Hukum Minum Sambil Berdiri

💦💥💦💥💦💥

📌 Riwayat yang menunjukkan BOLEHnya minum sambil berdiri

Berikut ini adalah keterangan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah minum sambil berdiri.

✅ Dari Nazzal, katanya:

أَتَى عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى بَابِ الرَّحَبَةِ فَشَرِبَ قَائِمًا فَقَالَ إِنَّ نَاسًا يَكْرَهُ أَحَدُهُمْ أَنْ يَشْرَبَ وَهُوَ قَائِمٌ وَإِنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ كَمَا رَأَيْتُمُونِي فَعَلْتُ

“Ali Radhiallahu ‘Anhu datang ke pintu Ar Rahabah, lalu dia minum sambil berdiri, lalu berkata: Sesungguhnya manusia membenci salah seorang mereka minum sambil berdiri. Sesungguhnya saya melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan seperti yang kalian lihat terhadap perbuatanku.” (HR. Bukhari No. 5292)

✅ Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, katanya:

رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يشرب قائما وقاعدا

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam minum sambil berdiri dan duduk.” (HR. At Tirmidzi No. 1944, katanya: hasan shahih.  Syaikh Al Albani menyatakan hasan dalam Mukhtashar Asy Syamail Muhammadiyah No. 177)

✅ Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

سقيت النبي صلى الله عليه وسلم من زمزم فشرب وهو قائم

“Aku menuangkan air zamzam kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu dia meminumnya sambil berdiri.” (HR. At Tirmidzi, Syaikh Al Albani menyatakan shahih dalam Mukhtashar Asy Syamail Muhammadiyah No. 178)

✅ Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أن النبي صلى الله عليه وسلم شرب من زمزم وهو قائمٌ

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam minum zamzam sambil berdiri.”(HR. At Tirmidzi No. 1943, katanya: hasan shahih. Dishahihkan oleh Syaikh Al Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1882)

✅ Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْرَبُ قَائِمًا وَقَاعِدًا

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam minum sambil berdiri dan duduk.” (HR. An Nasa’i No. 1361, Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1361)

📌 Selanjutnya adalah keterangan bahwa Beliau MELARANG minum sambil berdiri.

✖ Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا فَمَنْ نَسِيَ فَلْيَسْتَقِئْ

“Janganlah salah seorang kalian minum sambil berdiri, barang siapa yang lupa, maka muntahkanlah.” (HR. Muslim No. 2026)

✖ Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى أن يشرب الرجل قائما فقيل الأكل قال: ذاك أشد

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang seseorang minum sambil berdiri.” Dikatakan: kalau makan? Beliau menjawab: lebih keras lagi larangannya.” (HR. At Tirmidzi No. 1940, Katanya: hadits ini shahih. Dalam riwayat Muslim No. 2024, lafaznya: lebih jelek dan lebih buruk lagi)

✖Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أن النبي صلى الله عليه وسلم زجر عن الشرب قائما

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang minum sambil berdiri.” (HR. Muslim No. 2024, juga dengan lafaz yang sama dari jalur Abu Said Al Khudri No. 2025)

✖ Dari Al Jarud bin Al ‘Ala Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن الشرب قائما 

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang minum sambil berdiri.” (HR. At Tirmidzi No. 1941, katanya: hasan gharib. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1880)

Kita lihat berbagai keterangan riwayat shahih ini, bahwa Beliau minum sambil berdiri dan disaksikan oleh beberapa sahabatnya. Dan,  beliau juga melarang minum sambil berdiri dan ini pun juga didengar dan diriwayatkan oleh beberapa sahabatnya.

Perbedaan ini membuat perselisihan pendapat di antara para ulama; ada yang mengharamkan, memakruhkan, dan membolehkan.  Tapi mereka sepakat, minum sambil duduk adalah afdhal. Ada sebagian ulama menganggap hadits-hadits ini musykil (bermasalah), bahkan dhaif (lemah), dan ada pula yang menganggap yang satu menasakh (menghapus) yang lain.

Semua ini dibantah oleh Imam An Nawawi dengan bantahan yang bagus. Beliau melakukan metode kompromi di antara riwayat yang nampaknya bertentangan ini. Baginya, semua riwayat ini terbukti shahih, tidak ada yang merevisi satu sama lain, baik berdiri atau duduk, keduanya adalah boleh tetapi duduk adalah lebih utama dan sempurna.

Perhatikan  penjelasan Imam An Nawawi Rahimahullah:

  اِعْلَمْ أَنَّ هَذِهِ الْأَحَادِيث أَشْكَلَ مَعْنَاهَا عَلَى بَعْض الْعُلَمَاء حَتَّى قَالَ فِيهَا أَقْوَالًا بَاطِلَة ، وَزَادَ حَتَّى تَجَاسَرَ وَرَامَ أَنْ يُضَعِّف بَعْضهَا ، وَادَّعَى فِيهَا دَعَاوِي بَاطِلَة لَا غَرَض لَنَا فِي ذِكْرهَا ، وَلَا وَجْه لِإِشَاعَةِ الْأَبَاطِيل وَالْغَلَطَات فِي تَفْسِير السُّنَن ، بَلْ نَذْكُر الصَّوَاب ، وَيُشَار إِلَى التَّحْذِير مِنْ الِاغْتِرَار بِمَا خَالَفَهُ ، وَلَيْسَ فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث بِحَمْدِ اللَّه تَعَالَى إِشْكَال ، وَلَا فِيهَا ضَعْف ، بَلْ كُلّهَا صَحِيحَة ، وَالصَّوَاب فِيهَا أَنَّ النَّهْي فِيهَا مَحْمُول عَلَى كَرَاهَة التَّنْزِيه . وَأَمَّا شُرْبه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا فَبَيَان لِلْجَوَازِ ، فَلَا إِشْكَال وَلَا تَعَارُض ، وَهَذَا الَّذِي ذَكَرْنَاهُ يَتَعَيَّن الْمَصِير إِلَيْهِ ، وَأَمَّا مَنْ زَعَمَ نَسْخًا أَوْ غَيْره فَقَدْ غَلِطَ غَلَطًا فَاحِشًا ، وَكَيْف يُصَار إِلَى النَّسْخ مَعَ إِمْكَان الْجَمْع بَيْن الْأَحَادِيث لَوْ ثَبَتَ التَّارِيخ وَأَنَّى لَهُ بِذَلِكَ . وَاللَّهُ أَعْلَم . فَإِنْ قِيلَ : كَيْف يَكُون الشُّرْب قَائِمًا مَكْرُوهًا وَقَدْ فَعَلَهُ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَالْجَوَاب : أَنَّ فِعْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ بَيَانًا لِلْجَوَازِ لَا يَكُون مَكْرُوهًا ، بَلْ الْبَيَان وَاجِب عَلَيْهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَكَيْف يَكُون مَكْرُوهًا وَقَدْ ثَبَتَ عَنْهُ أَنَّهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ مَرَّة مَرَّة وَطَافَ عَلَى بَعِير مَعَ أَنَّ الْإِجْمَاع عَلَى أَنَّ الْوُضُوء ثَلَاثًا وَالطَّوَاف مَاشِيًا أَكْمَل ، وَنَظَائِر هَذَا غَيْر مُنْحَصِرَة ، فَكَانَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنَبِّه عَلَى جَوَاز الشَّيْء مَرَّة أَوْ مَرَّات ، وَيُوَاظِب عَلَى الْأَفْضَل مِنْهُ ، وَهَكَذَا كَانَ أَكْثَر وُضُوئِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاث ثَلَاثًا ، وَأَكْثَر طَوَافه مَاشِيًا ، وَأَكْثَر شُرْبه جَالِسًا ، وَهَذَا وَاضِح لَا يَتَشَكَّك فِيهِ مَنْ لَهُ أَدْنَى نِسْبَة إِلَى عِلْم . وَاللَّهُ أَعْلَم

“Ketahuilah, hadits-hadits ini menurut sebagian ulama dinilai musykil (bermasalah) maknanya, sampai-sampai di antara mereka terdapat pendapat-pendapat yang batil, ditambah lagi sampai berani melemparkan anggapan sebagian hadits-hadits tersebut adalah  dhaif. Mereka mengklaim dengan vonis yang batil tapi kami tidak bermaksud membahasnya di sini, dan tidak akan menyebarkan kebatilan dan kekeliruan penafsiran mereka terhadap sunah. Tetapi kami akan sampaikan kebenaran tentang ini, bahwa larangan tersebut bermakna makruh tanzih (makruh  mendekati mubah, yang sebaiknyantidak dilalukan). Ada pun minumnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara berdiri merupakan penjelasan atas kebolehannya. Tidak ada musykil dan tidak ada pula kontradiksi, inilah yang telah kami sebutkan maknanya. Ada pun barangsiapa menyangka adanya nasakh (amandemen) atau lainnya, maka itu merupakan kesalahan yang buruk. Bagaimana bisa terjadi nasakh, padahal masih bisa dimungkinkan jam’u (kompromi) antara hadits-hadits yang ada.  Wallahu A’lam. Jika dikatakan: “Bagaimana bisa minum berdiri adalah makruh padahal Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukannya?” Jawabnya: “Sesungguhnya perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika sebagai penjelas atas kebolehan sesuatu, maka tidaklah itu menjadi makruh, bahkan penjelasan itu adalah wajib atasnya (untuk menjelaskan), bagaimana hal itu menjadi makruh, padahal telah shahih darinya bahwa beliau berwudhu pernah sekali-sekali, thawaf  dengan menunggang  Unta, sedangkan ijma’ menyebutkan bahwa wudhu hendaknya tiga kali-tiga kali, dan thawaf dengan berjalan kaki adalah lebih sempurna. Pandangan-pandangan ini tidaklah dibatasi, sebab dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengabarkan kebolehan sesuatu sekali atau berkali-kali, dan beliau menegaskan pula mana yang afdhalnya. Demikian juga, bahwa kebanyakan wudhu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tiga kali-tiga kali, dan lebih banyak thawaf dengan berjalan kaki, dan lebih banyak minum dengan cara duduk. Dan, ini sangat jelas, tanpa ada keraguan lagi bagi orang-orang yang menyerukan dirinya kepada ilmu. Wallahu A’lam.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/62. Mawqi’ Al Islam)

Kesimpulannya, menurut Imam An Nawawi pendapat yang paling kuat dalam memahami perbedaan hadits-hadits ini adalah menunjukkan kebolehan minum sambil berdiri, tetapi dengan cara duduk adalah lebih utama, sebab itu yang lebih ditekankan.  Dalam kitab Riyadhushshalihin Beliau pun membuat Bab Bayan Jawaz Asy Syurb Qaa-iman wa Bayan An Al Akmal wal Afdhal Asy Syurb Qaa’idan. (Penjelasan Bolehnya Minum Berdiri dan Penjelasan Bahwa Lebih Sempurna dan Utama Minum adalah Sambil Duduk)

📌 Tarjih Imam An Nawawi ini diperkuat oleh perilaku para sahabat, bahwa mereka pun pernah minum berdiri.

📕  Umar, Ali, dan Utsman Radhiallahu ‘Anhum

عن مالك أنه بلغه أن عمر بن الخطاب وعلي بن أبي طالب وعثمان بن عفان كانوا يشربون قياما

Dari Malik,  sesungguhnya telah sampai kepadanya, bahwa Umar bin Al Khathab, Ali bin Abi Thalib, dan Utsman bin Affan, mereka minum sambil berdiri. (Al Muwaththa’ No. 1651)

📘  Zubeir bin Awwam Radhiallahu ‘Anhu

Dari Abdullah bin Az Zubier, dari Ayahnya (yakni Zubeir bin Awwam):

أَنَّهُ كَانَ يَشْرَبُ قَائِمًا

“Bahwa dia (ayahnya) minum sambil berdiri.” (HR. Malik, Al Muwaththa’ No. 1654)

📙   ‘Aisyah dan Saad bin Abi Waqqash Radhiallahu ‘Anhuma

Dari Ibnu Syihab, katanya:

أن عائشة أم المؤمنين وسعد بن أبي وقاص كانا لا يريان بشرب الإنسان وهو قائم بأسا

“Bahwa Ummul Mu’minin ‘Aisyah dan Sa’ad bin Abi Waqqash menganggap tidak apa-apa manusia minum sambil  berdiri.” (HR. Malik, Al Muwaththa’ No. 1652. Abdurrazzaq, Al Mushannaf, No. 19591. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 5/514,  No. 5)

📔   Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Ahuma

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

كنا نأكل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن نمشي ونشرب ونحن قيامٌ

“Kami makan pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sambil berjalan dan minum sambil berdiri.” (HR. At Tirmidzi No. 1942, katanya: hasan shahih. Ibnu Majah No. 3301,  Ahmad No. 5607. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf , 5/515, No. 16)

Selain itu juga dari Abu Hurairah, Said bin Jubeir, Al Hasan, dan lainnya. Wallahu A’lam

🍃🌴🌻🌺☘🌷🌾🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

Memakai Dasi, Terlarangkah?

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum . Apa benar laki-laki tidak boleh memakai dasi? (08216930zzzz)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah …

Tentang laki-laki, memakai dasi. Para ulama kontemporer berbeda pendapat. Sebagian mereka melarang dengan alasan tasyabbuh bil kuffar, menyerupai orang kafir, dan itu bentuk kekalahan mental terhadap mereka. Seperti yang difatwakan oleh Syaikh Al Albani, Syaikh Muqbil Al Wadi’i, juga Syaikh Abdul Muhsin Al Badr, dll.

Tapi umumnya ulama zaman ini MEMBOLEHKANNYA, alasannya karena dasi, jas, kemeja, bukanlah pakaian khas agama tertentu. Sudah dipakai banyak kaum muslimin di dunia.

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah menjelaskan:

وقد صارت عادة لدى كثير من المسلمين، وخرجت عن حد الخصوصية بالكفار وعن التشبه بهم إلا إذا لبسها المرء لا يلبسها إلا لأن الغرب يلبسونها فعندئذ يدخل هذا في قول النبي صلى الله عليه وسلم: “ومن تشبه بقوم فهو منهم” رواه أحمد وأبو داود. على أن الأولى للمسلم تركها على كل حال

Dasi telah menjadi pakaian kebiasaan banyak umat Islam, dan telah keluar dari batas Kekhususan pakaian orang kafir dan penyerupaan kepada mereka. Kecuali jika ada seorang yg memakainya karena semata-mata orang Barat memakainya, maka saat itulah dia termasuk hadits: “Barangsiapa yg menyerupai sebuah kaum maka dia termasuk kaum tersebut.” (HR. Ahmad, Abu Dawud)

Namun bagaimana juga seorang muslim lebih utama meninggalkannya.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 579)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid menjelaskan:

وأمّا بالنسبة لربطة العنق فإن استطاع أن يستغني عنها فهو أفضل ، وإذا احتاج إلى لبسها فلا حرج إن شاء الله

Ada pun terkait dengan dasi, jika dia mampu tinggalkan maka itu lebih baik. Ada pun jika ada keperluan untuk memakainya maka tidak apa-apa, Insya Allah.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 1399)

Sementara dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengenakan Jubbah Syaamiyah (Jubah negeri Syam), dan dahulu Syaam masih dikuasai Nasrani, masih wilayah kekuasaan Romawi.

Demikian. Wallahu a’lam

🌴🌵🌷🌱🍃🌾🍄🌹

✍ Farid Nu’man Hasan

Perbedaan Qiyamullail dan Tahajud

💢💢💢💢💢💢

🔲 Apa sih Qiyamullail?

معنى القيام أن يكون مشتغلا معظم الليل بطاعة , وقيل : ساعة منه , يقرأ القرآن أو يسمع الحديث أو يسبح أو يصلي على النبي صلى الله عليه وسلم

Makna Al Qiyam yaitu menyibukkan diri disebagian besar malam dengan ketaatan. Ada yang mengatakan: walau sebentar. Caranya dgn membaca Al Qur’an, mendengar hadits, bertasbih, atau bershalawat kpd Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 34/117)

🔳Apa itu Tahajjud?

Ada pun tahajud, para ulama mengatakan itu shalat setelah tidur, tapi mayoritas ulama mengatakan tahajud adalah shalat malam secara mutlak walau sebelum tidur, itu juga tahajud.

Dalam Al Mausu’ah:

وفيه قولان : الأول : أنه صلاة الليل مطلقا ، وعليه أكثر الفقهاء
والثاني : أنه الصلاة بعد رقدة

Ada dua pendapat:

1. Yaitu shalat sunnah di malam hari secara mutlak. Inilah pendapat mayoritas fuqaha.

2. Shalat setelah tidur.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 2/232)

Maka, makna Qiyamullail lebih luas cakupan dan bentuknya dibanding tahajud.

Demikian. Wallahu a’lam

🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸

✍ Farid Nu’man Hasan

Fiqih, Hukum, dan Tata Cara Shalat Witir

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📌 Definisi Sholat Witir

Secara bahasa artinya Al ‘Adad Al Fardi (angka ganjil), seperti 1, 3, 5, 7, dst. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 27/289) .

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

لِلهِ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ اسْمًا مِائَةٌ إِلَّا وَاحِدًا لَا يَحْفَظُهَا أَحَدٌ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَهُوَ وَتْرٌ يُحِبُّ الْوَتْرَ

Allah memiliki 99 nama, seratus dikurang satu. Tidak ada yang menghafalnya melainkan dia akan masuk surga. Dia adalah witir (ganjil), menyukai yang ganjil. (HR. Al Bukhari No. 6410, Muslim No. 2677)

Secara syariat, Shalat Witir adalah:

وهي صلاة تفعل ما بين صلاة العشاء وطلوع الفجر ، تختم بها صلاة الليل ، سميت بذلك لأنها تصلى وترا ، ركعة واحدة ، أو ثلاثا ، أو أكثر ، ولا يجوز جعلها شفعا

Dia adalah shalat yang dikerjakan antara shalat Isya dan terbitnya fajar, dengannya shalat malam ditutup. Dinamakan witir karena shalatnya dlakukan secara witir (ganjil), 1 rakaat, atau tiga, atau lebih, dan tidak boleh menjadikannya genap. (Al Mausu’ah, 27/289)

Dari definisi ini kita dapat memahami bahwa durasi untuk melaksanakan witir adalah setelah shalat Isya sampai menjelang fajar (subuh).

📌Hukum Sholat Witir

Hukumnya sunnah muakkadah (sunah yang sangat dianjurkan). Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

الوتر سنة مؤكدة حث عليه الرسول صلى الله عليه وسلم ورغب فيه

Shalat witir adalah sunnah muakadah, Rasulullah ﷺ sangat mendorongnya dan begitu menyukainya. (Fiqhus Sunnah, 1/191)

Namun, Imam Abu Hanifah mewajibkannya, dan tidak ada ulama yang menyetujuinya. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menceritakan:

وما ذهب إليه أبو حنيفة من وجوب الوتر فمذهب ضعيف. قال ابن المنذر: لا أعلم أحدا وافق أبا حنيفة في هذا

Apa yang menjadi pendapat Abu Hanifah bahwa witir adalah wajib merupakan pendapat yang lemah. Ibnul Mundzir berkata: “Tidak aku ketahui seorang pun yang sepakat dengan Abu Hanifah dalam hal ini.” (Ibid, 1/192)

Dengan sanad yang shahih, Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu berkata:

الْوَتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ مِثْلَ الصَّلَاةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم

Witir bukanlah kewajiban seperti shalat wajib, tetapi itu adalah sunnah yang dibiasakan oleh Rasulullah ﷺ. (HR. At Tirmidzi No. 453, Musnad Ahmad No. 652, 786, 1220)

📌 Jumlah Rakaat Sholat Witir

Boleh dilakukan sebanyak 1, 3, 5,7, 9, 11 dan maksimal 13 rakaat.

Dari Abu Ayyub Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

الْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ

“Witir adalah sebuah hak atas setiap muslim, barang siapa yang hendak melakukan witir lima raka’at maka hendaknya ia melakukankannya dan barang siapa yang hendak melakukan witir tiga raka’at maka hendaknya ia melakukannya, dan barang siapa yang hendak melakukan witir satu raka’at maka hendaknya ia melakukannya.” (HR. Abu Daud No. 1420, An Nasa’i No. 1712, Ibnu Hibban No. 2407. Dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh Al Albani, Syaikh Ayman Shalih Sya’ban, dll)

Berkata Ibnu Abi Malikah:

قيل لابن عباس: هل لك في أمير المؤمنين معاوية، فإنه ما أوتر إلا بواحدة؟ قال: أصاب، إنه فقيه

“Dikatakan kepada Ibnu Abbas: Apa pendapat anda tentang Amirul Mu’minin Muawiyah, bahwa dia tidaklah melakukan witir melainkan satu rakaat? “ Ibnu Abbas menjawab: “Dia benar, dia adalah seorang yang faqih (faham agama).” (HR. Bukhari No. 3554)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

….وَلَكِنْ أَوْتِرُوا بِخَمْسٍ أَوْ بِسَبْعٍ أَوْ بِتِسْعٍ ، أَوْ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ

… Tetapi berwitirlah dengan lima rakaat, atau tujuh, atau sembilan, atau sebelas, atau lebih dari itu. (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 5011, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1137. Imam Ibnu Mulaqin berkata: “Para perawinya terpercaya semuanya. Imam Al Hakim mengatakan: shahih sesuai syarat Al Bukhari dan Muslim.” Lihat Badrul Munir, 4/302)

‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:

…وَلاَ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ

… Dan Nabi tidak pernah shalat witir lebih banyak dari 13 rakaat. (HR. Abu Daud No. 1364. Imam Ibnul Mulaqin mengatakan: shahih. Lihat Badrul Munir, 4/302)

Ummu Salamah Radhiallahu ‘Anha berkata:

كان النبي صلى الله عليه و سلم يوتر بثلاث عشرة ركعة فلما كبر وضعف أوتر بسبع

Dahulu Nabi ﷺ shalat witir sebanyak 13 rakaat, ketika sudah tua dan lemah beliau witir tujuh rakaat. (HR. At Tirmidzi No. 457, Beliau berkata: hasan. Imam Al Hakim mengatakan: shahih sesuai syarat Al Bukhari dan Muslim. Al Mustadrak No. 1149)

Pandangan Syafi’iyah dan Hambaliyah maksimal adalah 11 rakaat, dalam satu pendapat Syafi’iyah maksimal adalah 13 rakaat. Sementara Hanafiyah tiga rakaat, tidak lebih dan tidak kurang. Malikiyah mengatakan satu rakaat saja. (Al Mausu’ah, 27/294)

Demikianlah.

📌 Pembagian dan Pola Rakaat

Jika shalat witir tiga rakaat, maka ada dua pola, yaitu dua rakaat lalu salam, lalu bangun lagi satu rakaat dan salam lagi. (ringkasnya: Pola 2-1, dengan 2 kali salam)

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى فِى الْحُجْرَةِ وَأَنَا فِى الْبَيْتِ فَيَفْصِلُ بَيْنَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ بِتَسْلِيمٍ يُسْمِعُنَاهُ

“Rasulullah ﷺ shalat di dalam kamar ketika saya berada di rumah dan beliau ﷺ memisah antara raka’at yang genap dengan yang witir (ganjil) dengan salam yang beliau ﷺ perdengarkan kepada kami.” (HR. Ahmad No. 24539, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari Nafi’, ia berkata mengenai shalat witir dari Ibnu ‘Umar:

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يُسَلِّمُ بَيْنَ الرَّكْعَةِ وَالرَّكْعَتَيْنِ فِى الْوِتْرِ ، حَتَّى يَأْمُرَ بِبَعْضِ حَاجَتِهِ

Ibnu Umar biasa mengucapkan salam ketika satu rakaat dan dua rakaat saat witir sampai ia memerintah untuk sebagian hajatnya.” (HR. Bukhari no. 991).

Yang kedua, yaitu langsung tiga rakaat, sekali duduk tasyahud, dan sekali salam.

Dari Abu Ayyub Al Anshari, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,

وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلاَثٍ فَلْيَفْعَلْ

“Siapa yang suka lakukan witir tiga rakaat, maka lakukanlah.” (HR. Abu Daud No. 1420, An Nasa’i No. 1712, Ibnu Hibban No. 2407. Dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh Al Albani, Syaikh Ayman Shalih Sya’ban, dll)

Dari ‘Aisyah, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوتِرُ بِثَلاَثٍ لاَ يَقْعُدُ إِلاَّ فِى آخِرِهِنَّ

“Rasulullah ﷺ biasa berwitir tiga raka’at sekaligus, beliau tidak duduk (tasyahud) kecuali pada raka’at terakhir.” (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 4998. Imam Al Hakim mengatakan: shahih sesuai syarat Al Bukhari dan Muslim. Lihat Badrul Munir, 4/308)

Bahkan Rasulullah ﷺ pernah lima rakaat dengan sekali duduk di akhirnya. (HR. Ibnu Hibban No. 2439, shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)

Juga pernah tujuh rakaat dengan sekali duduk di akhirnya. (HR. An Nasa’i No. 1718, sanadnya shahih)

Atau bisa juga dengan pola 4-3 (2 rakaat, 2 rakaat, lalu 3), pola 6-3 (2,2,2,3), pola 8-3 (2,2,2,2,3), atau 10-3 (2,2,2,2,2,3).

Hal ini berdasarkan hadits:

كَانَ يُوتِرُ بِأَرْبَعٍ وَثَلاَثٍ وَسِتٍّ وَثَلاَثٍ وَثَمَانٍ وَثَلاَثٍ وَعَشْرٍ وَثَلاَثٍ

Dahulu nabi berwitir dengan 4 dan 3, 6 dan 3, 8 dan 3, serta 10 dan 3. (HR. Abu Daud No. 1364, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)

📌 Bolehkah Shalat Lagi Setelah Witir?

Banyak yang menyangka witir sebagai penutup shalat, sehingga tidak boleh lagi shalat. Yang benar adalah BOLEH, karena Nabi ﷺ melakukannya, dan anjuran menjadikan witir sebagai penutup shalat malam sifatnya sunah saja.
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata:

وَقَدْ ثَبَتَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ ( «كَانَ يُصَلِّي بَعْدَ الْوِتْرِ رَكْعَتَيْنِ جَالِسًا تَارَةً، وَتَارَةً يَقْرَأُ فِيهِمَا جَالِسًا، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ، قَامَ فَرَكَعَ» ، وَفِي “صَحِيحِ مسلم ” عَنْ أبي سلمة قَالَ: « (سَأَلْتُ عائشة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: (كَانَ يُصَلِّيثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي ثَمَانَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ يُوتِرُ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ، قَامَ فَرَكَعَ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالْإِقَامَةِ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ) » وَفِي “الْمُسْنَدِ” عَنْ أم سلمة أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ( «كَانَ يُصَلِّي بَعْدَ الْوِتْرِ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ (
وَقَالَ الترمذي: رُوِيَ نَحْوُ هَذَا عَنْ عائشة، وأبي أمامة، وَغَيْرِ وَاحِدٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
وَفِي “الْمُسْنَدِ” عَنْ أبي أمامة، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ( «كَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْوِتْرِ وَهُوَ جَالِسٌ، يَقْرَأُ فِيهِمَا بِـ {إِذَا زُلْزِلَتِ} [الزلزلة: ١] وَ {قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ} [الكافرون: ١ [وَرَوَى الدَّارَقُطْنِيُّ نَحْوَهُ مِنْ حَدِيثِ أنس رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.

Telah SHAHIH dari Nabi ﷺ bahwa: (Beliau shalat lagi setelah witir sebanyak dua rakaat kadang sambil duduk). Dalam kesempatan lain, Beliau pernah membaca dua rakaat itu sambil duduk dan ketika hendak ruku Beliau berdiri untuk ruku.

Disebutkan dalam SHAHIH MUSLIM dari Abu Salamah, dia berkata: Aku bertanya kepada ‘Aisyah tentang Shalat Rasulullah ﷺ, lalu dia memjawab:

“Beliau ﷺ biasanya melakukan shalat 13 rakaat. Menunaikan 8 raka’at, lalu witir, kemudian shalat 2 raka’at lagi dengan duduk, dan apabila hendak ruku beliau berdiri lalu ruku. Kemudian, Beliau nantinya shalat lagi antara azan dan iqamah shubuh.”

Di dalam Musnad disebutkan dari Ummi Salamah Radhiallahu ‘Anha, “Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat 2 rakaat ringan dengan duduk setelah shakat witir.” (HR. Ahmad, No. 26553, Ibnu Majah No. 1195. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Kata Imam At Tirmidzi: “Hadits seperti ini juga diriwayatkan oleh Aisyah, Abu Umamah, dan tidak hanya satu sahabat Nabi ﷺ.”

Dalam Musnad juga disebutkan, dari Abu Umamah: “Bahwa setelah shalat witir, Rasulullah ﷺ melakukan shalat 2 rakaat dengan duduk dan membaca surat Al Zalzalah dan Al Kafirun.” (HR. Ahmad, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 5018, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 8065. Sanadnya hasan)

Imam Ad Daruquthni meriwayatkan hadits yang sama dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu. (Selesai)

Lalu Imam Ibnul Qayyim mengutip dari para ulama:

إِنَّمَا فَعَلَ هَاتَيْنِ الرَّكْعَتَيْنِ، لِيُبَيِّنَ جَوَازَ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْوِتْرِ، وَأَنَّ فِعْلَهُ لَا يَقْطَعُ التَّنَفُّلَ، وَحَمَلُوا قَوْلَهُ: ( «اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا» ) عَلَى الِاسْتِحْبَابِ، وَصَلَاةَ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَهُ عَلَى الْجَوَازِ

Sesungguhnya dilakukannya dua rakaat ini hanyalah untuk menjelaskan BOLEHNYA SHALAT SETELAH WITIR, bahwasanya shalat witir itu tidaklah memutuskan shalat. Mereka memaknai maksuda hadits Nabi : “Jadikankah akhir shalat kalian pada malam hari adalah witir”, itu menunjukkan sunah saja, dan shalat dua rakaat setelahnya itu dibolehkan.” (Lihat semua dalam Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibaad, 1/321-323)

📌 Tidak Boleh Dua Kali Witir Dalam Semalam

Ada sebuah hadits yang melarang dua kali shalat witir dalam satu malam. Dari Qais bin Thalq, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَة

“Tidak ada dua witir dalam satu malam.” (HR. At Tirmidzi No. 470, katanya: hasan, Abu Daud No. 1439, An Nasa’i No. 1679, juga dalam As Sunan Al Kubra-nya No. No. 1388, Ahmad No. 16339, Ibnu Hibban No. 2449, Ibnu Khuzaimah No. 1101, dll. Imam Ibnul Mulqin mengatakan: hasan. Lihat Badrul Munir, 4/317. Al Hafizh Ibnu Hajar juga menghasankannya. Lihat Fathul Bari, 2/488)

Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang sudah witir di awal malam, apakah di akhir malam witir lagi? berkata Imam At Tirmidzi:

وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي الَّذِي يُوتِرُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ ثُمَّ يَقُومُ مِنْ آخِرِهِ فَرَأَى بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ نَقْضَ الْوِتْرِ وَقَالُوا يُضِيفُ إِلَيْهَا رَكْعَةً وَيُصَلِّي مَا بَدَا لَهُ ثُمَّ يُوتِرُ فِي آخِرِ صَلَاتِهِ لِأَنَّهُ لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ وَهُوَ الَّذِي ذَهَبَ إِلَيْهِ إِسْحَقُ

Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang witir pada awal malam, lalu dia mendirikan lagi pada akhir malam. Sebagian ulama dari kalangan sahabat nabi dan setelah mereka menyatakan witir tersebut (yang akhir, pen) batal. Mereka mengatakan: hendaknya dia menambahkan witirnya itu satu rakaat lagi lalu dia shalat seperti permulaan kemudian barulah dia witir pada akhir shalatnya, hal ini karena tidak ada dua witir pada satu malam. Ulama yang berpendapat seperti ini adalah Ishaq. (Sunan At Tirmidzi No. 470) Hal ini dilakukan oleh para sahabat Radhiallahu ‘Anhum, seperti Utsman, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Sa’ad bin Malik. (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/469)

Jadi tidak boleh dua kali witir, jika dilakukan juga maka witir yang kedua adalah batal. Namun jika setelah bangun dia memulai dengan satu rakaat untuk menggenapkan witir sebelumnya, lalu shalat lagi seperti awal dia shalat, barulah dia boleh witir, karena witir sebelumnya sudah digenapkan dengan satu rakaat tadi. Maka, witir yang dilakukan terakhir itulah witir yang sebenarnya.

Imam At Tirmidzi Rahimahullah berkata tentang pendapat kedua:

وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ إِذَا أَوْتَرَ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ يُصَلِّي مَا بَدَا لَهُ وَلَا يَنْقُضُ وِتْرَهُ وَيَدَعُ وِتْرَهُ عَلَى مَا كَانَ وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَمَالِكِ بْنِ أَنَسٍ وَابْنِ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيِّ وَأَهْلِ الْكُوفَةِ وَأَحْمَدَ وَهَذَا أَصَحُّ لِأَنَّهُ قَدْ رُوِيَ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ صَلَّى بَعْدَ الْوِتْرِ

Sebagian ulama dari sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan selain mereka mengatakan bahwa jika seorang melakukan witir di awal malam kemudian dia tidur lalu shalat lagi di akhir malam, maka dia shalat sebagaimana awal dia melakukan, hal itu tidak membatalkan witirnya itu dan tidak usah dia tinggalkan witir yang sudah dia lakukan. Inilah pendapat Sufyan Ats Tsauri, Malik bin Anas, Ibnul Mubarak, Asy Syafi’i, penduduk Kufah, dan Ahmad, inilah pendapat yang lebih shahih. Diriwayatkan dari jalan lain bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat setelah dia witir. (Sunan At Tirmidzi No. 470)

Berkata Syaikh Abdurrahman Mubarkafuri Rahimahullah:

قَالَ اِبْنُ الْعَرَبِيِّ فِي عَارِضَةِ الْأَحْوَذِيِّ : مَعْنَاهُ أَنَّ مَنْ أَوْتَرَ فِي آخِرِ اللَّيْلِ ثُمَّ صَلَّى بَعْدَ ذَلِكَ لَا يُعِيدُ الْوِتْرَ اِنْتَهَى

“Berkata Ibnul ‘Arabi dalam ‘Aridhah Al Ahwadzi: Artinya adalah bahwa barangsiapa yang shalat witir pada akhir malam kemudian shalat setelahnya, maka hendaknya dia tidak mengulangi witir, selesai. “ (Syaikh Abdurrahman Mubarakafuri, Tuhfah al Ahwadzi, 2/469)

Jadi, pendapat kedua adalah ketika telah melakukan shalat witir di awal malam, lalu tidur, maka ketika bangun, hendaknya shalat malam dilakukan seperti biasa saja tidak susah membatalkan witir sebelumnya dengan menambahkan satu rakaat. Selesainya tidak usah lagi ada witir, karena witirnya sudah dilakukan pada awal malam. Inilah pendapat yang benar menurut Imam At Tirmidzi.

📌 Doa Qunut Dalam Witir

Telah terjadi perbedaan pendapat ulama tentang qunut secara umum, berkata Imam Ibnu Rusyd Al Maliki Rahimahullah :

اختلفوا في القنوت، فذهب مالك إلى أن القنوت في صلاة الصبح مستحب، وذهب الشافعي إلى أنه سنة وذهب أبو حنيفة إلى أنه لا يجوز القنوت في صلاة الصبح، وأن القنوت إنما موضعه الوتر وقال قوم: بيقنت في كل صلاة، وقال قوم: لا قنوت إلا في رمضان، وقال قوم: بل في النصف الاخير منه وقال قوم: بل في النصف الاول منه

“Mereka berselisih tentang qunut, Malik berpendapat bahwa qunut dalam shalat shubuh adalah sunah, dan Asy Syafi’i juga mengatakan sunah, dan Abu Hanifah berpendapat tidak boleh qunut dalam shalat subuh, sesungguhnya qunut itu adanya pada shalat witir. Ada kelompok yang berkata: berqunut pada setiap shalat. Kaum lain berkata: tidak ada qunut kecuali pada bulan Ramadhan. Kaum lain berkata: Adanya pada setelah setengah bulan Ramadhan. Ada juga yang mengatakan: bahkan pada setengah awal Ramadhan.” (Imam Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, 1/107-108. Darul Fikr)

Ada pun tentang qunut saat witir, Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah berkata:

لا يصح فيه عن النبي صلى الله عليه وسلم شيء

Tidak ada yang shahih sedikit pun dari Nabi ﷺ tentang hal ini (Talkhish Al Habir, 2/18)

Imam Ibnu Khuzaimah berkata:

ولست أحفظ خبراً ثابتاً عن النبي صلى الله عليه وسلم في القنوت في الوتر

Aku tidak hafal adanya hadits yang shahih dari Nabi ﷺ tentang qunut saat witir. (Shahih Ibni Khuzaimah, 2/151)

📌TETAPI, qunut saat witir ADA pada masa para sahabat Nabi ﷺ.

Imam ‘Atha bin Abi Rabah ditanya tentang qunut witir, Beliau menjawab:

كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم يفعلونه

Dahulu para sahabat Nabi ﷺ melakukannya. (Mukhtashar Qiyam Al Lail, Hal. 66)

Syaikh Al Mujahid, Sulaiman bin Nashir Al ‘Alwan Rahimahullah berkata:

وجاء عن بعض الصحابة أنه لا يقنت إلاّ في النصف من رمضان . صح هذا عن ابن عمر

Telah datang riwayat dari sebagian sahabat nabi bahwa tidak ada qunut kecuali pada separuh Ramadhan. Hal ini shahih dari Ibnu Umar. (Ahkam Qiyam Al Lail, Hal. 28)

Jadi, para ulama sepakat sunahnya saat witir di setengah Ramadhan sampai akhir.

واتفقوا على أن القنوت في الوتر مسنون في النصف الثاني من شهر رمضان إلى آخره

Para ulama sepakat tentang berqunut dalam shalat witir itu sunnah saat separuh bulan Ramadhan sampai akhir. (Al Wazir Ibnu Hubairah, Ikhtilaf Al Aimmah Al ‘Ulama, 1/138)

Hanya saja mereka berbeda apakah qunut dalam witir juga sunnah pada witir-witir selain paruh akhir bulan Ramadhan?

ثم اختلفوا في موضعه . فقال أبو حنيفة : قبل الركوع . وقال الشافعي وأحمد : بعده . ثم اختلفوا هل هو مسنون في بقية السنة ؟ فقال أبو حنيفة وأحمد : هو مسنون في جميع السنة . وقال مالك والشافعي : لا يسن إلا في نصف شهر رمضان الثاني

Kemudian mereka berbeda pendapat tentang tempatnya qunut. Abu Hanifah mengatakan: sebelum ruku. Asy Syafi’i dan Ahmad mengatakan: setelahnya. Lalu mereka juga berselisih apakah disunahkan pada shalat sunnah lainnya? Abu Hanifah dan Ahmad berkata: Hal itu sunah di semua sunah. Malik dan Asy Syafi’i mengatakan: “Tidak sunnah kecuali hanya pada paruh kedua bulan Ramadhan.” (Ibid)

Maka, janganlah ingkari jika sebagian masjid ada qunut saat shalat witirnya sejak separuh akhir Ramadhan. Itu sunah yang disepakati para ulama, tetapi mereka berbeda apakah itu juga sunnah di luar Ramadhan.

Wallahu A’lam wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🍃🌸🌷🌾🌻🌿🌳🍁☘

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top