Cakupan Ibadah

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Aslm ustadz, yang saya tahu dalam islam ada lima hukum suatu perbuatan menjadi wajib, sunah, mubah, makruh dan haram. Dan kita sebsgai muslim harus melaksanakan yg wajib dan sunah dan menjauhi yg haram.

Yang saya tanyakan, apa saja kewajiban seorang muslim. Selama ini yg bisa saya jawab adalah beribadah (sholat, puasa, dll), berbuat baik pada orang tua, menuntut ilmu, dll.

Apakah ada risalah/buku yg memuat lengkap semua kewajiban seorang muslim berdasarkan Al Quran dan hadits. Agar bisa menjadi panduan, apa saja kewajiban yg belum kita lakukan.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa ‘Alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Tugas kita secara umum, disebutkan dalam Al Quran secara jelas, yaitu Ibadah kepada Allah semata, tidak yang lainnya.
Sebagimana ayat-ayat berikut:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu. (QS. Adz Dzariyat: 56)

Ayat lainnya:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Kami telah mengutus pada tiap-tiap umat seorang rasul yang menyeru “Sembahlah Allah semata, dan jauhilah thaghut (sembahan-sembahan selain Allah).” (QS. An Nahl: 36)

📖 Apakah Ibadah?

Banyak orang yang mempersepsikan salah tentang ibadah. Padahal cakupan ibadah begitu luas. Berikut ini penjelasan para ulama kita.

1⃣ Pertama, menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:

” الْعِبَادَةُ ” هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَيَرْضَاهُ : مِنْ الْأَقْوَالِ ، وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ ؛ فَالصَّلَاةُ ، وَالزَّكَاةُ ، وَالصِّيَامُ ، وَالْحَجُّ ، وَصِدْقُ الْحَدِيثِ ، وَأَدَاءُ الْأَمَانَةِ ، وَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ ، وَصِلَةُ الْأَرْحَامِ ، وَالْوَفَاءُ بِالْعُهُودِ ، وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ ، وَالْجِهَادُ لِلْكُفَّارِ وَالْمُنَافِقِينَ ، وَالْإِحْسَانُ إلَى الْجَارِ ، وَالْيَتِيمِ ، وَالْمِسْكِينِ ، وَابْنِ السَّبِيلِ ، وَالْمَمْلُوكِ مِنْ الْآدَمِيِّينَ وَالْبَهَائِمِ ، وَالدُّعَاءُ ، وَالذِّكْرُ ، وَالْقِرَاءَةُ ، وَأَمْثَالُ ذَلِكَ مِنْ الْعِبَادَةِ . وَكَذَلِكَ حُبُّ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَخَشْيَةُ اللَّهِ وَالْإِنَابَةُ إلَيْهِ ، وَإِخْلَاصُ الدِّينِ لَهُ ، وَالصَّبْرُ لِحُكْمِهِ ، وَالشُّكْرُ لِنِعَمِهِ ، وَالرِّضَا بِقَضَائِهِ ، وَالتَّوَكُّلُ عَلَيْهِ ، وَالرَّجَاءُ لِرَحْمَتِهِ ، وَالْخَوْفُ لِعَذَابِهِ ، وَأَمْثَالُ ذَلِكَ هِيَ مِنْ الْعِبَادَةِ لِلَّهِ

“Ibadah adalah nama yang mencakup untuk segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, berupa ucapan, amal batin dan lahir. Maka, shalat, zakat, puasa, haji, jujur dalam berkata, memenuhi amanah, berbakti kepada dua orang tua, silaturrahim, menepati janji, amar ma’ruf, nahi munkar, jihad melawan orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, budak, hewan, doa, dzikir, membaca, dan yang sepertinya, itu semua termasuk ibadah. Demikian juga mencintai Allah dan RasulNya, takut kepada Allah dan kembali kepadaNya, ikhlas dalam beragama untukNya, sabar atas hukumNya, syukur atas nikmatNya, ridha atas ketetapanNya, tawakal kepadaNya, mengharap rahmatNya, takut atas adzabNya, dan yang semisal itu, juga termasuk ibadah kepada Allah Ta’ala.” (Majmu’ Al Fatawa, 10/149)

Beliau juga berkata:

أَنَّ الْعِبَادَةَ تَتَضَمَّنُ كَمَالَ الْحُبِّ الْمُتَضَمِّنِ مَعْنَى الْحَمْدِ ، وَتَتَضَمَّنُ كَمَالَ الذُّلِّ الْمُتَضَمِّنِ مَعْنَى التَّعْظِيمِ ، فَفِي الْعِبَادَةِ حُبُّهُ وَحَمْدُهُ عَلَى الْمَحَاسِنِ ، وَفِيهَا الذُّلُّ النَّاشِئُ عَنْ عَظَمَتِهِ وَكِبْرِيَائِهِ

“Bahwa Ibadah adalah mencakup di dalamnya totalitas rasa cinta, mencakup di dalamnya makna pujian, mencakup totalitas kehinaan, mencakup makna pengagungan, maka dalam ibadah terdapat cinta kepadaNya dan pujian kepadaNya atas segala bentuk kebaikan, dan dalam ibadah ada kerendahan pada malam hari terhadap keagunganNya dan kebesaranNya.” (Ibid, 10/251)

2⃣ Kedua, menurut Imam Ibnu Katsir Rahimahullah, beliau mendefinisikan makna ibadah secara syara’ adalah:

وفي الشرع: عبارة عما يجمع كمال المحبة والخضوع والخوف

“Secara syariat, (makna ibadah) adalah semua makna (‘ibarah) tentang apa-apa yang mencakup kesempurnaan cinta, ketundukan, dan rasa takut.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1/ 134)

Demikianlah makna ibadah, selanjutnya dari sisi sasaran, ibadah terbagi atas dua, yakni; pertama, bagian hablum minallah (hubungan kepada Allah) yang selanjutnya manusia menyebutnya ibadah mahdhah. Kedua, hablum minannas (hubungan kepada sesame manusia) selanjutnya manusia menyebutnya ibadah ghairu mahdhah.

📌 Ibadah mahdhah, sering pula disebut ibadah ritual, ibadah khusus, atau vertikal, yaitu pengabdian kepada Allah Ta’ala sebagai pencipta, yang memang diperintahkan oleh Allah dan RasulNya atas hambaNya yang taklif (sudah baligh), dan diberikan contoh oleh RasulNya pula, sehingga ibadah ini memiliki praktek yang sudah digariskan tata caranya. Sehingga dia disebut mahdhah, yang berarti murni, bersih, tiada bercampur, sebab ibadah mahdhah tidak memberi peluang kepada akal-akalan manusia melainkan ittiba’ (mengikuti) dalil-dalil syara’ (Al Qur’an dan As Sunnah).

Termasuk ibadah mahdhah adalah shalat (tentunya dengan thaharah pula), puasa, zakat, dan haji. Jenis ibadah-ibadah ini adalah ‘langsung’ kepada Allah Ta’ala. Bukan hanya itu tetapi juga aqiqah dan qurban.

Allah Ta’ala berfirman:

“Apa yang datang dari Rasul kepadamu, maka ambil-lah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah” (QS. Al Hasyr (59): 7)

Tentang shalat, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

“Shalatlah kamu sebagaimana aku shalat.”(HR. Al Bukhari)
Tentang haji, Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu melihat Rasulullah pada siang hari sedang melempar jumrah sambil di atas hewan tunggangannya, lalu beliau bersabda:

لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي لَا أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ

“Hendaklah ambil (pelajari) manasik haji kalian, sesungghnya aku tidak tahu apakah aku bisa haji lagi setelah hajiku yang sekarang.” (HR. Muslim)

Tentang wudhu, dari Humran Radhiallahu ‘Anhu:

أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Bahwa Utsman bin ‘Affan mengajak untuk berwudhu, maka dia berwudhu. Dia mencuci kedua telapak tangannya tiga kali, kemudia dia berkumur-kumur, lalu dia menghirup air kehidungnya, lalau mencuci wajahnya tiga kali, kemudian mencuci tangannya sebelah kanan hingga ke siku tiga kali, kemudian mencuci tangan sebelah kiri juga demikian, lalu membasuh kepalanya, lalu dia mencuci kakinya yang kanan hingga dua mata kaki sebanyak tiga kali, lalu dia mencuci kaki kirinya juga demikian. Lalu Utsman berkata: “Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berwudhu seperti wudhuku tadi.” Lalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangispa yang berwudhu seperti wudhuku lalau dia shalat dua rakaat, tanpa bicara antara keduanya, maka diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Muslim)

Ketiga hadits di atas menunjukkan bahwa urusan ibadah ritual (mahdhah), maka sikap kita adalah mengikuti dalil, atau contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Atau istilahnya tauqifi (menunggu dalil). Maka, ibadah mahdhah tidak boleh dimodif, baik di tambah-tambah, atau dikurangi, berdasarkan akal dan hawa nafsu manusia.

Dan mencontoh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam ibadah mahdhah, merupakan syarat diterimanya amal. Allah Ta’ala berfirman:

“Dia lah Yang telah mentakdirkan adanya mati dan hidup (kamu) – untuk menguji kamu: siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya (ahsanu ‘amala); dan ia Maha Kuasa (membalas amal kamu), lagi Maha Pengampun, (bagi orang-orang Yang bertaubat).” (QS. Al Mulk: 2)

Tentang makna Ahsanu ‘amala (amal yang paling baik), ini ditafsirkan oleh Imam Fudhail bin ‘Iyadh sebagai berikut:

قَالَ : أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ فَقِيلَ : يَا أَبَا عَلِيٍّ مَا أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ ؟ فَقَالَ : إنَّ الْعَمَلَ إذَا كَانَ صَوَابًا وَلَمْ يَكُنْ خَالِصًا لَمْ يُقْبَلْ . وَإِذَا كَانَ خَالِصًا وَلَمْ يَكُنْ صَوَابًا لَمْ يُقْبَلْ حَتَّى يَكُونَ خَالِصًا صَوَابًا . وَالْخَالِصُ : أَنْ يَكُونَ لِلَّهِ وَالصَّوَابُ أَنْ يَكُونَ عَلَى السُّنَّةِ . وَقَدْ رَوَى ابْنُ شَاهِينَ واللالكائي عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ : لَا يُقْبَلُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ إلَّا بِنِيَّةِ وَلَا يُقْبَلُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَنِيَّةٌ إلَّا بِمُوَافَقَةِ السُّنَّة

Al Fudhail bin Iyadh berkata: “yang paling ikhlas dan paling benar.” Ada orang bertanya: “Wahai Abu Ali, apakah yang paling ikhlas dan paling benar itu?” Dia menjawab: “Sesungguhnya amal itu, jika benar tetapi tidak ikhlas, tidak akan diterima. Dan jika ikhlas tetapi tidak benar, juga tidak diterima. Sampai amal itu ikhlas dan benar. Ikhlas adalah menjadikan ibadah hanya untuk Allah, dan benar adalah sesuai dengan sunah. Ibnu Syahin dan Al Lalika’i meriwayatkan dari Said bin Jubeir, dia berkata: “Tidak akan diterima ucapan dan amal perbuatan, kecuali dengan niat, dan tidak akan diterima ucapan, perbuatan dan niat, kecuali bersesuaian dengan sunah.” (Majmu’Al Fatawa, 28/177)

📌 Ibadah Ghairu mahdhah, sering juga disebut ibadah umum, ibadah mu’amalah, atau horisontal, yang hubungannya antara sesama manusia. Seperti silaturrahim, menyantuni anak yatim, menjenguk orang sakit, saling memberi nasihat, belajar mengajar, mencari nafkah, dan lain-lain.

Semua hal di atas, walau termasuk urusan dunia, namun dinilai sebagai ibadah di sisi Allah Ta’ala karena memang memiliki landasan dalam Al Quran dan As Sunnah untuk melaksanakannya. Hanya saja, keduanya tidak merinci dan tidak membakukan bahwa silaturrahim –misal- harus dihari libur, menyantuni anak yatim minimal harus satu juta rupiah per anak, menjenguk orang sakit harus membawa makanan, dan seterusnya. Itu semua tidak ada aturannya. Syariat menyerahkan kepada kita untuk menyesuaikan sesuai adat yang ma’ruf pada zaman masing-masing, asalkan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat.

Maka, lakukanlah semua kebaikan baik ritual dan non ritual, dan jauhilah semua larangan, lalu ikhlaskanlah dalam menjalankannya, seimbangkan antara dunia dan akhirat, fisik dan ruhani, pribadi dan masyarakat, maka pada hakikatnya kita sudah menjadi ahli ibadah.

Buku-buku yang bisa dikaji dalam hal ini, Minhajul Muslim, karya Syaikh Abu Bakar Al Jazairi, atau Komitmen Muslim Kepada Harakah Islamiyah karya Syaikh Fathi Yakan, dan lainnya.

Wallahu A’lam

📓📕📗📘📙📔📒

✏ Farid Nu’man Hasan

Tafsir Surat Al Kafirun

💢💢💢💢💢

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)

1. Katakanlah (Muhammad): “Wahai orang-orang kafir.”

2. Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah

3. Kalian pun tidak menyembah apa yang aku sembah

4. Dan Aku pun bukan seorang penyembah apa yang kamu sembah

5. Kalian pun bukan penyembah apa yang aku sembah

6. Bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku

🌷🌷🌷🌷🌷🌷

📌 Nama surat: Al Kafirun, diambil dari salah satu bunyi ayat: Yaa ayyuhal kaafiruun

*📌 Jumlah ayat:*6

📌 Jenis surat: Para ulama berselisih pendapat apakah ini Makkiyah atau Madaniyah.

Imam Al Qurthubi Rahimahullah berkata:

وهي مكية في قول ابن مسعود و الحسن و عكرمة ومدنية في أحد قولي ابن عباس و قتادة و الضحاك وهي ست آيات

Ini adalah surat Makkiyah menurut Ibnu Mas’ud, Al Hasan, dan ‘Ikrimah. Madaniyah menurut salah satu pendapat dari Ibnu Abbas, Qatadah, dan Adh Dhahak. Dan terdapat enam ayat. (Tafsir Al Qurthubi, 20/206)

Imam As Suyuthi, menyebutkan bahwa Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, turunnya Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruun adalah di Mekkah. (Ad Durrul Mantsur, 8/654)

📌 Kandungan Secara Global:

Penegasan bahwa Tuhan yang disembah Nabi Muhammad Shallallahu’Alaihi wa Sallam dan pengikut-pengikutnya bukanlah apa yang disembah oleh orang-orang kafir, dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak akan menyembah apa yang disembah oleh orang-orang kafir, baik dulu, sekarang dan akan datang.

📌 Kedudukan Surat Al Kafirun

▪ Senilai dengan seperempat Al Qur’an

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda:

وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ تَعْدِلُ رُبُعَ الْقُرْآنِ

Dan QUL YAA AYYUHAL KAAFIRUUN setara dengan seperempat Al Quran. (HR. At Tirmidzi no. 2894, shahih)

▪Sunnah dibaca saat shalat Sunnah Qabliyah subuh dan ba’diyah maghrib.

Dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca “Qul yaa ayyuhal Kaafiruun” dan “Qul huwallahu ahad” dalam dua raka’at shalat (sunnah) fajar.” (Hr. Abu Daud no. 1256, shahih)

Dari Abdullah bin Mas’ud berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu membaca di dua rakaat setelah maghrib QUL YAA AYYUHAL KAAFIRUUN (Katakanlah: “Hai orang-orang kafir) dan QUL HUWA ALLAHU AHAD (Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa). ” (HR. Ibnu Majah no. 1166, Shahih)

📌 Sababun Nuzul (sebab turunnya) ayat:

ذكر ابن اسحاق وغيره عن ابن عباس : أن سبب نزولها أن الوليد بن المغيرة والعاص بن وائل والأسود بن عبدالمطلب وأمية بن خلف لقوا رسول الله صلى الله عليه و سلم فقالوا :
يا محمد هلم فلنعبد ما تعبد وتعبد ما نعبد ونشترك نحن وأنت في أمرنا كله فإن كان الذي جئت به خيرا مما بأيدينا كنا قد شاركناك فيه واخذنا بحظنا منه وأن كان الذي بأيدينا خيرا مما بيدك كنت قد شركتنا في أمرنا وأخذت بحظك منه فأنزل الله عز و جل { قل يا أيها الكافرون }

Ibnu Ishaq dan lainnya menceritakan, dari Ibnu Abbas: bahwa sebab turunnya ayat ini adalah bahwa Al Walid bin Al Mughirah, Al ‘Ash bin Waail, Al Aswad bin Abdul Muthalib, dan Umayyah bin Khalaf, mereka menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan berkata: “Wahai Muhammad, kami ajak kamu, kami akan menyembah apa yang kamu sembah dan kamu menyembah apa yang kami sembah, kita berserikat, kami dan kamu dalam perkara kita semuanya. Jika apa-apa yang kamu bawa adalah mengandung kebaikan bagi kami maka kami akan ikut kamu, dan kami akan mengambilnya, dan jika ada pada kami itu baik bagimu maka kamu ikut kami dan mengambil hal itu. Maka turunlah ayat: Katakanlah: Wahai orang-orang kafir.

(Tafsir Al Qurthubi, 20/206)

Nama-nama tokoh di atas adalah tokoh-tokoh Quraisy Mekkah, maka ini menunjukkan yang lebih kuat adalah ini Makkiyah.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata:

وقيل: إنهم من جهلهم دَعَوا رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى عبادة أوثانهم سنة، ويعبدون معبوده سنة، فأنزل الله هذه السورة، وأمر رسوله صلى الله عليه وسلم فيها أن يتبرأ من دينهم بالكلية

Dikatakan: sesungguhnya mereka (kafir Quraisy) disebabkan kebodohan mereka, mengajak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengajak menyembah berhala-berhala mereka selama setahun, dan mereka akan menyembah Allah setahun, maka turunlah ayat surat ini. Dan di dalam ayat ini Allah Ta’ala memerintahkan Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk memutuskan hub dengan agama mereka secara total. (Tafsir Ibnu Katsir, 8/507)

Tafsir Ayat 1:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ

Katakanlah (Muhammad): “Wahai orang-orang kafir.”

Syaikh Ali Ash Shabuni Hafizhahullah berkata:

أي قل يا محمد لهؤلاء الكفار الذين يدعونك إِلى عبادة الأوثان والأحجار

Yaitu katakanlah wahai Muhammad kepada orang-orang kafir yang mengajakmu menyembah berhala dan batu. (Shafwatut Tafaasir, 3/236)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan:

شمل كل كافر على وجه الأرض، ولكن المواجهين بهذا الخطاب هم كفارُ قريش

Ayat ini mencakup semua orang kafir di muka bumi, tetapi arah pembicaraan ayat ini saat itu adalah untuk orang-orang kafir Quraisy. (Tafsir Ibnu Katsir, 8/507)

Tafsir Ayat 2:

لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ

Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah

Syaikh Abdurrahman Nashir As Sa’diy Rahimahullah berkata:

أي: تبرأ مما كانوا يعبدون من دون الله، ظاهرًا وباطنًا

Yaitu berlepas diri dari apa yang mereka sembah selain Allah baik secara zahir dan batin. (Tafsir As Sa’diy, Hal. 936)

Syahidul Islam, Sayyid Quthb Rahimahullah berkata:

فعبادتي غير عبادتكم ، ومعبودي غير معبودكم

Maka, peribadatanku bukanlah peribadatan kalian, yang aku sembah bukanlah yang kalian sembah. (Fi Zhilalil Qur’an, 8/117)

Tafsir Ayat 3:

وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ

Kalian pun tidak menyembah apa yang aku sembah

Syaikh Ali Ash Shabuni Hafizhahullah berkata:

أي ولا أنتم يا معشر المشركين عابدون إِلهي الحق الذي أعبده وهو الله وحده ، فأنا أعبد الإِله الحقَّ هو الله ربُّ العالمين ، وأنتم تعبدون الأحجار والأوثان ، وشتان بين عبادة الرحمن ، وعبادة الهوى والأوثان

Yaitu kalian- wahai orang-orang musyrik- bukanlah penyembah Tuhanku yang Haq yang aku sembah, Dialah Allah yang Maha Esa. Maka, aku menyembah Tuhan yang haq, Dialah Allah Rabb semesta alam. Sedangkan kalian menyembah patung dan bebatuan, maka amat berbeda antar para hamba Allah (‘ibadurrahman) dengan para penyembah hawa nafsu dan berhala. (Shafwatut Tafaasir, 3/236)

Tafsir ayat 4:

وَلا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُم

Dan Aku pun bukan seorang penyembah apa yang kalian sembah

Ayat ini merupakan penegas ayat sebelumnya. Syaikh Ali Ash Shabuni berkata:

كأنه قال : لا أعبد هذه الأوثان في الحال ولا في الاستقبال ، فأنا لا أعبد ما تعبدونه أبداً ما عشتُ ، لا أعبد أصنامكم الآن ، ولا فيما يستقبل من الزمان

Seolah dia berkata: aku tidak akan menyembah berhala-berhala ini baik sekarang dan akan datang. Maka, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah selamanya selama aku hidup. Sekarang aku tidak menyembah apa yang kalian sembah, tidak pula di masa yang akan datang. (Ibid)

Tafsir ayat 5:

ْ وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ

Kalian pun bukan penyembah apa yang aku sembah

Syaikh Ali Ash Shabuni menjelaskan:

أي ولستم أنتم في المستقبل بعابدين إِلهي الحق الذي أعبد

Yaitu kalian dimasa akan datang bukanlah penyembah Tuhanku yg maha Benar yang aku sembah. (Ibid)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan:

أي: لا تقتدون بأوامر الله وشرعه في عبادته، بل قد اخترعتم شيئًا من تلقاء أنفسكم

Yaitu kalian tidaklah mengikuti perintah-perintah Allah dan aturannya dalam menyembah kepadaNya, tetapi justru kalian menciptakan sendiri sesuatu dalam diri kalian. (Tafsir Ibnu Katsir, 8/507)

Tafsir ayat 6:

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِين

Bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku

Ini merupakan penegas yang begitu jelas. Bahwa agama kita tidak sama dengan mereka. Maka, tidak benar pernyataan kaum liberal dan para pengikutnya, “Semua agama adalah sama.”

Imam Al Bukhari berkata:

Bagi kalian agama kalian, yaitu kekafiran.

Dan bagiku agamaku, yaitu Islam. (Shahih Bukhari no. 4966)

Sehingga, di dunia ini, pada prinsipnya manusia terbagi menjadi

dua saja, yaitu Islam dan Kafir, kafir itu adalah semua selain Islam.

Imam Al Kasani Rahimahullah menjelaskan klasemen kekafiran sebagai berikut:

صِنْفٌ مِنْهُمْ يُنْكِرُونَ الصَّانِعَ أَصْلاً ، وَهُمُ الدَّهْرِيَّةُ الْمُعَطِّلَةُ .
وَصِنْفٌ مِنْهُمْ يُقِرُّونَ بِالصَّانِعِ ، وَيُنْكِرُونَتَوْحِيدَهُ ، وَهُمُ الْوَثَنِيَّةُ وَالْمَجُوسُ .
وَصِنْفٌ مِنْهُمْ يُقِرُّونَ بِالصَّانِعِ وَتَوْحِيدِهِ ، وَيُنْكِرُونَ الرِّسَالَةَ رَأْسًا ، وَهُمْ قَوْمٌ مِنَ الْفَلاَسِفَةِ .
وَصِنْفٌ مِنْهُمْ يُقِرُّونَ الصَّانِعَ وَتَوْحِيدَهُ وَالرِّسَالَةَ فِي الْجُمْلَةِ ، لَكِنَّهُمْ يُنْكِرُونَ رِسَالَةَ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى

📌Kelompok yang mengingkari adanya pencipta, mereka adalah kaum dahriyah dan mu’aththilah (atheis).

📌Kelompok yang mengakui adanya pencipta, tapi mengingkari keesaanNya, mereka adalah para paganis (penyembah berhala) dan majusi.

📌Kelompok yang mengakui pencipta dan mengesakanNya, tapi mengingkari risalah kenabian yang pokok, mereka adalah kaum filsuf.

📌Kelompok yang mengakui adanya pencipta, mengeesakanNya, dan mengakui risalahNya secara global, tapi mengingkari risalah Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka adalah Yahudi dan Nasrani. (Lihat: Imam Al Kasani, Al Bada’i Ash Shana’i, 7/102-103, lihat juga Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 8/263)

Demikian. Wallahu a’lam

🍃🎋🍀🌹🌷🌸☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Bersikap Sombong Kepada Orang yang Sombong Adalah Sedekah?

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum
Ustadz bukan bermaksud mengadu antar Ustadz

Kalimat “Sombong ke orang sombong adalah sedekah” yang dikeluarkan UAS itu asalnya darimana ya kalau boleh tahu? (+62 881-1089xxx)

📬 JAWABAN

💢💢💢💢💢💢

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Itu bukanlah hadits nabi, tapi ucapan manusia saja, namun ucapan tersebut juga benar secara makna.

Syaikh Muhammad bin Darwisy bin Muhammad berkata:

هو من كلام الناس قاله الرازى

Ini adalah termasuk perkataan manusia, seperti dikatakan oleh Ar Razi. (Asnal Mathalib, no. 519)

Tetapi, secara makna benar. Imam Ali Al Qariy Rahimahullah berkata:

قال الرازى هو كلام مشهور قلت لكن معناه مأثور

Ar Razi berkata ini adalah perkataan terkenal. Aku (Ali Al Qariy) berkata: Tetapi maknanya ma’tsur (sesuai Sunnah). (Al Asrar Al Marfu’ah, no. 142)

Jadi, secara makna benar, bahwa bersikap sombong kepada orang sombong adalah sedekah buat dia, yaitu agar dia tidak terus-menerus berbuat sombong. Sebagaimana kesombongan tukang sihir Fir’aun yang ditumbangkan oleh mu’jizat Nabi Musa ‘Alaihissalam, sehingga membuat mereka tersadar.

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizahullah mengatakan (mengutip dari kitab Bariqah Mahmudiyah):

التكبر على المتكبر صدقة، لأنه إذا تواضعت له تمادى في ضلاله وإذا تكبرت عليه تنبه، ومن هنا قال الشافعي تكبر على المتكبر مرتين، وقال الزهري التجبر على أبناء الدنيا أوثق عرى الإسلام، وعن أبي حنيفة رحمه الله تعالى أظلم الظالمين من تواضع لمن لا يلتفت إليه، وقيل قد يكون التكبر لتنبيه المتكبر لا لرفعة النفس فيكون محموداً كالتكبر على الجهلاء والأغنياء، قال يحيى بن معاذ: التكبر على من تكبر عليك بماله تواضع.

Bersikap sombong kepada orang yang sombong adalah sedekah, sebab jika kita bersikap tawadhu di hadapan orang sombong maka itu akan menyebabkan dia terus-menerus berada dalam kesesatan. Namun, jika kita bersikap sombong kepadanya maka dia akan sadar. Ini sesuai dengan nasihat Imam Syafi’i, ‘Bersikap sombonglah kepada orang sombong sebanyak dua kali.’ Imam Az-Zuhri mengatakan, ‘Bersikap sombong kepada pecinta dunia adalah bagian dari ikatan Islam yang kokoh.’ Imam Yahya bin Mu’adz mengatakan, ‘Bersikap sombong kepada orang yang sombong kepadamu, dengan hartanya, adalah termasuk bentuk ketawadhuan.’

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 73436)

Demikian. Wallahu a’lam

🌹☘🌸🍃🌷🍀🎋

✍ Farid Nu’man Hasan

Jangan Sakiti Umat Islam

💢💢💢💢💢💢

📌 Telah berlalu “True Lies” th 90an, teroris digambarkan bersorban, bertakbir, dan bersujud

📌 Telah berlalu “Fitna” th 2008, Islam digambarkan perusak dunia dengan segala macam terornya

📌 Telah berlalu “Innocence of Moslem” th 2012, menggambarkan profil Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Salam begitu kejinya

📌 Telah berlalu pula berkali-kali pelatihan penanggulangan terorisme yg dilakukan kepolisian Indonesia, selalu peneror menggunakan atribut Islam, peci, surban, dan takbir ..

📌 Yang terbaru pelatihan penanggulangan terorisme di Polda Bali, teroris juga digambarkan demikian, menggunakan jaket Nurul Mushthafa ..

📌 Lalu, seorang kapolres di Sumatera Barat, saat ditanya apa yang membuatnya yakin bahwa pembakar Mapolres adalah teroris? Dia menjawab karena pelakunya bertakbir .. dst

📌 Malang benar umat Islam … Takbir kita adalah ciri teroris, kalau begitu miliaran umat Islam hari ini adalah teroris, karena mereka sehari bertakbir puluhan kali dalam shalat-shalat mereka ..

📌 Baru-baru ini, ada film rada norak, yaitu Naura dan Genk Juara .. juga ikut membuat frame dan brand, bahwa ciri penjahat itu banyak istighfar dan menyebut Allah, dan takbir ..

📌 Mirisnya para penyandera di Papua, dengan serangan mereka kepada aparat keamanan pula, tidak pernah dikaitkan apa agamanya, dan tidak juga disebut teroris .. apa karena mereka tidak bertakbir sehingga kalian tidak menyebut mereka teroris?

📌 Dulu kita anggap hal-hal ini terjadi di Barat, tapi saat ini terjadi di negeri sendiri ..

📌 Permusuhan kaum kuffar, sekuler, liberal, dan hipokrit, sudah tidak lagi malu-malu ..

📌 Kenyataan ini menunjukkan bahwa keabadian pertarungan antara Haq dan Batil ..

📌 Kenyataan ini menunjukkan pula bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki rasa malu … , menuding umat Islam intoleran padahal perilaku mereka sangat-sangat intoleran ..

📌 Semoga Allah Ta’ala melindungi kaum muslimin dari fitnah orang-orang kafir dan kaki tangannya dengan segala macam jenisnya ..

📌 Semoga Allah Ta’ala menenggelamkan mereka sebagaimana kaum ‘Aad dan Tsamud dahulu dihancurkan .. aamiin

🌵🌷🌱🌴🌸🍃🌾🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top