepakati. (Ibid)

Namun jika  melepaskan sendal justru memudharatkan seperti tertusuk duri, panas, terkena najis, atau sulit dan repot membukanya seperti khuf, maka ini tidak apa-apa tetap memakainya. Karena, Adh Dharar Yuzaal – Bahaya mesti dihilangkan. Al Masyaqqat Tajlibut Taysir, kesulitan membawa kemudahan.

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah mengatakan:

أي: أن ذلك لا يجوز، إلا إذا كانت المقبرة فيها حرارة شديدة في الرمضاء، أو كان فيها شوك يتأذى به الإنسان فإنه يمشي بالنعل، ولكن يكون ذلك بين القبور

Yaitu tidak boleh memakai sendal, kecuali jika pada area kubur tersebut sangat panas, atau berduri, yang dapat menyakiti manusia maka boleh dia berjalan dengan sendal, tetapi dengan cara dia berjalan di antara kubur. (Syarh Sunan Abi Daud, No. 371)

Demikian. Wallahu A’lam

🌺🌷🌾🌿🌴🍀

✏ Farid Nu’man Hasan

Kenapa Shalat Sunah Dianjurkan di Rumah?

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلَاةِ صَلَاةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الْمَكْتُوبَةَ

Maka, shalatlah kalian wahai manusia, di rumah-rumah kalian. Sesungguhnya shalat paling utama adalah shalatnya seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib. (HR. Al Bukhari No. 731)

Kenapa shakat sunnah dianjurkan di rumah?

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

وإنما حث على النافلة  في البيت لكونه أخفى وأبعد من الرياء وأصون من المحبطات وليتبرك البيت بذلك وتنزل فيه الرحمة والملائكة وينفر منه الشيطان كما جاء في الحديث الآخر

Sesungguhnya dorongan untuk melakukan shalat sunah di rumah karena hal itu lebih tersembunyi, lebih jauh dari riya, lebih terjaga dari hilangnya nilai amal, dan dapat memberkahi rumah karenanya, dan dapat menurunkan rahmat dan malaikat di dalamnya, dan membuat lari syetan, sebagaimana keterangan hadits lainnya.

📚 Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/68

Wallahu A’lam

🌸☘🌺🌴🌻🌾🍃🌷

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top