Syarah Matan Abu Syuja’ (Al Ghaayah wa At Taqriib) (Bag. 2) – Air Hujan

💢💢💢💢💢💢💢

Imam Abu Syuja’ berkata:

المياه التى يجوز التطهير بها سبع مياه:

Air yang boleh dengannya bersuci ada tujuh air:

Maksudnya air yang SAH dipakai untuk bersuci.

١. ماء السماء

Air langit

Maksudnya air yang turun dari langit, yaitu air hujan.

Dalilnya, Allah Ta’ala berfirman:

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ

Dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan (hujan) itu. (QS. Al-Anfal: 11)

Imam Abu Ishaq Asy Syirazi Rahimahullah berkata:

يجوز رفع الحدث وإزالة النجس بالماء المطلق وهو ما نزل من السماء …

Dibolehkan menghilangkan hadats dan menghapuskan najis dengan air mutlak, yaitu air dari langit … (Al Muhadzdzab, 1/15)

Imam Al Bahutiy Rahimahullah berkata:

والماء الطهور ما نزل من السماء كالمطر …

Air suci yaitu apa yang turun dari langit seperti hujan … (Al Kasysyaaf Al Qinaa’, 1/25)

(Bersambung …)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🌱🌴🌾🌸🍃🌵🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Sah-kah Shalat di Lantai Dua Masjid?

💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustd..
Ada masjid bertingkat 2
Ketika Solat berjamaah Lantai bawah masi terlihat Renggang/ tidak terlalu penuh.
Kemudia banyak pula yg berjamaah diLantai 2.
Apakah mereka yg Solat dilantai 2 mendapatkan Pahala berjamaah?
Syukron ustd.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh …

Shalat di lantai dua, sementara imam di lantai pertama adalah sah, selama satu bangunan dan makmum mengetahui gerakan imam, baik melalui melihat imam atau mendengarkan suaranya. Ini sudah berlangsung lama di dunia Islam.

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah menjelaskan:

فلا حرج في الصلاة في المسجد المكون من طابقين ، سواء في الجمعة أو في غيرها ، إذ الطابق المتأخر بنياناً يعتبر توسعة طرأت على الطابق الأول ، والكل أصبح مسجداً واحداً ، لكن ينبغي أن تكون بينهما فتحة قرب الإمام يسمع الصوت منها إذا انقطع التيار الكهربائي.
كما ينبغي أيضاً ملاحظة تأخر المأمومين عن الإمام .

Ada apa-apa shalat di masjid yang memiliki dua lantai, baik shalat Jumat atau lainnya sama saja. Mengingat bangunan yg terakhir merupakan perluasan dari masjid lantai pertama, semuanya terhitung satu bangunan masjid. Tetapi hendaknya di antara dua tingkat itu disediakan fut-hah (lubang, celah, kamera) yang mendekat ke imam agar terdengar suara jika terputus aliran listrik. Sebagaimana juga agar ma’mun yg belakang bisa memperhatikan imam.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 10801)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah berkata:

الصلاة في الدور الثاني من المسجد جائزة إذا كان معه أحد في مكانه يعني لم ينفرد بالصف وحده، لكن الأفضل أن يكون مع الناس في مكانهم؛ لأنه إذا كان مع الناس في مكانهم كان أقرب للإمام، وما كان أقرب إلى الإمام فهو أفضل

Shalat di lantai ke dua masjid adalah boleh, jika dia bersama orang lain, yaitu jangan sendirian di shaf. Tetapi, afdolnya memang dia shalat bersama manusia di tempat mereka. Sebab jika dia shalat bersama orang-orang maka dia lebih dekat dengan imam, dan dekat ke imam itu lebih utama.

(Majmu’ Fatawa wa Rasaail, Jilid 12, Kitab Ahkaam Ash Shufuuf)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🌱🌴🌾🌸🍃🌵🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Tafsir Surat Al Kafirun (bag.2)

📓 Siapakah Orang-Orang Kafir Itu?

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ

Katakanlah: “Hai orang-orang kafir”. (QS. Al Kafirun: 1)

📓 A. Makna Kafir

الْكَافِرُونَ

Orang-orang kafir, bentuk jamak muzakar salim dari كافر

Secara bahasa kata كافر bermakna الستر و التغطية artinya menghalangi dan menutupi (Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis Al Lughah, 5/191)

Secara istilah, para ulama beragam dalam mendefinisikan makna kafir:

1⃣ Ar Raghib Al Asfahani (502H)

Beliau memaknai kafir seperti tertulis dalam kitabnya:

الكافر على الاطلاق متعارف فيمن يجحد الوحدانية ، أو النبوه ، أو الشريعة ، أو ثلاثتها

Kafir adalah istilah yang disematkan bagi orang yang ingkar wahdaniyah (Ke-Esaan Allah), nubuwah (kenabian Rasulullah), atau syariat atau ketiga-tiganya. (Al Mufradat fi Gharibil Qur’an, 715)

2⃣ Ibnu Hazm

Beliau menyebutkan makna kafir dalam konteks syariat yaitu:

جحد الربوبية وجحد نبوة نبي من الانبياء صحت نبوتة في القرآن،او جحد شيء مما اتى به رسول الله صلى الله علية وسلم ، مما صح عند جاحده بنقل الكافة ، او عمل شيء قام البرهان بأن العمل به كفر

Kafir adalah mengingkari Rububiyah (Allah Maha Mengatur), kenabian dari salah salah satu nabi yang disebutkan berita tentang kenabiannya di dalam Al Qur’an, atau mengingkari sesuatu dari yang diajarkan Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam, dilakukan dengan penuh kesadaran, atau melakukan sesuatu dengan bukti perbuatan bahwa perbuatan tersebut adalah sebuah kekafiran”. (Ibnu Hazm (456), Al Fash Fil Milal wal Ahwa Wa Nihal, 3/253)

3⃣ Al Karafi (684 H)

Menurut beliau, kekafiran adalah:

أصل الكفر إنما هو : إنتهاك خاص لحرمة الربوبية ، إما بالجهل بوجود الصانع أو صفاته العلا ، ويكون الكفر بالفعل كرمي المصحف في القاذورات، أو السجود للصنم ، او التردد للكنائس في أعيادهم بزي النصارى ، ومباشرة أحوالهم ، أو جحد ماعلم من الدين بالضروره

Asal kekafiran adalah khusus untuk merendahkan kemuliaan sifat Rububiyah Allah, bodoh untuk mengakui adanya sang Pencipta atau sombong, kekafiran juga bisa dengan perbuatan, seperti melempar mushaf ke tempat kotor, sujud kepada berhala, atau sering datang ke gereja pada perayaan Nasrani, mengikuti ajakannya, atau mengingkari apa yang umumnya diketahui dalam agama. (Al Furuq, 1277)

4⃣ Al Kufi (1094H)

Beliau menyebutkan makna kafir secara bahasa adalah, menutupi. Sedangkan secara syariah:

عدم الايمان عما من شأنه

Tidak percaya pada kandungan iman” (Al Kulliyat, hal. 763)

5⃣ Ibnul Qayyim Al Jauziyah (751H)

Beliau menyebutkan makna kafir:

الكفر جحد ماعلم ان الرسول صلى الله علية وسلم جاء به ، سواء كان المسائل التي يسمونها علمية أو عملية ، فمن جحد ما جاء به الرسول صلى الله علية وسلم بعد معرفته بأنه جاء به كافر في دق الدين وجله

Kafir yaitu ingkar terhadap yang diketahui tentang risalah yang dibawa oleh Rasulullah pada masalah ilmiyah maupun amaliyah, barang siapa yang ingkar terhadap hal tersebut setelah pengetahuan tentangnya, ia telah kafir baik kecil maupun keseluruhannya. (Mukhtashar As Shawa’iq Al Mursalah, 1/15)

6⃣ ‘Alauddin Ahmad Al Kasani Al Hanafi (587H)

Dalam Kitabnya Bada’I Ash Shana’I beliau menyebutkan 4 pembagian kafir:

أَنَّ الْكَفَرَةَ أَصْنَافٌ أَرْبَعَةٌ: صِنْفٌ مِنْهُمْ يُنْكِرُونَ الصَّانِعَ أَصْلًا، وَهُمْ الدَّهْرِيَّةُ الْمُعَطِّلَةُ، وَصِنْفٌ مِنْهُمْ يُقِرُّونَ بِالصَّانِعِ وَيُنْكِرُونَ تَوْحِيدَهُ، وَهُمْ الْوَثَنِيَّةُ وَالْمَجُوسُ، وَصِنْفٌ مِنْهُمْ يُقِرُّونَ بِالصَّانِعِ وَتَوْحِيدِهِ وَيُنْكِرُونَ الرِّسَالَةَ رَأْسًا، وَهُمْ قَوْمٌ مِنْ الْفَلَاسِفَةِ، وَصِنْفٌ مِنْهُمْ يُقِرُّونَ بِالصَّانِعِ وَتَوْحِيدِهِ وَالرِّسَالَةِ فِي الْجُمْلَةِ، لَكِنَّهُمْ يُنْكِرُونَ رِسَالَةَ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ – عَلَيْهِ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ – وَهُمْ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى

Kafir ada empat kelompok:

1. Kelompok yang ingkar terhadap Allah sang Pencipta, mereka adalah kelompok Dahriyah (Reinkarnasi) dan Mu’athilah (Atheis).

2. Kelompok yang percaya Pencipta tetapi ingkar kepada tauhidnya mereka adalah kaum Watsaniya (penyembah berhala dan dewa-dewa) dan kaum Majusi (penyembah api dan percaya perbintangan).

3. Kelompok yang percaya Pencipta dan tauhid namun ingkar terhadap risalah secara umum, mereka adalah kelompok Filosof.

4. Kelompok yang mengakui Pencipt, tauhid dan risalahnya secara mayoritas, namun mereka mengingkari risalah Nabi Muhammad alaihi afhalushalawat wasalam, mereka adalah kaum Yahudi dan Nashrani. (Al Kasani (587H) Bada’i Ash Shana’i Fi Tartib asy-Syara’i, (Darul Kutub, 1406H, juz 7/102-103)

📓 B. Klasifikasi Kafir Terkait Perlakuan Terhadapnya

Berdasarkan klasifikasi ulama diatas tentang makna kafir, secara global, yang dimaksud dengan orang kafir adalah mereka yang belum masuk Islam, atau mereka yang terang-terangan murtad dari Islam. Terkait dengan perlakuan orang kafir yang belum masuk islam ini ada beberapa kategori kafir.

1⃣ Kafir Zimmi

Mereka adalah orang kafir yang tinggal di negara Muslim namun untuk perlingungan mereka harus membayar jizyah.

” أهل الذمة : هم الذين بقوا في بلادنا وأعطيناهم العهد والميثاق على حمايتهم ونصرتهم بشرط أن يبذلوا الجزية ، وقد كان هذا موجوداً حين كان الإسلام عزيزاً ؛ أما اليوم فإنه غير موجود

Ahlu Zimmah adalah mereka orang kafir yang tinggal di negara kita, dan kita memberi perjanjian untuk melindungi dengan syarat mereka membayar Jizyah, dahulu saat Islam jaya kelompo ini ada, namun sekarang tidak ada. (Syekh Utsaimin, Syarah Mumti’ Ala Zad Al Musthafi, 2/451)

2⃣ Mu’ahid

Mereka adalah kaum kafir pada suatu negara yang terlibat terikat perjanjian dengan kaum muslimin dinegara lain, baik dengan ganti rugi (biaya) atau tidak, dan tidak boleh melakukan perjanjian dengan mereka kecuali imam atau wakilnya. (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 10/512).

3⃣ Musta’man

Mereka adalah orang kafir yang meminta suaka politik ke negara lain, seperti pendapat Ibnul Qayyim Al Jauziyah:

وأما المستأمن فهو الذي يقدم بلاد المسلمين من غير استيطان لها

Sedangkan musta’man adalah orang kafir yang datang ke negara muslim tanpa tinggal menetap disana. ( Ibnul Qayyim Al Jauziyah, Ahkam Ahlu Zimmah, 2/874)

Pada zaman sekarang yang tergolong musta’man seperti: turis, bisnisman, duta besar, karyawan professional asing dan sebagainya.

4⃣ Kafir Harbi

Mereka adalah orang kafir yang memerangi kaum muslimin, dan mereka wajib diperangi oleh kaum muslimin sesuai dengan kaidah-kaidah syariat Islam.

📓 C. Siapakah orang-orang kafir yang dimaksud?

Firman Allah:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ

Katakanlah: “Hai orang-orang kafir”. (QS. Al Kafirun: 1)

Dalam ayat pertama ini, Allah menyebutkan panggilan kepada orang-orang kafir, menurut Imam Ibnu Katsir, orang kafir disini mencakup orang kafir secara umum yang ada dimuka bumi ini, namun panggilan pada ayat ini bersifat khusus, yaitu mereka yang mengajak Rasulullah barter penyembahan kepada tuhan-tuhan mereka dan mereka akan menyembah Allah secara bergantian.(Ibnu Katsir (774H), Tafsir Ibnu Katsir, 8/507).

📓 D. Orang Kafir Marah jika dipanggil “ Kafir”.

Panggilan kafir ditujukan Allah untuk orang yang bukan Islam, dipanggil dengan sebutan “Kafir” dengan tujuan untuk menghinakan kekafiran mereka. Seorang muslim tidak perlu takut mengatakan mereka kafir, karena Allah pun memanggil mereka dengan sebutan kafir.

قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ الْأَنْبَارِيِّ: إِنَّ الْمَعْنَى: قُلْ لِلَّذِينِ كَفَرُوا يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ أَنْ يَعْتَمِدَهُمْ فِي نَادِيهِمْ فَيَقُولُ لَهُمْ: يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَهُمْ يَغْضَبُونَ مِنْ أَنْ يُنْسَبُوا إِلَى الْكُفْرِ

Berkata Abu Bakar Al Anbari, ayat Qul Ya Ayyuhal Kafirun, maknanya adalah,” Katakanlah kepada orang-orang kafir, hendaklah sengaja mereka memanggil mereka dengan seruan tersebut,” Ya Ayuhal Kafirun (wahai orang-orang kafir), dan orang-orang kafir marah bila di sematkan kepada kekafiran”. (Ibnu Asyur (1393H), At Tahrir wa tanwir, 30/581).

Imam Al Qurthubi (671H) menyebutkan:

وَقَرَأَ مَنْ طَعَنَ فِي الْقُرْآنِ: قُلْ لِلَّذِينِ كَفَرُوا لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ وَزَعَمَ أَنَّ ذَلِكَ هُوَ الصَّوَابُ، وَذَلِكَ افْتِرَاءٌ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَتَضْعِيفٌ لِمَعْنَى هَذِهِ السُّورَةِ، وَإِبْطَالُ مَا قَصَدَهُ اللَّهُ مِنْ أَنْ يَذِلَّ نَبِيُّهُ لِلْمُشْرِكِينَ بِخِطَابِهِ إِيَّاهُمْ بِهَذَا الْخِطَابِ الزَّرِيِّ

Dan ada yang membaca ayat ini untuk orang yang menistakan Al Qur’an dengan panggilan,” Qul Lilazina Kafaru La A’budu Ma Ta’budun” (Katakanlah wahai orang-orang kafir terdahulu, aku tak akan menyembah apa yang kalian sembah), mereka menyangka bahwa itulah panggilan yang benar, padahal itulah kedustaan kepada Allah, dan melemahkan makna surat ini, merusak tujuan Allah yang memerintahkan nabinya untuk memanggil orang kafir dengan panggilan nista tersebut”. (Tafsir Al Qurthubi, 20/226)

📓 E. Allah menyebut mereka dengan panggilan Kafir

Firman Allah:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. (QS. Al Maidah:73)

والله أعلم
Bersambung….

🍂🌱🌿☘🍀🎍🎋🍃
🖊 Fauzan Sugiono Lc, M.A.

Hukum Sholat Ghoib

💥💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalaamu ‘alaikum WrWb. Ustadz Farid yang di rakhmati Alloh. Tentang syariat shalat gaib. Di masyarakat, saya temukan shalat gaib dilakukan bila ada pemberitahuan kematian. Saya pernah membaca bahwa shalat gaib hanya dilakukan bagi muslim yang tidak di shalatkan (shalat jenazah). Ustadz, bagaimana sebenarnya hukum dan tatacara shalat gaib? Bolehkah setiap muslim yang meninggal dilakukan shalat gaib? (@Islamku)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal Hamdulillah wash shalatu was Salamu ‘Ala rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:

Shalat ghaib adalah masyru’ (disyariatkan). Tetapi kepada siapa dilaksanakannya? Apakah kepada setiap mayit muslim? ataukah bagi yang bertinggal di daerah yang memang tidak ada yang menshalatkannya. Lalu, jika sudah ada yang menshalatkannya maka kewajiban menshalatkannya adalah gugur, baik shalat jenazah atau shalat ghaib. Ataukah khusus bagi tokoh-tokoh tapi tidak bagi manusia biasa? Bagaimanakah ini?

Imam Bukhari meriwayatkan sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ وَخَرَجَ بِهِمْ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkabung atas Najasyi ketika hari wafatnya, dan Beliau keluar menuju lapangan bersama mereka (para sahabat) lalu membuat barisan dan bertakbir empat kali. (HR. Bukhari No. 1333)

Kisah ini menunjukkan bahwa shalat ghaib telah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kepada seorang muslim (Najasyi), dan dia seorang raja yang menyembunyikan keislamannya, yang tinggal di negeri kafir. Artinya tidak ada yang menshalatkannya di negerinya sendiri. Itulah sebabnya Beliau dishalatkan secara ghaib oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan ini adalah shalat ghaib yang pertama dilakukan oleh nabi sekaligus yang terakhir.

Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat:

📌 bahwa shalat ghaib adalah khusus Najasyi,

📌atau ada juga yang mengatakan boleh juga bagi yang memiliki kasus seperti Najasyi; tinggal di negeri kafir dan tidak ada yang menshalatkannya.

📌 Ada juga yang mengatakan bahwa itu khusus bagi raja, ulama, dan tokoh sebagaimana Najasyi, bukan untuk rakyat kebanyakan.

Berkata Al Ustadz Dr. Su’ud Abdullah Al Funaisan:

فالحنفية والمالكية لا يجوزون الصلاة على الميت الغائب وهي رواية في مذهب أحمد. ووجه ذلك عندهم أنه لم ينقل عن الرسول صلى الله عليه وسلم أنه صلى صلاة الغائب على غير النجاشي ، ويرون أن صلاة الغائب خاصة به، وقالوا أيضا أنه مات كثير من الصحابة خارج المدينة ولم ينقل أن الرسول – صلى الله عليه وسلم – صلى عليهم أو أمر بذلك.
وذهبت الشافعية والحنابلة إلى مشروعية الصلاة على الميت الغائب وتمسكوا بصلاة الرسول – صلى الله عليه وسلم – وصحابته على النجاشي عند موته ولا يرون خصوصيتها به لعدم النص على ذلك، وقالوا : الأصل في الأحكام العموم وعدم الخصوصية.
والذي يظهر لي – والله أعلم – بعد النظر والتأمل في النصوص: أن صلاة الغائب جائزة إذا كان المتوفى له شأن بين المسلمين في الصلاح والعلم أو الدعوة إلى الله، أو كان زعيما وأميراً – كما هي الحال في النجاشي – رحمه الله – .
أما إذا كان الميت من آحاد الناس وعامتهم فلا تشرع صلاة الغائب عليه حينئذ .

Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpandangan tidak bolehnya shalat kepada mayit yang ghaib, dan ini juga satu riwayat dari pendapat Ahmad. Alasan mereka adalah karena tidak pernah diriwayatkan dari Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat ghaib kepada selain Najasyi, mereka berpendapat bahwa shalat ghaib adalah khusus bagi Najasyi. Mereka juga mengatakan, bahwa para sahabat banyak yang wafat di luar Madinah, tetapi tidak ada riwayat yang menyebut bahwa Beliau melakukan shalat ghaib atau memerintahkan hal itu.

Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat disyariatkannya shalat ghaib, berdasarkan riwayat shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama sahabatnya untuk Najasyi ketika hari wafatnya. Mereka tidak menilai bahwa ini khusus bagi dia saja, sebab tidak ada dalil yang menunjukkan kekhususan itu. Mereka mengatakan: asal dari hukum adalah keumumannya, tidak secara khusus.

Ada pun yang benar menurutku adalah –wallahu a’lam- setelah memperhatikan dan melihat nash-nash yang ada; shalat ghaib adalah boleh jika yang wafat itu tinggal bersama kaum muslimin dalam keadaan baik, berilmu, dan penyeru dakwah ilallah, atau dia seorang pemimpin dan penguasa, sebagaimana begitulah keadaan Najasyi Rahimahullah.

Sedangkan jika yang wafat adalah salah satu dari manusia dan rakyat kebanyakan, maka saat itu tidak disyariatkan shalat ghaib. (Al Khulashah, 2/223)

Berbeda dengan di atas, ulama lain mengatakan shalat ghaib juga berlaku bagi umat Islam secara umum.

Disebutkan dalam Al Khulashah fi Ahkamisy Syahid juga:

فإن الصلاة على الغائب (أي: المسلم الذي مات في بلد آخر) جائزة، فقد روى الشيخان صلاة النبي صلى الله عليه وسلم والصحابة معه على النجاشي لما مات في الحبشة.
وتصلى صلاة الغائب على كل مَن تُصلى عليه صلاة الجنازة، وهو: كل مسلم مات: ذكراً كان أم أنثى، صغيراً كان أم كبيراً، باتفاق الفقهاء.

Sesungguhnya Shalat Ghaib (yaitu shalat kepada muslim yang wafat di negeri lain) adalah boleh. Telah diriwayatkan oleh Syaikhan (Bukhari dan Muslim) tentang shalatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat bersamanya terhadap mayat Najasyi yang wafat di Habasyah.

Dilakukannya shalat ghaib adalah untuk setiap orang yang dishalatkan jenazahnya, dia adalah setiap muslim yang wafat, baik laki-laki atau wanita, anak-anak atau orang tua, menurut kesepakatan para fuqaha. (Al Khulashah fi Ahkamisy Syahid, 2/141)

Demikianlah perbedaan pendapat para fuqaha dalam hal ini. Pandangan yang mengatakan bahwa shalat ghaib boleh dilakukan untuk setiap muslim adalah pendapat yang lebih kuat. Insya Allah. Inilah pendapat Syafi’iyah, Hanabilah, dan lainnya.

Ada beberapa alasan:

– Tidak ada dalil yang menunjukkan khusus buat Najasyi dan khusus buat tokoh saja. Nash yang ‘am (global – umum) mesti dipakai selama yang khas (khusus-spesifik) tidak ada.

– Walaupun Nabi Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam hanya sekali melakukan shalat ghaib, dan tidak pernah melakukannya kepada mayat lainnya, itu sama sekali tidak menghilangkan nilai pensyariatannya. Pengulangan bukanlah syarat untuk pensyariatan sebuah amalan. Syariat shalat ghaib tetaplah berlaku selama belum ada yang menasakh(menghapus)-nya, walaupun dalam sejarahnya nabi hanya melakukan sekali seumur hidupnya.

– Pensyariatan shalat ghaib untuk semua mayit muslim di tempat lain, adalah lebih sesuai dengan rahmat dan keadilan Islam yang tidak pilih kasih bagi umatnya.

Ada pun bagi mayit muslim yang berada di negeri kafir, dan di sana tidak ada yang menshalatkannya, maka wajib -bukan hanya boleh- bagi muslim di negeri lain yang mengetahuinya untuk menshalatkan secara ghaib, sebab shalat ghaib saat itu seperti shalat jenazah, yakni fardhu kifayah. Ada pun jika mayit tersebut tinggal di negeri muslim, dan sudah ada yang menshalatkannya maka gugurlah kewajiban yang lainnya, termasuk shalat ghaib. Gugur kewajiban bukan berarti tidak boleh dilaksanakan. Demikian.

Wallahu A’lam

☘🌺🌴🌷🌸🌾🍃🌻

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top