Shalat Jumat Bagi wanita Menggugurkan Shalat Zhuhurnya

💥💦💥💦💥💦

📌 Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan buat orang yang tidak wajib shalat jumat (seperti anak-anak, wanita, musafir, orang sakit):

وكل هؤلاء لا جمعة عليهم وإنما يجب عليهم أن يصلوا الظهر، ومن صلى منهم الجمعة صحت منه وسقطت عنه فريضة الظهر وكانت النساء تحضر المسجد على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وتصلى معه الجمعة

“Semuanya   tidak diawajibkan shalat jumat, yang diwajibkan buat mereka adalah shalat zhuhur. Dan, barang siapa diantara mereka ikut shalat jumat, maka shalatnya sah dan gugurlah kewajiban shalat zhuhur. Dahulu para wanita hadir di masjid pada zaman Rasulullsh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan shalat jumat bersamanya. (Fiqhus Sunnah, 1/303. Darul Kitab Al ‘Arabi)

📌 Fatwa Al Lajnah Ad Daimah:

لا تجب الجمعة على المرأة ، لكن إذا صلت المرأة مع الإمام صلاة الجمعة فصلاتها صحيحة وتكفيها عن صلاة الظهر ، وإذا صلت في بيتها فإنها تصلي ظهراً أربعاً ، ويكون بعد دخول الوقت، أي بعد زوال الشمس

“Wanita tidak wajib shalat jumat, tetapi jika dia shalat bersama imam pada shalat jumat maka shalatnya sah dan itu telah mencukupinya dari shalat zhuhur. Jika dia mau shalat di rumahnya, maka dia shalat zhuhur empat rakaat yaitu setelah masuknya waktu, setelah tergelincirnya matahari.” (Fatawa Islamiyah, No. 412)

🌴🌻🍃☘🌺🌷🌾🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

Hadits Tuntutlah Ilmu Walau Ke Negeri Cina

💦💥💦💥💦💥

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

اطلبوا العلم ولو بالصين ، فإن طلب العلم فريضة على كل مسلم

“Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina, sesungguhnya menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim.”

📖Diriwayatkan oleh:

📌 Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, No. 1612. Dengan sanad: telah mengabarkan kepadaku Abu Abdullah Al Hafizh, telah mengabarkan kepadaku Abul Hasan Ali bin Muhammad bin ‘Uqbah Asy Syaibani, mengabarkan kepadaku Muhammad bin Ali bin ‘Affan, mengabarkan kepadaku Abu Muhammad Al Ashbahani, mengabarkan kepadaku Abu Sa’id bin Ziyad, berkata kepadaku Ja’far bin ‘Amir Al ‘Askari, mereka berdua berkata: telah bercerita kepada kami Al Hasan bin ‘Athiyah dari Abu ‘Atikah, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: … (lalu disebut hadits di atas)

Lalu, Imam Al Baihaqi mengatakan:

هذا حديث متنه مشهور ، وإسناده ضعيف وقد روي من أوجه ، كلها ضعيف

“Matan hadits ini masyhur, isnadnya dhaif dan telah diriwayatkan berbagai jalur, semuanya dhaif. (Ibid)

📌 Imam Al Baihaqi dalam Al Madkhal Ila As Sunan Al Kubra, No. 243. Dengan sanad: telah mengabarkan kepadaku Abu Thahir Al Faqih, mengabarkan kepadaku Abu Hamid bin Bilal, berkata kepadaku Ibrahim bin Mas’ud Al Hamdzani, berkata kepaku Al Hasan bin ‘Athiyah Al Qursyi, berkata kepadaku Abu ‘Atikah Al Bashri, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: … (lalu disebut hadits di atas)

Lalu, Imam Al Baihaqi mengatakan:

هذا حديث متنه مشهور ، وأسانيده ضعيفة ، لا أعرف له إسنادا يثبت بمثله الحديث و الله أعلم

“Matan hadits ini masyhur dan sanad-sanadnya dhaif, saya tidak mengetahui adanya sanad yang kuat sebagaimana hadits ini. Wallahu A’lam.” (Ibid)

📌 Imam Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayan Al ‘Ilmi wa Fadhlihi, No. 12. Mawqi’ Jami’ Al Hadits. Katanya: Aku membaca dihadapan Abul Qasim Khalaf bin Al Qasim bin Sahl, bahwa Abu Bakar bin Al ‘Abbas bin Al Washif Al Abrazi berkata kepadanya di Gaza: bercerita kepadaku Muhammad bin Al Hasan bin Qutaibah, dia berkata: telah berkata kepadaku Al ‘Abbas bin Ismail, telah bercerita kepadaku Al Hasan bin ‘Athiyah, telah berkata kepadaku Tharif bin Sulaiman Abu ‘Atikah, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: … (lalu disebut hadits di atas)

📌 Dalam hadits No. 13, dengan sanad: Ya’isy bin Said bin Muhammad Abul Qasim Al Warraq, bercerita kepadaku Qasim bin Ashbagh, telah berkata kepadaku Muhamamd bin Ghalib At Tamtam, berkata kepadaku Al Hasan bin ‘Athiyah Al Bazaz di Kufah, telah berkata kepadaku Abu ‘Athikah, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: … (lalu disebut hadits di atas)

📌 Imam Abu Nu’aim dalam Tarikh Ashbahan, 1/262. Mawqi’ Al Warraq

📌 Imam Khathib Al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, 4/254. Mawqi’ Al Warraq

📌 Imam Alaudin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal, No. 28698, dengan lafaz: Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina, sesungguhnya menuntut ilmu wajib atas setiap muslim, sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi para penuntut ilmu karena ridha terhadap apa yang mereka tuntut.”
Dengan sanad dari Ahmad bin Abdullah bin Muhammad dari Maslamah bin Al Qasim, dari Ya’qub bin Ishaq Al ‘Asqalani, dari ‘Ubaidillah Al Faryabi, dari Abu Muhammad Az Zuhri, dari Anas bin Malik.

📕 Imam Al Munawi mengatakan, dalam Al Mizan disebutkan bahwa Ya’qub adalah seorang pendusta. Lalu, An Naisaburi, Ibnul Jauzi, dan Adz Dzahabi mengatakan tidak ada yang shahih sanad hadits ini. (Faidhul Qadir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, 1/693. No. 1111. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

📘 Imam Al ‘Ajluni mengatakan, bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi, Al Khathib, Ibnu Abdil Bar, dan Ad Dailami, dari Anas bin Malik, semuanya dhaif. Bahkan Ibnu Hibban menyatakan Batil. Dan Ibnul Jauzi memasukkannya dalam Al Maudhu’at (kumpulan hadits palsu). Abu Ya’la meriwayatkan dengan lafaz hanya: Tuntutlah ilmu walau ke negri Cina. Juga, Ibnu Abdil Bar meriwayatkan dengan sanad yang di dalamnya terdapat seorang pendusta, lafaznya: Tuntutlah ilmu walau ke negri Cina, sesungguhnya menuntut ilmu wajib atas setiap muslim, sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi para penuntut ilmu karena ridha terhadap apa yang mereka tuntut.” (Kasyful Khafa, 1/139. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

📙 Imam Ibnul Jauzi mengatakan, hadits ini tidak ada yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan Imam Ibnu Hibban mengatakan hadits ini batil dan tidak ada dasarnya. (Al Maudhu’at, 1/216. Tahqiq dan taqdim oleh; Abdurrahman Muhammad ‘Utsman)

📔 Syaikh Al Albani mengatakan: batil. (As Silsilah Adh Dhaifah No. 418)

📋 Semua sanad terdapat Al Hasan bin ‘Athiyah dan Abu ‘Atikah. Keduanya rawi yang kedhaifannya parah.

🔗 Al Hasan bin ‘Athiyah Al ‘Aufi Al Kufi, dia adalah seorang rawi yang dhaif. Imam Ibnu Abi Hatim mengatakan, aku dengar ayahku mengatakan: dhaiful hadits. (Al Jarh wa Ta’dil, 3/26) Imam Al Munawi juga mendhaifkannya. (Faidhul Qadir, 1/693) Begitu pula yang dikatakan Al Hafizh Ibnu Hajar . (Taqribut Tahzib, 1/206. Darul Maktabah Al ‘Ilmiyah)

🔗 Sedangkan Abu ‘Atikah, terjadi perbedaan penulisan namanya di berbagai kitab. Ada yang menyebut Salman, ada juga Sulaiman. Al Hafizh Al Mizzi mengatakan nama aslinya adalah Tharif bin Salman, ada juga yang mengatakan Salman bin Tharif. Seorang Kufi (Penduduk Kufah), ada juga yang menyebutnya Bashri (penduduk Bashrah). Imam Abu Hatim mengatakan: haditsnya hilang. Imam Bukhari mengatakan: munkarul hadits (haditsnya munkar). Imam An Nasa’i mengatakan: laisa bi tsiqah (bukan orang terpercaya). Imam Ad Daruquthni dan lainnya mengatakan: dhaif. (Al Hafizh Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 34/5. Muasasah Ar Risalah. Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, 2/335. No. 3984. Darul Ma’rifah)

📒 Imam Adz Dzahabi juga menyebutkan bahwa para ulama telah ijma’ (aklamasi) atas kedhaifannya. Bahkan As Sulaimani mengatakan, Abu ‘Atikah adalah orang yang dikenal sebagai pemalsu hadits. (Ibid, 4/542)

📓 Imam Ibnu Hibban mengatakan, namanya Tharif bin Sulaiman: munkarul hadits jiddan (haditsnya sangat munkar), dia meriwayatkan hadits dari Anas: tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina. (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 1/382. Tahqiq: Muhammad Ibrahim Zaid). Imam Ibnu Abdil Bar dalam Jami Bayan Al ‘Ilmi wa Fadhlihi, juga menyebut Tharif bin Sulaiman. Begitu pula dalam Lisanul Mizan, ditulis Tharif bin Sulaiman.

Imam Ibnu Abi Hatim mengatakan, aku bertanya kepada ayahku (Imam Abu Hatim) tentangnya, katanya: haditsnya hilang dan lemah. (Al Jarh wa Ta’dil, 4/494. No. 2169. Dar Ihya At Turats)

Imam Al ‘Uqaili dalam Adh Dhu’afa menyebutkan bahwa Abu ‘Atikah adalah matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan). (Al Hafizh Al ‘Uqaili, Adh Dhu’afa Al Kabir, 2/230. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

📝 Catatan:

Hadits ini, seandainya shahih tidaklah berarti kewajiban untuk menuntut ilmu ke negeri Cina, sebagaimana zahirnya. Cina hanyalah contoh saja. Secara esensi, maksudnya adalah Islam menganjurkan menuntut ilmu walau di negeri yang amat jauh. Imam Al Munawi memberikan komentar terhadap redaksi hadits ini, sebagai berikut:

أي ولو كان إنما يمكن تحصيله بالرحلة إلى مكان بعيد جدا كمدينة الصين فإن من لم يصبر على مشقة التعلم بقي عمره في عماية الجهالة ومن صبر عليها آل عمره إلى عز الدنيا والآخرة

“Yaitu walau untuk mendapatkan ilmu paling mungkin hanya dengan mengadakan perjalanan ke tempat yang sangat jauh seperti negeri Cina. Maka, sesungguhnya siapa saja yang tidak bersabar atas kesulitan menuntut ilmu, maka sisa umurnya berada dalam kebutaan dan kebodohan, dan siapa saja yang mampu bersabar atas hal itu, maka akan membawa usianya pada kemuliaan dunia dan akhirat.” (Faidhul Qadir, 1/692)

Tetapi, nyatanya hadits ini dhaif, batil, dan –kata Ibnu Hibban- tidak ada dasarnya. Walau pun demikian, Islam adalah agama yang sangat memuliakan ilmu, menuntut ilmu, dan ahli ilmu. Banyak sekali ayat dan hadits-hadits shahih yang menegaskan hal itu. Insya Allah akan kami bahas pada kesempatan lain.

Wallahu A’lam

🍃🌴🌻☘🌾🌷🌺🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

Waktu Mustajab Shalat Dhuha

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum, Ustadz, kalau shalat jam 7 pagi bisa gak?katanya shalat dhuha pun sama kaya tahajud ada waktu mustajabnya dan satu lagi misalnya kita shalat dhuha d rumah dua rakaat terus lanjut dkantor lagi apa boleh ??
Syukron

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Shalat dhuha sudah boleh dilakukan sejak SETELAH terbitnya matahari (syuruq). Sebagaimana hadits berikut:

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda:

من صلى الصبح في جماعة ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم صلى ركعتين كانتله كأجر حجة وعمرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : تامة تامة تامة

“Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah lalu dia duduk untuk berdzikir kepada Allah hingga terbit matahari kemudian shalat dua rakaat maka dia seperti mendapatkan pahala haji dan umrah.” Anas berkata: Rasulullah bersabda: “Sempurna, sempurna, sempurna.” [1]

Dari Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda:

من صلى صلاة الغداة في جماعة ثم جلس يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم قام فصلىركعتين انقلب بأجر حجة وعمرة

“Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah lalu kemudian dia duduk untuk berdzikir kepada Allah hingga terbitnya matahari, kemudian dia bangun mengerjakan shalat dua rakaat, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana haji dan umrah.” [2]

Dari Abdullah bin Ghabir, bahwa Umamah dan ‘Utaibah bin Abd Radhiallahu ‘Anhumamengatakan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من صلى صلاة الصبح في جماعة ثم ثبت حتى يسبح لله سبحة الضحى كان له كأجر حاجومعتمر تاما له حجه وعمرته

“Barangsiapa yang shalat subuh secara berjamaah kemudian dia berdiam (berdzikir) sampai datang waktu dhuha, maka dia akan mendapatkan ganjaran seperti haji dan umrah secara sempurna.” [3]

Sebagian ulama menyebutnya ini shalat ISYRAQ, ulama lain menamakannya dengan shalat DHUHA. Berikut ini keterangannya:

أَنَّ صَلاَةَ الضُّحَى وَصَلاَةَ الإْشْرَاقِ وَاحِدَةٌ إِذْ كُلُّهُمْ ذَكَرُوا وَقْتَهَا مِنْ بَعْدِ الطُّلُوعِ إِلَى الزَّوَال وَلَمْ يَفْصِلُوا بَيْنَهُمَا . وَقِيل : إِنَّ صَلاَةَ الإِْشْرَاقِ غَيْرُ صَلاَةِ الضُّحَى ، وَعَلَيْهِ فَوَقْتُ صَلاَةِ الإْشْرَاقِ بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ ، عِنْدَ زَوَال وَقْتِ الْكَرَاهَةِ

Bahwasanya shalat dhuha dan shalat isyraq adalah sama, semua mengatakan bahwa waktunya adalah setelah terbitnya matahari sampai tergelincirnya, kedua shalat ini tidak terpisahkan. Ada juga yang mengatakan: sesungguhnya shalat isyraq bukanlah shalat dhuha, waktu pelaksanaannya adalah setelah terbitnya matahari ketika tergelincirnya waktu dibencinya shalat. [4]

Shalat Dhuha juga dinamakan shalat Al Awwabiin, yaitu dilakukan ketika UNTA MULAI KEPANASAN, maksudnya panas matahari sudah mulai berasan, ini sebagaimana hadits berikut:

Dari Zaid bin Arqam Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ

“Shalat Al Awwabin (orang yang taubat) waktunya adalah ketika unta merasakan panas.” [5]

Maksud tarmadhul fishal (ketika Unta merasakan panas) adalah ketika dhuha. Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

قَالَ أَصْحَابنَا : هُوَ أَفْضَل وَقْت صَلَاة الضُّحَى ، وَإِنْ كَانَتْ تَجُوز مِنْ طُلُوع الشَّمْس إِلَى الزَّوَال

“Sahabat-sahabat kami (syafi’iyah) telah berkata: ‘Itu adalah waktu yang paling utama untuk shalat dhuha, dan boleh saja melakukannya dari terbitnya matahari hingga tergelincirnya matahari.” [6]

Wallahu A’lam

🌷🌸🍃🌴🌺🌾☘

✏ Farid Nu’man Hasan


🍃🍃🍃🍃

[1] HR. At Tirmidzi No. 586, katanya: hasan gharib. Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 710, Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ No. 6346, sementara dalam Shahih At Targhib wat TarhibNo. 464, beliau mengatakn hasan lighairih.

Syaikh Abul Hasan Al Mubarkafuri mengatakan:

وإنما حسن الترمذي حديثه لشواهده، منها: حديث أبي أمامة عند الطبراني، قال المنذري في الترغيب، والهيثمي في مجمع الزوائد (ج10: ص104) : إسناده جيد، ومنها: حديث أبي أمامة، وعتبة بن عبد عند الطبراني أيضاً. قال المنذري: وبعض رواته مختلف فيه. قال: وللحديث شواهد كثيرة-انتهى

Sesungguhnya penghasanan At Tirmidzi terhadap hadits ini karena banyaknya riwayat yang menjadi penguat (syawahid), di antaranya hadits Umamah yang diriwayatkan Ath Thabarani, yang oleh Al Mundziri dalam At Targhib dan Al Haitsami dalam M

ajma’ Az Zawaid (10/104) dikatakan: “Isnadnya jayyid, di antaranya hadits Umamah dan ‘Utbah bin Abd yang diriwayatkan Ath Thabarani juga. Al Mundziri mengatakan: “Sebagian perawinya diperselisihkan.” Dia katakan: “Hadits ini memiliki banyak syawaahid(saksi yang menguatkannya).” (Mir’ah Al Mafatih, 3/328)

[2] HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir No. 7741, juga dalam Musnad Asy Syamiyyin No. 885. Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 3542, Imam Al Haitsami mengatakan: “Sanadnya Jayyid.” Lihat Majma’ Az Zawaid, 10,/134, No. 16938. Syaikh Al Albany mengatakan: “Hasan Shahih.” Lihat Shahih At Targhib wat Tarhib, No hadits. 467.

[3] HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir No. 7663. Haditsnya ini memiliki banyak penguat, oleh karena itu Syaikh al Albany mengatakan hadits ini hasan li ghairih. Lihat Shahih At Targhib wat Tarhib, No hadits. 469.

[4] Tuhfatul Muhtaj, 2/131, Al Qalyubi wal ‘Amirah, 1/412, Awjaza Al Masalik Ila Muwaththa Malik, 3/124,Ihya ‘Ulumuddin, 1/203

[5] HR. Muslim No. 748, Ad Darimi No. 1457, Ibnu Hibban No. 2539

[6] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/88. Mawqi’ Ruh Al Islam

Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 16)

💥💦💥💦💥💦

SYARAH HADITS KETIGA, lanjutan

📌Kecaman Dari Para Sahabat

Dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Uqaili Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كان أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم لا يرون شيئا من الأعمال تركه كفر غير الصلاة

Para sahabat nabi tidaklah memandang suatu perbuatan yang dapat kufur jika ditinggalkan melainkan meninggalkan shalat.” (HR. At Tirmidzi No. 2757, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2622)

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mencatat dalam Al Muhalla-nya:

وَقَدْ جَاءَ عَنْ عُمَرَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَغَيْرِهِمْ مِنْ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّ مَنْ تَرَكَ صَلاةَ فَرْضٍ وَاحِدَةٍ مُتَعَمِّدًا حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا فَهُوَ كَافِرٌ مُرْتَدٌّ

“Telah datang dari Umar, Abdurrahman bin ‘Auf, Mu’adz bin Jabal, Abu Hurairah, dan selain mereka dari kalangan sahabat Radhiallahu ‘Anhum, bahwa barangsiapa yang meninggalkan shalat wajib sekali saja secara sengaja hingga keluar dari waktunya, maka dia kafir murtad.” (Al Muhalla, 1/868. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Abdullah bin Amr bin Al Ash Radhiallahu ‘Anhuma, mengatakan:

ومن ترك الصلاة فلا دين له

“Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka tidak ada agama baginya.” (Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 5/508. Darul Fikr)

Abu Darda Radhiallahu ‘Anhu berkata:

لا إيمان لمن لا صلاة له ولا صلاة لمن لا وضوء له رواه ابن عبد البر وغيره موقوفا

“Tidak ada iman bagi yang tidak shalat, dan tidak ada shalat bagi yang tidak berwudhu.” Diriwayatkan Ibnu Abdil Bar dan selainnya secara mawquf. (Atsar ini Shahih mawquf. Lihat Syaikh Al Albani, Shahih At Targhib wat Tarhib, 1/575. Maktabah Al Ma’arif)

Imam Al Mundziri Rahimahullah menyebutkan:

وكذلك كان رأي أهل العلم من لدن النبي صلى الله عليه وسلم أن تارك الصلاة عمدا من غير عذر حتى يذهب وقتها كافر

“Demikian pula, dahulu pendapat ulama dari orang yang dekat dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (yakni para sahabat), bahwa orang yang meninggalkan shalat secara sengaja tanpa ‘udzur, sampai habis waktunya, maka dia kafir.” (Ibid)

Wallahu A’lam

Selanjutnya:

وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ:

dan menunaikan zakat ..

Perintah zakat termaktub dalam Al Quran, dan kewajibannya sering digandeng dengan shalat seanyak di 82 ayat. (Fiqhus Sunnah, 1/327). Di antaranya:

Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. (QS. Al Baqarah (2): 110)

Sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosamu. (QS. Al Maidah (5): 12) dan berbagai ayat lainnya.

📌 Definisi Zakat

Az Zakah – الزَّكَاةِ secara bahasa berarti – الطهارة – Ath Thaharah (kesucian).

Allah Ta’ala berfirman:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. A Taubah (9): 103)

Definisi zakat telah diuraikan oleh Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah sebagai berikut:

الزكاة اسم لما يخرجه الانسان من حق الله تعالى إلى الفقراء
وسميت زكاة لما يكون فيها من رجاء البركة، وتزكية النفس وتنميتها بالخيرات. فإنها مأخوذة من الزكاة، وهو النماء والطهارة والبركة

“Zakat adalah benda yang dikeluarkan manusia berupa hak Allah Ta’ala kepada para fuqara. Dinamakan zakat karena di dalamnya terdapat pengharapan terhadap berkah, mensucikan jiwa, dan mengembangkannya dengan kebaikan-kebaikan. Dia diambil dari Az Zakah yaitu tumbuh, suci, dan berkah.” (Fiqhus Sunnah, 1/327. Dar Al Kitab Al ‘Arabi)

Dalam Lisanul ‘Arab disebutkan tentang definisi zakat:

وأَصل الزكاة في اللغة الطهارة والنَّماء والبَركةُ والمَدْح وكله قد استعمل في القرآن والحديث

“Asal dari zakat menurut bahasa adalah suci, tumbuh, berkah, dan terpuji. Semua ini telah digunakan dalam Al Quran dan Al Hadits.” (Ibnu manzhur, Lisanul ‘Arab, 14/358. Dar Shadir)

Dari definisinya ini, kita bisa memahami bahwa fungsi zakat bagi harta adalah agar menjadi berkah dan tumbuh. Sedangkan bagi

muzakkinya sebagai pensuci dirinya dan mencapai pribadi nyang terpuji.

(Bersambung … masih hadits ke-3)

🌺☘🌷🌴🌻🍃🌾🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top