Hadits Mengusap Dahi dan Wajah Setelah Shalat

Dalam hal ini ada dua hadits.

1⃣ Hadits pertama, dari Anas bin Malik, katanya:

كان إذا قضى صلاته مسح جبهته بيده اليمنى ثم قال : أشهد أن لا إله إلا الله الرحمن الرحيم ، اللهم أذهب عني الهم و الحزن

“Adalah Rasulullah jika telah selesai shalat, maka dia usapkan dahinya dengan tangan kanannya, kemudian berkata: “Aku bersaksi tiada Ilah kecuali Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, Ya Allah hilangkanlah dariku kegelisahan dan kesedihan.” ( HR. Ibnu Sunni ,‘Amalul Yaum wal lailah, No. 110,  dan Ibnu Sam’un,Al Amali, 2/176q).

Hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah), bahkan sebagian ulama mengatakan:maudhu’ (palsu).

Imam Ibnu Rajab Al Hambali berkata dalam Fathul Bari-nya:

وله طرق عن أنس ،كلها واهية

“Hadits ini memiliki banyak jalan dari Anas bin  Malik, semuanya lemah.”(Imam Ibnu Rajab Al Hambali, Fathul Bari, pembahasan hadits no. 836. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Sanad hadits ini adalah dari Salam Al Madaini, dari Zaid Al ‘Ami dari Mu’awiyah, dari Qurrah, dari Anas … (lalu disebutkan hadts di atas)

Cacatnya hadits ini lantaran Salam Al Madaini dan Zaid Al ‘Ami. Salam Al Madaini adalah orang yang dtuduh sebagai pendusta, sedangkan Zaid Al ‘Ami adalah perawi dhaif. Oleh karena itu, Syaikh Al Albani mengatakan, sanad hadits ini palsu. Hanya saja, hadits ini juga diriwayatkan dalam sanad lainnya yang juga dhaif. Secara global, hadits ini dhaif jiddan. (Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Silsilah Ad Dhaifah wal Maudhu’ah, No. 1058.  Darul Ma’arif)

Sementara, Imam Al Haitsami mengutip dari Al Bazzar, bahwa Salam Al Madaini adalah layyinul hadits (haditsnya lemah). (Imam Al Haitsami, Majma’ az Zawaid, 10/47. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Al Haitsami juga mengatakan bahwa Zaid Al ‘Ami adalah dhaif (lemah).(Ibid,1/230) Imam Al Baihaqi juga menyatakan bahwa Zaid Al ‘Ami adalah dhaif. (Al ‘Allamah Ibnu At Turkumani, Al Jauhar, 3/46. Darul Fikr) begitu pula kata Imam Al ‘Iraqi. (Takhrijul Ihya’, 6/290)

Al ‘Allamah As Sakhawi mengatakan, lebih dari satu orang menilai bahwa Zaid Al ‘Ami adalah tsiqah (bisa dipercaya), namun jumhur (mayoritas) menilainya dhaif. (As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, 4/486) yang menilainya tsiqah adalah Imam Ahmad.(Ibid, 2/400) Imam Ahmad juga mengatakan: shalih (baik). (Ibnu Al Mubarrad, Bahr Ad dam, Hal. 58. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Sementara Imam An Nasa’i mengatakan Zaid Al ‘Ami sebagai laisa bil qawwi(bukan orang kuat hafalannya). (Al Hafizh Az Zaila’i, Nashbur Rayyah, 7/185. Lihat Abul Fadhl As Sayyid Al Ma’athi An Nuri, Al Musnad Al Jami’, 14/132) begitu pula kata Imam Abu Zur’ah. (Al Hafiz Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Razi, Al Jarh wat Ta’dil, 3/561. Dar Ihya At Turats)

2⃣  Hadits kedua, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu katanya:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا قضى صلاته مسح جبهته بكفه اليمنى ، ثم أمرها على وجهه حتى يأتي بها على لحيته ويقول : « بسم الله الذي لا إله إلا هو عالم الغيب والشهادة الرحمن الرحيم ، اللهم أذهب عني الغم والحزن والهم ، اللهم بحمدك انصرفت وبذنبي اعترفت ، أعوذ بك من شر ما اقترفت ، وأعوذ بك من جهد بلاء الدنيا ومن عذاب الآخرة »

“Adalah Rasulullah Shallalllahu ‘Alaihi wa Sallam jika telah selesai shalatnya, beliau mengusap dahinya dengan tangan kanan, kemudian ilanjutkan ke wajah sampai jenggotnya. Lalu bersabda: “Dengan nama Allah yang Tidak ada Ilah selain Dia, yang Maha Mengetahui yang Ghaib dan Yang Tampak, Maha Pengasih dan Penyayang. Ya Allah hilangkanlah dariku kegelisahan, kesedihan, dan keresahan. Ya Allah dengan memujiMu aku beranjak dan dengan dosaku aku mengakuinya. Aku berlindung kepadaMu dari keburukan yang telah aku akui, dan aku berlidung kepadaMu dari beratnya cobaan kehidupan dunia dan siksaan akhirat.”  (HR. Abu Nu’aim, Akhbar Ashbahan, No. 40446. Mawqi’ Jami’ Al Hadits)

Hadits ini dhaif (lemah). Karena di dalam sanadnya terdapat Daud Al Mihbarpengarang kitab Al ‘Aql.

Imam Al Bukhari berkata tentang dia: munkarul hadits. Imam Ahmad mengatakan: Dia tidak diketahui apa itu hadits.  (Imam Al Bukhari, At Tarikh Al Kabir, No. 837. Mawqi’ Ya’sub. Lihat juga kitab Imam Bukhari lainnya, Adh Dhu’afa Ash Shaghir, Hal. 45. Darul Ma’rifah. Lihat juga Al Hafizh Al ‘Uqaili, Dhu’afa, 2/35. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah )

Al Hafizh Az Zarkili mengatakan mayoritas ulama menilainya dhaif. (Khairuddin Az Zarkili,  Al A’lam, 2/334. Darul ‘Ilmi wal Malayin)

Ali Maldini mengatakan Daud ini: haditsnya telah hilang. Abu Zur’ah dan lainnya mengatakan: dhaif (lemah). Ad Daruquthni mengatakan: matruk (haditsnya ditinggalkan). Abu Hatim mengatakan: haditsnya hilang dan tidak bisa dipercaya. Ad Daruquthni mengatakan bahwa Daud Al Mihbar dalam kitab Al ‘Aql  telah memalsukan riwayat Maisarah bin Abdi Rabbih, lalu dia mencuri sanadnya dari Maisarah, dan membuat susunan sanad bukan dengan sanadnya Maisarah. Dia juga pernah mencuri sanad dari  Abdul Aziz bin Abi Raja’, dan Sulaiman bin ‘Isa Al Sajazi. (Imam Adz Dzahabi, Mizan Al I’tidal, 2/20. No. 2646. Darul Ma’rifah) Abu Hatim juga mengatakan:munkarul hadits. (Abdurrahman bin Abi Hatim, Al Jarh wat Ta’dil, 3/424, No. 1931)

Bahkan, Syaikh Al Albani dengan tegas mengatakan sanad hadits ini adalahmaudhu’ (palsu) lantaran perilaku Daud yang suka memalsukan sanad ini. Beliau mengatakan Daud adalah orang yang dituduh sebagai pendusta. Sedangkan untuk Al Abbas bin Razin As Sulami, Syaikh Al Albani mengatakan: aku tidak mengenalnya.(Syaikh Al AlBani, As Silsilah Adh Dhaifah wal Maudhu’ah, No. 1059.  Darul Ma’arif)

📒📕📘📗

📝  Catatan:

Walaupun hadits-hadits ini sangat lemah dan tidak boleh dijadikan dalil, namun telah terjadi perbedaan pendapat para ulama tentang mengusap wajah jika sekadar untuk membersihkan bekas-bekas sujud, seperti pasir, debu, tanah, dan lainnya. Di antara mereka ada yang membolehkan, ada juga yang memakruhkan.

Al Hafizh Al Imam Ibnu Rajab Rahimahullah mengatakan:

فأما مسح الوجه من أثر السجود بعد الصلاة ، فمفهوم ما روي عن ابن مسعودٍ وابن عباسٍ يدل على أنه غير مكروهٍ
وروى الميموني ، عن أحمد ، أنه كان اذا فرغ من صلاته مسح جبينه

“Adapun mengusap wajah dari bekas sujud setelah shalat selesai, maka bisa difahami dari apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas, yang menunjukkan bahwa hal itu tidak makruh. Al Maimuni meriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa dia mengusap dahinya jika selesai shalat.”   (Imam Ibnu Rajab Al Hambali,Fathul Bari, pembahasan hadits no. 836. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Sebagian ulama lain memakruhkannya, bahkan mengusap wajah merupakan penyebab hilangnya doa pengampunan dari malaikat. Berikut penjelasan dari Imam Ibnu Rajab Rahimahullah:

وكرهه طائفة ؛ لما فيه من إزالة أثر العبادة ، كما كرهوا التنشيف من الوضوء والسواك للصائم
وقال عبيد بن عميرٍ : لا تزال الملائكة تصلي على إلانسان ما دام أثر السجود في وجهه .
خَّرجه البيهقي بإسنادٍ صحيحٍ .
وحكى القاضي أبو يعلي روايةً عن أحمد ، أنه كان في وجهه شيء من أثر السجود فمسحه رجل ، فغضب ، وقال : قطعت استغفار الملائكة عني . وذكر إسنادها عنه ، وفيه رجل غير مسمىً .
وبوب النسائي ((باب : ترك مسح الجبهة بعد التسليم )) ، ثم خرج حديث أبي سعيد الخدري الذي خَّرجه البخاري هاهنا ، وفي آخره : قال ابو سعيدٍ : مطرنا ليلة أحدى وعشرين ، فوكف المسجد في مصلى النبي – صلى الله عليه وسلم – ، فنظرت إليه وقد انصرف من صلاة الصبح ، ووجهه مبتل طيناً وماءً .

“Sekelompok ulama memakruhkannya, dengan alasan hal itu merupakan penghilangan atas bekas-bekas ibadah, sebagaimana mereka memakruhkan mengelap air wudhu (dibadan) dan bersiwak bagi yang berpuasa. Berkata ‘Ubaid bin ‘Amir: “Malaikat senantiasa bershalawat atas manusia selama bekas sujudnya masih ada di wajahnya.” (Riwayat Al Baihaqi dengan sanad shahih)

Al Qadhi Abu Ya’la menceritakan sebuah riwayat dari Imam Ahmad, bahwa  ada bekas sujud di wajahnya lalu ada seorang laki-laki yang mengusapnya, maka beliau pun marah, dan berkata: “Kau telah memutuskan istighfar-nya malaikat dariku.” Abu Ya’la menyebutkan sanadnya darinya, dan didalamnya terdapat seseorang yang tanpa nama.

Imam An Nasa’i membuat bab: Meninggalkan Mengusap Wajah Setelah Salam. Beliau mengeluarkan sebuah hadits dari Abu Said Al Khudri, yang telah dikeluarkan pula oleh Imam Bukhari di sini, di bagian akhirnya berbunyi: Berkata Abu Said: “Kami kehujanan pada malam ke 21 (bulan Ramadhan), lalu air di masjid mengalir ke tempat shalat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka kami memandang kepadanya, beliau telah selesai dari shalat subuh, dan wajahnya terlihat sisa tanah dan air.” (Ibid)

Wallahu A’lam

🌾🍂🌼🍃🍀🌴🌻🌹🌿

✏ Farid Nu’man

Fiqih Shalat Gerhana (Bag. 6)

💥💦💥💦💥💦

8⃣ Adakah amalan khusus selain shalat?

Seperti yang telah diketahui, kita diperintahkan untuk berdoa, shalat, bertakbir dan bersedekah. Dari empat amalan ini hanya shalat yang memiliki keterangan khusus dan mendetail.

Ada pun doa, tidak ada keterangan doa khusus gerhana; baik sebelum, ketika, dan sesudahnya; baik diawal khutbah, ketika, dan di akhirnya, dan sesudah gerhananya. Maka, kapan saja berdoa selama masih keadaan gerhana, dengan doa apa pun untuk kebaikan dunia, akhirat, pribadi, dan umat, adalah boleh, karena termasuk keumuman perintah untuk berdoa.

Begitu pula bertakbir, tidak ada keterangan khusus bentuk takbir apa yang diucapkan. Oleh karenanya, takbir apa pun secara umum yang bermakna membesarkan dan mengagungkan nama Allah Ta’ala tidaklah mengapa.

Tidak ada pula keterangan dalam Al Quran dan As Sunnah tentang kadar dan jenis sedekah yang mesti dikeluarkan ketika gerhana. Maka, ini diserahkan atas kerelaan masing-masing.

Wallahu A’lam

✏ Farid Nu’man Hasan

Hukum Onani

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum.mohon maaf mau tanya,apakah hukum onani dalam Islam?_jika seseorang sudah kecanduan onani dah lebih 15 tahun padahal saat ini ia sudah menikah,bagaimana lah solusinya?.

📬 JAWABAN

Wa ‘Alaikum salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillahi wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ba’d:

Masalah onani/masturbasi (istimna’) sejak lama diperselisihkan para ulama. Di i antara mereka ada yang mengharamkan, ada pula yang memakruhkan, bahkan membolehkan dengan syarat, artinya jika syaratnya tidak terpenuhi maka tetap haram. Yang pasti, ditinjau secara muru’ah (citra diri) seorang muslim, tak ada yang mengatakan onani/masturbasi adalah baik.

Saya akan kutip uraian dan fatwa dari para beberapa ulama kita, sebagai berikut.

1⃣ Fatwa Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’, fatwa no. 2192

استمناء الصائم
السؤال الأول من الفتوى رقم (2192)
س1: إذا تحركت شهوة المسلم في نهار رمضان ولم يجد طريقًا إلا أن يستمني فهل يبطل صومه، وهل عليه قضاء أو كفارة في هذه الحالة؟
ج1: الاستمناء في رمضان وغيره حرام، لا يجوز فعله؛ لقوله تعالى: { وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ }{ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ }{ فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ } (1) وعلى من فعله في نهار رمضان وهو صائم أن يتوب إلى الله، وأن يقضي صيام ذلك اليوم الذي فعله فيه، ولا كفارة؛ لأن الكفارة إنما وردت في الجماع خاصة.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو // عضو // نائب رئيس اللجنة // الرئيس //
عبد الله بن قعود // عبد الله بن غديان // عبد الرزاق عفيفي // عبد العزيز بن عبد الله بن باز //

Onani Bagi Orang Berpuasa (Pertanyaan pertama dalam fatwa no. 2192)

Pertanyaan: Jika seorang muslim, syahwat bergejolak pada siang hari Ramadhan dan dia tidak menemukan cara meredam kecuali dengan onani, maka apakah batal puasanya, apakah wajib baginya qadha atau membayar kifarat dalam keadaan seperti itu?

Jawab:
Onani pada bulan Ramadhan dan selain bulan Ramadhan adalah haram, tidak boleh melakukannya. Karena Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Mu’minun: 5-7)

Dan bagi siapa saja yang melakukannya pada siang hari Ramadhan, wajib baginya tobat kepada Allah, dan hendaknya mengganti (qadha) puasanya itu pada hari lain, tidak usah membayar kifarat, karena kifarat itu khusus untuk yang jima’ (bersetubuh) pada bulan puasa.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘Ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa ashhabihi wa sallam.

Al Lajnah Da’imah Lil Buhuts wal Ifta,
Ketua: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
Anggota: – Syaikh Abdullah bin Qu’ud
– Syaikh Abdullah bin Ghudyan
– Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi

2⃣ Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

وَسُئِلَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى عَنْ ” الِاسْتِمْنَاءِ ” هَلْ هُوَ حَرَامٌ ؟ أَمْ لَا ؟
الْجَوَابُ:
فَأَجَابَ : أَمَّا الِاسْتِمْنَاء بِالْيَدِ فَهُوَ حَرَامٌ عِنْدَ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ وَهُوَ أَصَحُّ الْقَوْلَيْنِ فِي مَذْهَبِ أَحْمَد وَكَذَلِكَ يُعَزَّرُ مَنْ فَعَلَهُ . وَفِي الْقَوْلِ الْآخَرِ هُوَ مَكْرُوهٌ غَيْرُ مُحَرَّمٍ وَأَكْثَرُهُمْ لَا يُبِيحُونَهُ لِخَوْفِ الْعَنَتِ وَلَا غَيْرِهِ وَنُقِلَ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ أَنَّهُمْ رَخَّصُوا فِيهِ لِلضَّرُورَةِ : مِثْلَ أَنْ يَخْشَى الزِّنَا فَلَا يُعْصَمُ مِنْهُ إلَّا بِهِ وَمِثْلَ أَنْ يَخَافَ إنْ لَمْ يَفْعَلْهُ أَنْ يَمْرَضَ وَهَذَا قَوْلُ أَحْمَد وَغَيْرِهِ . وَأَمَّا بِدُونِ الضَّرُورَةِ فَمَا عَلِمْت أَحَدًا رَخَّصَ فِيهِ . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

Beliau –Rahimahullah- ditanya tentang onani, apakah haram? Atau tidak?

Jawab:

“Adapun onani dengan tangan, adalah haram menurut jumhur (mayoritas) ulama, dan itu adalah yang lebih benar di antara dua pendapat dalam madzhab Imam Ahmad, dan bagi yang melakukannya wajib di ta’zir (didera). Dalam pendapat lainnya, hukumnya makruh tidak haram, kebanyakan mereka tidak membolehkannya baik yang takut tidak mampu menahan nafsu dan bagi selainnya. Dikutip dari sekelompok sahabat dan tabi’in, bahwa mereka memberikan rukhshah (keringanan) dalam hal ini jika dharurat: misalnya jika dia takut berzina, dan dia tidak mampu mencegahnya kecuali dengan onani, atau misalnya orang yang takut jika tidak melakukannya maka dia akan sakit, dan ini adalah pendapat Ahmad dan selainnya. Sedangkan jika tidak ada dharurat, maka saya tidak mengetahui satu pun ulama yang memberikan rukhshah (keringanan). Wallahu A’lam” (Al Fatawa Al Kubra, 3/439)

Sedangkan dalam Majmu’ Al Fatawa tertulis demikian:

سُئِلَ : عَنْ ” الِاسْتِمْنَاءِ ” فَأَجَابَ : أَمَّا الِاسْتِمْنَاءُ فَالْأَصْلُ فِيهِ التَّحْرِيمُ عِنْدَ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ ، وَعَلَى فَاعِلِهِ التَّعْزِيرُ ؛ وَلَيْسَ مِثْلَ الزِّنَا . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

“Beliau ditanya tentang “onani”, maka beliau menjawab: “Ada pun onani, hukum asalnya adalah haram menurut jumhur ulama, dan bagi pelakunya wajib di ta’zir (di hukum dera/pukul) dan tidak sama dengan zina (hukumannya). Wallahu A’lam “ (Majmu’ Al Fatawa, 34/229)

3⃣ Imam Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, sebagai berikut:

عن مجاهد قال: سئل ابن عمر عن الاستمناء؟ فقال ذلك نائك نفسه، وبه إلى سفيان الثوري عن الاعمش عن أبي رزين عن أبي يحيى عن ابن عباس أن رجلا قال له إني أعبث بذكري حتى أنزل قال أف نكاح الامة خير منه وهو خير من الزنا

Dari Mujahid, dia berkata, bahwa Ibnu Umar ditanya tentang onani?, dia menjawab: “Itu adalah menjauhkanmu dari nafsu.” Dengannya pula pandangan Sufyan ats Tsauri, dari Al A’masy, dari Abu Razin, dari Abu Yahya, dari Ibnu Abbas, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepadanya, “Sesungguhnya saya bermain-main dengan dzakar saya, sampai keluar mani.” Ibnu Abbas berkata: “Cis! Menikahi budak lebih baik dari itu, namun itu lebih baik dari zina.” (Al Muhalla, 11/391-2392)

Dari ucapan di atas, bisa kita ketahui bahwa Ibnu Umar dan Ibnu Abbas tidak mengharamkannya. Sedangkan Imam Ibnu Hazm sendiri juga tidak mengharamkan, menurutnya onani adalah makruh dan tidak berdosa. Onani dilarang karena merusak jiwa dan akal, dan perbuatan tidak luhur.

Berikut Ucapan Imam Abu Muhammad bin Hazm Rahimahullah:

قال أبو محمد رحمه الله: فلو عرضت فرجها شيئا دون أن تدخله حتى ينزل فيكره هذا ولا اثم فيه وكذلك الاستمناء للرجال سواء سواء لان مس الرجل ذكره بشماله مباح ومس المرأة فرجها كذلك مباح باجماع الامة كلها فإذ هو مباح فليس هنالك زيادة على المباح الا التعمد لنزول المني فليس ذلك حراما أصلا لقول الله تعالى: (وقد فصل لكم ما حرم عليكم) وليس هذا مما فصل لنا تحريمه فهو حلال لقوله تعالى:
(خلق لكم ما في الارض جميعا) الا أننا نكرهه لانه لس من مكارم الاخلاق ولا من الفضائل، وقد تكلم الناس في هذا فكرهته طائفة وأباحته أخرى

Berkata Abu Muhammad (Ibnu Hazm) Rahimahullah: “Seandainya seorang wanita memainkan kemaluannya dengan sesuatu tanpa memasukkannya sampai dia inzal (orgasme) maka itu dibenci (makruh) dan tidak berdosa. Demikian juga onani bagi laki-laki, sama saja, karena seorang laki-laki menyentuh kemaluannya dengan tangan kirinya adalah mubah, dan juga seorang wanita yang menyentuh kemaluannya adalah mubah (boleh) menurut ijma’ umat seluruhnya. Maka, jika hal itu mubah, maka di sana tidak ada tambahan atas kebolehannya kecuali menyengaja hingga keluar mani. Maka itu tidak haram pada asalnya, karena Allah Ta’ala berfirman: “Allah telah jelaskan bagi kalian apa-apa yang telah diharamkan atas kalian”, dan tidak ada dalam hal ini apa-apa yang menjelaskan keharamannya bagi kita, maka dia halal karena Allah Ta’ala berfirman: “Allah telah menciptakan apa-apa yang ada di bumi semua untuk kalian.” Namun, kami memakruhkan hal itu, karena itu bukanlah perbuatan mulia, bukan utama, dan manusia telah membicarakan hal ini, sekelompok ada yang memakruhkannya, dan yang lain ada yang membolehkannya.” (Ibid, 11/392)

4⃣ Dalam kitab Al Fatawa Al Hindiyah disebutkan:

الِاسْتِمْنَاءُ حَرَامٌ ، وَفِيهِ التَّعْزِيرُ ، وَلَوْ مَكَّنَ امْرَأَتَهُ ، أَوْ أَمَتَهُ مِنْ الْعَبَثِ بِذَكَرِهِ ، فَأَنْزَلَ ، فَإِنَّهُ مَكْرُوهٌ ، وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ ، كَذَا فِي السِّرَاجِ الْوَهَّاجِ

“Onani adalah haram, dan harus dikenai ta’zir. Dan seandainya yang meng-onanikan adalah istrinya, atau budaknya memainkan dzakarnya, hingga keluar maninya, maka itu makruh. Dan tidak dikenai hukuman. Demikian keterangan dalam As Siraj al Wahaj”. (Al Fatawa Al Hindiyah, 15/432)

5⃣ Dalam Kitab Fiqhus Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq berkata:

الاستمناء: استمناء الرجل بيده مما يتنافى مع ما ينبغي أن يكون عليه الانسان من الادب وحسن الخلق، وقد اختلف الفقهاء في حكمه: فمنهم من رأى أنه حرام مطلقا. ومنهم من رأى أنه حرام في بعض الحالات، وواجب في بعضها الآخر. ومنهم من ذهب إلى القول بكراهته. أما الذين ذهبوا إلى تحريمه فهم المالكية والشافعية، والزيدية. وحجتهم في التحريم أن الله سبحانه أمر بحفظ الفروج في كل الحالات، إلا بالنسبة للزوجة، وملك اليمين. فإذا تجاوز المرء هاتين الحالتين واستمنى، كان من العادين المتجاوزين ما أحل الله لهم إلى ما حرمه عليهم.
يقول الله سبحانه: ” والذين هم لفروجهم حافظون. إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم فإنهم غير ملومين.
فمن ابتغى وراء ذلك فأولئك هم العادون “. وأما الذين ذهبوا الى التحريم في بعض الحالات، والوجوب في بعضها الآخر، فهم الاحناف فقد قالوا: إنه يجب الاستمناء إذا خيف الوقوع في الزنا بدونه، جريا على قاعدة: ارتكاب أخف الضررين. وقالوا: إنه يحرم إذا كان لاستجلاب الشهوة وإثارتها. وقالوا: إنه لا بأس به إذا غلبت الشهوة، ولم يكن عنده زوجة أو أمة واستمنى بقصد تسكينها.
وأما الحنابلة فقالوا: إنه حرام، إلا إذا استمنى خوفا على نفسه من الزنا، أو خوفا على صحته، ولم تكن له زوجة أو أمة، ولم يقدر على الزواج، فإنه لاحرج عليه. وأما ابن حزم فيرى أن الاستمناء مكروه ولا إثم فيه، لان مس الرجل ذكره بشماله مباح بإجماع الامة كلها. وإذا كان مباحا فليس هنالك زيادة على المباح إلا التعمد لنزول المني، فليس ذلك حراما أصلا، لقول الله تعالى: ” وقد فصل الله لكم ما حرم عليكم ” وليس هذا ما فصل لنا تحريمه، فهو حلال لقوله تعالى: ” خلق لكم ما في الارض جميعا “. قال: وإنما كره الاستمناء لانه ليس من مكارم الاخلاق ولا من الفضائل. وروي لنا أن الناس تكلموا في الاستمناء فكرهته طائفة وأباحته أخرى. وممن كرهه ابن عمر، وعطاء. وممن أباحه ابن عباس، والحسن، وبعض كبار التابعين. وقال الحسن: كانوا يفعلونه في المغازي. وقال مجاهد: كان من مضى يأمرون شبابهم بالاستمناء يستعفون بذلك، وحكم المرأة مثل حكم الرجل فيه.

Onani

Onani yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan tangannya termasuk suatu hal yang merusak adab dan akhlak yang baik. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukumnya. Sebagian ulama ada yang menetapkan hukumnya haram secara mutlak. Sedangkan yang lain mengatakan haram dalam suatu keadaan, namun wajib dalam keadaan lain. Sebagian yang lain mengatakan makruh.

Di antara para ulama yang mengatakan haram adalah: pengikut madzhab Maliki, Syafi’i, dan Zaidi. Mereka berhujjah bahwa Allah Ta’ala telah memerintakan manusia untuk menjaga kemaluannya dalam segala kondisi kecuali terhadap isteri dan budak yang dimilikinya. Jadi, jika ada lelaki yang melampaui kedua hal itu –mendatangi isteri dan budak- dengan cara onani, maka ia termasuk orang yang melampaui batas dari hal yang telah Allah halalkan masuk ke dalam perbuatan yang Allah haramkan.

Allah Ta’ala berfirman:

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri dan budak yang mereka miliki;maka sesunguhnya mereka adalah orang tiada tercela. Barangsiapa yang mencari dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Mu’minun: 5-7)

Sedangkan ulama yang mengatakan bahwa onani itu haram dalam satu keadaan, namun wajib dalam keadaan lain adalah pengikut Imam Abu hanifah. Pendapat ini mengatakan bahwa andaikata seseorang dikhawatirkan akan berbuat zina, maka wajiblah ia menyalurkan nafsunya dengan cara onani. Pendapat ini mengikuti kaidah: “Jika berkumpul dua mudharat, maka wajib mengambil mudharat yang paling ringan.”

Mereka mengatakan: “Jika onani ini dilakukan hanya untuk merangsang dan membangkitkan syahwat, maka ini haram hukumnya.”

Mereka juga mengatakan: “Bahwa onani dengan tangan sendiri itu tidak apa-apa di kala syahwat sudah tidak mampu dibendung lagi, sedangkan dia sendiri tidak memiliki isteri atau budak. Dan onani ini dilakukannya dalam rangka meredakan syahwat.”

Pengikut Hambali mengatakan bahwa

onani dengan tangan sendiri haram hukumnya kecuali jika takut akan berbuat zina atau takut akan merusak kesehatan, sedangkan ia tidak punya isteri atau budak yang dimilikinya, dan ia juga tidak mampu untuk menikah. Jika DALAM KEADAAN SEPERTI INI maka tidak mengapa dia melakukan onani.

Berbeda dengan pendapat sebelumnya, yaitu pandangan Imam Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa onani itu makruh dan tidak berdosa. Karena seorang laki-laki menyentuh kemaluannya dengan tangan kirinya adalah mubah (boleh) menurut ijma’ umat seluruhnya. Maka, jika hal itu mubah, maka di sana tidak ada tambahan atas kebolehannya kecuali menyengaja hingga keluar mani. Maka itu tidak haram pada asalnya, karena Allah Ta’ala berfirman: “Allah telah jelaskan bagi kalian apa-apa yang telah diharamkan atas kalian”, dan tidak ada dalam hal ini apa-apa yang menjelaskan keharamannya bagi kita, maka dia halal karena Allah Ta’ala berfirman: “Allah telah menciptakan apa-apa yang ada di bumi semua untuk kalian.” Namun, kami memakruhkan hal itu, karena itu bukanlah perbuatan mulia, bukan utama, dan manusia telah membicarakan hal ini, sekelompok ada yang memakruhkannya, dan yang lain ada yang membolehkannya.”
Di antara yang mengatakan makruh adalah Ibnu Umar dan Atha’, dan yang mengatakan mubah adalah Ibnu Abbas dan Al Hasan, dan sebagian tabi’in senior.

Al Hasan berkata: “Mereka melakukan onani ketika berperang.”

Mujahid berkata: “Orang dulu justru memerintahkan pemudanya beronani untuk menjaga kesucian dan kehormatan diri.” Sama dengan onani, masturbasi wanita pun sama hukumnya. (Fiqhus Sunnah, 2/434-436)
Selesai dari Syaikh Sayyid Sabiq.

Demikianlah masalah ini, nampaknya apa yang dibahas oleh Syaikh Sayyid Sabiq cukup komprensif (menyeluruh). Kesimpulannya, tak ada yang mengatakan bahwa onani adalah perbuatan baik, etis, dan beradab. Namun, apa yang dipegang Hanafiyah dan Hambaliyah nampaknya bisa jadi lebih pas untuk zaman sekarang, zaman banyaknya wanita berpakaian tetapi sebenarnya telanjang, zamannya godaan, pornografi, sementara biaya pernikahan tidak murah, maka pandangan mereka yakni haram dalam satu keadaan dan wajib dalam keadaan lain bisa dipertimbangkan, dengan catatan kondisi-kondisi tersebut memang terjadi karena dharurat bukan dicari-cari dan dibuat-buat.

Wallahu A’lam

🍃🌾☘🌻🌴🌸🌷🌺

✏ Farid Nu’man Hasan

Miskin dan Kaya Oke-Oke Aja

✔  Jangan Sesali Kemiskinan Asalkan Sabar

💦💥💦💥💦💥

📌 Nabi pernah berdoa agar dihidupkan dalam keadaan miskin, dimatikan dalam keadaan miskin, dan dikumpulkan bersama orang-orang miskin. (HR. At Tirmidzi No. 2352, Al Hakim No. 7911, katanya: shahih. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 13532)

📌 Di surga, kata Nabi, kebanyakan isinya adalah orang-orang miskin dan lemah. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

📌 Di surga orang miskin memasukinya lebih dahulu dibanding orang kaya, mereka mahbusun (tertahan) dulu. (HR. Al Bukhari No. 5196)

📌 Pertanyaan dan hisab di akhirat pun tidak sebanyak seperti pertanyaan bagi orang kaya, orang kaya akan ditanya tentang hartanya, dari mana dan buat apa. (HR. At Tirmidzi No. 2517, katanya: hasan shahih. Abu Ya’la No. 7434, Abu Nu’aim, 10/232)

📌 Tidak sedikit orang-orang besar adalah orang yang diuji dengan kemiskinan, seperti Nabi Ayyub ‘Alaihissalam, namun karena kesabarannya Allah Ta’ala memujinya sebagai “ni’mal ‘abdu – hamba terbaik”. (QS. Shaad: 44)

✔ Kaya Itu Sangat Penting Asalkan Bersyukur

💥💦💥💦💥💦

📌 Nabi Daud dan Sulaiman ‘Alaihimassalam, keduanya nabi, keduanya raja sangat kaya, tapi keduanya Allah Ta’ala puji “Ni’mal ‘Abdu-hamba terbaik”, karena ketaatannya. (QS. Shaad: 30)

📌 Ada dua rukun Islam, yang butuh kekuatan harta untuk menjalankannya, yaitu haji jika mampu, dan zakat jika nishab.

📌 Nabi memuji orang yang memiliki sesuatu lalu dia memberikannya kepada yang tidak punya, katanya: Tangan di atas lebih baik dibanding tangan yang di bawah. (HR. Al Bukhari No. 5040)

📌 Sesungguhnya para sahabat yang mubasyiruna bil jannah (dikabarkan akan masuk surga) hampir semua orang kaya harta, kecuali Ali Radhiallahu ‘Anhu

📌 Olah raga dan permainan yang dianjurkan Islam juga “berkelas dan elit” seperti berkuda, panah, dan pedang (anggar), hanya renang yang murah meriah.

📌 Nabi memerintahkan kita memisahkan tempat tidur (lebih bagus lagi memisahkan kamarnya). (HR. Abu Daud No. 495, Ahmad No. 6689, dll. Imam An Nawawi mengatakan: hasan) artinya, buat rumah mesti banyak kamar agar ideal.

So, semua baik bagi orang mu’min, jika dapat kebaikan  disyukuri, jika buruk dia sabar.

Wallahu A’lam

☘🌻🌺🌴🌷🍃🌸🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top