Kisah yang Shahih bukan Ukasyah tapi Usaid bin Hudhair

💦💥💦💥💦💥

Pernahkah dapat BC, kisah Ukasyah yang memeluk Nabi saat Beliau membuka baju, yang awalnya ingin mengqishashnya?

Sebenarnya, yang shahih bukan demikian …

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَوْنٍ، أَخْبَرَنَا خَالِدٌ، عَنْ حُصَيْنٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ أُسَيْدِ بْنِ حُضَيْرٍ، رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ قَالَ: بَيْنَمَا هُوَ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ وَكَانَ فِيهِ مِزَاحٌ بَيْنَا يُضْحِكُهُمْ فَطَعَنَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي خَاصِرَتِهِ  بِعُودٍ فَقَالَ: أَصْبِرْنِي فَقَالَ: «اصْطَبِرْ» قَالَ: إِنَّ عَلَيْكَ قَمِيصًا وَلَيْسَ عَلَيَّ قَمِيصٌ، «فَرَفَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَمِيصِهِ، فَاحْتَضَنَهُ وَجَعَلَ يُقَبِّلُ كَشْحَهُ»، قَالَ إِنَّمَا أَرَدْتُ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ

Berkata kpd kami ‘Amru bin ‘Aun, mengabarkan kami Khalid, dari Hushain, dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari USAID BIN HUDHAIR, dia seorang laki-laki dari Anshar: “Ketika dia (Usaid bin Hudhair) sedang berbicara dengan kaumnya dan di dalamnya ada canda yang membuat mereka tertawa, maka Nabi  ﷺ memukul pinggangnya  dengan sebatang kayu. Maka dia (USAID) berkata, ‘Beri saya kesempatan untuk qishash (membalas setimpal).” Beliau bersabda, “Silakan membalas.” Dia berkata, “Engkau memakai baju, sedangkan saya (ketika engkau pukul) tidak memakai baju.” Maka Rasulullah  ﷺ mengangkat bajunya. Maka dia (Usaid bin Khudair) langsung memeluknya dan mencium pinggangnya. Lalu dia berkata, ‘Inilah yang aku inginkan wahai Rasulullah.”

Hadits ini dikelurkan oleh:

🔷     Imam Abu Daud, Sunan Abi Daud, Kitabul Adab, Bab fi Qublatil Jasad No.  5224
🔶     Imam Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir No. 556
🔷     Imam Al Baihaqi, Syu’abul Iman, Bab Maa Ja’a fi Qublatil Jasad  No. 13586
🔶     Imam Al Baghawi, Syarhus Sunnah Bab Al Qishahsh fil Athraf, 10/169
🔷        Imam Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain, 3/288

Tinjauan Sanad:

1⃣        ‘Amru bin ‘Aun.

Beliau adalah seorang Al hafizh dan Imam. Para ulama mengambil hadits darinya, seperti Bukhari, Abu Daud, Abu Zur’ah, Abu Hatim, Ali Al Baghawi, Ad Darimi, dan banyak lainnya. Para ulama menyatakan beliau adalah TSIQAH, seperti Abu Hatim, Abu Zur’ah, Al ‘Ijli, (Siyar A’lamin Nubala, 8/377)

2⃣      Khalid, yaitu Khalid bin Abdullah Al Wasithiy

Beliau adalah TSIQAH, sebagaimana dikatakan Abu Zur’ah, Abu Hatim, Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Sa’ad, dan lainnya. (Tahdzibut Tahdzib, 3/100).

3⃣      Hushain, yaitu Hushain bin Abdurrahman As Salamiy

Terjadi perselisihan para imam tentang beliau.  Disebutkan bahwa beliau salah satu imam. Imam Ahmad mengatakan: TSIQAH (terpercaya) dan amanah. Al ‘Ijli mengatakan: tsiqah dan kokoh. Ibnu Abi Hatim bertanya kepada Abu Zur’ah: “dia tsiqah.” Apakah dia hujjah? Abu Zur;ah menjawab: “Ya , Demi Allah!”

Namun, An Nasa’i mengatakan: hafalannya berubah.  Abu Hatim berkata: “Tsiqah, tapi hapalannya buruk di akhir hayatnya.” Yazid bin Harun mengatakan: “yakhtalith (hapalannya kacau).” Ali mengatakan: “lam yaktalith (tidak kacau).” (Mizanul I’tidal, 1/552)

4⃣      Abdurrahman bin Abi Laila

Beliau Tsiqah, orang Kufah, dan dipakai oleh penyusun enam kitab hadits (Kutubus Sittah). Seperti yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr dalam Syarh Sunan Abi Daud.

5⃣      Usaid bin Hudhair,

seorang sahabat nabi senior, ikut dalam Bai’at ‘Aqabah, ikut pula perang Badar, dan semua sahabat nabi adalah tsiqah dan ‘adil menurut aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Jadi, semua perawi hadits ini tsiqah, tetapi sanadnya terputus (inqitha’), yaitu pada “Abdurrahman bin Abi Laila dari Usaid bin Hudhair.” Benarkah Abdurrahman bin Abi Laila mendengarkan hadits ini dari Usaid bin Hudhair?

📘Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa Abdurrahman bin Abi Laila tidak pernah mendengarkan hadits dari Usaid bin Hudhair. (Tahdzib At Tahdzib, 6/260)

Imam Abu Abdillah Dhiya’uddin Al Maqdisi memasukan hadits ini dalam kategori “isnaduhu munqathi’ (sanadnya terputus)”. Beliau berkata: “Aku tidak tahu, benarkah Abdurrahman bin Abi Laila mendengarkan hadits ini dari Usaid bin Hudhair ataukah tidak?” (Al Ahadits Al Mukhtarah No. 1471)

Dan, kita tahu bahwa hadits yang sanadnya inqitha’ adalah dhaif.

📕Namun, hadits ini memiliki SYAHID (penguat) yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim, dengan sanad: “… dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari AYAHNYA, dari Usaid bin Hudhair.” Dan Imam Al Hakim mengatakan: hadits ini SHAHIH, dan Imam Adz Dzahabi dalam At Talkhish-nya menyepakati penshahihan Imam Al Hakim. (Lihat Al Mustadrak, 3/327)

Jadi, riwayat ini menunjukkan bahwa hadits ini maushul (bersambung sanadnya), bukan terputus antara Abdurrahman bin Abi Laila dari Usaid bin Hudair ….Tapi dari Abdurrahman bin Abu Laila, dari AYAHNYA yakni Abi Laila dari Usaid bin Hudhair …

💼 Oleh karenanya, akhirnya para muhaddits menilai bahwa hadits ini SHAHIH semisal Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Isnadnya shahih sesuai syarat Syaikhain/Al Bukhari dan Muslim.” (Lihat Ta’liq Musnad Ahmad, 17/329. Cat kaki hadits No. 11229)

Juga Syaikh Al Albani (Lihat Misykah No. 4675, Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 2554).

Wallahu A’lam

☘🌻🍃🌷🌴🌸🌿🌺

✏ Farid Nu’man Hasan

Shalat Dhuha Di Rumah Lalu Dilanjutkan Di Kantor

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum, Ustadz, misalnya kita shalat dhuha d rumah dua rakaat terus lanjut dkantor lagi apa boleh ??
Syukron

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Tidak apa-apa selama masih di waktu dhuha. Dalam sejarah, Nabi ﷺ shalat dhuha juga lebih dari dua rakaat.

Imam Ibnu Jarir Ath Thabari –sebagaimana dikutip Imam Ibnul Qayyim- mengatakan – ketika menjelaskan beragamnya jumlah Rakaat shalat Dhuha – sebagai berikut :

وليس في هذه الأحاديث حديثّ يدفع صاحبه، وذلك أن من حكى أنه صلى الضحى أربعاً جائز أن يكون رآه في حال فعلِه ذلك، ورآه غيرُه في حالٍ أخرى صلى ركعتين، ورآه آخرُ في حال أخرى صلاها ثمانياً، وسمعه آخر يحثّ على أن يُصلي ستاً، وآخر يحثُّ على أن يُصلي ركعتين، وآخر على عشر، وآخر على ثنتي عشرة، فأخبر كلُّ واحد منهم عما رأى وسمع. قال: والدليل على صحة قولنا، ما روِيَ عن زيد بن أسلم قال. سمعتُ عبد اللّه بن عمر يقول لأبي ذر: أوصني يا عم، قال: سألتُ رسول اللّه صلى الله عليه وسلم كما سألتني، فقال؟ “مَنْ صَلَّى الضّحَى رَكْعَتَيْنِ، لَمْ يكْتَبْ مِن الغَافِلِينَ، وَمَنْ صَلًى أربَعاً، كتِبَ مِنَ العَابِدين، ومَن صَلَّى سِتّاً، لَمْ يَلْحَقْةُ ذَلِكَ اليَوْمَ ذَنْبٌ، وَمَنْ صَلَّى ثَمانِياَ، كُتِبَ مِنَ القَانِتِينَ، ومَنْ صَلَّى عَشْراً بَنى اللَّه لَهُ بَيْتا في الجَنَّة”.
وقال مجاهد: صلَّى رسولُ اللّه صلى الله عليه وسلم يوماً الضحى ركعتين، ثم يوماً أربعاً، ثم يوماً سِتّاً، ثم يوماً ثمانياً ثم تركَ. فأبان هذا الخبر عن صحة ما قلنا من احتمال خبر كل مُخْبِرٍ ممن تقدم أن يكون إخبارُه لِما أخبر عنه في صلاة الضُّحى على قدر ما شاهده وعاينه. والصواب: إذا كان الأمر كذلك: أن يُصلّيها من أراد على ما شاء من العدد. وقد روِيَ هذا عن قوم من السلف حدثنا ابنُ حميد، حدثنا جرير، عن إبراهيم، سأل رجل الأسود، كم أصلي الضحى؟ قال: كم شئت.

“Tentang hadits-hadits ini tidak ada yang mesti ditolak riwayatnya, begitu pula orang yang meriwayatkan bahwa Rasulullah melaksanakan shalat dhuha sebanyak empat rakaat yang memang bisa jadi dia melihatnya seperti itu. Orang lain melihatnya pada kesempatan yang lain bahwa Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaksanakannya dua rakaat. Orang lain lagi juga melihat pada kesempaan yang lain pula bahwa Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Salam melakukannya dengan delapan rakaat. Sebagian pihak mendengar Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menganjurkan dengan enam rakaat, pihak lain menganjurkan dua rakaat, yang lain sepuluh rakaat, dan yang lainnya menganjurkan dua belas rakaat. Semua itu berasal dari apa yang mereka lihat dan dengar.” Dia (Ibnu Jarir) melanjutkan: “Dalil dari kebenaran pendapat kami ini adalah sebuah hadits yang menyebutkan:

Dari Zaid bin Aslam, dia berkata, “Aku melihat Abdullah bin Umar berkata kepada Abu Dzar: “Berwasiatlah kepadaku wahai pamanku!” Abu Dzar menjawab, “Aku pernah meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seperti apa yang kamu minta kepadaku.” Lalu dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Barangsiapa yang menunaikan shalat dhuha sebanyak dua rakaat, dia tidak ditulis termasuk golongan orang-orang yang lalai. Barangsiapa yang menunaikan empat rakaat dia dicatat termasuk golongan ahli ibadah. Barangsiapa menunaikan enam rakaat, maka dia tidak menemukan dosa pada hari itu. Barangsiapa yang menunaikan delapan rakaat, dia ditulis sebagai orang-orang yang tunduk kepada Allah. Dan, barangsiapa yang menunaikannya sepuluh rakaat, maka Allah akan membangunkan sebuah rumah baginya di surga.
Mujahid berkata: “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaksanakan shalat dhuha dua rakaat, di hari lain empat rakaat, hari berikutnya enam rakaat. Hari berikutnya lagi delapan rakaat, kemudian tidak melakukannya.” Riwayat ini menjadi bukti kebenaran pendapat kami, bahwa setiap perawi menceritakan sesuai apa yang dilihatnya.

Yang benar, jika persoalannya seperti itu, maka setiap orang boleh melaksanakan shalat dhuha dengan jumlah rakaat yang dikehendakinya. Hal ini pernah diriwayatkan dari suatu kelompok ulama salaf. Diceritakan kepada kami dari Ibnu Humaid, diceritakan oleh kami dari Jarir, dari Ibrahim, bahwa Al Aswad bertanya kepadanya: “Berapa rakaat yang aku lakukan dalam shalat dhuha?” Dia menjawab: “Terserah kamu.” [1]

Jadi, paling sedikit jumlah rakaat shalat dhuha adalah dua rakaat, dan paling banyak dua belas rakaat sesuai dengan yang disabdakannya. Sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri paling banyak melakukan delapan rakaat. Sememtara, sebagian ulama lain mengatakan tidak ada batasannya.

Berikut ini kami sampaikan keterangan tambahan dari Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah dalam Fiqhus Sunnahnya:

عدد ركعاتها: أقل ركعاتها اثنتان كما تقدم في حديث أبي ذر وأكثر ما ثبت من فعل رسول الله صلى الله عليه وسلم ثماني ركعات، وأكثر ما ثبت من قوله اثنتا عشرة ركعة.
وقد ذهب قوم – منهم أبو جعفر الطبري وبه جزم المليمي والروياني من الشافعية – إلى أنه لاحد لاكثرها.
قال العراقي في شرح الترمذي: لم أر عن أحد من الصحابة والتابعين أنه حصرها في اثنتي عشرة ركعة. وكذا قال السيوطي.
وأخرج سعيد بن منصور عن الحسن أنه سئل: هل كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلونها؟ فقال: نعم..كان منهم من يصلي ركعتين، ومنهم من يصلي أربعا، ومنهم من يمد إلى نصف النهار.
وعن إبراهيم النخعي أن رجلا سأل الاسود بن يزيد: كم أصلي الضحى؟ قال: كما شئت.
وعن أم هانئ أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى سبحة الضحى ثماني ركعات يسلم من كل ركعتين. رواه أبو داود بإسناد صحيح.
وعن عائشة رضي الله عنها قالت: (كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي الضحى أربع ركعات ويزيد ما شاء الله) رواه أحمد ومسلم وابن ماجه.

“Jumlah rakaa shalat dhuha paling sedikit adalah dua rakaat, sebagaimana keterang hadits Abu Dzar sebelumnya, dan paling banyakyang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah delapan rakaat, dan paling banyak menurut apa yang dikatakannya adalah dua belas rakaat.

Sekelompok orang berpendapat –diantaranya Abu Ja’far Ath Thabari, juga Al Halimi dan Ar Ruyani dari kalangan Syafi’iyah- bahwa banyaknya jumlah rakaat tidak ada batasannya. Al ‘Iraqi berkata dalam Syarh At Tirmidzi: “Saya belum melihat adanya pembatasan jumlah rakaat dari kalangan shahabat dan tabi’in yang hanya sampai dua belas rakaat saja.” Ini juga pendapat As Suyuthi.
Said bin Manshur meriwayatkan dari Al Hasan, bahwa beliau ditanya: Apakah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat dhuha? Dia menjawab: “Ya, diantara mereka ada yang shalat dua belas rakaat, ada yang empat, dan ada pula yang mengerjakannya sampai tengah hari.”
Dari Ibrahim An Nakha’i, bahwa ada seorang yang bertanya kepada Al Aswad bin Yazid: “Berapa rakaatkah saya mesti shalat dhuha? Dia menjawab: “Sesuka hatimu.”

Dari Ummu Hani’, Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat dhuha sebanyak delapan rakaat, dan dia salam setiap dua rakaat. Diriwayatkan oleh Abu Daud dan isnadnya shahih.

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat dhuha empat rakaat dan dia menambahkannya sesuai yang Allah kehendaki.” Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan Ibnu Majah. [2]

Sekian. Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyna Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam.

Wallahu A’lam

🍃🌴🌻🌺☘🌾🌷🌸

✏ Farid Nu’man Hasan


🌿🌿🌿🌿

[1 ] Imam Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’ad, 1/352. Muasasah Ar Risalah
[2] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/210-211. Darul Kitab Al ‘Arabi

 

[Adab Pada Hidung] Dianjurkan Membersihkan Hidung Sesudah Bangun Tidur dan Berwudhu

Dianjurkan membersihkan hidung sesudah bangun tidur dan juga ketika wudhu. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا اسْتَيْقَظَ أُرَاهُ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَتَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْثِرْ ثَلاَثًا، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَبِيتُ عَلَى خَيْشُومِهِ

Jika kalian bangun tidur, berwudhulah, dan hendaknya melakukan istintsar sebanyak tiga kali, sesungguhnya syetan bermalam di batang hidungnya. 1)

Imam Badruddin Al ‘Aini Rahimahullah menjelaskan arti istintsar:

وَهُوَ نثر مَا فِي الْأنف بِنَفس قَالَه الْجَوْهَرِي، وَقيل: أَن يستنشق المَاء ثمَّ يسْتَخْرج مَا فِيهِ من أَذَى أَو مخاط

Yaitu menghamburkan apa-apa yang ada di dalam hidung dengan hembusan nafas, itulah yang dikatakan Al Jauhari. Dikatakan: menghirup air lalu mengeluarkan lagi apa-apa yang di dalamnya baik berupa kotoran dan ingus. 2)

Imam Asy Syaukani 3) menjelaskan bahwa istintsar (menghamburkan air dari hidung) lebih umum dibanding istinsyaq (menghirup air ke hidung). Imam Ibnul ‘Arabi dan Imam Ibnu Qutaibah mengatakan istintsar adalah istinsyaq. Sama saja maknanya. Tapi mayoritas ahli fiqih, ahli bahasa, dan ahli hadits, mengatakan bahwa istintsar itu berbeda dengan istinsyaq. Istintsar dilakukan setelah istinsyaq. Imam Asy Syaukani mengutip dari Imam An Nawawi katanya:

قَالَ جُمْهُورُ أَهْلِ اللُّغَةِ وَالْفُقَهَاءُ وَالْمُحَدِّثُونَ: الِاسْتِنْثَارُ هُوَ إخْرَاجُ الْمَاءِ مِنْ الْأَنْفِ بَعْدَ الِاسْتِنْشَاقِ

Mayoritas ahli bahasa, ahli fiqih, dan ahli hadits mengatakan bahwa istintsar adalah mengeluarkan air dari hidung setelah istinsyaq. 4)

Para ulama berbeda pendapat apakah hal ini wajib atau sunah saja. Menurut Imam Ash Shan’ani secara tekstual hadits ini menunjukkan wajib secara mutlak, karena berasal dari perintah. Baik bangun tidur malam hari atau siang hari. Segolongan ulama dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan wajibnya hal ini, sementara mayoritas ulama mengatakan ini adalah anjuran (sunah) saja. 5)

Ada pun ketika wudhu, sangat dianjurkan menghirupkan air ke hidung, kecuali ketika sedang berpuasa. Dari Laqith bin Shabrah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَسْبِغْ الْوُضُوءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ الْأَصَابِعِ وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا

“Bersungguh-sungguhlah (sempurnakanlah) berwudhu dan gosok-gosoklah antara jari jemari kalian, dan bersungguhlah dalam menghirup air (istinsyaq), kecuali jika kalian puasa.” 6)

Hadits ini menunjukkan anjuran kuat untuk menghirup air kehidung ketika wudhu, lalu menghamburkannya. Serta menunjukan bolehnya menghirup air ke rongga hidung ketika puasa, namun makruh jika berlebihan, oleh karena itu Imam At Tirmidzi memberi judul Bab Ma Ja’a Fi Karahiyah Mubalaghah Al Istinsyaq Li Shaim (Bab Tentang Makruhnya menghirup air kehidung bagi orang berpuasa secara berlebihan).

Segolongan ulama mengatakan bahwa istinsyaq, istintsar, dan kumur-kumur ketika wudhu adalah wajib, seperti Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Abu ‘Ubaid, Ibnul Mundzir, Ahli Bait, Al Qasim, Ibnu Abi Laila, dan Hammad bin Abi Sulaiman. Sementara Imam An Nawawi menjelaskan dalam Syarh Shahih Muslim-nya bahwa Abu Tsaur, Abu ‘Ubaid, Daud Azh Zhahiri, Ibnul Mundzir, dan sebuah riwayat dari Ahmad, bahwa menghirup air ke hidung adalah wajib ketika mandi dan wudhu, sedangkan kumur-kumur adalah sunah pada keduanya. 7)

Wallahu A’lam

📕📓📗📘📙📔📒

✏ Farid Nu’man Hasan


🍃🍃🍃🍃🍃

[1] HR. Bukhari No. 3295
[2] Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 15/172
[3] Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 1/177
[4] Ibid
[5] Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, 1/64
[6] HR. At Tirmdzi No. 788, katanya: hasan shahih. Abu Daud No. 2366, An Nasa’i No. 87, Ibnu Majah No. 407, Ahmad No. 16380. Al Hakim, Al Mustadrak No. 522, katanya: shahih. Imam Adz Dzahabi menyepakati keshahihannya dalam At Talkhish
[7] Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 1/177

 

Menggabungkan Dua Niat Shaum Sunnah

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum….mohon maaf ust,mohon dijelaskan dalil terkait “pahala otomatis” maksudx misal kita puasa Sunnah ayyamul bith bertepatan hari Senin (apakah pahala puasa Senin Kamis otomatis kita dapatkan)?afw jazakallah (08155316xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh …

Hal itu boleh, dalilnya adalah;

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الصَّدَقَةُ عَلَى المِسكينِ صَدَقةٌ ، وعَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ : صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ

Bersedekah kepada orang miskin adalah sedekah, bersedekah kepada orang yang punya hubungan persaudaraan ada dua macam keutamaan: bersedekah dan silaturrahim. (HR. At Tirmidzi No. 657, katanya: hasan)

Hadits diatas menunjukkan satu amal yaitu sedekah kepada keluarga sendiri bisa dapat dua manfaat, yaitu sedekah itu sendiri dan mempererat silaturrahim.

Oleh karena itu, satu amal ibadah bisa diniatkan dua niat sekaligus. Seperti shalat qabliyah diniatkan juga tahiyatul masjid, sebagaimana dikatakan Imam An Nawawi. Begitu pula puasa Sunnah dengan puasa Sunnah.

Al ‘Allamah As Sayyid Al Bakriy bin Sayyid Muhammad Syatha Ad Dimyathi Rahimahullah menjelaskan:

اعلم أنه قد يوجد للصوم سببان: كوقوع عرفة أو عاشوراء يوم اثنين أو خميس، أو وقوع اثنين أو خميس في ستة شوال، فيزداد تأكده رعاية لوجود السببين، فإن نواهما: حصلا – كالصدقة على القريب، صدقة وصلة – وكذا لو نوى أحدهما – فيما يظهر –

Ketahuilah shaum itu diperoleh dgn dua sebab: seperti jatuhnya hari ‘Arafah atau hari ‘Asyura di hari Senin atau Kamis, atau jatuhnya Senin atau Kamis bertepatan dengan enam hari Syawwal. Maka, penekanan untuk menjaganya jadi bertambah kuat, jika meniatkan langsung keduanya maka sah. Seperti sedekah kepada kerabat sendiri mendapatkan dua hasil: sedekah dan silaturrahim. Demikian juga jika berpuasa dengan dua niat menurut pendapat yg benar (adalah sah).

(I’aanatuth Thalibiin, 2/307)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🌴🌱🌸🍃🌵🌾🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top