Wafat Masih Punya Kewajiban Puasa

💥💦💥💦💥💦💥

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah :

فذهب جمهور العلماء، منهم أبو حنيفة، ومالك، والمشهور عن الشافعي إلى أن وليه لا يصوم عنه ويطعم عنه مدا، عن كل يوم
والمذهب المختار عند الشافعية: أنه يستحب لوليه أن يصوم عنه، ويبرأ به الميت، ولا يحتاج إلى طعام عنه.
والمراد بالولي، القريب، سواء كان عصبة، أو وارثا، أو غيرهما.
ولو صام أجنبي عنه، صح، إن كان بإذن الولي، وإلا فإنه لا يصح.
واستدلوا بما رواه أحمد، والشيخان، عن عائشة: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” من مات وعليه صيام صام عنه وليه ” زاد البزار لفظ: إن شاء
وروى أحمد وأصحاب السنن: عن ابن عباس رضى الله عنهما أن رجلا جاء إلى النبي صلى الله عليه وسلم: فقال: يا رسول الله، إن أمي ماتت وعليها صيام شهر أفأقضيه عنها؟ فقال: ” لو كان على أمك دين أكنت قاضيه؟ ” قال: نعم. قال: ” فدين الله أحق أن يقضى ” قال النووي: وهذا القول هو الصحيح المختار الذي نعتقده وهو الذي صححه محققو أصحابنا الجامعون بين الفقه والحديث لهذه الاحاديث الصحيحة الصريحة.

Menurut mayoritas ulama seperti Abu Hanifah, Malik, dan yang masyhur dari Asy Syafi’i, bahwa walinya tidaklah berpuasa qadha untuknya, tetapi memberikan makan sebanyak satu mud untuk setiap harinya.

Tapi, madzhab yang DIPILIH oleh Syafi’iyyah adalah dianjurkan bagi walinya untuk berpuasa qadha baginya, yang dengan itu mayit sudah bebas, dan tidak perlu lagi memberikan makanan (fidyah).
Yang dimaksud dengan WALI adalah kerabatnya, sama saja baik dia ‘ashabah, atau ahli warisnya, atau selain mereka. Bahkan seandainya orang lain pun tetap sah, jika izin ke walinya, jika tidak maka tidak sah.

Mereka berdalil seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Syaikhan (Al Bukhari dan Muslim), dari Aisyah, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

“Barang siapa yang wafat dan dia ada kewajiban puasa maka hendaknya walinya berpuasa untuknya.” Dalam riwayat Al Bazzar ada tambahan: “Jika dia mau.”

Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ashabus Sunan, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Rasulullah ﷺ:

“Wahai Rasulullah, ibuku telah wafat dan dia ada kewajiban puasa, bolehkah saya yang mengqadha-nya?” Nabi ﷺ menjawab: “Apa pendapatmu jika ibumu memiliki hutang, apakah kamu akan membayarkannya?” Laki-laki itu menjawab: “Ya.” Lalu Nabi ﷺ bersabda: “Maka, hutang kepada Allah lebih layak kamu bayar.”

Imam An Nawawi berkata: “Pendapat ini adalah pendapat yang benar lagi terpilih, dan kami meyakininya dan telah dishahihkan para peneliti dari para sahabat kami (Syafi’iyah) yang telah menggabungkan antara hadits dan fiqih, karena hadits-hadits ini adalah shahih dan begitu jelas.

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

📚Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/471. Darul Kitab Al ‘Arabi

🍃🌾🌸🌻🌴🌺☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Serial Kepahlawanan Para Ulama Menghadapi Pemimpin Zalim (Bag 2)

💦💥💦💥💦💥💦💥

📝 Imam Amr Asy Sya’bi Radhiallahu ‘Anhu terhadap Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi

Beliau sezaman dengan Sa’id bin Jubeir, dan juga berhadapan dengan Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi, hanya saja dia tidak sampai melakukan perlawanan fisik.

Imam Adz Dzahabi juga menceritakan, bahwa Imam Amr Asy Sya’bi telah mengkritik penguasa zalim, Hajjaj bin Yusuf dan membeberkan aibnya di depan banyak manusia. Dari Mujalid, bahwa Asy Sya’bi berkata:

فأتاني قراء أهل الكوفة، فقالوا: يا أبا عمرو، إنك زعيم القراء، فلم يزالوا حتى خرجت معهم، فقمت بين الصفين أذكر الحجاج وأعيبه بأشياء، فبلغني أنه قال: ألا تعجبون من هذا الخبيث ! أما لئن أمكنني الله منه، لاجعلن الدنيا عليه أضيق من مسك جمل

“Maka, para Qurra’ dari Kufah datang menemuiku. Mereka berkata: “Wahai Abu Amr, Anda adalah pemimpin para Qurra’.”

Mereka senantiasa merayuku hingga aku keluar bersama mereka. Saat itu, aku berdiri di antara dua barisan (yang bertikai). Aku menyebutkan Al Hajaj dan aib-aib yang telah dilakukannya.” Maka sampai kepadaku (Mujalid), bahwa dia berkata: “Tidakkah kalian heran dengan keburukan ini?! Ada pun aku, kalaulah Allah mengizinkan mengalahkan mereka, niscaya dunia ini akan aku lipat lebih kecil dari kulit Unta membungkusnya.” (As Siyar, 4/304)

Demikianlah Imam Amr Asy Sya’bi. Beliau mengkritik Al Hajjaj secara terang-terangan, di antara dua pasukan yang bertikai. Dia tidak mengatakan: “Aku akan temui Al Hajjaj secara empat mata, lalu aku akan beberkan aib-aibnya dan menasihati dia secara sembunyi.” Tidak demikian.

Siapakah Imam Amr Asy Sya’bi? Dia adalah Imam Fiqih dan hadits pada masa tabi’in. Banyak sanjungan manusia kepadanya. Berkata Abu Usamah:

كان عمر في زمانه رأس الناس وهو جامع، وكان بعده ابن عباس في زمانه، وكان بعده الشعبي في زمانه، وكان بعده الثوري في زمانه، ثم كان بعده يحيى بن آدم

“Umar bin Al Khathab adalah pemimpin manusia pada zamannya, selanjutnya Ibnu Abbas adalah pemimpin manusia pada zamannya, lalu Asy Sya’bi pada zamannya, kemudian Sufyan Ats Tsauri pada masanya, lalu Yahya bin Adam pada masanya.” (Ibid, 4/302)

Daud bin Abi Hindi berkata:

ما جالست أحدا أعلم من الشعبي

“Belum pernah aku bermajelis dengan seorang pun yang lebih berilmu dibanding Asy Sya’bi.” (Ibid)

Abu ‘Ashim bin Sulaiman berkata:

ما رأيت أحدا أعلم بحديث أهل الكوفة والبصرة والحجاز والآفاق من الشعبي

“Tidaklah aku melihat seorang pun yang lebih tahu tentang hadits di Kufah, Bashrah, Hijaz dan berbagai penjuru, dibandingkan Asy Sya’bi.” (Ibid)

Dan masih banyak sanjungan lainnya.

📕📗📓📘📙📔📒

✏ Farid Nu’man Hasan

Angkatlah Pemimpin Muslim Atau Menjadi Pengkhianat

🐾🐾🐾🐾🐾

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

«مَنِ اسْتَعْمَلَ عَامِلاً مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّ فِيهِمْ أَوْلَى بِذَلِكَ مِنْهُ وَأَعْلَمُ بِكِتَابِ اللَّهِ وَسُنَّةِ نَبِيِّهِ فَقَدْ خَانَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَجَمِيعَ الْمُسْلِمِينَ»

Barang siapa yang memilih seseorang untuk mengurus urusan kaum muslimin padahal dia tahu ada orang lain yang lebih pantas darinya, lebih paham Kitabullah dan Sunnah Rasulnya, maka dia telah mengkhianati Allah, Rasul, dan semua Kaum Muslimin.

📚 Hadits hasan. Dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 20861, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 11053 , Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7023

📓📕📗📘📙📔📒

✏ Farid Nu’man Hasan

Adab-Ada Buang Hajat Menurut As Sunnah

💦💥💦💥💦💥

(Sistematika mengikuti kitab Syaikh Abu Bakar bin Jabir Al Jazairi: Minhajul Muslim, Hal. 132-133. Cet. 4, 2012M-1433H. Maktabah Al ‘Ulum wal Hikam. Madinah Al Munawwarah)

1⃣ Mencari tempat yang sepi dan jauh dari pandangan manusia. Berdasarkan riwayat tentang perilaku Nabi ﷺ:

كَانَ إِذَا أَرَادَ الْبَرَازَ انْطَلَقَ حَتَّى لاَ يَرَاهُ أَحَدٌ

Adalah Nabi ﷺ jika hendak buang hajat Beliau pergi sampai tidak seorang pun yang melihatnya. 1)

2⃣ Tidak masuk ke dalamnya sambil membawa sesuatu yang terdapat dzikrullah.

Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ :

لَبِسَ خَاتَمًا نَقْشُهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ فَكَانَ إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ وَضَعَهُ

Beliau memakai cincin yang berukir “Muhammad Rasulullah”, jika hendak memasuki WC beliau melepaskannya. 2)

3⃣ Mendahulukan kaki kiri ketika memasuki tempat BAB, dan berdoa

Mengucapkan: “Bismillah Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khaabaits – Dengan nama Allah, Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari syetan laki-laki dan syetan perempuan.” Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari, dan Nabi ﷺ pernah mengucapkannya. 3)

4⃣ Janganlah mengangkat pakaian sampai mendekati tanah (lubang pembuangan, pen), supaya auratnya tetap tertutup sebagaimana perintah syariat.

5⃣ Janganlah menghadap kiblat bagi yang BAB dan BAK, atau jangan pula membelakanginya.

Berdasarkan hadits Nabi ﷺ :

لَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ

“Janganlah kalian menghadap kiblat atau membelakanginya ketika sedang BAB atau BAK.” 4)

6⃣ Janganlah duduk untuk BAB dan BAK di tempat berteduh manusia, di jalan tempat manusia lewat, di genangan air mereka, di pohon-pohon berbuah milik mereka.

Berdasarkan sabda Nabi ﷺ:

اتَّقُوا الْمَلَاعِنَ الثَّلَاثَةَ الْبَرَازَ فِي الْمَوَارِدِ وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ وَالظِّلِّ

Takutlah kalian terhadap tiga hal yang dilaknat: “BAB di saluran air, tengah jalan, dan tempat berteduh. 5)

7⃣ Jangan bicara ketika BAB,

karena Nabi ﷺ bersabda:

إِذَا تَغَوَّطَ اَلرَّجُلَانِ فَلْيَتَوَارَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَنْ صَاحِبِهِ, وَلَا يَتَحَدَّثَا. فَإِنَّ اَللَّهَ يَمْقُتُ عَلَى ذَلِكَ

Jika dua orang BAB maka hendaknya menggunakan penghalang satu sama lain, dan jangan ngobrol, sesungguhnya Allah benci hal itu. 6)

Sekian. Wallahu A’lam

🍃🌻🌺☘🌾🌸🌴🌷

✏ Farid Nu’man Hasan


🍃🍃🍃🍃🍃

[1] HR. Abu Daud No. 2, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 453, Al Khathabi dalam Ma’alim As Sunan No. 1. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya.
Dalam lafaz Al Baihaqi tertulis: “.. tabaa’ada hatta laa yaraahu ahadan – menjauh sampai tidak terlihat oleh seorang pun.” Tentunya di zaman ini kata ‘’menjauh” sudah tercukupi dengan adanya WC atau Toilet yang kita kenal, sebab itu tertutup dari pandangan manusia walau jarak tidak jauh. Sebab, esensi dari “menjauh” adalah agar lenyap dari pandangan manusia. Pada zaman nabi belum dikenal WC, toilet, atau kamar mandi seperi yang kita kenal saat ini, istilahnya Al Hamam. Al Hamam baru dikenal pada abad pertama Hijriyah, seperti yang disebutkan oleh Syaikh Mushthafa As Siba’i Rahimahullah dalam As Sunnah An Nabawiyah wa Makaanatuha fi Tasyri’ Al Islam. Pen.

[2] HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 460, dari Anas bin Malik. Imam Al Baihaqi berkata: dha’if. Syaikh Abu Bakar Al Jazairi mengatakan: “Diriwayatkan oleh At Tirmidzi, dan dia menshahihkan”, ternyata tidak dijumpai lafaz seperti ini dalam Sunan At Tirmidzi atau riwayat semisal ini.
Sementara dalam riwayat lain dengan sanad yang juga dhaif –dari Anas bin Malik juga- hanya menyebutkan: “Dahulu Nabi ﷺ jika memasuki WC dia melepaskan cincinnya.” Ini terdapat dalam Sunan Abi Daud No. 19, menurut Abu Daud: hadits ini munkar, juga Sunan Ibni Majah No. 303, Sunan An Nasa’i Al Kubra No. 9470, Abu Abdirrahman berkata: hadits ini tidak terjaga. Syaikh Al Albani mendhaifkan di beberapa kitabnya. Wallahu A’lam. Pen.

[3] HR. Al Bukhari No. 142, 6322, dan Muslim No. 375. Pen

[4] HR. Al Bukhari No. 394, dan Muslim No. 264. Pen

Apakah larangan ini bermakna haram? Kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa lara

ngan ini adalah makruh tahrim (makruh yang mendekati haram) secara mutlak, dan larangan ini juga berlaku untuk cebok, yang juga makruh tahrim menghadap atau membelakangi kiblat. (Syaikh Abdurrahman Al Jazayri, Al Fiqhu ‘Alal Madzaahib Al Arba’ah, 1/77)

Sedangkan mayoritas ulama mengatakan bahwa tidak apa-apa (boleh) BAB dan BAK menghadap kiblat atau membelakanginya, jika ada penghalang atau tembok, sebab Nabi ﷺ pernah melakukannya juga sebagaimana dalam riwayat Imam At Tirmidzi dari Jabir bin Abdillah. Bagi mereka haramnya menghadap kiblat itu jika melakukannya di bangunan yang tidak dirancang untuk BAB, atau tanpa penghalang seperti di gurun. (Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/311). Pen

Maka, menurut jumhur, tidak apa-apa menghadap kiblat atau membelakanginya, jika kita membuatnya di dalam WC yang saat ini kita kenal, sebab itu dirancang untuk BAB dan ada dinding penghalangnya, sehingga tidak langsung menghadap atau membelakangi kiblat sebagaimana di lapangan terbuka, sawah, dan gurun. Wallahu A’lam. Pen

[5] HR. Abu Daud No. 26, Ibnu Majah No. 328, Al Hakim No. 594, katanya: shahih. Disepakati oleh Imam Adz Dzahabi. Pen

[6] Imam Al Khathib Al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, 12/122. Imam As Suyuthi dalam Jam’ul Jawaami’ No. 1657, 1658. Beliau berkata: Dishahihkan oleh Ini As Sikkin, juga Ibnul Qaththan. Ibnul Mulaqin berkata (Tuhfatul Muhtaj, 1/164): “Diriwayatkan oleh Ibnu As Sikkin dalam kitabnya As Sunan Al Ma’tsurah, dan dia berkata pada selainnya: “Aku harap hadits ini shahih.” Dan dishahihkan oleh Ibnul Qaththan.” Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: wa huwa ma’lul (hadits ini cacat). (Bulughul Maram No. 94)

 

scroll to top