Sahkah I’tikaf di Masjid Bagian Bawah (Basement)?

📨 PERTANYAAN:

Ada seorang Ustadz yang mengatakan bahwa tidak sah I’tikaf di basment masjid, padahal kami sudah melakukannya sepuluh tahun.  Mohon pencerahannya. (08161912xxx)

📬 JAWABAN

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa shahbihi wa Man waalah, wa ba’d:

Sebagusnya ustadz tersebut menyampaikan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat para ulama kita dalam hal ini, tentu kita berharap ustadz tersebut tahu bahwa masalah ini memang ada perbedaan. Sehingga manusia mendapatkan gambaran yang lengkap tentang wacana I’tikaf di tempat-tempat seperti itu (teras, atap, menara, bawah masjid/basement).

Jika Beliau tahu ada perbedaan pendapat dalam masalah ini, tapi Beliau menyembunyikan faktanya sehingga hanya menyampaikan satu pendapat saja,  maka sikap Beliau sungguh disayangkan. Tapi jika tenyata Beliau tidak tahu ada perbedaan pendapat, maka tentunya itu lebih disayangkan lagi!

Pada bangunan masjid, ada bagian yang diistilahkan Ar Rahbah – الرحبة, yaitu bagian lapang   yang menyatu dengan masjid, baik itu terasnya, atapnya, termasuk basement jika ada.

Imam Ibnu Hajar berkata tentang makna Ar Rahbah ini:

هِيَ بِنَاء يَكُون أَمَام بَاب الْمَسْجِد غَيْر مُنْفَصِل عَنْهُ ، هَذِهِ رَحَبَة الْمَسْجِد

Itu adalah bangunan yang berada di depan pintu masjid yang tidak terpisah dari masjid, inilah makna Ar Rahbah-nya masjid. (Fathul Bari, 13/155)

Para ulama berbeda pendapat, apakah Ar Rahbah termasuk bagian dari masjid atau tidak. Jika dia TERMASUK bagian masjid, maka berlakulah hukum-hukum masjid, termasuk bolehnya tetap I’tikaf di situ. Jika BUKAN TERMASUK masjid, maka tidak sah i’tikaf di situ, karena bukan area masjid.
Tertulis dalam Al Mausu’ah:

فَاَلَّذِي يُفْهَمُ مِنْ كَلامِ الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ فِي الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ أَنَّهَا لَيْسَتْ مِنْ الْمَسْجِدِ , وَمُقَابِلُ الصَّحِيحِ عِنْدَهُمْ أَنَّهَا مِنْ الْمَسْجِدِ , وَجَمَعَ أَبُو يَعْلَى بَيْنَ الرِّوَايَتَيْنِ بِأَنَّ الرَّحْبَةَ الْمَحُوطَةَ وَعَلَيْهَا بَابٌ هِيَ مِنْ الْمَسْجِدِ . وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إلَى أَنَّ رَحْبَةَ الْمَسْجِدِ مِنْ الْمَسْجِدِ , فَلَوْ اعْتَكَفَ فِيهَا صَحَّ اعْتِكَافُهُ

Maka, yang bisa difahami dr perkataan kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, menurut pendapat yang  sah  sebagai pendapat madzhab adalah Ar Rahbah bukan termasuk masjid, dan ada  pendapat mereka  yang berlawanan dengan pendapat ini bahwa  Ar Rahbah adalah bagian dari masjid.   Abu Ya’la memadukan di antara dua riwayat yang berbeda ini bahwa Ar Rahbah yang termasuk masjid  merupakan Ar Rahbah (bagian lapang) yang diberikan pagar (batasan/tembok) dan di atasnya dibuat pintu. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 5/224)

Manakah pendapat yang lebih kuat?  Imam Ibnu Hajar berkata :

وَوَقَعَ فِيهَا الِاخْتِلَاف ، وَالرَّاجِح أَنَّ لَهَا حُكْم الْمَسْجِد فَيَصِحّ فِيهَا الِاعْتِكَاف

Telah terjadi perbedaan pendapat tentang ini, namun pendapat yang lebih kuat adalah Ar Rahbah memiliki hukum-hukum masjid, dan SAH I’tikaf di dalamnya. ( Fathul Bari, 13/155)

Imam Al ‘Aini menerangkan tentang Ar Rahbah:

وهي الساحة والمكان المتسع أمام باب المسجد غير منفصل عنه وحكمها حكم المسجد فيصح فيها الاعتكاف في الأصح بخلاف ما إذا كانت منفصلة

Ar Rahbah adalah lapangan atau tempat yang luas di depan pintu masjid yang tidak terpisah dari masjid, hukumnya sama dengan hukum masjid, maka sah beri’tikaf di dalamnya menurut pendapat  yang lebih benar dari perbedaan pendapat yang ada, selama dia masih bersambung dengan masjid. (Imam Badruddin Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 35/254)

Imam An Nawawi menjelaskan pula:

وقد نص الشافعي علي صحه الاعتكاف في الرحبة قال القاضي أبو الطيب في المجرد قال الشافعي يصح الاعتكاف في رحاب المسجد لانها من المسجد

Imam Asy Syafi’i telah mengatakan bahwa SAH-nya I’tikaf di Ar Rahbah. Al Qadhi Abu Ath Thayyib berkata dalam Al Mujarrad: “Berkata Asy Syafi’i: I’tikaf sah dilakukan di bangunan yang menyatu dengan masjid, karena itu termasuk bagian area masjid. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 6/507)

Inilah pendapat yang dianut oleh  Hasan Al Bashri, Zurarah bin Abi Aufa, Al Bukhari, dan kuatkan oleh Imam Ibnu Hajar, Imam An Nawawi, Imam Al ‘Aini, Imam Ibnul Munayyar, dan lainnya.  Juga Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syaikh Abdul Aziz Alu Asy Syaikh, dan lainnya.

Imam Ibnu Qudamah mengatakan:

وَيَجُوزُ لِلْمُعْتَكِفِ صُعُودُ سَطْحِ الْمَسْجِدِ ؛ لِأَنَّهُ مِنْ جُمْلَتِه

Dibolehkan bagi orang yang beri’tikaf untuk menaiki atap masjid karena itu bagian dari bangunannya. (Al Mughni, 6/227)

Kebolehan i’tikaf di atap masjid, tidaklah diperselisihkan oleh imam madzhab. (Lihat Al Mausu’ah, 5/224, juga  6/228)

Atap adalah bagian yang menyatu dengan masjid, sebagaimana basement yang menyatu dengannya, tidak ada bedanya. Hanya saja yang satu di atas, dan yang satu dibawah.

Jadi, selama bangunan itu (baik tegelnya atau dindingnya)  masih menyatu dengan masjid –seperti teras, atap, ruang samping mihrab, basement, menara-  maka dia termasuk masjid, dan sah I’tikaf di sana. Inilah pendapat yang lebih kuat di antara dua perselisihan yang ada, dan pendapat ini sesuai dengan kaidah:

الحريم له حكم ما هو حريم له

Sekeliling dari sesuatu memiliki hukum yang sama dengan hukum yang berlaku pada sesuatu itu sendiri.  (Imam As Suyuthi, Al Asybah wan Nazhair, Hal. 125)

Sekian. Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Ashhabihi wa Sallam.

Wallahu A’lam

🌻🌸🌾🍃🌴🌺☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 7)

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

D.  Zakat Ternak

Zakat hewan ternak (Al An’am) pada Unta, Sapi, Kerbau dan Kambing (dengan berbagai variannya) adalah ijma’ , tidak ada perbedaan pendapat.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan:

جاءت الاحاديث الصحيحة، مصرحة بإيجاب الزكاة في الابل، والبقر، والغنم، وأجمعت الامة على العمل
ويشترط لايجاب الزكاة فيها:   أن تبلغ نصابا   وأن يحول عليها الحول وأن تكون سائمة، أي راعية من الكلا المباح أكثر العام

Telah datang berbagai hadits shahih yang menjelaskan kewajiban zakat pada Unta, Sapi, dan Kambing, dan umat telah ijma’ (sepakat) untuk mengamalkannya. Zakat ini memiliki syarat: sudah sampai satu nishab, berlangsung selama satu tahun, dan hendaknya hewan tersebut adalah hewan yang digembalakan, yaitu memakan rumput yang tidak terlarang sepanjang tahun itu. (Fiqhus Sunnah, 1/363)

Sedangkan, selain hewan Al An’am tidak wajib dizakatkan, seperti kuda, keledai, ayam, ikan, bighal, kecuali jika semua dijual, maka masuknya dalam zakat tijarah (perniagaan). Wallahu A’lam

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

لا زكاة في شئ من الحيوانات غير الانعام.فلا زكاة في الخيل والبغال والحمير، إلا إذا كانت للتجارة

Tidak ada zakat pada hewan-hewan selain Al An’am, maka tidak ada zakat pada kuda, bighal (peranakan kuda dan keledai), keledai, kecuali jika untuk diperdagangkan. (Fiqhus Sunnah, 1/368)

Namun demikian, tidak semua Al An’am bisa dizakatkan, ada syarat yang mesti dipenuhi:

1.  Sampai nishabnya
2.  Sudah berlangsung satu tahun (haul)
3.  Hendaknya hewan ternak itu adalah hewan yang digembalakan, yang memakan rumput yang tidak terlarang dalam sebagian besar masa setahun itu.

Tiga syarat ini merupakan pendapat mayoritas ulama, kecuali Imam Malik dan Imam Laits bin Sa’ad. Menurut mereka berdua, hewan ternak yang makanannya disabitkan (bukan digembalakan) juga boleh dizakatkan.

Syaikh Sayyid Sabiq mengomentari:

لكن الاحاديث جاءت مصرحة بالتقييد بالسائمة، وهو يفيد بمفهومه: أن المعلوفة لا زكاة فيها، لانه لا بد للكلام عن فائدة، صونا له عن اللغو.

Tetapi hadits-hadits yang ada dengan gamblang mengkhususkan dengan hewan yang digembalakan, dan hal itu membawa pengertian: bahwa yang disabitkan rumputnya tidaklah wajib zakat, karena penyebutan tersebut mesti ada faidahnya, agar ucapan itu tidak sia-sia.  (Ibid, 1/364)

Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah mengatakan:

ولا أعلم من قال بقول مالك والليث من فقهاء الأمصار

Saya tidak ketahui ada fuqaha sepenjuru negeri yang setuju dengan pendapat Malik dan Al Laits. (Imam Az Zarqani, Syarh  ‘Alal Muwaththa’, 2/154)

▶ Zakat Unta, berikut rincian dalam Fiqhus Sunnah:

•  Nishabnya 5 ekor, mesti dikeluarkan 1 ekor kambing biasa yang sudah berusia setahun lebih, atau kambing benggala (dha’n), seperti kibas, biri-biri,  berusia setahun.

•  Jika 10 ekor, maka yang dikeluarkan 2 ekor kambing betina, dan seterusnya jika bertambah  lima bertambah pula zakatnya satu ekor kambing betina.

•  Jika banyaknya 25 ekor, maka zakatnya 1 ekor anak unta betina umur 1-2 tahun, atau 1 ekor anak unta jantan umur 2-3 tahun.

•  Jika 36 ekor, zakatnya 1 ekor anak unta betina usia 2-3 tahun

•  Jika 46 ekor, zakatnya 1 ekor unta betina berumur 3-4 tahun

•  Jika 61 ekor, zakatnya 1 ekor unta betina 4-5tahun

•  Jika 76 ekor, zakatnya 2 ekor anak unta betina umur 2-3 tahun

•  Jika 91 ekor sampai 120 ekor,   zakatnya 2 ekor anak unta betina umur 3-4 tahun

▶ Zakat Sapi

•  Tidak wajib zakat jika belum sampai 30 ekor, dalam keadaan digembalakan, dan sudah satu haul, zakatnya 1 ekor sapi jantan atau betina berumur 1 tahun

•  Jika 40 ekor, zakatnya 1 ekor sapi betina berumur 2 tahun

•  Jika 60 ekor, zakatnya 2 ekor sapi berumur 1 tahun

•  Jika 70 ekor, zakatnya 1 ekor sapi betina umur 2 tahun dan 1 ekor sapi jantan berumur 1 tahun

•  Jika 80 ekor, zakatnya 2 ekor sapi betina umur 2 tahun

•  Jika 90 ekor, zakatnya 3 ekor sapi umur 1 tahun

•  Jika 100 ekor, zakatnya 1 ekor sapi betina umur 2 tahun, serta 2 ekor sapi jantan umur 1 tahun

•  110 ekor, zakatnya 2 ekor sapi betina umur 2 tahun, dan 1 ekor sapi jantan umur 1 tahun

•  120 ekor, zakatnya 3 ekor sapi betina berumur 2 tahun, atau 4 ekor sapi umur 1 tahun.

Dan seterusnya, jika  banyaknya bertambah, maka setiap 30 ekor adalah 1 ekor sapi umur 1 tahun, dan setiap 40 ekor adalah 1 ekor sapi betina berumur 2 tahun.

▶ Zakat kambing

•  Tidak dizakatkan kecuali sudah mencapai 40 ekor. Jika berjumlah antara 40-120 ekor dan sudah cukup satu haul, maka zakatnya 1 ekor kambing betina.

•  Dari 121-200 ekor, zakatnya adalah 2 ekor kambing betina

•  Dari 201-300 ekor, zakatnya adalah 3 ekor kambing betina. Dan seterusnya, tiap tambahan 100 ekor, dikelurkan 1 ekor kambing betina. Dari domba berumur 1 tahun, dari kambing biasa 2 tahun.

Jika kambingnya hanya ada yang jantan, maka boleh dikeluarkan yang jantan. Jika sebagian jantan dan sebagian betina, atau semuanya betina, ada yang membolehkan jantan, ada juga hanya betina yang dizakatkan.

Bersambung ….

🍃🌾🌸🌻🌴🌺☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Serial Sekilas Seputar Zakat

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 1)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 2)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 3)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 4)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 5)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 6)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 7)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 8)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 9)

Download E-book Sekilas Seputar Zakat oleh Farid Nu’man Hasan, di sini

Bertabarruk (Mencari / Ngalap Berkah) Kepada Orang Shalih

💢💢💢💢💢💢💢

Tabarruk artinya thalabul barakah (mencari berkah). Maka, bertabarruk kepada orang-orang shalih adalah mencari keberkahan, sebagian manusia melakukam dengan cara makan dan minum sisa orang shalih, mencium tangan, dan memakai apa yang mereka pakai. Ini telah terjadi perdebatan para ulama. Sebagian mereka membolehkan dalam rangka mencari berkah, dan sebagian lain melarang dengan berbagai ungkapan; tidak disyariatkan, bid’ah, bahkan syirik.

📕 Pihak Yang Melarang dan Alasannya

Dalam fatwa Al Lajnah Ad Daaimah, mereka membagi dua model tabarruk dengan orang shalih, yaitu bertabaruk kepada yang sudah wafat dan bertabaruk kepada yang masih hidup. Yang pertama adalah syirik akbar dan yang kedua adalah bid’ah.
Berikut ini fatwanya:

وأما ما ذكرته من التبرك بالصالحين الأموات رجاء نفعهم والقرب منهم وشفاعتهم: فهذا لا يجوز، وهو من الشرك الأكبر، قال تعالى عن المشركين أنهم قالوا: { مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى } وقال تعالى عنهم في سورة يونس : { وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ }

Ada pun apa yang Anda katakan berupa bertabarruk kepada orang-orang shalih yang sudah wafat, dengan berharap mendapat manfaat dari mereka dan syafaat mereka, maka ini tidak boleh, ini termasuk syirik akbar. Allah Ta’ala berfirman: Kami tidaklah menyembah mereka melainkan supaya mereka bisa mendekatkan kami  kepada Allah sedekat-dekatnya. (QS. Az Zumar: 3)

Dan firman Allah Ta’ala tentang mereka: Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.” Katakanlah: “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) dibumi?” Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dan apa yang mereka mempersekutukan (itu).
( Fatawa Al Lajnah Ad Daaimah No. 5316)

Ada pun bertabarruk kepada shalihin yang masih hidup, demikian fatwa Al Lajnah Ad Daaimah:

وأما التبرك بالصالحين الأحياء فبدعة؛ لأن الصحابة رضي الله عنهم لم يفعلوه فيما بينهم لا مع الخلفاء الراشدين ولا مع غيرهم، ولأنه وسيلة إلى الشرك بهم فوجب تركه، وقد يكون شركا أكبر إذا اعتقد في الصالح أنه ينفع ويضر بتصرفه، وأنه يتصرف في الكون ونحو ذلك، وأما ما فعله الصحابة رضي الله عنهم مع النبي صلى الله عليه وسلم من التبرك بوضوئه وشعره فهذا من خصائصه صلى الله عليه وسلم، لما جعل الله في جسده وشعره وعرقه من البركة، ولا يلحق به غيره.

Sedangkan bertabarruk terhadap orang shalih yang masih hidup adalah bid’ah, karena para sahabat Nabi Radhiallahu ‘Anhum, tidak pernah melakukan terhadap sesamanya, tidak terhadap khulafa’ur rasyidin dan tidak pula terhadap lainnya, karena hal itu merupakan sarana menuju kesyirikan, maka wajib meninggalkannya. Hal ini menjadi syirik akbar jika dibarengi keyakinan bahwa pada orang shalih itu  mendatangkan manfaat dan bisa mendatangkan madharat pada perilakunya itu. Ada pun perilaku para sahabat Radhiallahu ‘Anhum terhadap Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan bertabarruk terhadap  wudhunya, rambutnya, maka semua ini adalah kekhususan bagi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bukan untuk selainnya. (Ibid)

Sementara itu, Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah, berkata:

قال ابن جديح في كتابه التبرك ما ملخصه : التبرك بالصالحين ممكن عن طريق الانتفاع بعلمهم ودعائهم في حال حياتهم، وبعد موتهم عن طريق الانتفاع بما وثقوه من العلم النافع، وما عدا هذا من طرق التبرك بهم فليس بمشروع بل هو ممنوع، ومنه التبرك بما أنفصل منهم كالشعر والريق والعرق . انتهى.

Ibnu Judaih berkata dalam kitabnya “At Tabarruk”, yang intisarinya:  “Bertabarruk kepada orang-orang shalih,  mungkin maksudnya adalah dengan cara mengambil manfaat  melalui  ilmu mereka atau doa mereka saat mereka masih hidup. Ada pun saat sudah wafatnya adalah dengan cara memanfaatkan ilmu-ilmu mereka yang terpercaya berupa ilmu yang bermanfaat, ada pun bertabarruk dengan cara selain itu, maka itu tidak disyariatkan, justru hal itu terlarang. Diantaranya bertabarruk dengan potongan rambutnya, liur, dan keringatnya. Selesai.” ( Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah, No. 44809)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munjid Hafizhahullah, mengutip dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah sebagai berikut:

التبرك بالصالحين ينقسم إلى قسمين :
أولاً : أن يتبرك بدعائهم بأن يسألهم أن يدعوا له وهذا جائز .. بشرط أن يعرف صلاحهم وتقواهم وان لا يفتتنوا هم بذلك .
ثانياً : التبرك بآثارهم .. كثيابهم وأغراضهم … الخ وهذا لا يجوز ومن البدعة وما يجب النهي عنه .

Bertabarruk dengan orang-orang shalih ada dua macam:

1.  Bertabarruk dengan doa mereka, yaitu dengan cara meminta mereka untuk mendoakan dirinya, maka ini boleh, dengan syarat  mereka  dikenal keshalihannya, ketaqwaannya, dan mereka pun tidak terkena fitnah karena hal ini.

2.  Bertabarruk dengan atsar (jejak, sisa, bekas) mereka, seperti bertabarruk dengan pakaian mereka, barang-barang meraka, dst .., ini tidak boleh dan termasuk bid’ah yang wajib dicegah. ( Fatawa Asy Syaikh Muhammad Shalih Al Munjid No. 26284)

📘 Pihak Yang Membolehkan dan Alasannya

Ada pun pihak yang membolehkan, mereka adalah para imam Ahlus Sunnah wa Jama’ah pula. Kebolehan itu berdasarkan dalil-dalil berikut:

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

البركة مع أكابركم

Keberkahan itu bersama orang-orang besar kalian. (HR. Ibnu Hibban No. 559, Al Hakim No. 210, katanya: shahih sesuai syarat Al Bukhari. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 11004, dll)

Menurut Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, maksud ‘akaabir’ – orang-orang besar adalah ahlul ‘ilmi (ulama). (Jaami’ Al Ahaadits No. 10505)

Dalam hadits Shahih Muslim, disebutkan oleh Asma binti Abi Bakar Radhiallahu Anhuma, bahwa ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha menyimpan Jubah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, yang biasa dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pakai saat hidupnya. Jubah itu dicuci oleh Asma supaya bisa dipakai orang sakit dan mereka sembuh karenanya.

Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

وفى هذا الحديث دليل على استحباب التبرك بآثار الصالحين وثيابهم

Dalam hadits ini menjadi dalil bahwa hal yang disukai bertabarruk dengan bekas-bekas orang shalih dan pakaian mereka. ( Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 14/44)

Jadi, berbeda dengan Al Lajnah Ad Daaimah, yang menilai itu adalah kekhususan untuk bekas-bekas  peninggalan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saja. Sedangkan Imam An Nawawi Rahimahullah menilai itu juga berlaku untuk selain Nabi, seperti para shalihin.

Ini juga ditegaskan oleh Imam Abul Hasan As Sindi Rahimahullah, saat menjelaskan para sahabat nabi yang bertabarruk dengan air wuhdu bekas Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa itu sebagai dalil bolehnya tabarruk dengan bekas-bekasnya orang shalih. Beliau berkata:

وفيه من التبرك بآثار الصالحين مالا

Pada hadits ini merupakan bukti adanya tabarruk kepada bekas-bekas harta orang shalih. ( Hasyiyah As Sindi ‘Alan Nasa’i, 2/38)

Sedangkan Imam An Nawawi juga berkata tentang hadits bekas wudhu itu:

ففيه التبرك بآثار الصالحين واستعمال فضل طهورهم وطعامهم وشرابهم ولباسهم

Pada hadits ini bukti tentang bertabarruk dengan sisa-sisa orang shalih dan memanfaatkan sisa air bersuci mereka, makanan, minuman, dan pakaian mereka. ( Al Minhaj Syah Shahih Muslim, 4/219)

Imam As Suyuthi Rahimahullah berkata:

وهذا الحديث أصل في التبرك باثار الصالحين ولباسهم

Hadits ini merupakan dasar tentang bertabarruk dengan bekas-bekas orang shalih dan pakaian mereka. (Hasyiyah Ibni Majah, Hal. 105)

Imam Badruddin Al ‘Aini Rahimahullah berkata:

فيه الدلالة على جواز التبرك بآثار الصالحين

Pada hadits ini merupakan dalil bolehnya bertabarruk dengan bekas-bekas orang-orang shalih. (‘Umdatul Qari, 4/386)

Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim Abadi Rahimahullah, ketika menjelaskan hadits riwayat Abu Daud (No. 52), dengan sanad hasan, tentang Aisyah Radhiallahu ‘Anha bersiwak menggunakan siwak bekas dipakai oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah dicucinya, Beliau berkata:

والحديث فيه ثبوت التبرك باثار الصالحين والتلذذ بها

Hadits ini terdapat pastinya bertabarruk dengan bekas-bekas orang shalih dan berlezat-lezat (bersenang-senang) dengannya. ( ‘Aunul Ma’bud, 1/52)

Sementara itu, Imam Asy Syafi’i Rahimahullah pernah bertabarruk dengan gamisnya Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah, kawan sekaligus muridnya sendiri. Hal ini diceritakan oleh Imam Ibnu ‘Asakir Rahimahullah berikut ini:

قال الربيع: إن الشافعي خرج إلى مصر وأنا معه فقال لي: يا ربيع خذ كتابي هذا ، فامض به وسلمه إلى أبي عبدالله أحمد بن حنبل، وائتني بالجواب. قال الربيع: فدخلت بغداد ومعي الكتاب، فلقيت أحمد بن حنبل صلاة الصبح، فصلّيت معه الفجر، فلما انفتل من المحراب سلّمت إليه الكتاب، وقلت له: هذا كتاب أخيك الشافعي من مصر، فقال أحمد: نظرت فيه قلت: لا، فكسر أبو عبدالله الختم وقرأ الكتاب، وتغرغرت عيناه بالدموع، فقلت: إيش فيه يا أبا عبدالله قال: يذكر أنه رأى النبي (صلى الله عليه وسلم) في النوم، فقال له: اكتب إلى أبي عبدالله أحمد بن حنبل، واقرأ عليه مني السلام، وقل: إنك ستُمتحن وتدعى إلى خلق القرآن فلا تجبهم، فسيرفع الله لك علماً إلى يوم القيامة. قال الربيع: فقلت: البشارة، فخلع أحد قميصيه الذي يلي جلده ودفعهُ إليّ، فأخذته وخرجت إلى مصر، وأخذت جواب الكتاب فسلّمته إلى الشافعي، فقال لي الشافعي: يا ربيع إيش الذي دفع إليك قلت: القميص الذي يلي جلده، قال الشافعي: ليس نفجعك به، ولكن بُلّه وادفع إليّ الماء لأتبرك به.

Berkata Rabi’: “Imam Syafi’i pergi ke Mesir bersamaku, lalu berkata kepadaku: “Wahai Rabi’, ambil surat ini dan serahkan kepada Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, selanjutnya datanglah kepadaku dengan membawa jawabannya!”

Aku memasuki Baghdad dengan membawa surat, aku jumpai Imam Ahmad sedang shalat subuh, maka aku pun shalat di belakang beliau. Setelah beliau hendak beranjak dari mihrab, aku serahkan surat itu, “Ini surat dari saudaramu Imam Syafi’i di Mesir,” kataku.

“Kau telah melihat isi surat ini?” tanya Imam Ahmad. Aku jawab: “Tidak.” Beliau membuka dan membaca isi surat itu, sejenak kemudian kulihat beliau berlinang air mata. “Apa isi surat itu wahai  Abu Abdillah?” tanyaku. “Isinya menceritakan bahwa Imam Syafi’i bermimpi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau berkata: “Tulislah surat kepada Ahmad bin Hanbal dan sampaikan salamku kepadanya. Kabarkan padanya bahwa dia akan mendapatkan ujian yaitu dipaksa mengakui bahwa Al Quran adalah mahluk, maka janganlah turuti mereka, Allah akan meninggikan  ilmu bagimu hingga hari kiamat.” Ar Rabi’ berkata:  “Ini kabar gembira.” Lalu beliau  melepaskan gamis yang melekat di kulitnya, dia memberikan kepadaku dan aku mengambilnya dan membawanya ke Mesir, beserta jawaban suratnya. Aku menyerahkannya kepada Imam Syafi’i.

Beliau bertanya: “Wahai Ar Rabi’ apa yang diberikan  Ahmad padamu?” Aku menjawab: “Gamis yang melekat dengan kulit beliau.“ Imam Asy Syafi’i berkata: “Kami tidak akan merisaukanmu, tapi basahi gamis ini dengan air, lalu berikan kepadaku air itu untuk bertabarruk dengannya.”
(Imam Ibnu ‘Asakir, Mukhtashar Tarikh Dimasqa, 1/400)

Demikian. Wallahu A’lam

🌾🌱🌴💐🌿🌻🍃☘🌸

✍ Farid Nu’man Hasan

Kebaikan Tiada Putusnya

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له

Jika manusia wafat maka semua amalnya terputus kecuali tiga:

📌 Sedekah Jariyah
📌 Ilmu yang bermanfaat
📌 Anak shalih yang mendoakannya

📚 HR. Muslim No. 1631

Imam As Suyuthi Rahimahullah mengatakan tentang “ilmu yang bermanfaat”:

قالوا هي التعليم والتصنيف وذكر القاضي تاج الدين السبكي أن التصنيف في ذلك أقوى لطول بقائه على ممر الزمان

Mereka (Para ulama) mengatakan itu adalah mengajar dan menyusun karya tulis. Al Qadhi Tajuddin As Subki menyebutkan bahwa menyusun tulisan dalam hal ini lebih kuat karena lebih panjang dan berkelanjutan melewati zaman. ( Ad Dibaj ‘Ala Muslim, 4/226)

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وبيان فضيلة العلم والحث على الاستكثار منه والترغيب في توريثه بالتعليم والتصنيف والإيضاح وأنه ينبغي أن يختار من العلوم الأنفع فالأنفع

Hadits ini berisi penjelasan tentang keutamaan ilmu dan dorongan untuk memperbanyaknya dan anjuran mewariskannya dengan mengajar, menyusun karya tulis, dan memberikan penjelasan. (Oleh karena itu) hendaknya memilih ilmu-ilmu yang mendatangkan manfaat. ( Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 11/85)

Sementara itu tertulis dalam Al Mu’tashar:

ومن جمع هذه الثلاثة فقد جمع خير الدنيا والآخرة

Barang siapa yang menggabungkan tiga jenis kebaikan ini maka dia telah mengumpulkan kebaikan dunia dan akhirat. ( Al Mu’tashar minal Mukhtashar min Musykilil Atsar,   2/168)

Wallahul Muwafiq ila Aqwamith Thariq …

🌷🌺🌴☘🌸🌾🌻🍃

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top