Mendulang Faidah Dari Surat Al Fatihah (Bag. 5)

💦💥💦💥💦💥

📘  Untuk shalat menjadi makmum, apakah juga wajib membaca Al Fatihah?

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menyebutkan ada tiga pendapat.

1⃣ Pertama. Wajib membacanya sesuai keumuman hadits perintah membaca Al Fatihah yang tidak membedakan menjadi imam atau makmum, baik shalat jahr atau sir.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من صلى صلاة لم يقرأ فيها بأم القرآن فهي خداج” ثلاثا، غير تمام. فقيل لأبي هريرة : إنا نكون وراء الأمام. فقال: اقرأ بها في نفسك

“Barangsiapa yang shalat di dalamnya tidak dibacakan Ummul Quran maka khidaj (3x), yaitu tidak sempurna.” Lalu ditanyakan kepada Abu Hurairah: “Sesungguhnya kami shalat di belakang imam.” Beliau menjawab; “Bacalah pada dirimu (pelan-pelan).” 1]

Ini menunjukkan bahwa makmum juga membacanya, dan hadits seperti juga diriwayatkan oleh imam hadits lainnya secara shahih pula. Ini pendapat dari Umar, Ali, Abu Hurairah, dan Imam  Asy Syafi’i dalam Qaul Jadidnya, dan lainnya.

2⃣ Kedua. Tidak wajib makmum membacanya, baik Al Fatihah atau surat lainnya, baik shalat Jahr atau  Sir. Ini juga menjadi pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Sufyan Ats Tsauri, Imam Al Auza’I, dan lainnya.

Alasan mereka adalah:

Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من كان له إمام فقراءة الإمام له قراءة

“Barangsiapa yang memiliki imam, maka bacaan imam adalah bacaan baginya juga.” 2]

Para ulama berbeda pendapat tentang status hadits ini. Imam Ibnu Katsir mengatakan sanad hadits ini lemah, lalu katanya:

وقد روي هذا الحديث من طرق، ولا يصح شيء منها عن النبي صلى الله عليه وسلم، والله أعلم

“Hadits ini telah diriwayatkan dari banyak jalan, dan tidak ada satu pun yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Wallahu A’lam. 3]

Syaikh Syu’aib Al Arnauth  menjelaskan bahwa salah seorang perawinya, yakni Hasan bin Shalih, dia tidak mendengarkan langsung dari Abu Zubeir, sanadnya munqathi’ (terputus). Di antara keduanya (Hasan bin Shalih dan Abu Az Zubeir) ada Jabir bin Yazid Al Ju’fi, dia seorang yang dhaif. Namun, hadits ini secara keseluruhan adalah hasan, karena banyaknya jalan dan syawahid (saksi penguat) baginya. 4]

Syaikh Al Albani juga menghasankan dalam beberapa kitabnya. 5]

Sementara itu, bagi kelompok ini apa yang dikatakan oleh Abu Hurairah: bacalah pelan-pelan, merupakan pendapat dirinya sendiri setelah beliau ditanya, bukan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Selain itu kelompok ini juga berdalil dengan firmanNya:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. “ (QS. Al A’raf (7): 204)

Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya mengatakan bahwa meninggalkan surat Al fatihah tidaklah membatalkan shalat dan tidak wajib mengulanginya,  hanya saja shalatnya kurang sempurna sesuai hadits: khidaj yakni ghairu tamam (tidak sempurna).

Imam Sufyan Ats Tsauri memberikan komentar terhadap hadits: “Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Fatihatul Kitab.” Katanya:

لمن يصلي وحده

“(kewajiban membaca) Bagi orang yang salat sendiri.” 6]

Artinya jika dia menjadi makmum tidak wajib baginya membaca Al Fatihah dan selainnya.

3⃣ Ketiga. Wajib membaca Al Fatihah ketika shalat sir (seperti shalat zhuhur dan ashar, serta rakaat terakhir maghrib, dan dua rakaat terakhir Isya). Sebab ayat yang memerintahkan untuk mendengar dibacakan Al Quran tidaklah relevan, karena makmum tidak mendengarkan suara bacaan imam. Saat itu berlakulah bagi  imam dan makmum, keumuman hadits yang memerintahkan membaca Al Fatihah.

Jabir berkata –sebagaimana diriwayatkan Ibnu majah dengan sanad shahih:

كنا نقرأ في الظهر والعصر خلف الإمام في الركعتين الأوليين بفاتحة الكتاب وسورة وفي الآخريين بفاتحة الكتاب

“Kami membaca pada shalat zhuhur dan ‘ashar di belakang imam; dua rakaat pertama dengan Al Fatihah dan surat, dan dua rakaat terakhir hanya dengan Al Fatihah.” 7]

Ada pun ketika shalat jahr (shalat maghrib dan isya di rakaat pertama dan kedua) adalah wajib mendengarkannya, sesuai perintah di surat Al A’raf ayat 204 di atas.

Dan, saat itu bacaan imam telah mewakilinya, sesuai hadits Jabir: “Barangsiapa yang memiliki imam, maka bacaan imam adalah bacaan baginya juga.”

Selain itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda:

إنما جعل الإمام ليؤتم به؛ فإذا كبَّر فكبّروا، وإذا قرأ فأنصتوا

“Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti, jika dia bertakbir maka bertakbirlah kamu, jika dia membaca Al Quran maka diamlah.” 8]

Maka, hadits ini menjadi dalil yang kuat bagi pendapat yang ketiga. Inilah pendapat Imam Syafi’i dalam qaul qadim (pendapat lama)nya, Imam Ahmad, dan yang Nampak dari pendapat Imam Ibnu Katsir. Juga pendapat dari Imam Ibnu Taimiyah. Pendapat ketiga adalah pendapat yang lebih komprehensif melihat semua dalil yang ada.

Ternyata ini pula yang dipilih oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah. 9]

Wallahu A’lam

(bersambung Insya Allah)

✏ Farid Nu’man Hasan


🌴🌴🌴🌴🌴

[1] HR. Muslim No. 395
[2] HR. Ahmad No. 14643, Ibnu Majah No. 850
[3] Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/109
[4] Musnad Ahmad pembahasan hadits No. 14643, cat kaki No. 3
[5] Shahihul Jami’ No. 6487, Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 850
[6] Sunan Abu Daud No. 822
[7] Shifah Shalah An Nabi, hal. 100. Maktabah Al Ma’arif. Juga diriwaatkan oleh Ahmad No. 22595, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih sesuai syarat Syaikhan
[8] HR. Muslim no. 1775, dari Abu Musa Al ‘Asy’ari.  Ad Daruquthni, Kitabush Shalah No.10,  Ibnu Majah No. 846, Abu Daud No.604, An Nasa’i No. 921, semua dari jalur Abu Hurairah, kecuali riwayat Imam Muslim, dari Abu Musa Al Asy’ari
[9] Shifah Shalah An Nabi, Hal. 98-100

 

Apa Kata Sunnah Tentang Keistimewaan Hari Jumat

💦💥💦💥💦💥

1⃣ Dijelaskan dalam riwayat berikut lima keutamaannya:

عَنْ أَبِي لُبَابَةَ بْنِ عَبْدِ الْمُنْذِرِ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ سَيِّدُ الْأَيَّامِ وَأَعْظَمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَهُوَ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ يَوْمِ الْأَضْحَى وَيَوْمِ الْفِطْرِ فِيهِ خَمْسُ خِلَالٍ خَلَقَ اللَّهُ فِيهِ آدَمَ وَأَهْبَطَ اللَّهُ فِيهِ آدَمَ إِلَى الْأَرْضِ وَفِيهِ تَوَفَّى اللَّهُ آدَمَ وَفِيهِ سَاعَةٌ لَا يَسْأَلُ اللَّهَ فِيهَا الْعَبْدُ شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ مَا لَمْ يَسْأَلْ حَرَامًا وَفِيهِ تَقُومُ السَّاعَةُ مَا مِنْ مَلَكٍ مُقَرَّبٍ وَلَا سَمَاءٍ وَلَا أَرْضٍ وَلَا رِيَاحٍ وَلَا جِبَالٍ وَلَا بَحْرٍ إِلَّا وَهُنَّ يُشْفِقْنَ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ

Dari Abu Lubabah bin Abdil Mundzir, dia berkata: Bersabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Sesungguhnya hari Jumat adalah Sayyidul Ayyam (pimpinan hari-hari), keagungannya ada pada sisi Allah, dan dia lebih agung di sisi Allah dibanding hari Idul Adha dan Idul Fitri. Padanya ada lima hal istimewa: pada hari itu Allah menciptakan Adam, pada hari itu Allah menurunkan Adam ke bumi, pada hari itu Allah mewafatkan Adam, pada hari itu ada waktu yang tidaklah seorang hamba berdoa kepada Allah melainkan akan dikabulkan selama tidak meminta yang haram, dan pada hari itu  terjadinya  kimat. Tidaklah malaikat muqarrabin, langit, bumi, angin, gunung, dan lautan, melainkan mereka ketakutan pada hari Jumat.” (HR. Ibnu Majah No. 1083. Ahmad No. 15547, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 4511, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 2973, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 817, Al Bazzar No. 3738. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 2279)

2⃣ Dianjurkan membaca surat Al Kahfi pada hari Jumat:

عن ابي سعيد الخدري ان النبي صلى الله عليه وسلم قال مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِى يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ

Dari Abu Said Al Khudri bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jumat, maka dia akan disinari oleh cahaya sejauh di antara dua Jumat.” (HR.  Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra  No. 5792, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 3392, katanya: shahih.  Dishahihkan pula oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 6470)

Dari Abu Sa’id Al Khudri juga secara mauquf:

من قرأ سورة الكهف يوم الجمعة أضاء له النور ما بينه وبين البيت العتيق

Barang siapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jumat, maka dia akan disinari oleh cahaya sejauh dihadapan dirinya sampaiBaitul ‘Atiq (Ka’bah). (HR. Al Baihaqi, Syu’abul Iman No. 2220, Ad Darimi No. 3450, Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: isnadnya shahih. Syaikh Al Albani juga menshahihkannya. Lihat Shahihul Jami’No. 6471)

3⃣      Dianjurkan berhias bagi kaum laki-laki (mandi, minyak rambut, menyisir, parfum)

Dari Salman Al Farisi Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda:

لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الجُمُعَةِ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ، وَيَدَّهِنُ مِنْ  دُهْنِهِ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ، ثُمَّ يَخْرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ، ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ، إِلَّا غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الجُمُعَةِ الأُخْرَى

Tidaklah seorang laki-laki mandi pada hari Jumat, dia bersuci sebersih bersihnya, dia memakai minyak rambut, atau memakai minyak wangi yang ada di rumahnya, lalu dia keluar menuju masjid tanpa membelah barisan di antara dua orang, kemudian dia shalat sebagaimana dia diperintahkan, lalu dia diam ketika imam berkhutbah, melainkan  akan diampuni sejauh hari itu dan Jumat yang lainnya. (HR. Bukhari No. 883)

4⃣ Shalat Jumat dapat menghapuskan dosa di antara dua Jumat selama tidak melakukan dosa-dosa besar

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

Shalat yang lima, Shalat Jumat ke Jumat selanjutnya, shaum Ramadhan ke Ramadhan selanjutnya, sebagai penghapus dosa di antaranya, jika meninggalkan dosa-dosa besar. (HR. Muslim No. 233)

5⃣ Dibebaskan dari fitnah kubur bagi yang wafat pada malam Jumat dan hari Jumat

Dari Abdullah bin Amr, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلَّا وَقَاهُ اللَّهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ

Tidaklah seorang muslim yang wafat pada hari Jumat atau malam Jumat, melainkan Allah akan melindunginya dari fitnah kubur. (HR. At Tirmidzi No. 1073, Ahmad No. 6582, Ath Thahawi dalam Syarh Musykilul Aatsar No. 277)

Syaikh Al Albani Rahimahullah berkata tentang hadits ini: “Dikeluarkan oleh Ahmad (6582-6646) melalui dua jalan dari Abdullah bin Amr, dan oleh At Tirmidzi melalui salah satu dari dua jalur, dan hadits ini memiliki syawahid (beberapa penguat) dari jalur Anas, Jabir bin Abdullah, dan selain keduanya. Maka, hadits ini dengan kumpulan semua jalurnya adalah hasan atau shahih.”(Lihat Ahkamul Jazaiz, Hal. 35)

Disebutkan pula oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa semua hari yang tujuh memiliki peristiwanya sendiri.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِي فَقَالَ خَلَقَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ التُّرْبَةَ يَوْمَ السَّبْتِ وَخَلَقَ فِيهَا الْجِبَالَ يَوْمَ الْأَحَدِ وَخَلَقَ الشَّجَرَ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَخَلَقَ الْمَكْرُوهَ يَوْمَ الثُّلَاثَاءِ وَخَلَقَ النُّورَ يَوْمَ الْأَرْبِعَاءِ وَبَثَّ فِيهَا الدَّوَابَّ يَوْمَ الْخَمِيسِ وَخَلَقَ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَام بَعْدَ الْعَصْرِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فِي آخِرِ الْخَلْقِ فِي آخِرِ سَاعَةٍ مِنْ سَاعَاتِ الْجُمُعَةِ فِيمَا بَيْنَ الْعَصْرِ إِلَى اللَّيْلِ

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memegang tangku lalu bersabda: “Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan tanah pada hari Sabtu, dan menciptakan padanya gunung-gunung pada hari Ahad, menciptakan pepohonan pada hari Senin, menciptakan sesuatu yang dibenci pada hari Selasa, menciptakan cahaya pada hari Rabu, menyebarkan hewan melata pada hari Kamis, menciptakan Adam ‘Alaihissalam setelah Ashar pada hari Jumat, di akhir penciptaan pada akhir waktu-waktu Jumat antara Ashar menuju malam. (HR. Muslim No. 2789)

Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌷☘🌻🌺🌴🍃🌸🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

[Biografi Ulama Ahlus Sunnah] Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas Rahimahullah (Bag 3)

💢💢💢💢💢💢💢

7⃣ Di Antara Perkataan dan Nasihat emasnya

Ibnu Wahb berkata, aku mendengar Malik berkata: “Aku tahu, bahwa kerusakan besar akan terjadi ketika manusia selalu membicarakan  apa-apa yang didengarnya.”

Mutharrif bin Abdullah berkata, berkata Malik kepadaku: “Apa yang dibicarakan manusia tentang aku?” Aku menjawab: “Bagi yang jujur mereka memuji, ada pun   yang memusuhi itu sudah pasti terjadi.” Beliau menjawab: “Begitulah manusia, dan selalu begitu. Kami berlindung kepada Allah dari  mengikuti omongan semua manusia.” (Ibid, 7/161)

Dari Ma’an dan lainnya, bahwa Malik berkata: “Jangan kalian ambil ilmu dari empat manusia:

1. Orang bodoh yang mempertontonkan kebodohannya, walau manusia meriwayatkan darinya. 2. Pelaku bid’ah yang menyeru kepada hawa nafsunya. 3. Orang yang suka berbohong ketika berbicara dengan manusia, walau aku tidak menuduhnya berbohong dalam hadits. 4. Orang shalih, ahli ibadah dan punya keutamaan, tetapi tidak mau menghafal hadits.” (Ibid, 7/162)

Berkata Imam Malik bin Anas Radhiallahu ‘Anhu:

من ابتدع فى الإسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم أن محمدا صلى الله عليه وسلم خان الرسالة ، لأن اللّه قال {اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتى ورضيت لكم الإسلام دينا} المائدة : 3

“Barangsiapa yang berbuar bid’ah dalam Islam, dan dia memandangnya itu hasanah (baik), maka dia telah menuduh bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengkhianati risalah, karena Allah Ta’ala telah berfirman: “Hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan dan aku sempurnakan nikmaku atas kamu, dan Aku ridha Islam sebagai agamamu.”  (Fatawa Al Azhar, 10/177)

Beliau juga berkata:

إنما أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا في رأيي فما وافق الكتاب والسنة فخذوه وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه

“Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, bisa salah dan bisa benar, maka lihatlah pendapatku, apa-apa yang sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesuai maka tinggalkanlah. (Imam Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 27/120)

8⃣ Sikap Keras Imam Malik terhadap golongan sesat

Ibnu Wahb bercerita, kami sedang bersama Malik, lalu datang seorang laki-laki kepadanya dan bertanya tentang firman Allah: (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘arsy. (QS. Thaha: 5)

Laki-laki itu bertanya tentang “bagaimana” cara Allah bersemayam? Lalu Imam Malik terdiam, keringatnya bercucuran, lalu dia mengangkat kepalanya dan berkata:  (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘arsy. (QS. Thaha: 5), ayat ini sebagaimana yang Allah sifatkan tentang dirinya, jangan tanyakan “bagaimana caranya”. Tentang bagaimananya itu tidak bisa dirasiokan, dan kamu adalah laki-laki yang buruk, pelaku bid’ah, dan keluarkan dia!”

Dalam riwayat lain Ja’far bin Abdullah,  Imam Malik menjawab: “Bagaimana cara bersemayam tidak bisa dinalar, bersemayam sendiri telah diketahui,  mengimaninya wajib, menanyakannya adalah bid’ah, dan aku menilai kau adalah pelaku bid’ah.” Maka Imam Malik memerintahkannya untuk keluar.

Dalam riwayat Salamah bin Syabib, Imam Malik berkata: “Aku khawatir kamu ini tersesat.” (As Siyar, 7/181)

Sa’id bin Abdul Jabbar berkata: Aku mendengar Malik berkata: “Mereka wajib diperintah untuk bertaubat, jika tidak mau bertaubat, maka bunuhlah mereka.” Mereka adalah golongan qadariyah. (Ibid)

Imam Asy Syafi’i bercerita: “Jika pengikut hawa nafsu datang kepada Malik, maka dia berkata: “Ada pun aku di atas bukti yang kuat tentang agamaku, dan kamu di atas keragu-keraguan, maka pergilah kamu kepada orang-orang seperti kamu,” Beliau memarahi mereka. (Ibid, 7/180)

Sikap Imam Malik terhadap Syiah Rafidhah juga sangat keras, Beliau mengkafirkannya, sebagaimana dikutip Imam Ibnu Katsir berikut ini, ketika membahas tafsir surat Al Fath ayat 29:

ومن هذه الآية انتزع الإمام مالك -رحمه الله، في رواية عنه-بتكفير الروافض الذين يبغضون الصحابة، قال: لأنهم يغيظونهم، ومن غاظ الصحابة فهو كافر لهذه الآية. ووافقه طائفة من العلماء على ذلك

Dari ayat ini, Imam Malik Rahimahullah  memutuskan –dalam sebuah riwayat darinya- tentang kafirnya golongan rafidhah, yaitu orang-orang yang marah terhadap sahabat nabi. Beliau berkata: “Karena mereka murka terhadap sahabat nabi, dan barang siapa yang marah terhadap sahabat nabi maka dia kafir menurut ayat ini.” Segolongan ulama sepakat atas fatwanya ini. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al Azhim, 7/362)

Beliau juga berkata tentang Rafidhah –qabbahahumullah fid dunya wal akhirah:

اَلَّذِيْ يَشْتُمُ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ لَهُمْ سَهْمٌ أَوْ قَالَ نَصِيْبٌ فِيْ الْإِسْلاَمِ

Orang yang mencaci maki para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mereka sama sekali tidak memiliki saham dalam Islam, atau sama sekali tidak memiliki bagian dalam Islam. (Imam Abu Bakar Al Khalal, As Sunnah, 1/493)

Bersambung …

🌷🌱🌸🍃🌵🌾🌴🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Menghadiri Pesta Pernikahan Saat Sedang Puasa Sunnah

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

🌿🌺Sedang puasa Sunnah, lalu datang kondangan, batalkan atau tidak? (Abdullah, WA)🌺🌿

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ba’d:

Ya, untuk orang yang sedang puasa tathawwu’ (sunah), dia boleh dan bebas memilih untuk meneruskan puasanya atau membatalkannya. Termasuk ketika berkunjung dalam suatu undangan, di mana tuan rumah sudah bersusah payah menyediakan makanan buat kita. Hal ini  banyak dalilnya, di antaranya yang paling pas adalah berikut ini.

Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu bercerita:

صَنَعْتُ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا فَأَتَانِي هُوَ وَأَصْحَابُهُ فَلَمَّا وُضِعَ الطَّعَامُ , قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: إِنِّي صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” دَعَاكُمْ أَخُوكُمْ وَتَكَلَّفَ لَكُمْ ” ثُمَّ قَالَ لَهُ: ” أَفْطِرْ وَصُمْ مَكَانَهُ يَوْمًا إِنْ شِئْتَ

Aku membuat makanan untuk Rasulullah ﷺ, Beliau dan sahabat-sahabatnya mendatangiku, ketika makanan sudah dihidangkan ada seorang yang berkata: “Saya sedang puasa.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Saudaramu sudah mengundang kamu dan sudah repot-repot untukmu.” Lalu Beliau bersabda: “Berbukalah, dan puasalah satu hari di waktu lain kalau kamu mau.” (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 8362, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Awsath, No. 3240. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: isnadnya hasan. Lihat Fathul Bari, 4/210)

Hadits ini menunjukkan bahwa bolehnya seseorang berbuka ketika shaum sunnah, saat dia berkunjung ke rumah saudara atau undangan, untuk menghormati tuan rumah, dan juga bolehnya dia mengqadha, boleh juga tidak mengqadha.

Sementara dari Ummu Hani Radhiallahu ‘Anha, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

الصائم المتطوع أمير نفسه إن شاء صام وإن شاء أفطر

Seorang yang sedang shaum sunnah adalah raja bagi dirinya sendiri, jika dia mau maka dia teruskan puasanya, jika dia mau silahkan dia batalkan. (HR. Ahmad No. 26893, Al Hakim No. 1599, 1600, katanya: shahih. Disepakati oleh Adz Dzahabi keshahihannya.  Al Baihaqi dalam As Sunan Ash Shaghir No. 1436. Syaikh Al Albani juga menshahihkannya. Lihat Shahihul Jami’ No. 3854)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

وقد ذهب أكثر أهل العلم إلى جواز الفطر، لمن صام متطوعا، واسحبوا له قضاء ذلك اليوم، استدلالا بهذه الاحاديث الصحيحة الصريحة

Mayoritas ulama berpendapat bolehnya membatalkan puasa bagi yang sedang shaum sunnah, dan mereka dianjurkan mengqadha puasa hari tersebut, berdasarkan hadits-hadits ini yang begitu jelas. (Fiqhus Sunnah, 1/455)

Imam Al Baghawi menjelaskan:

والحديث يدل على أن المتطوع بالصوم إذا أفطر، لا قضاء عليه إلا أن يشاء، وكذلك المتطوع بالصلاة إذا أبطلها، وهو قول عمر، وابن عباس وجابر، وإليه ذهب الثوري، والشافعي، وأحمد، وإسحاق، وقال أصحاب الرأي: يلزمه القضاء، وقال مالك: إن أفطر أو خرج من الصلاة من غير علة، يلزمه القضاء

Hadits ini menjadi dalil bahwa jika seorang yang sedang shaum sunnah dan dia membatalkannya maka dia tidak wajib qadha kecuali jika dia mau. Ini juga berlaku untuk shalat jika dia membatalkannya. Inilah pendapat Umar, Ibnu Abbas, Jabir, dan juga Ats Tsauri, Asy Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Sementara Ashhabur Ra’yi (pengikut Abu Hanifah) mengatakan: “Wajib mengqadha.” Sedangkan Malik mengatakan: “Jika batal puasa atau shalatnya tanpa ada alasan maka wajib qadha.” (Syarhus Sunnah, 6/372)

Demikianlah KEBOLEHANNYA, tetapi mana yang lebih utama dengan meneruskannya? Cukup banyak ulama mengatakan bahwa tidak membatalkannya puasanya adalah lebih disukai.

Syaikh Muhammad ‘Abid As Sindi berkata:

به أخذ الشافعي في جواز قطع الصوم النافلة والأكل نهارا وبه قال أحمد وإسحاق لكنهم متفقون جميعا على أن إتمام الصوم مستحب

Dengan hadits ini Asy Syafi’i berdalil bolehnya memutuskan shaum sunnah dan makan di siang harinya. Ini juga pendapat Ahmad dan Ishad, tetapi mereka semua sepakat bahwa sempurnanya shaum itu disukai (mustahab). (Musnad Asy Syafi’i,  1/276. Dengan susunan dari Syaikh As Sindi)

Alasannya firmanNya:

“Wahai orang-orang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu batalkan amal-amalmu.” (QS. Muhammad: 33)

Wallahu A’lam

🌷🍀🌹🌻🌺🍁🍃

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top