Menampakkan atau Menyembunyikan Amal Shalih, Keduanya Mulia!

💦🌸💦🌸💦🌸💦🌸

Perhatikan ayat-ayat berikut ini:

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, Maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al Baqarah 274)

Al Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah menerangkan:

هذا مدح منه تعالى للمنفقين في سبيله، وابتغاء مرضاته في جميع الأوقات من ليل أو نهار، والأحوال من سر وجهار، حتى إنالنفقة على الأهل تدخل في ذلك أيضا

Ini adalah sanjungan dari Allah Ta’ala bagi para pelaku infak dijalanNya, dan orang yang mencari ridhaNya disemua waktu, baik malam dan siang, dan berbagai keadaan baik tersembunyi atau terang-terangan, sampai – sampai nafkah kepada keluarga juga termasuk dalam kategori ini. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/707. Cet. 2. 1999M/1420H. Daruth Thayyibah.)

Ayat lainnya:

وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ

Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik). (QS. Ar Ra’du: 22)

Ayat lainnya:

قُلْ لِعِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُوا يُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خِلَالٌ

Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: “Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada bari itu tidak ada jual beli dan persahabatan.” (QS. Ibrahim: 31)

Lihat ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan berinfak baik secara sembunyi atau terang-terangan, Allah Ta’ala tidak memerintahkan yang sembunyi saja, tapi juga memerintahkan yang terang-terangan. Tidak mencelanya, justru memerintahkannya.

Al Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan:

وأمر تعالى بالإنفاق مما رزق في السر، أي: في الخفية، والعلانية وهي: الجهر، وليبادروا إلى ذلك لخلاص أنفسهم

Allah Ta’ala memerintahkan untuk berinfak secara as sir, yaitu tersembunyi, dan al ‘alaaniyah yaitu ditampakkan, dan hendaknya mereka bersegara melakukan itu untuk mensucikan diri mereka. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/510. Cet. 2. 1999M/1420H. Daruth Thayyibah)

Terang-terangan atau tersembunyi, keduanya bisa dilakukan pada amal yang wajib atau sunah. Berkata Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah:

{سِرًّا وَعَلانِيَةً} وهذا يشمل النفقة الواجبة كالزكاة ونفقة من تجب عليه نفقته، والمستحبة كالصدقات ونحوها

(Tersembunyi dan terangan-terangan) hal ini mencakup infak yang wajib seperti zakat, dan nafkah kepada orang yang wajib baginya untuk dinafkahi, dan juga yang sunah seperti berbagai sedekah dan semisalnya. (Taisir Al Karim Ar Rahman fi Tafsir Kalam Al Manan, Hal. 426. Cet. 1. 2000M/1420H. Muasasah Ar Risalah)

Maka, berinfak –atau amal shalih apa saja- yang dilakukan secara tersembunyi dan menampakkannya, telah dimuliakan, dipuji, dan dianjurkan oleh Allah Ta’ala. Janganlah hawa nafsu manusia justru menganggap tercela yang satu dibanding yang lainnya. Jika tersembunyi, maka itu mulia karena hati Anda lebih selamat dari ‘ujub, riya’, jika terkait sedekah maka orang yang menerima sedekah tidak merasa malu menerimanya. Jika terang-terangan, maka itu juga mulia, karena Anda bisa menjadi pionir kebaikan, menjadi contoh buat yang lain, sehingga selain Anda mendapatkan pahala sendiri, Anda juga mendapatkan pahala mereka lantaran mereka mengikuti kebaikan Anda.

📌 Melaporkan dan menceritakan amal shalih, adalah riya?

Hal ini tidak mengapa, sebagaimana seorang guru yang menanyakan hasil kerjaan, tugas hapalan, siswanya dan si guru memberikan batas waktu. Ini adalah tuntutan profesionalitas dalam beramal. Ini pun dilakukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya. Tidak mengapa menulis nama dalam list penyumbang, atau laporan masjid, sebab ini termasuk yang dibolehkan oleh syariat sebagaimana penjelasan sebelumnya.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bercerita tentang amal shalihnya:

وإني لأستغفر الله، في اليوم مائة مرة

Aku benar-benar beristighfar kepada Allah dalam sehari 100 kali. (HR. Muslim, 2702/41)

Riwayat lainnya:

يا أيها الناس توبوا إلى الله، فإني أتوب، في اليوم إليه مائة، مرة

Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah, sesungguhnya dalam sehari aku bertaubat kepadaNya seratus kali. (HR. Muslim, 2702/42)

Para sahabat pun juga. Perhatikan dialog berikut ini:

عن أبي هريرة، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «من أصبح منكم اليوم صائما؟» قال أبو بكر رضي الله عنه: أنا، قال:«فمن تبع منكم اليوم جنازة؟» قال أبو بكر رضي الله عنه: أنا، قال: «فمن أطعم منكم اليوم مسكينا؟» قال أبو بكر رضي اللهعنه: أنا، قال: «فمن عاد منكم اليوم مريضا؟» قال أبو بكر رضي الله عنه: أنا، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «مااجتمعن في امرئ، إلا دخل الجنة»

Dari Abu Hurairah, dia berkata: Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Siapakah diantara kalian yang hari ini berpuasa?” Abu Bakar menjawab: “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Siapakah diantara kalian yang hari ini mengantar janazah?” Abu Bakar menjawab: “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Siapakah diantara kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab: “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Siapakah diantara kalian yang hari ini menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab: “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda : “Tidaklah semua amal di atas terkumpul dalam diri seseorang melainkan ia akan masuk surga.” (HR. Muslim No. 1028)

Inilah Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu, dia tidak perlu malu untuk melaporkan apa yang sudah dia lakukan hari itu, setelah Nabi bertanya. Maka, tidak masalah seseorang menceritakan amalnya, yang penting tidak bermaksud memamerkannya, dan membanggakannya, tetapi agar orang lain mendapatkan ‘ibrah (pelajaran) darinya. Pendengar pun tidak dibebani untuk membedah hati orang yang melaporkannya. Itu tidak perlu, tidak penting, dan tidak masyru’. Justru, yang masyru’ adalah kita mesti husnuzhzhan kepadanya.

Para ulama mengatakan:

إحسان الظن بالله عز وجل وبالمسلمين واجب

Berprasangka yang baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan kaum muslimin adalah wajib. (Imam Badruddin Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 29/325)

Kisah lainnya:

عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: أَرْسَلَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُنْطَلِقٌ إِلَى بَنِي الْمُصْطَلِقِ، فَأَتَيْتُهُ وَهُوَ يُصَلِّي عَلَى بَعِيرِهِ ، فَكَلَّمْتُهُ،فَقَالَ بِيَدِهِ هَكَذَا، ثُمَّ كَلَّمْتُهُ، فَقَالَ بِيَدِهِ هَكَذَا، وَأَنَا أَسْمَعُهُ يَقْرَأُ، وَيُومِئُ بِرَأْسِهِ، فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ: ” مَا فَعَلْتَ فِي الَّذِي أَرْسَلْتُكَ، فَإِنَّهُلَمْ يَمْنَعْنِي إِلَّا أَنِّي كُنْتُ أُصَلِّي.

Dari Jabir bin Abdullah katanya: “Saya diperintahkan nabi untuk datang, saat itu beliau hendak pergi ke Bani Musthaliq. Ketika saya datang beliau sedang shalat di atas kendaraannya. Saya pun berbicara kepadanya dan beliau memberi isyarat dengan tangannya seperti ini. Saya berbicara lagi dan beliau memberi isyarat dengan tangannya, sedangkan bacaan shalat beliau terdengar oleh saya sambil beliau menganggukkan kepala. Setelah beliau selesai shalat beliau bertanya: “Bagaimana tugasmu yang padanya kamu saya utus? Sebenarnya tak ada halangan bagi saya membalas ucapanmu itu, hanya saja saya sedang shalat.” (HR. Muslim No. 540, Ahmad No. 14345, Abu Daud No. 926, Abu ‘Awanah, 2/140, Ibnu Khuzaimah No. 889, Ibnu Hibban No. 2518, 2519)

Dalam kisah ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminta laporan kerja dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu tanpa harus khawatir riya-nya Jabir jika dia melaporkannya.

Banyak sekali kitab yang menceritakan para ulama yang berkisah tentang

ibadahnya, shaumnya, shalatnya, jihadnya, bahkan mimpinya. Tentu kita berbaik sangka, jangan menuduh mereka telah riya dalam penceritaannya.

📌Hati-Hati! Menggembosi amal shalih saudaranya dengan menuduh riya adalah Akhlak Kaum Munafiq Terdahulu

Inilah yang terjadi, gara-gara seseorang menuduh saudaranya riya, atau menakut-nakuti dari menampakkan amal shalih, akhirnya perlahan-lahan ada yang membatalkan amal shalihnya karena takut disebut riya, takut tidak ikhlas.

Inilah yang dilakukan orang munafiq pada zaman nabi, mereka menuduh para sahabat riya, padahal mereka (kaum munafiq) sendiri yang riya.

Dari Abu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dia bercerita:

“Sesudah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan kami untuk bersedekah, maka Abu Uqail bersedekah dengan satu sha’, dan datang seseorang dengan membawa lebih banyak dari itu, lalu orang-orang munafik berkata:

“Allah ‘Azza wa Jalla tidak membutuhkan sedekah orang ini, orang ini tidak melakukannya kecuali dengan riya. Lalu turunlah ayat:

الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ

“Orang-orang munafik itu yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekadar kesanggupannya.” (QS. At Taubah : 79). (HR. Al Bukhari No. 4668)

📌 Justru Allah Ta’ala menceritakan bahwa kaum munafikinlah yang riya

Perhatikan ayat ini:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6)

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya. (QS. Al Ma’un: 4-6)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan, bahwa ayat ini menceritakan tentang sifat-sifat orang munafiq; lalai dari shalatnya, sekali pun shalat dia riya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengulang sampai tiga kali ucapan: tilka shalatul munaafiq (itulah shalatnya kaum munafik). Sebagaimana disebutkan dalam Shahihain. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/493)

Wallahu A’lam

🍃🌾🌴🌸🌻🌺☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Jari Telunjuk Bergerak-Gerak Ketika Tasyahud/Tahiyat

💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu ‘Alaikum, Wr Wb. Saya sering melihat orang-orang tasyahhudnya berbeda di sisi mengacungkan jari kedepan :
-Ada yang dikibaskan
-Ada yang biasa
-Ada yang menunggu sampai bacaan tertentu..
Saya sering juga melihat orang-orang takbir berbeda
-Ada yang dengan slowmotion/gerak lambat (Enggak bohong !!!!)
-Ada yangg dengan dikekirikan/kanan
-Ada yangg biasa…Yang mana yang benar ?
Tolong pencerahannya

Jazakumullah (dari Ghotic Muslim)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa ‘alaikum Salam Wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Apa yang Anda lihat, bahwa ada yang mengkibaskan (menggerak-gerakkan), atau yang biasa saja, atau ada yang menggerakkan pada bacaan tertentu, adalah khilafiyah yang memang benar-benar ada. Maka Anda tidak usah heran, sebab itu terjadi lantaran perbedaan mereka dalam menafsirkan hadits-hadits nabi tentang hal ini.

Dari Wail Bin Hujr Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ وَرُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَجَعَلَ حَدَّ مِرْفَقِهِ الْأَيْمَنِ عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ قَبَضَ اثْنَتَيْنِ مِنْ أَصَابِعِهِ وَحَلَّقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا

Bahwa rasulullah meletakkan tangannya yang kiri di atas pahanya dan lututnya yang kiri, dan meletakkan siku kanan di atas paha kanannya, kemudian dia menggenggam jari jemarinya dan membentuk lingkaran. Lalu dia mengangkat jarinya (telunjuk) dan aku melihat dia menggerak-gerakkannya, sambil membaca doa.”[1]

Syaikh Al Albany mengomentari hadits ini:

أولا : مكان المرفق على الفخذ. ثانيا : قبض إصبعيه والتحليق بالوسطى والإبهام .ثالثا : رفع السبابة وتحريكها    .رابعا : الاستمرار بالتحريك إلى آخر الدعاء

Pertama. Tempat siku adalah di paha. Kedua. Menggenggam jari jemari dan membentuk lingkaran antara jari tengah dan jempol. Ketiga. Mengangkat jari telunjuk. Keempat. Terus-menerus menggerakkannya sampai akhir do’a.[2]

Sangat berbeda dengan Syaikh Al Albany, Imam Al Baihaqi mengomentari demikian:

يحتمل أن يكون المراد بالتحريك الاشارة بها. لا تكرير تحريكها، ليكون موافقا لرواية ابن الزبير: أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بإصبعه إذا دعا لا يحركها. رواه أبو داود بإسناد صحيح.

“Mungkin yang dimaksud dengan menggerakkan itu adalah memberikan isyarat menunjuk, bukan menggerak-gerakkan secara berulang-ulang, agar hadits ini sesuai dengan riwayat dari Ibnu Zubeir, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan isyarat dengan jarinya jika dia berdoa tanpa menggerak-gerakkannya.” Diriwayatkan Abu Daud dengan sanad shahih. [3]

Lalu Imam An Nawawi Rahimahullahmengatakan:

واما الحديث المروى عن ابن عمر عن النبي صلي الله عليه وسلم ” تحريك الاصبع في الصلاة مذعرة للشيطان ” فليس بصحيح قال البيهقى تفرد به الواقدي وهو ضعيف

“Adapun hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: ‘Menggerakan jari dalam shalat adalah hal yang ditakuti syetan,’ tidaklah shahih. Berkata Al Baihaqi: Al Waqidi meriwayatkannya sendiri, dan dia dha’if.” [4]

Namun Syaikh Al Albany menyanggah pendapat ini karena hadits dari Ibnu Zubeir yang katanya shahih menurut Imam al Baihaqi, ternyata ghairu shahih (tidak shahih) menurut hasil penelitiannya.[5]

Beliau juga memperkuat dengan hadits dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لهي أشد على الشيطان من الحديد

“Gerakan telunjuk itu benar-benar lebih ditakuti syetan dibanding besi.” [6]

Beliau mengatakan bahwa para sahabat nabi melakukan itu, yakni menggerakan jari sebagai isyarat ketika doa, karena mereka menyontoh terhadap sesama sahabat lainnya. Sebagaiana yang dikatakan Ibnu Abi Syaibah secara hasan. Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun melakukannya pula pada semua duduk tasyahudnya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh  An Nasa’i dan Al Baihaqi dengan sanad shahih. [7]

Sementara Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

وقد سئل ابن عباس عن الرجل يدعو يشير بإصبعه؟ فقال: هو الاخلاص. وقال أنس بن مالك: ذلك التضرع، وقال مجاهد: مقمعة للشيطان. ورأى الشافعية أن يشير بالاصبع مرة واحدة عند قوله (إلا الله) من الشهادة، وعند الحنفية يرفع سبابته عند النفي ويضعها عند الاثبات، وعند المالكية، يحركها يمينا وشمالا إلى أن يفرغ من الصلاة، ومذهب الحنابلة يشير بإصبعه كلما ذكر اسم الجلالة، إشارة إلى التوحيد، لا يحركها

“Ibnu Abbas ditanya tentang seorang yang memberikan isyarat dengan telunjuknya. Beliau menjawab: ‘Itu menunjukkan ikhlas.’ Anas bin Malik berkata: ‘Itu menunjukkan ketundukan.’ Mujahid berkata: ‘Untuk memadamkan syetan.’ Sedangkan golongan syafi’iyah memberikan isyarat dengan jari hanya sekali yakni pada ucapan Illallah (kecuali Allah) dari kalimat syahadat. Sedangkan menurut golongan Hanafiyah, mengangkat jari telunjuk ketika ucapan pengingkaran (laa ilaha/tiada Tuhan) lalu meletakkan lagi ketika ucapan penetapan(Illallah/ kecuali Allah). Sedangka menurut Malikiyah menggerak-gerakan ke kanan dan ke kiri hingga shalat selesai. Sedankan madzhab Hanabilah (hambali) memberikan isyarat dengan jari telunjuk ketika disebut lafzul jalalah (nama Allah) sebagai symbol tauhid, tanpa menggerak-gerakkannya.” [8]

📌 Tata Cara Mengangkat Tangan Takbiratul Ihram

Tidak dibenarkan slowmotion (terlalu lama) atau terlalu cepat, dan di main-mainkan ke kanan ke kiri.  Hendaknya  kita melakukan secara wajar mengikuti sunah nabi. Di angkat sejajar bahu atau hampir sejajar bahu, bersamaan dengan takbir atau sebelum membaca takbirtul  ihram.

Berkata Syaikh Muhammad NashiruddinAl Albany Rahimahullah:

( البخاري وأبو داود وابن خزيمة ) و ( كان يرفع يديه تارة مع التكبير وتارة بعد التكبير وتارة قبله )
( أبو داود وابن خزيمة ) كان يرفعهما ممدودة الأصابع [ لا يفرج بينها ولا يضمها ] )

( البخاري وأبو داود ) و ( كان يجعلهما حذو منكبيه وربما كان يرفعهما حتى يحاذي بهما [ فروع ] أذنيه )

“Rasulullah mengankat kedua tangannya, kadang bersamaan dengan takbir, kadangkala setelah takbir, dan kadang kalasebelum takbir. “ (HR. Bukhari, Abu Daud, dan Ibnu Khuzaimah)

“Rasulullah mengangkat kedua tangannya dengan jari terbuka (tidak merenggangkan dan tidak menggenggamnya) (HR. Abu Daud dan Ibnu Khuzaimah)

“Rasulullah mengangkat tangannya hingga sampai sejajar kedua bahunya, dan terkadang sampai kedua telinganya.” (HR. Bukhari dan Abu Daud) [9]

Berkata Syaikh Sayyid SabiqRahimahullah:

والمختار الذي عليه الجماهير، أنه يرفع يديه حذو منكبيه، بحيث تحاذي أطراف أصابعه أعلى أذنيه، وإبهاماه شحمتي أذكيه، وراحتاه منكبيه.
قال النووي: وبهذا جمع الشافعي بين روايات الاحاديث فاستحسن الناس ذلك منه.
ويستحب أن يمد أصابعه وقت الرفع.
فعن أبي هريرة قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا قام إلى الصلاة رفع يديه مدا. رواه الخمسة إلا ابن ماجة.
وقت الرفع: ينبغي أن يكون رفع اليدين مقارنا لتكبيرة الاحرام أو متقدما عليها.
فعن نافع: أن ابن عمر رضي الله عنهما كان إذا دخل في الصلاة كبر ورفع يديه، ورفع ذلك إلى النبي صلى الله عليه وسلم.
رواه البخاري والنسائي وأبو داود.
وعنه قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم يرفع يديه حين يكبر حتى يكونا حذو منكبيه أو قريبا من ذلك.
الحديث رواه أحمد وغيره.
وأما تقدم رفع اليدين على كبيرة الاحرام فقد جاء عن ابن عمر قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا قام إلى الصلاة رفع يديه حتى يكونا بحذو
منكبيه ثم يكبر، رواه البخاري ومسلم.
وقد جاء في حديث مالك بن الحويرث بلفظ: (كبر ثم رفع يديه) رواه مسلم.
وهذا يقيه تقدم التكبيرة على رفع اليدين، ولكن الحافظ قال: لم أر من قال بتقديم التكبيرة على الرفع.

Riwayat yang dipilih oleh jumhur(mayoritas) adalah mengangkat tangan itu harus sejajar dengan kedua bahu sampai ujung jari sejajar dengan puncak kedua telinga, kedua ibu jari dengan ujung bawahnya serta kedua telapak tangan dengan kedua bahunya.

An Nawawi mengatakan: “Dengan cara ini Asy Syafi’i telah menghimpun beberapa riwayat hadits hingga ia mendapat pengakuan dari kalangan ulama.” Dan, disunnahkan merenggangkan jari jemari pada saat mengangkat tangan. Dari Abu HurairahRadhiallahu ‘Anhu:

“Jika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamhendak melakukan shalat maka beliau mengangkat kedua tangannya sambil merenggangkannya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, An Nasa’i, dan At Tirmidzi kecuali Ibnu Majah)

Saat mengangkat kedua tangan. Hendaknya mengangkat kedua tangan itubersamaan waktunya dengan mengucapkan takbiratul ihram atau mendahulukannya sebelummembaca takbiratul ihram. Nafi’ berkata:

“Jika Ibnu Umar hendak memulai shalat, maka ia membaca takbir dan mengangkat kedua tangannya. Hal ini dinyatakannya berasal dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR. Bukhari An Nasa’i dan Abu Daud)

Dari Nafi’ juga: “Bahwa RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengangkat kedua tangannya ketika takbir hingga sejajar dengan kedua bahu atau hamper sejajar dengannya.” (HR. Ahmad dan lainnya)
Adapun mendahulukan mengangkat kedua tangan sebelum takbiratul ihram, maka telah ada riwayat dari Ibnu Umar dia berkata: “Apabila Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdiri hendak mengerjakan shalat maka beliau mengangkat kedua belah tangannya sehingga sejajar dengan kedua bahunya, lalu beliau membaca takbir.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan telah diterima hadits dari Malik binAl Huwairits dengan lafaz: “Ia membaca takbir, lalu mengangkat kedua tangannya.” (HR. Muslim)

Hadits ini membolehkan mendahulukan takbir daripada mengangkat tangan. Akan tetapi, Al Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: “Saya tidak pernah melihat adanya orang yang mengatakan bahwa didahulukannya takbir daripada mengangkat kedua tangan.”[10] Demikian.

Wallahu A’lam

🍃🌿🌴🌾🌻🌺🍂🌹🍀

✒ Farid Nu’man Hasan


🍃🍃🍃🍃🍃

[1] HR. An Nasa’i, Kitab Al Iftitah Bab Maudhi’Al Yamin minasy Syimali fish Shalah, Juz. 3, Hal. 433 No hadits. 879. Ahmad, Juz.38, Hal. 331, No hadits. 18115.
[2] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albany, Tamam Al Minnah, Juz. 1, Hal. 221.
[3] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 170. Lihat juga Imam An Nawawi,Al Majmu’ Syarah al Muhadzdzab, Juz. 3, Hal. 454.
[4] Imam An Nawawi, Majmu’ Syarah al Muhadzdzab, Juz. 3, Hal. 454-455. Darul Fikr.
[5] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Tamamul Minnah, Juz. 1, Hal. 217.
[6] HR. Ahmad, Juz. 12, Hal. 265, No hadits. 5728, Lihat pula Tamamul Minnah, Juz. 1 Hal. 220. Dan Shifah ash Shalah an Nabi, Hal. 159.
[7] Ibid
[8] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 171.  Lihat juga Imam An Nawawi, Majmu’ Syarah al Muhadzdzab, Juz. 3, Hal. 455.
[9] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shifah Ash Shalah An Nabi, Hal.  86. Maktabah Al Ma’arif  Linasyr wat Tauzi’.
[10] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 142-143.

 

Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 14)

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

SYARAH HADITS KETIGA, lanjutan

4⃣ Dua Kalimat Syahadat Merupakan Pondasi Bagi Perubahan

Tentu kita pernah melihat gedung yang tinggi, kokoh, dan kuat. Apa gerangan yang menopangnya? Ya, itu adalah pondasinya yang menghujam. Dia tidak terlihat, tetapi sangat besar perannya bagi kekuatan bangunan. Semakin tingga dan besar bangunan, maka semakin dalam pula pondasi yang dibuat. Begitu pula dalam merancang peradaban Islam, menciptakan pribadi muslim, dan membentuk masyarakat muslim. Maka, kekuatan terhadap pemahaman dan keyakinan dua kalimat syahadat ini adalah hal yang paling utama dan penting. Dua kaimat inilah yang hendaknya pertama kali disampaikan, diajarkan, dan difahamkan kepada umat Islam oleh para da’i dan ulama. Agar tercipta peradaban berbasiskan tauhid, bukan materialisme dan derivasinya.

Masyarakat dan pribadi bertauhid. Inilah yang kita inginkan. Di tangan merekalah dahulu umat ini pernah jaya, dan di tangan merekalah musuh-musuh Islam terkapar tak berdaya. Namun, di manakah mereka gerangan hari ini? .. hari ini kalimat tauhid hanya diperlakukan sebagai dzikir kosong oleh umumnya umat Islam. Mereka melakukan tahlil sampai ratusan kali, tanpa mengerti apa yang mereka ucapkan itu. Tanpa mau tahu, konsekuensi yang harus mereka kerjakan dari dua kalimat syahadat.

Dalam tataran individu, kalimat ini mampu menjinakkan hati Umar bin Al Khathab Al Faruq, hingga umat Islam saat itu begitu berbahagia dengan keislamannya. Bahkan dia menjadi orang yang memiliki banyak keutamaan, paling keras dalam memegang agama, yang paling tahu pembeda antara haq dan batil, bahkan nabi memujinya sebagai manusia di umat ini yang mendapatkan ilham.

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

قَدْ كَانَ يَكُونُ فِي الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ مُحَدَّثُونَ فَإِنْ يَكُنْ فِي أُمَّتِي مِنْهُمْ أَحَدٌ فَإِنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ مِنْهُمْ

“Dahulu pada umat-umat sebelum kamu ada manusia yang menjadi muhaddatsun, jika ada satu di antara umatku yang seperti itu, maka Umarlah di antara mereka.” (HR. Muslim No. 2398)

Berkata Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu:

ما زلنا أعزة منذ أسلم عمر

“Kami senantiasa memiliki ‘izzah semenjak keislaman Umar.” (HR. Bukhari No. 3481)

Dua kalimat syahadat ini bisa merubah seorang budak Bilal bin Rabbah, menjadi mulia bahkan dialah yang akhirnya berhasil membunuh Umayah bin Khalaf bekas majikannya yang kejam. Bahkan terompahnya mendahului dirinya di dalam surga, dan ini masyhur.

Dalam tataran masyarakat, kalimat ini mampu merubah jazirah Arab dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam, hanya butuh waktu 23 tahun kurang. Berbeda dengan bangunan peradaban lainnya yang membuktuhkan waktu berabad lamanya. Maka tepat dikatakan bahwa dua kalimat syahadat merupakan Asas Al Inqilab (dasar bagi perubahan).

5⃣ Dua kalimat syahadat memiliki Keutamaan yang agung

Dua kalimat syahadat merupakan kalimat pembeda antara muslim dan kafir, inilah keutamaan yang paling besar di dunia. Ini sudah disinggung pada urgensi pertama. Dan dua kalimat syahadat memiliki keutamaan-keutamaan agung lainnya bagi para pengucapnya.

📌 Jaminan Surga Bagi Pengucapnya

Telah kita ketahui, bahwa ketika manusia mengucapkan dua kakimat syhadat dengan benar, tidak terpaksa dan dipaksa, maka dia sudah muslim dan memilih jalan yang benar. Tentunya tak ada balasan baginya kecuali surga. Sedangkan yang tidak bersyahadat (baca: kafir) maka mereka telah memilih jalan yang sesat dan menjadi orang yang merugi.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran (3): 85)

Imam Al Qurthubi mengatakan, bahwa Mujahid dan As Sudi menyebutkan, ayat ini turun berkenaan tentang Al Harits bin Suwaid, saudara Al Halas bin Suwaid, dia seorang dari kalangan Anshar dan dia

murtad bersama dua belas orang lainnya dan menuju Mekkah dalam keadaan kafir. Lalu turunlah ayat ini, maka saudaranya menyampaikan ayat ini dan memintanya untuk bertaubat. Ibnu Abbas dan lainnya meriwayatkan bahwa setelah turun ayat ini dia masuk Islam lagi. (Jami’ Li Ahkamil Quran, 4/128. Dar ‘Alim Al kutub, Riyadh)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, barangsiapa yang tidak beragama dengan agama yang diridhai Allah untuk hambaNya, maka amal perbuatannya tertolak dan tidak diterima. Karena agama Islam mengandung makna penyerahan diri kepada Allah secara murni dan mengikuti RasulNya, barang siapa seorang hamba yang datang kepadaNya tidak beragama Islam, maka dia tidak memiliki alasan untuk selamat dari azab Allah, dan setiap agama selain Islam adalah batil. (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Taisir Al Karim Ar Rahman fi Tafsir Kalam Al Manan, 1/137. Muasasah Ar Risalah)

Allah Ta’ala berfirman:

وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ

“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil ..” (QS. Al Baqarah (2): 42)

Berkata Qatadah:

ولا تلبسوا اليهودية والنصرانية بالإسلام؛ إن دين الله الإسلام، واليهودية والنصرانية بدعة ليست من الله

“Janganlah kalian mencampurkan Yahudi dan Nasrani dengan Islam, sebab agama di sisi Allah hanya Islam. Sedangkan Yahudi dan nasrani adalah bid’ah, bukan dari Allah.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/245. Dar An Nasyr wat tauzi’)

Diriwayatkan dari Hasan Al Bashri, bahwa beliau juga mengatakan demikian. (Ibid)

Ayat lainnya:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الأِسْلامُ

“Sesungguhnya agama yang diridhai Allah adalah Islam.” (QS. Ali Imran (3): 19)

Ketika membahas ayat ini, Imam Al Qurthubi membawakan sebuah hadits, dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu:

يجاء بصاحبها يوم القيامة فيقول الله تعالى عبدي عهد إلي وأنا أحق من وفى أدخلوا عبدي الجنة

“Didatangkan kepada para pembaca syahadat pada hari kiamat, maka Allah Ta’ala berfirman: HambaKu telah berjanji setia kepadaKu dan Aku lebih berhak untuk memenuhi janji, maka masukkanlah hambaKu ke surga.” (Ibid, 4/41)

Ini menjadi keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah, bahwa jika seorang sudah bersyahadat dengan ikhlas, sadar, dan penuh keyakinan, dan dia setelah itu tidak melakukan kesyirikan, maka baginya surga, walau pun dia juga melakukan dosa-dosa selain syirik. Dengan dosanya itu, orang tersebut tahta masyi’atillah (di bawah kehendak) Allah ‘Azza wa Jalla, apakah dia akan disiksa dahulu sesuai kadar dosanya lalu setelah itu dimasukkan ke dalam surga, ataukah dosanya itu akan diampunkan langsung oleh Allah ‘Azza wa Jalla sesuai rahmat dan kasih sayangNya. Ketetapan ini berdasarkan pada ayat berikut:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisa’ (4): 116)

Dan hadits, dari Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أنه من مات من أمتي لا يشرك بالله شيئا دخل الجنة . قلت: وإن زنى وإن سرق؟ قال: وإن زنى وإن سرق

“Barangsiapa di antara umatku yang wafat, dia tidak menyekutukan Allah Ta’ala dengan sesuatu apapun, maka dia akan masuk surga.” Aku (Abu Dzar) bertanya: “Walau dia berzina dan mencuri?” Rasulullah bersabda: “Walau dia berzina dan mencuri.” (HR. Bukhari No. 1180, 5489, 7049)

Makna ‘Umatku’ di sini adalah umat Rasulullah, yakni orang yang sudah menyatakan keislamannya (bersyahadat).

Demikianlah syarah (penjelasan) anjang tentang Syahadah Laa Ilaha Illallah wa Anna Muhammadar rasulullah.

Bersambung … (masih hadits 3)

🍃🌺🌾🌷☘🌴🌻🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

Makan Daging Panggang (Ayam Bakar, Sate) Membatalkan Wudhu?

PERTANYAAN:

Pertanyaan:

Assalamu’alaykum ust… Maaf di weekend mau nanya…

Maksud hadits bagaimana penerapannya?

HADITS HARI INI
04 November 2017

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ اللَّيْثِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي حَدَّثَنِي عُقَيْلُ بْنُ خَالِدٍ قَالَ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ أَنَّ خَارِجَةَ بْنَ زَيْدٍ الْأَنْصَارِيَّ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَاهُ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْوُضُوءُ مِمَّا مَسَّتْ النَّارُ

Dan telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin Syu’aib bin al-Laits dia berkata, telah menceritakan kepada kami bapakku dari kakekku telah menceritakan kepada kami Uqail bin Khalid dia berkata, telah berkata Ibnu Syihab telah mengabarkan kepadaku Abdul Malik bin Abi Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam bahwa Kharijah bin Zaid al-Anshari telah mengabarkan kepadanya bahwa bapaknya, Zaid bin Tsabit dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Wudhu (diwajibkan) karena (memakan daging) yang dibakar api.

HR Muslim No. 528.

قَالَ ابْنُ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ خَالِدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ وَأَنَا أُحَدِّثُهُ هَذَا الْحَدِيثَ أَنَّهُ سَأَلَ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ عَنْ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتْ النَّارُ فَقَالَ عُرْوَةُ سَمِعْتُ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّئُوا مِمَّا مَسَّتْ النَّارُ

(Masih dari jalur periwayatan yang sama dengan hadits sebelumnya) Ibnu Syihab berkata, telah mengabarkan kepadaku Sa’id bin Khalid bin Amru bin Utsman, dan saya menceritakan kepadanya hadits ini bahwa dia berkata kepada Urwah bin Az Zubair tentang wudhu dikarenakan (memakan daging) yang dibakar, maka Urwah berkata, Aku mendengar Aisyah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Berwudhulah kalian, disebabkan makan (daging) yang dibakar.

HR Muslim No. 530.

وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

#Semoga Bermanfaat.

(08138636xxxx)

JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh …

Dulu .., sebagian tabi’in sampai ada yang mengatakan: hadits itu berbahaya kecuali bagi ulama.

Maksudnya, membaca hadits, lalu langsung dibuat kesimpulan tanpa melihat hadits lain, sebagaimana kebiasaan orang awam, dan tanpa merujuk kepada penjelasan ulama.

Termasuk BC di atas .., berwudhu setelah makan daging yang dibakar atau panggang bukanlah KEWAJIBAN sebagaimana ditulis dalam judulnya, tapi SUNNAH. Hadits di atas telah MANSUKH (dihapus hukumnya) oleh hadits lainnya. Bahkan Ijma’ mengatakan tidak wajib.

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah mengatakan:

ان هذا الحديث ليس عليه العمل عند العلماء اما لكونه ممسوخا ….

Hadits ini tidaklah diamalkan oleh para ulama karena posisinya yang sudah mansukh …

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 55377)

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah juga berkata:

كان النبي – صلى الله عليه وسلم – أمر بالوضوء مما مست النار ثم ترك ذلك، وقال جمهور أهل العلم إنه منسوخ

Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan wudhu karena daging yang dibakar, kemudian hal itu sudah ditinggalkan, mayoritas ulama mengatakan itu sudah mansukh (dihapus). (selesai)

Hadits inilah sebagai nasikh – penghapusnya, yaitu:

Dari ‘Amru bin Umayyah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

يَحْتَزُّ مِنْ كَتِفِ شَاةٍ فَدُعِيَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَلْقَى السِّكِّينَ فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ

Nabi memotong daging paha kambing (yang sudah dipanggang), saat panggilan shalat tiba, beliau langsung meletakkan pisaunya dan shalat tanpa berwudlu lagi. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Oleh karena itu, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

والأمر بالوضوء محمول على الندب

Perintah berwudhu pada hadits ini bermakna anjuran (mandub) saja.

(Fiqhus Sunnah, 1/5)

Dulu, pada masa awal Islam memang terjadi perbedaan pendapat apakah WAJIB wudhu lagi setelah makan daging bakar/panggang, tapi kemudian hal itu berubah bahwa IJMA’ memakan daging bakar TIDAK MEMBUAT WAJIBNYA WUDHU.

Imam An Nawawi Rahimahullah:

ثم إن هذا الخلاف الذي حكيناه كان في الصدر الأول، ثم أجمع العلماء بعد ذلك على أنه لا يجب الوضوء بأكل ما مسته النار

Kemudian, sesungguhnya perbedaan pendapat yang telah kami ceritakan ini memang pernah terjadi di masa awal-awal, kemudian para ulama telah IJMA’ bahwa tidak wajib berwudhu disebabkan makan daging yang dibakar.

(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 4/44)

BC-BC seperti di atas, mengingatkan saya kepada seruan sebagian orang “Kembali ke Al Qur’an dan As Sunnah”. Ini seruan bagus dan harus didukung, tapi bukan berarti terjun bebas dalam memahaminya. Itu nekad namanya.

Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

اذا اسند الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة

Jika urusan diberikan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya. (HR. Bukhari)

Para ulama mengatakan:

إجماع المحققين على منع العوام من تقليد أعيان الصحابة بل من بعدهم

Telah sepakat para imam peneliti, bahwa terlarangnya bagi orang awam mengikuti secara langsung pendapat person-person sahabat nabi bahkan yang setelah mereka.

Kemudian …

بل عليهم أن يتبعوا مذاهب الأئمة )الذين سبروا ووضعوا ودنوا( لأنهم أوضحوا طرق النظر وهذبوا المسائل وبينها و جمعها بخلاف مجتهدى الصحابة فانهم لم يعتنوا بتهذيب المسائل الاجتهاد (و على هذا ) اى على أن عليهم أن يقلدوا الأئمة المذكورين لهذا الوجه

Bahkan hendaknya mereka mengikuti madzhab para imam (yaitu orang-orang yang telah melakukan penelitian, membuat tema, membukukan), karena mereka telah menjelaskan beragam metode teori, mengklasifikasi beragam masalah, menjelaskannya dan mengumpulkannya. Berbeda dengan Mujtahid zaman sahabat nabi yang tidak memperhatikan segala macam klasifikasi dan permasalahan ijtihad.

(At Taqrir wat Tahbir di Syarhit Tahrir, 3/354)

Demikian. Wallahu a’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Cara Mengusap Kepala Saat Wudhu

scroll to top