Shalat Di Antara Tiang-Tiang

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaykum, ustadz bagaimana hukumnya sholat di antara 2 tiang bagi makmum? pendapat mana yg lebih kuat dan selamat?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam warahmatullah…

Bismillah wal Hamdulillah ..

Telah datang larangan shalat di antara dua tiang.

Dari Muawiyah bin Qurrah, dari ayahnya, sia berkata:

كُنَّا نُنْهَى أَنْ نَصُفَّ بَيْنَ السَّوَارِي عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنُطْرَدُ عَنْهَا طَرْدًا

Dulu pada zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kami dilarang membuat shaf di antara dua tiang, dan kami benar-benar menjauhinya. (HR. Ibnu Majah No. 1002, shahih)

Abdul Hamid bin Mahmud berkata:

صَلَّيْنَا خَلْفَ أَمِيرٍ مِنْ الْأُمَرَاءِ ، فَاضْطَرَّنَا النَّاسُ فَصَلَّيْنَا بَيْنَ السَّارِيَتَيْنِ ، فَلَمَّا صَلَّيْنَا قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ : (كُنَّا نَتَّقِي هَذَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)

Kami shalat dibelakang gubernur, orang-orang mendesak kami sampai kami shalat di antara dua tiang. Ketika kami selesai shalat, Anas bin Malik berkata:

“Dulu kami menghindari ini (dua tiang) pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR. At Tirmidzi No. 229, shahih)

Sehingga, para ulama memakruhkan shalat di antara tiang-tiang sebab itu memutuskan shaf.

Imam Ibnu Muflih Rahimahullah berkata:

وَيُكْرَهُ لِلْمَأْمُومِ الْوُقُوفُ بَيْنَ السَّوَارِي , قَالَ أَحْمَدُ : لِأَنَّهَا تَقْطَعُ الصَّفّ

Dimakruhkan bagi makmum diberdiri (shalat) di antara tiang. Ahmad berkata: karena itu memutuskan shaf.  (Al Furu, 2/39)

Demikianlah dasarnya. Tapi, jika ada hajat seperti masjid yang sempit atau jamaah yang membludak, sehingga mau tidak mau mereka berada di antara tiang, maka itu tidak apa-apa.

Para ulama di Al Lajnah Ad Daimah berkata:

يكره الوقوف بين السواري إذا قطعن الصفوف ، إلا في حالة ضيق المسجد وكثرة المصلين

Dimakruhkan berdiri (shalat) di antara tiang sebab itu memutuskan shaf, kecuali dalam keadaan sempitnya masjid dan banyaknya jamaah shalat. (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 5/295)

Syaikh Utsaimin Rahimahullah berkata:

الصف بين السواري جائز إذا ضاق المسجد ، حكاه بعض العلماء إجماعاً ، وأما عند السعة ففيه خلاف ، والصحيح : أنه منهي عنه ؛ لأنه يؤدي إلى انقطاع الصف

Shaf di antara tiang adalah boleh jika masjidnya sempit,  diceritakan sebagian ulama adanya ijma’ atas hal itu. Ada pun pada masjid luas maka ada perselisihan di dalamnya. Yang benar adalah itu terlarang karena itu dapat memutuskan shaf. (Selesai)

Demikian. Wallahu A’lam

🌸☘🍃🍀🌹🎋🌷

✍ Farid Nu’man Hasan

Tafsir Surat Al-Ikhlas (Bag. 2)

💢💢💢💢💢

📖 KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

Katakanlah,’ Dialah Allah Tuhan yang Esa”

Islam memiliki konsep Ketuhanan yang sempurna, tidak seperti penganut agama dan kepercayaan lain, yang memiliki beragam asumsi terhadap “Tuhan”. Ada yang meyakini benda sebagai sesembahan, ada juga yang, Buktinya ayat pertama ini menjelaskan bahwa Allah merupakan Illah, sesembahan yang tunggal. Tidak seperti keyakinan Nasrani dengan ajaran Trinitas, juga tidak seperi keyakinan kaum musyrikin yang menganggap banyak sesembahan (Politheis). Tidak juga seperti kaum yang anti Tuhan (Atheis). Tiada sekutu bagi Allah, dan Dia adalah Dzat yang paling berhak disembah.

🔲 1. Sabab Nuzul Ayat

Sebab turun ayat ini seperti telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya, pendapat dari Ikrimah:

Saat kaum Yahudi mengatakan, “Kami menyembah Uzair anak Allah, kaum Nashrani mengatakan,”Kami menyembah Al Masih anak Allah, lalu kaum Majusi mengatakan,”Kami menyembah matahari dan bulan, dan orang-orang musyrik mengatakan,” Kami menyembah patung”, kemudian Allah menurunkan ayat ini kepada Rasulullah Shalallah alaihi wasallam.[1]

🔲 2. Makna Illah

Secara bahasa illah berasal dari kata:

اَلَهَ – يَأْلَهُ –اِلَاهًا و آلـِهَةً

Bentuk dasar الإله menjadi الله artinya sesembahan.[2] Artinya Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak untuk disembah.

💡 Perbedaan al-Illah dan Rabb

Menurut Ibnu Taiymiyah perbedaan antara Illah dan Rabb terkait pada:

الإله – يتضمن غاية العبد ومصيره ومنتهاه وما خلق له وما فيه صلاحه وكماله وهو عبادة الله والاسم الثاني – الرب – يتضمن خلق العبد ومبتداه وهو أنه يربه ويتولاه

Makna Al illah, mencakup esensi penghambaan yang paripurna, apa yang diciptakan-Nya terdapat kebaikan dan kesempurnaan, yaitu penyembahan kepada Allah. Sedangkan makna Ar-Rabb, mencakup makna penciptaan makhluk dan permulaannya, dan Allah mengatur. [3]

Artinya, jika disebut kata Al Ilah atau Allah, maknanya adalah Allah saja yang berhak dijadikan sesembahan. Sedangkan jika disebut makna Ar-Rabb, maka Allah saja yang mengatur, menciptakan dan mencukupi seluruh kebutuhan makhluk-Nya.

🔲 3. Makna Ahad ( لأحدا)

Menurut Ibnu Asyur, kata Ahad ( احد ) adalah isim (kata benda) yang bermakna Wahid (واحد).

قُلِبَتِ الْوَاوُ هَمْزَةً عَلَى غَيْرِ قِيَاسٍ لِأَنَّهَا مَفْتُوحَةٌ وَمَعْنَاهُ مُنْفَرِدٌ

“Berubah Wawu (و ) menjadi al-Hamzah (ا ) tanpa Qiyas karena berharakat Fathah, artinya tunggal (munfarid).[4]

فَوَصْفُ اللَّهِ بِأَنَّهُ أَحَدٌ مَعْنَاهُ: أَنَّهُ مُنْفَرِدٌ بِالْحَقِيقَةِ الَّتِي لُوحِظَتْ فِي اسْمِهِ الْعَلَمِ وَهِيَ الْإِلَهِيَّةُ الْمَعْرُوفَةُ
وَإِذَا قِيلَ: اللَّهُ وَاحِدٌ، فَالْمُرَادُ أَنَّهُ وَاحِدٌ لَا مُتَعَدِّدٌ فَمَنْ دُونَهُ لَيْسَ بِإِلَهٍ. وَمَآلُ الْوَصْفَيْنِ إِلَى مَعْنَى نَفْيِ الشَّرِيكِ لَهُ تَعَالَى فِي إِلَهِيَّتِهِ.

Sifat Allah dengan kata Ahad (احد ) maknanya,” Dia tunggal dalam hakikat, yang artinya Sesembahan yang diketahui, jika sifat Allah Wahid ( (واحد, maka maksudnya adalah tunggal, tidak berbilang tiada Tuhan selain Allah, kedua makna diatas menafikan sekutu bagi-Nya dalam penyembahan.[5]

Imam As Syaukani menukil pendapat Al-Azhari,”Tidaklah disifati dengan Ke-Esa-an melainkan hanya Allah saja.[6]

🔲 4. Pendapat para Mufassirin

✅ a. Menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi

Beliau menyebutkan dalam tafsirnya, Tafsir Al-Maraghi:

قل لمن سألك عن صفة ربك: الله هو الواحد المنزه عن التركيب والتعدّد، لأن التعدد فى الذات مستلزم لافتقار المجموع إلى تلك الأجزاء والله لا يفتقر إلى شىء

“Katakanlah bagi siapa saja yang bertanya tentang sifat Tuhan-mu ( Muhammad),”Allah Dia-lah yang Esa, suci dari gabungan dan penjumlahan, karena penjumlahan dalam Dzat yang Pasti tidak menerima gabungan pada bagian-bagian tersebut, dan Allah tak kurang apapun”.[7]

✅ b. Syekh Wahbah Az-Zuhaily

Beliau menyebutkan dalam tafsir Al-Munir:

واحد في ذاته وصفاته، لا شريك له، ولا نظير ولا عديل. وهذا وصف بالوحدانية ونفي الشركاء. والمعنى: هو اللَّه الذي تعرفونه وتقرّون بأنه خالق السموات والأرض وخالقكم، وهو واحد متوحد بالألوهية، لا يشارك فيها

Allah adalah Tunggal dalam Zat dan Sifat-Nya, tiada sekutu bagi-Nya, tiada yang setara dengan-Nya. Inilah sifat Wahdaniyah (Ke-Esaan) yang menafikan sekutu-sekutu. Maknanya Dialah Allah yang kau ketahui, kau yakini, Dia-lah Pencipta langit dan bumi, Dia-lah Esa dalam penyembahan, tiada sekutu didalamnya.[8]

✅ c. Menurut Ats Tsa’labi

وَاحدٌ فَرْدٌ مِنْ جميعِ جِهَاتِ الوَحْدَانِيَّة، ليس كمثله شيء

Allah Maha Esa, Yang Tunggal dalam segala kondisi Ke-Esaannya, tiada yang serupa dengan-Nya. [9]

✅ 5. Kesimpulan

▶ a. Konsep Ketuhanan dalam Islam sangat sempurna tidak seperti penganut kepercayaan lain.

▶ b. Allah Maha Esa, dalam segala hal dan tiada sekutu bagi Allah

▶ c. Makhluk tiada yang serupa dan setara dengan Al Khaliq.

والله أعلم

🌸☘🍃🍀🌹🌷🎋

✍ Ust Fauzan Sugiono, Lc


🍃🍃🍃🍃🍃

[1] Tafsir Ibnu Katsir, 8/527
[2] Al Jauhari, Mukhtarus Shihah, 6/2223
[3] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa, 14/12
[4] Ibnu Asyur, At Tahrir wa At Tanwir, 30/613
[5] Ibnu Asyur, At Tahrir wa At Tanwir, 30/614
[6] As Syaukani, Fathul Qadir, 5/633
[7] Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, (Mesir: Syarikah Musthafa Al Halbi, 1365H), 30/265
[8] Syekh Wahbah Az-Zuhaily, ( Tafsir Al Munir, (Damaskus:Dar Al-Fikr Al Muashir, 1418H), 30/465
[9] Ats-Tsa’labi, Al Jawahirul Hisan, 5/638

Serial Tafsir Surat Al-Ikhlas
Tafsir Surat Al-Ikhlas (Bag. 1)

Tafsir Surat Al-Ikhlas (Bag. 2)

Tafsir Surat Al-Ikhlas (Bag. 3)

Tafsir Surat Al Ikhlas (Bag.4)

Ciri-Ciri Haji Mabrur

💢💢💢💢💢💢

Secara bahasa mabrur artinya penuh dengan kebaikan. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menyebutkan tentang ciri haji mabrur, yakni ada beberapa hal:

1.  Hajinya tidak dinodai oleh dosa
2.  Ketika pulang semakin merindukan akhirat dan zuhud ( tidak terlalu butuh dengan dunia)
3.  Ketika pulang semakin dermawan
4.  Ucapannya semakin lemah lembut.

📚 Lihat kitab Fiqhus Sunnah,  1/626. Darul Kitab Al ‘Arabi

🌾🌵🌱🌷🌸🍃🌴🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Qurban dan Pembahasannya (Bag. 7)

🐾🐾🐾🐾🐾🐾

8⃣ Cara Pembagian Daging Kurban

Pemilik hewan kurban berhak mendapatkannya dan memakannya. Hal ini berdasarkan perintah dari Allah Ta’ala sendiri:

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“.. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj (22): 28)

Ayat ini menunjukkan bahwa pemilik hewan kurban berhak memakannya, lalu dibagikan untuk orang sengsara dan faqir, mereka adalah pihak yang lebih utama untuk mendapatkannya. Selain mereka pun boleh mendapatkannya, walau bukan prioritas.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah memaparkan cara pembagian sebagai berikut:

للمهدي أن يأكل من هديه الذي يباح له الاكل منه أي مقدار يشاء أن يأكله، بلا تحديد، وله كذلك أن يهدي أو يتصدق بما يراه. وقيل: يأكل النصف، ويتصدق بالنصف .وقيل: يقسمه أثلاثا، فيأكل الثلث، ويهدي الثلث، ويتصدق بالثلث

“Si pemiliki hewan kurban dibolehkan makan bagian yang dibolehkan baginya sesuai keinginannya tanpa batas. DIa pun boleh menghadiahkan atau mensedekahkan sesuka hatinya. Ada pula yang mengatakan dia boleh memakannya setengah dan mensedekahkan setengah. Dan dikatakan: dibagi tiga bagian,  untuknya adalah sepertiga, dihadiahkan sepertiga, dan disedekahkan sepertiga.”[1]

9⃣ Bolehkah Berqurban Untuk Orang Yang Sudah Wafat?

Imam Al Bahuti mengatakan:

قَالَ أَحْمَدُ : الْمَيِّتُ يَصِلُ إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ الْخَيْرِ مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ صَلَاةٍ أَوْ غَيْرِهِ لِلْأَخْبَارِ

Imam Ahmad berkata: bahwa  semua bentuk amal shalih dapat sampai kepada mayit baik berupa doa, sedekah, dan amal shalih lainnya, karena adanya riwayat tentang itu. [2]

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan:

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . لَيْسَ فِي الْآيَةِ وَلَا فِي الْحَدِيثِ أَنَّ الْمَيِّتَ لَا يَنْتَفِعُ بِدُعَاءِ الْخَلْقِ لَهُ وَبِمَا يُعْمَلُ عَنْهُ مِنْ الْبِرِّ بَلْ أَئِمَّةُ الْإِسْلَامِ مُتَّفِقُونَ عَلَى انْتِفَاعِ الْمَيِّتِ بِذَلِكَ وَهَذَا مِمَّا يُعْلَمُ بِالِاضْطِرَارِ مِنْ دِينِ الْإِسْلَامِ وَقَدْ دَلَّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ فَمَنْ خَالَفَ ذَلِكَ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ

“Segala puji bagi Allah. Tidak ada dalam ayat, dan tidak pula dalam hadits, yang mengatakan bahwa ‘Tidak Bermanfaat’ doa seorang hamba bagi mayit, dan juga amal perbuatan yang diperuntukkannya berupa amal kebaikan, bahkan para imam Islam sepakat hal itu bermanfaat bagi mayit, hal ini sudah ketahui secara pasti dalam agama Islam, hal itu telah ditunjukkan oleh Al Quran, As Sunnah, dan ijma’. Barang siapa yang menyelesihinya, maka dia adalah ahli bid’ah.” [3]

Beliau juga berkata:

وَالْأَئِمَّةُ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الصَّدَقَةَ تَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ وَكَذَلِكَ الْعِبَادَاتُ الْمَالِيَّةُ : كَالْعِتْقِ

“Para imam telah sepakat bahwa sedekah akan sampai kepada mayit, demikian juga ibadah maaliyah (harta), seperti membebaskan budak.”  [4]

Dan, qurban termasuk ibadah maaliyah.
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:

أَيَّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا الإِْنْسَانُ وَجَعَل ثَوَابَهَا لِلْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ نَفَعَهُ ذَلِكَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى : كَالدُّعَاءِ وَالاِسْتِغْفَارِ ، وَالصَّدَقَةِ وَالْوَاجِبَاتِ الَّتِي تَدْخُلُهَا النِّيَابَةُ

“Amal apa pun demi mendekatkan diri kepada Allah yang dilakukan oleh manusia dan menjadikan pahalanya untuk mayit seorang muslim, maka hal itu membawa manfaat bagi mayit itu, Insya Allah, seperti: doa, istighfar, sedekah, dan berbagai kewajiban yang bisa diwakilkan.” [5]

Kelompok yang membolehkan berdalil:

1. Diqiyaskan dengan amalan orang hidup yang sampai kepada orang yang sudah wafat, seperti doa, sedekah, dan haji.

2. Ibadah maaliyah (harta) bisa diniatkan untuk orang yang sudah wafat seperti sedekah, dan berqurban jelas-jelas ibadah maaliyah.

3. Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengisyaratkan bahwa qurban untuk orang yang sudah wafat adalah boleh dan pahalanya sampai, Insya Allah.

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:

قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ

‘Nabi mengucapkan: “Bismillahi Allahumma taqabbal min Muhammadin wa min  ummati Muhamamdin (Dengan Nama Allah, Ya Allah terimalah Kurban dari Muhammad dan umat Muhammad),” lalu beliau pun menyembelih.” [6]

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendoakan agar qurban dari Beliau, dan umatnya diterima Allah Ta’ala. Hadits ini menyebut “umat Muhammad” secara umum, tidak dikhususkan untuk yang masih hidup saja. Sebab, “umat Muhammad” ada yang masih hidup dan yang sudah wafat.

Sebenarnya, telah terjadi perbedaan pandangan para ulama tentang berqurban untuk orang yang sudah wafat. Berikut ini rinciannya:

إِذَا أَوْصَى الْمَيِّتُ بِالتَّضْحِيَةِ عَنْهُ ، أَوْ وَقَفَ وَقْفًا لِذَلِكَ جَازَ بِالاِتِّفَاقِ . فَإِنْ كَانَتْ وَاجِبَةً بِالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ وَجَبَ عَلَى الْوَارِثِ إِنْفَاذُ ذَلِكَ . أَمَّا إِذَا لَمْ يُوصِ بِهَا فَأَرَادَ الْوَارِثُ أَوْ غَيْرُهُ أَنْ يُضَحِّيَ عَنْهُ مِنْ مَال نَفْسِهِ ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى جَوَازِ التَّضْحِيَةِ عَنْهُ ، إِلاَّ أَنَّ الْمَالِكِيَّةَ أَجَازُوا ذَلِكَ مَعَ الْكَرَاهَةِ . وَإِنَّمَا أَجَازُوهُ لأَِنَّ الْمَوْتَ لاَ يَمْنَعُ التَّقَرُّبَ عَنِ الْمَيِّتِ كَمَا فِي الصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ
وَقَدْ صَحَّ أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَحَّى بِكَبْشَيْنِ أَحَدُهُمَا عَنْ نَفْسِهِ ، وَالآْخَرُ عَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِهِ .  وَعَلَى هَذَا لَوِ اشْتَرَكَ سَبْعَةٌ فِي بَدَنَةٍ فَمَاتَ أَحَدُهُمْ قَبْل الذَّبْحِ ، فَقَال وَرَثَتُهُ – وَكَانُوا بَالِغِينَ – اذْبَحُوا عَنْهُ ، جَازَ ذَلِكَ . وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّ الذَّبْحَ عَنِ الْمَيِّتِ لاَ يَجُوزُ بِغَيْرِ وَصِيَّةٍ أَوْ وَقْفٍ

Jika seseorang berwasiat untuk berkurban atau berwaqaf untuk itu, maka dibolehkan berkurban baginya menurut kesepakatan ulama. Jika dia memiliki kewajiban karena nazar atau selainnya, maka ahli warisnya wajib melaksanakannya. Ada pun jika dia tidak berwasiat, dan ahli waris dan selainnya nya hendak berkurban untuknya dari hartanya sendiri, maka menurut Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, membolehkan berkurban untuknya, hanya saja Malikiyah membolehkan dengan kemakruhan. Mereka membolehkan karena kematian tidaklah membuat mayit terhalang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala sebagaimana sedekah dan haji.

Telah shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkurban dengan dua kambing kibas, satu untuk dirinya dan satu untuk umatnya yang belum berkurban. Atas dasar ini, seandainya tujuh orang berpartisipasi dalam kurban Unta, lalu salah seorang ada yang wafat sebelum penyembelihan. Lalu ahli warisnya mengatakan –dan mereka sudah baligh- : sembelihlah untuknya, maka itu boleh. Sedangkan kalangan Syafi’iyah berpendapat tidak boleh berkurban untuk mayit  tanpa diwasiatkan dan waqaf. [7]

Bersambung …

🍃🌴🌾🌸☘🌷🌺🌻

✏ Farid Nu’man Hasan


🍃🍃🍃🍃🍃

[1] Ibid, 1/742-743
[2] Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16
[3] Majmu’ Fatawa, 5/466. Mawqi’ Al Islam
[4]  Ibid
[5] Al Mughni, 567-569
[6]  HR. Muslim No. 1967
[7] Al Bada’i Shana’i, 5/72. Hasyiyah Ibnu Abidin,  5/214. Hasyiyah Ad Dasuqi, 2/122, 123. Hasyiyah Al Bujirumi ‘alal Minhaj, 4/300.  Nihayatul Muhtaj, 8/136. Al Mughni ‘Alal Asy Syarh Al Kabir, 11/107. Muthalib Ulin Nuha, 2/472

Serial Qurban dan Pembahasannya
Qurban dan Pembahasannya (Bag. 1)

Qurban dan Pembahasannya (Bag. 2)

Qurban dan Pembahasannya (Bag. 3)

Qurban dan Pembahasannya (Bag. 4)

Qurban dan Pembahasannya (Bag. 5)

Qurban dan Pembahasannya (Bag. 6)

Qurban dan Pembahasannya (Bag. 7)

Qurban dan Pembahasannya (Bag. 8)

scroll to top