Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 20)

Sebelumnya:

Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 19)

🐾🐾🐾🐾🐾🐾

SYARAH HADITS KETIGA, terakhir

Selanjutnya:

وَصَوْمِ رَمَضَانَ :
dan puasa Ramadhan

📌Definisi Shaum

Secara bahasa, berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah:

الصيام في اللغة مصدر صام يصوم، ومعناه أمسك، ومنه قوله تعالى: {فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَن صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا } [مريم] فقوله: {صَوْمًا} أي: إمساكاً عن الكلام، بدليل قوله: {فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا} أي: إذا رأيت أحداً فقولي: {إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَن صَوْمًا} يعني إمساكاً عن الكلام {فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا}.

“Shiyam secara bahasa merupakan mashdar dari shaama – yashuumu, artinya adalah menahan diri. Sebagaimana firmanNya: (Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”) (QS. Maryam (19):26). firmanNya: (shauman) yaitu menahan diri dari berbicara, dalilnya firmanNya: (jika kamu melihat seorang manusia), yaitu jika kau melihat seseorang, maka katakanlah: (Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah) yakni menahan dari untuk bicara. (Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini). (Syarhul Mumti’, 6/296. Cet. 1, 1422H.Dar Ibnul Jauzi. Lihat juga Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/431. Lihat Imam Al Mawardi, Al Hawi Al Kabir, 3/850)

Secara syara’, menurut Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah, makna shaum adalah:

الامساك عن المفطرات، من طلوع الفجر إلى غروب الشمس، مع النية

“Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan, dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, dan dibarengi dengan niat (berpuasa).” (Fiqhus Sunnah, 1/431)

Ada pun Syaikh Ibnul Utsaimin menambahkan:

وأما في الشرع فهو التعبد لله سبحانه وتعالى بالإمساك عن الأكل والشرب، وسائر المفطرات، من طلوع الفجر إلى غروب الشمس.
ويجب التفطن لإلحاق كلمة التعبد في التعريف؛ لأن كثيراً من الفقهاء لا يذكرونها بل يقولون: الإمساك عن المفطرات من كذا إلى كذا، وفي الصلاة يقولون هي: أقوال وأفعال معلومة، ولكن ينبغي أن نزيد كلمة التعبد، حتى لا تكون مجرد حركات، أو مجرد إمساك، بل تكون عبادة

“Ada pun menurut syariat, maknanya adalah ta’abbud (peribadatan) untuk Allah Ta’ala dengan cara menahan diri dari makan, minum, dan semua hal yang membatalkan, dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Wajib dalam memahami definisi ini, dengan mengaitkannya pada kata ta’abbud, lantaran banyak ahli fiqih yang tidak menyebutkannya, namun mengatakan: menahan dari dari ini dan itu sampai begini. Tentang shalat, mereka mengatakan: yaitu ucapan dan perbuatan yang telah diketahui. Sepatutnya kami menambahkan kata ta’abbud, sehingga shalat bukan semata-mata gerakan , atau semata-mata menahan diri, tetapi dia adalah ibadah.” (Syarhul Mumti’, 6/298. Cet.1, 1422H. Dar Ibnul Jauzi)

Dari definisinya ini ada beberapa point penting sebagai berikut:

  1. Menahan diri dari perbuatan yang membatalkan
  2. Harus dibarengi dengan niat
  3. Bertujuan ibadah kepada Allah Ta’ala

📌Definisi Ramadhan

Ramadhan, jamaknya adalah Ramadhanaat, atau armidhah, atau ramadhanun. Dinamakan demikian karena mereka mengambil nama-nama bulan dari bahasa kuno (Al Qadimah), mereka menamakannya dengan waktu realita yang terjadi saat itu, yang melelahkan, panas, dan membakar (Ar Ramadh). Atau juga diambil dari ramadha ash shaaimu: sangat panas rongga perutnya, atau karena hal itu membakar dosa-dosa. (Lihat Al Qamus Al Muhith, 2/190)

Imam Abul Hasan Al Mawardi Rahimahullah mengatakan:

وَكَانَ شَهْرُ رَمَضَانَ يُسَمَّى فِي الْجَاهِلِيَّةِ ناتِقٌ ، فَسُمِّيَ فِي الْإِسْلَامِ رَمَضَانَ مَأْخُوذٌ مِنَ الرَّمْضَاءِ ، وَهُوَ شِدَّةُ الْحَرِّ : لِأَنَّهُ حِينَ فُرِضَ وَافَقَ شِدَّةَ الْحَرِّ وَقَدْ رَوَى أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ {صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ} قَالَ : إِنَّمَا سُمِّيَ رَمَضَانُ : لِأَنَّهُ يَرْمِضُ الذُّنُوبَ أَيْ : يَحْرِقُهَا وَيَذْهَبُ بِهَا .

“Adalah bulan Ramadhan pada zaman jahiliyah dinamakan dengan ‘kelelahan’, lalu pada zaman Islam dinamakan dengan Ramadhan yang diambil dari kata Ar Ramdha’ yaitu panas yang sangat. Karena ketika diwajibkan puasa bertepatan dengan keadaan yang sangat panas. Anas bin Malik telah meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: sesungguhnya dinamakan Ramadhan karena dia memanaskan dosa-dosa, yaitu membakarnya dan menghapskannya.” (Al Hawi Al Kabir, 3/854. Darul Fikr)

Secara istilah (terminologis), Ramadhan adalah nama bulan (syahr) ke sembilan dalam bulan-bulan hijriyah, setelah Sya’ban dan sebelum Syawal.

📌Keutamaan-Keutamaannya

Sangat banyak keutamaan puasa. Di sini kami hanya paparkan sebagian kecil saja.

1. Berpuasa Ramadhan menghilangkan dosa-dosa yang lalu

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ومن صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan ihtisab, maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No. 38, 1910, 1802. Al Baihaqi, Syu’abul Iman No. 3459)

Makna ‘diampuninya dosa-dosa yang lalu’ adalah dosa-dosa kecil, sebab dosa-dosa besar –seperti membunuh, berzina, mabuk, durhaka kepada orang tua, sumpah palsu, dan lainnya- hanya bias dihilangkan dengan tobat nasuha, yakni dengan menyesali perbuatan itu, membencinya, dan tidak mengulanginya sama sekali. Hal ini juga ditegaskan oleh hadits berikut ini.

2. Diampuni dosa di antara Ramadhan ke Ramadhan

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الصلوات الخمس. والجمعة إلى الجمعة. ورمضان إلى رمضان. مكفرات ما بينهن. إذا اجتنب الكبائر

“Shalat yang lima waktu, dari jumat ke jumat, dan ramadhan ke Ramadhan, merupakan penghapus dosa di antara mereka, jika dia menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim No. 233. Ahmad No. 9198)

3. Dibuka Pintu Surga, Dibuka pintu Rahmat, Dibuka pintu langit, Ditutup Pintu Neraka, dan Syetan dibelenggu

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا جَاءَ رَمَضَان فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتْ الشَّيَاطِين

“Jika datang Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka dan syetan dibelenggu.” (HR. bukhari No. 1800. Muslim No. 1079. Malik No. 684. An Nasa’I No. 2097, 2098, 2099, 2100, 2101, 2102, 2104, 2105)

4. Buat Orang berpuasa akan dimasukkan ke dalam surga melalui pintu Ar Rayyan

Dari Sahl Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ

“Sesungguhnya di surga ada pintu yang disebut Ar Rayyan, darinyalah orang-orang puasa masuk surga pada hari kiamat, tak seorang pun selain mereka masuk lewat pintu itu. Akan ditanya: “Mana orang-orang yang berpuasa? Maka mereka berdiri, dan tidak akan ada yang memasukinya kecuali mereka. Jika mereka sudah masuk, maka pintu itu ditutup dan tak ada yang memasukinya seorang pun.” (HR. Bukhari No. 1797, 3084. Muslim No. 1152. An Nasa’I No. 2273, Ibnu Hibban No. 3420. Ibnu Abi Syaibah 2/424)

Dan lain-lain, sebagaimana tersebar dalam berbagai hadits-hadits shahih.

Wallahu A’lam

🍃🌷🌻🌸🌾☘🌿🌳

✏ Farid Nu’man Hasan

Manusia Tempatnya Salah dan Lupa

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum.Ustadz, ada ketersngan bahwa manusia adalah tempat kesalahan dan lupa. Apakah ini hadits atau keterangan ulama?Jazaakallaah khair. (0416523xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh …

Bunyinya: Al Insaan mahalul Khatha’ wan Nisyaan – Manusia tempatnya salah dan lupa.

Ini adalah pepatah dan bukan hadits. Tetapi, ada hadits yg mirip dgn itu, yaitu:

َ كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

Setiap anak Adam pernah berbuat salah dan sebaik-baik yang berbuat salah adalah yang bertobat dari kesalahannya.
(HR. At Tirmidzi no. 2499, Hasan)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🌴🌱🌾🌵🌸🍃🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Berjamaah Tapi Makmum di Rumah Imam di Masjid

💦💥💦💥💦💥

Sebenarnya yang seperti ini tidak perlu terjadi seandainya orang tersebut mau menghormati tata krama shalat berjamaah, yaitu di masjid. Lain halnya jika jamaah membludak sehingga shaf pun melebar dan meluas sampai jalan-jalan dan rumah-rumah sekitar masjid, ini tidak masalah sebab masih adanya ketersambungan shaf, seperti yang kita lihat di sebagian masjid  perumahan ketika shalat ‘Id misalnya.

Dari Ma’mar, dari Hisyam bin ‘Urwah, katanya:

جِئْتُ أَنَا، وَأَبِي مُرَّةَ، فَوَجَدْنَا الْمَسْجِدَ قَدِ امْتَلَأَ، فَصَلَّيْنَا بِصَلَاةِ الْإِمَامِ فِي دَارٍ عِنْدَ الْمَسْجِدِ بَيْنَهُمَا طَرِيقٌ

Aku dan Abu Murrah datang ke masjid, dan kami dapatkan masjid sudah penuh maka kami pun shalat (bersama imam di masjid) di rumah yang berada di samping masjid yang di antara keduanya dipisahkan oleh jalan. (Lihat Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf, No. 4885)

Namun, kasus yang terjadi adalah makmum seorang diri di rumahnya, alias berbeda gedung dengan masjid,  dan dia berimam kepada imam di masjid yang terpisah darinya, bahkan sudah terhalang dinding, jalan, bahkan mungkin parit/selokan. Sehingga dia tidak melihat gerakan imam, hanya mengandalkan suara imam saja. Ini bagaimana?

Ada beberapa pendapat:

✔Pertama. Ini tidak sah. Inilah pendapat Umar bin Al Khathab, Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah. Ada beberapa alasan:

🔷 Syarat sahnya makmum adalah dia mesti mengetahui gerak-gerik imam dan mendengar suaranya. Ini dikatakan Asy Syaikh Abdul Qadir Ar Rahbawi dalam Ash Shalatu ‘Ala Madzahibil Arba’ah. Maka tidak sah pula berimam dengan imam yang ada di radio dan TV.

🔶 Terpisahnya makmum tersebut dengan imam, oleh adanya jalan, atau sungai, sehingga terputusnya shaf merupakan sebab tidak sahnya shalat baginya. (Kasyaaf Al Qinaa’, 1/493), yang serupa dengan ini adalah seorang yang berjamaah di sebuah perahu sementara imamnya di perahu lainnya secara tidak berbarengan, maka ini juga tidak sah, sebab air adalah jalanan, bukan shaf yang besambung, kecuali jika darurat perang. (Ibid)

🔷 Sebagian imam ada yang menyatakan batal shalat sendiri di belakang shaf, padahal dia masih di dalam masjid dan masih bisa masuk ke shaf, apalagi berjamaah dengan memisahkan  diri di rumahnya yang jelas jauh dari jamaah. Imam Ahmad, Ishaq, Hammad, Ibnu Abi Laila, Waki’, Hasan bin Shalih, Ibrahim An Nakha’i, Ibnul Mundzir, mereka mengatakan: “Barang siapa yang shalat seorang diri  satu rakaat sempurna di belakang shaf, maka batal shalatnya.” (Fiqhus Sunnah, 1/244)

Mereka beralasan dengan hadits Wabishah bin Ma’bad:

سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن رجل صلى خلف الصف وحده؟ فقال (يعيد الصلاة)

Rasulullah ﷺ ditanya tentang shalat seseorang sendirian di belakang shaf? Beliau menjawab: “Ulangi shalatnya.” (HR. At Tirmdzi No. 230, katanya: hasan. Abu Daud No. 682, Ibnu Majah No. 1004, Ahmad No. 18002, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 18002. Juga dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya)

Untuk pembahasan shalat sendiri di belakang shaf ada kajian tersendiri, dan bukan di sini pembahasan detailnya. Insya Allah.

✔ Pendapat kedua. Shalat ma’mum tetap sah tapi bersyarat. Ini pendapat Malikiyah yaitu dengan syarat ma’mum masih bisa melihat dan mendengar  imam, ada pun larangan terputusnya shaf bagi Malikiyah berlaku untuk shalat Jumat, bukan shalat lainnya.  Sedangkan Imam Syafi’i mensyaratkan jarak terpisahnya gedung tidak boleh lebih dari 300 dzira’ (hasta), jika kurang dari itu maka tidak sah.

Diriwayatkan oleh Shalih bin Ibrahim:

أَنَّهُ رَأَى أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ صَلَّى الْجُمُعَةَ فِي دَارِ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بِصَلَاةِ الْوَلِيدِ بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ وَبَيْنَهُمَا طَرِيقٌ

Bahwasanya dia melihat Anas bin Malik shalat Jumat di rumah Humaid bin Abdirrahman, yang menjadi imam adalah Al Walid bin Abdil Malik, dan di antara keduanya terpisahkan oleh jalan.  (Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 4887)

Walau ini diperselisihkan, tetaplah shalat tersebut jika dalam keadaan tidak normal, jika dalam keadaan normal maka di masjid bersama imam dan kaum muslimin sepakat oleh semuanya untuk diikuti. Di sisi lain, hikmah berjamaah dan kebersamaan baru bisa kita rasakan dengan berjamaah di masjid, bukan memisahkan diri di rumah.

Wallahu A’lam

🍃🌴🍃🌴🍃🌴

✏ Farid Nu’man Hasan

Muntah Apakah Membatalkan Puasa?

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustadz. Apa hukumnya kalau wanita hamil muda muntah(ngidam) dalam keadaan puasa romadhon. Apakah puasa nya batal atau tidak?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa ‘Alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Muntah ada dua keadaan, SENGAJA dan TIDAK SENGAJA. Keduanya memiliki hukum yang berbeda.

Jika SENGAJA, maka itu batal dan mesti qadha di hari lain, jika TIDAK SENGAJA tidak batal dan tidak ada qadha. Ini berdasarkan hadits berikut:

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

Barang siapa yang terdesak oleh muntah, dan dia sedang puasa, maka tidak ada qadha baginya, jika dia sengaja maka dia mesti qadha. 1]

Maka, jika muntah seorang wanita hamil tidak sengaja, tapi disebabkan mual umumnya kehamilan muda, maka itu tidak membuat batal shaumnya.

Imam Al Khathabi berkata:

لا أعلم خلافا بين أهل العلم، في أن من ذرعه القئ، فإنه لا قضاء عليه، ولا في أن من استقاء عامدا، فعليه القضاء.

Tidak aku ketahui adanya perselisihan pendapat di antara ulama tentang orang yang TIDAK SENGAJA muntah, bahwa itu tidak membuatnya mengqadha puasanya, begitu pula bagi yang SENGAJA muntah itu juga tidak ada perselisihan bahwa baginya wajib qadha. 2]

Demikian. Wallahu A’lam

🌺🌴🍃🌷☘🌾🌸🌻

✏ Farid Nu’man Hasan


🍃🍃🍃🍃🍃

[1] (HR. Abu Daud No. 2382, At Tirmdzi No. 720, 1676. Ibnu Hibban No. 3518, Ibnu Khuzaimah No. 1961, Amad No. 10463, Al Hakim No. 1557. Para ulama menyatakan hadits ini shahih, seperi Imam Al Hakim (Al Mustadrak, 1/427), Syaikh Al Albani (Shahihul Jami’ No. 6243, Ash Shahihah No. 923, dll), Syaikh Syu’aib Al Arnauth (Ta’liq Musnad Ahmad No. 10463)

[2] (Fiqhus Sunnah, 1/466)

 

 

scroll to top