Ungkapan: Barang Siapa yang Mengenal Dirinya, Maka Dia Akan Mengenal Tuhannya

💦🍃💦🍃💦🍃

Kalimat ini juga sering disampaikan oleh para muballigh, namun sayangnya –sebagaimana ungkapan lainnya- mereka hanya mau mengutip dan menyampaikan, tanpa mau bersusah payah meneliti keabsahannya.

Ungkapan ini berbunyi:

من عرف نفسه فقد عرف ربه

“Barang siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.”

Ungkapan ini terdapat dalam beberapa kitab:

📌 Kimiya As Sa’adah karya Imam Al Ghazali (hal. 1. Mauqi’ Al Warraq). Namun, Beliau –Rahimahullah- menggunakan kalimat “Rasulullah bersabda” terhadap hadits ini.

📌 Hilyatul Auliya’ karya Imam Abu Nu’aim. (4/350. Mauqi’ Al Warraq) dan ternyata itu adalah ucapan Sahl bin Abdullah At Tastari, seorang ulama sufi yang dipuji oleh Imam Ibnu Taimiyah dan Imam ibnul Qayyim.

📌 Al Futuhat Al Makkiyah karya Abu Thalib Al Makki. (5/462. Mauqi’ Al Warraq)

Para Imam Muhaqqiqin (peneliti) mengatakan bahwa ungkapan ini bukanlah ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

📌 Imam As Sakhawi, mengutip dari Abu Al Muzhaffar As Sam’ani yang mengatakan bahwa dia tidak mengetahui adanya ucapan seperti ini yang marfu’ (sampai kepada Rasulullah), dan diceritakan bahwa ini adalah ucapan Yahya bin Muadz Ar Razi Radhiallahu ‘Anhu. Sedangkan Imam An Nawawi mengatakan bahwa ucapan ini tidaklah tsabit (kokoh) dari Rasulullah. (As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 220. As Suyuthi, Ad Durar, Hal. 18)

📌 Sedangkan Imam Ash Shaghani dengan tegas memasukkannya dalam deretan hadits palsu. (Al Maudhu’at, hal. 2)

📌 Begitu pula Imam Ibnu Taimiyah menegaskan kepalsuan hadits ini. (Al ‘Ajluni, Kasyf Al Khafa’, 2/262/2532. Mauqi’ Ya’sub)

📌Sedangkan Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini tidak ada asalnya. (As Silsilah Adh Dhaifah, 1/165/66) beliau mengutip perkataan Al ‘Allamah Fairuzzabadi –pengarang Qamus Al Muhith- sebagai berikut:

ليس من الأحاديث النبوية ، على أن أكثر الناس يجعلونه حديثا عن النبي صلى الله عليه وسلم ، و لا يصح أصلا، و إنما يروي في
الإسرائيليات : ” يا إنسان اعرف نفسك تعرف ربك ” .

“Ini bukanlah hadits nabi, hanya saja banyak manusia menjadikan ucapan ini dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan ini pada dasarnya tidak benar. Ini hanyalah diriwayatkan dalam ucapan Israiliyat (terpengaruh ajaran Yahudi): Wahai manusia kenalilah dirimu niscaya kau akan kenal Tuhanmu.” (Ibid)

Sementara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengomentari ungkapan ini, katanya:

وَبَعْضُ النَّاسِ يَرْوِي هَذَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَيْسَ هَذَا مِنْ كَلَامِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا هُوَ فِي شَيْءٍ مِنْ كُتُبِ الْحَدِيثِ وَلَا يُعْرَفُ لَهُ إسْنَادٌ . وَلَكِنْ يُرْوَى فِي بَعْضِ الْكُتُبِ الْمُتَقَدِّمَةِ إنْ صَحَّ ” يَا إنْسَانُ اعْرَفْ نَفْسَك تَعْرِفْ رَبَّك “

“Sebagian manusia ada yang meriwayatkan ini dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, padahal ini bukanlah ucapan Nabi, dan tidaklah sama sekali tercantum dalam kitab-kitab hadits, dan tidak diketahui sanadnya. Tetapi, jika benar, ucapan ini diriwayatkan dalam kitab-kitab terdahulu, “Wahai manusia kenalilah dirimu niscaya kau akan kenal Tuhanmu.” (Majmu’ Fatawa, 3/445)

📝 Catatan:

Ungkapan ini walau tidak benar disandarkan sebagai ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, namun memang memiliki nilai kebaikan. Maka, lebih bagus dikategorikan ini merupakan ucapan hikmah saja. Sebab mengenal diri sendiri, lalu mentafakkurinya diakui bisa menjadi sarana untuk semakin berma’rifah kepadaNya. Sebab diri manusia termasuk salah satu tanda-tanda kekuasaanNya, yang mesti ditafakkuri, sebagaimana ciptaan Allah Ta’ala lainnya.

Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS. Ali ‘Imran (3): 190-191)

Oleh karena itu, Imam Sufyan bin ‘Uyainah Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:

ليس يضر المدح من عرف نفسه

“Tidak ada masalah pujian terhadap orang yang mengenal dirinya.” (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 220)

Mengenal diri sendiri akan membawa sikap positif bagi manusia. Dia akan dapat menempatkan dirinya dalam bersikap dan bertutur kata di tengah-tengah manusia.

Wallahu A’lam

🍃🍃🍃🍃🍃

✏ Farid Nu’man Hasan

Makruhkah Memakai Cincin di Jari Tengah?

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum
Apakah benar memakai cincin di jari tengah TDK diperbolehkan Krn tasabuh dgn orang kufar?
Syukron. Pertanyaan member 04 (08594637xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah ..

Memakai cincin di jari tengah (juga telunjuk) itu makruh.

Ali Radhiallahu ‘Anhu menceritakan:

«نَهَانِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَتَخَتَّمَ فِي إِصْبَعِي هَذِهِ أَوْ هَذِهِ»، قَالَ: «فَأَوْمَأَ إِلَى الْوُسْطَى وَالَّتِي تَلِيهَا»

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang saya memakaikan cincin jari saya yang ini atau yang ini. Beliau menunjukkan jari tengah dan sebelahnya. (HR. Muslim No. 2095)

Apakah yang dimaksud jari sebelahnya? Yaitu jari telunjuk, dijelaskan dalam riwayat lain, dari Ali Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

« نَهَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنْ أَتَخَتَّمَ، فِي السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى»

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang memakai cincin di telunjuk dan tengah. (HR. Ibnu Abdil Bar, At Tamhid, 17/112, juga Abu ‘Uwanah No. 8651, dari Idris)

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

وفي حديث علي نهاني صلى الله عليه وسلم أن أتختم في أصبعي هذه أو هذه فأومأ إلى الوسطى والتي تليها وروي هذا الحديث في غير مسلم السبابة والوسطى وأجمع المسلمون على أن السنة جعل خاتم الرجل في الخنصر وأما المرأة فإنها تتخذ خواتيم في أصابع قالوا والحكمة في كونه في الخنصر أنه أبعد من الامتهان فيما يتعاطى باليد لكونه طرفا ولأنه لايشغل اليد عما تتناوله من أشغالها بخلاف غير الخنصر ويكره للرجل جعله في الوسطى والتي تليها لهذا الحديث وهي كراهة تنزيه وأما التختم في اليد اليمنى أو اليسرى فقد جاء فيه هذان الحديثان وهما صحيحان

Dalam hadits Ali: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarangku memakai cincin di jariku yang ini atau yang ini.” Beliau menunjuk jari tengah dan sebelahnya. Hadits diriwayatkan oleh selain Imam Muslim menunjukkan jari telunjuk dan tengah. Kaum muslimin telah ijma’ bahwa sunah memakai cincin bagi laki-laki di jari kelingkingnya. Ada pun wanita memakainya di jari mana pun. Mereka mengatakan, hikmahnya adalah bahwa posisi jari kelingking yang jauh dari pekerjaan yang biasa dilakukan oleh tangan karena kedudukannya di pinggir, juga karena jari kelingking tidak sesibuk jari-jari lain, berbeda dengan jari kelingking. Dimakruhkan bagi kaum laki-laki memakai cincin di jari tengah dan sebelahnya menurut hadits ini, yaitu makruh tanzih. Ada pun memakai cincin di tangan kanan atau kiri, maka keduanya telah ada keterangan dalam hadits yang shahih. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 14/71)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🌴🌱🌸🍃🌵🌾🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Hadits: Cinta Tanah Air Sebagian Dari Iman

💥💦💥💦💥💦

Ungkapan ini juga sering disampaikan oleh para mubaligh kondang di negeri ini, lalu dengan meyakinkan, mereka mengatakan: Rasulullah telah bersabda:

حب الوطن من الإيمان

“Cinta tanah air adalah sebagian dari iman.”

Benarkah ini ucapan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?

📌 Imam As Sakhawi mengatakan: aku belum temukan perkataan ini. (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 100. Mauqi’ Al Warraq).

📌 Hal ini juga dikatakan oleh Imam As Suyuthi. (Ad Durar, Hal. 9)

📌 Juga Syaikh Muhammad Thahir bin Ali Al Hindi (Tadzkirah Al Maudhu’at, hal. 11)

📌 Sedangkan, Imam Ash Shaghani memasukkannya dalam deretan hadits-hadits palsu. (Al Maudhu’at, Hal. 2)

📌 Ini juga dikatakan oleh Imam Al ‘Ajluni (Kasyfu Khafa’, 1/345)

📌 Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani juga mengatakan hadits ini palsu. (Silsilah Adh Dhaifah, 1/110/36. Darul Ma’arif)

📝 Catatan:

Mencintai tanah air merupakan naluri seluruh manusia. Tak ada yang mengingkari ini. Oleh karena itu, selain ungkapan ini cacat dari sisi periwayatan, dari sisi makna pun juga demikian. Tak ada kaitannya antara cinta tanah air dengan keimanan, sebab orang kafir pun juga mencintai tanah airnya. Apakah dengan mencintai tanah air, maka orang kafir memiliki separuh keimanan? Tentu tidak.

Namun, demikian mencintai tanah air juga bukanlah sebuah kesalahan jika tidak sampai melahirkan sikap nasionalisme sempit yang menghancurkan ukhuwah islamiyah ‘alamiyah (persaudaraan Islam internasional).

Syaikh Al Albani Rahimahullah mengatakan:

و معناه غير مستقيم إذ إن حب الوطن كحب النفس و المال و نحوه ، كل ذلك غريزي في الإنسان لا يمدح بحبه و لا هو من لوازم الإيمان ، ألا ترى أن الناس كلهم مشتركون في هذا الحب لا فرق في ذلك بين مؤمنهم و كافرهم ؟ .

“Maknanya tidak benar, sebab mencintai tanah air sama halnya dengan mencintai jiwa, harta, dan semisalnya, semua ini adalah hal yang instinktif pada manusia. Tidak ada pujian dengan mencintainya dan itu bukanlah suatu yang melekat pada keimanan. Tidakkah Anda menyaksikan bahwa semua manusia terlibat dalam semua perasaan cinta ini, maka tidak ada bedanya dalam hal ini antara orang beriman dan orang kafir?” (Ibid)

Wallahu A’lam

🍃🌴🌺🌻☘🌾🌷🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

Habis Kencing Keluar Lagi, Gimana Nih?

💥💦💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Aslamu alaikum warohmatulloh. Ustad ana mau bertanya. Jika dalam proses bersuci lalu keluar sisa air kencing sedikit. Apa yg harus di lakukan, mengulang dari awal atau boleh lanjut. Jazakumulloh ustadz.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa Ba’d:

Ada dua memungkinan:

📌 Pertama, itu adalah sisa air kencing yang masih ada. Statusnya najis tanpa diperselisihkan lagi. Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha: aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ

Janganlah shalat ketika makanan tersedia dan ketika menahan dua hal yang paling busuk. [1]

Dua hal yang paling busuk maksudnya buang air besar (Al Ghaaith) dan buang air kecil (Al Baul), sebagaimana disebut dalam Shahih Ibnu Hibban No. 2073. Ini menunjukkan tinja manusia dan air kencingnya adalah najis.

📌 Kedua, kemungkinannya itu adalah Wadi yaitu air yang keluar dari kemaluan setelah kencing tuntas, dan itu najis tanpa diperselisihkan. Maka, sebab keduanya ini, baik air kencing dan wadi hendaknya cebok lalu berwudhu, karena itu bukan hadats besar yang membuat wajib mandi.

Syaikh Sayyid Sabiq menjelaskan:

وهو ماء أبيض ثخين يخرج بعد البول وهو نجس من غير خلاف

Wadi adalah air purih kental yang keluar setelah kencing. Itu adalah najis tanpa perselisihan pendapat. [2]

‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:

الْمَنِيُّ مِنْهُ الْغُسْلُ ، وَالْمَذْيُ وَالْوَدْيُ يُتَوَضَّأُ مِنْهُمَا.

Air mani wajib mandi karenanya, sedangkan madzi dan wadi adalah berwudhu karena keduanya. [3]

‘Ikrimah Radhiallahu ‘Anhu berkata:

الْمَنِيُّ وَالْوَدْيُ وَالْمَذْيُ ، فَأَمَّا الْمَنِيُّ فَفِيهِ الْغُسْلُ ، وَأَمَّا الْمَذْيُ وَالْوَدْيُ فَيَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ.

Ada air mani, wadi, dan madzi. Air mani wajib mandi, ada pun madzi dan wadi, hendaknya mencuci kemaluannya dan berwudhu. [4]

Jika keadaannya tidak normal, yaitu bagi seseorang yang kena penyakit “beser”, tidak mampu mengontrol air kencingnya bahkan keluar tanpa di sadari, maka ini keadaan “spesial” yang membuatnya keluar dari kondisi wajar. Maka, dimaafkan jika setelah cebok, lalu bersuci, lalu menuntup ujung kemaluannya dengan kapas. Ada pun air keluar lagi setelah itu, menjadi dimaafkan karena kondisi penyakitnya itu.

Imam Tajuddin As Subki Rahimahullah berkata tentang kaidah Fiqh:

المشقة نجلب التيسير وإن شئت قلت : إذا ضاق الأمر اتسع

Kesulitan membawa pada kemudahan, dan jika anda mau, anda bisa katakan: jika keadaan sempit maka membawa kelapangan. [5]

Kaidah ini berdasarkan firman Allah ﷻ :

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah: 185)

Ayat lainnya:

يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا

“Allah memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An Nisa’: 28)

Demikian. Wallahu A’lam

🌴🌻🌺☘🍃🌷🌸🌾

✏ Farid Nu’man Hasan


🍃🍃🍃🍃🍃

[1] HR. Muslim No. 560, Abu Daud No. 89, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3805, dalam As Sunan Ash Shughra No. 512, Ibnu Khuzaimah No. 933, Abu ‘Uwanah dalam Musnadnya No. 744, Abu Ya’la No. 4804
[2] Fiqhus Sunnah, 1/26)
[3] Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 982)
[4] Ibid, No. 985
[5] Imam Tajuddin As Subki, Al Asybah wan Nazhair, 1/61. Cet. 1, 1411H-1991M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah

 

scroll to top