Manusia Tempatnya Salah dan Lupa

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum.Ustadz, ada ketersngan bahwa manusia adalah tempat kesalahan dan lupa. Apakah ini hadits atau keterangan ulama?Jazaakallaah khair. (0416523xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh …

Bunyinya: Al Insaan mahalul Khatha’ wan Nisyaan – Manusia tempatnya salah dan lupa.

Ini adalah pepatah dan bukan hadits. Tetapi, ada hadits yg mirip dgn itu, yaitu:

َ كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

Setiap anak Adam pernah berbuat salah dan sebaik-baik yang berbuat salah adalah yang bertobat dari kesalahannya.
(HR. At Tirmidzi no. 2499, Hasan)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🌴🌱🌾🌵🌸🍃🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Berjamaah Tapi Makmum di Rumah Imam di Masjid

💦💥💦💥💦💥

Sebenarnya yang seperti ini tidak perlu terjadi seandainya orang tersebut mau menghormati tata krama shalat berjamaah, yaitu di masjid. Lain halnya jika jamaah membludak sehingga shaf pun melebar dan meluas sampai jalan-jalan dan rumah-rumah sekitar masjid, ini tidak masalah sebab masih adanya ketersambungan shaf, seperti yang kita lihat di sebagian masjid  perumahan ketika shalat ‘Id misalnya.

Dari Ma’mar, dari Hisyam bin ‘Urwah, katanya:

جِئْتُ أَنَا، وَأَبِي مُرَّةَ، فَوَجَدْنَا الْمَسْجِدَ قَدِ امْتَلَأَ، فَصَلَّيْنَا بِصَلَاةِ الْإِمَامِ فِي دَارٍ عِنْدَ الْمَسْجِدِ بَيْنَهُمَا طَرِيقٌ

Aku dan Abu Murrah datang ke masjid, dan kami dapatkan masjid sudah penuh maka kami pun shalat (bersama imam di masjid) di rumah yang berada di samping masjid yang di antara keduanya dipisahkan oleh jalan. (Lihat Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf, No. 4885)

Namun, kasus yang terjadi adalah makmum seorang diri di rumahnya, alias berbeda gedung dengan masjid,  dan dia berimam kepada imam di masjid yang terpisah darinya, bahkan sudah terhalang dinding, jalan, bahkan mungkin parit/selokan. Sehingga dia tidak melihat gerakan imam, hanya mengandalkan suara imam saja. Ini bagaimana?

Ada beberapa pendapat:

✔Pertama. Ini tidak sah. Inilah pendapat Umar bin Al Khathab, Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah. Ada beberapa alasan:

🔷 Syarat sahnya makmum adalah dia mesti mengetahui gerak-gerik imam dan mendengar suaranya. Ini dikatakan Asy Syaikh Abdul Qadir Ar Rahbawi dalam Ash Shalatu ‘Ala Madzahibil Arba’ah. Maka tidak sah pula berimam dengan imam yang ada di radio dan TV.

🔶 Terpisahnya makmum tersebut dengan imam, oleh adanya jalan, atau sungai, sehingga terputusnya shaf merupakan sebab tidak sahnya shalat baginya. (Kasyaaf Al Qinaa’, 1/493), yang serupa dengan ini adalah seorang yang berjamaah di sebuah perahu sementara imamnya di perahu lainnya secara tidak berbarengan, maka ini juga tidak sah, sebab air adalah jalanan, bukan shaf yang besambung, kecuali jika darurat perang. (Ibid)

🔷 Sebagian imam ada yang menyatakan batal shalat sendiri di belakang shaf, padahal dia masih di dalam masjid dan masih bisa masuk ke shaf, apalagi berjamaah dengan memisahkan  diri di rumahnya yang jelas jauh dari jamaah. Imam Ahmad, Ishaq, Hammad, Ibnu Abi Laila, Waki’, Hasan bin Shalih, Ibrahim An Nakha’i, Ibnul Mundzir, mereka mengatakan: “Barang siapa yang shalat seorang diri  satu rakaat sempurna di belakang shaf, maka batal shalatnya.” (Fiqhus Sunnah, 1/244)

Mereka beralasan dengan hadits Wabishah bin Ma’bad:

سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن رجل صلى خلف الصف وحده؟ فقال (يعيد الصلاة)

Rasulullah ﷺ ditanya tentang shalat seseorang sendirian di belakang shaf? Beliau menjawab: “Ulangi shalatnya.” (HR. At Tirmdzi No. 230, katanya: hasan. Abu Daud No. 682, Ibnu Majah No. 1004, Ahmad No. 18002, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 18002. Juga dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya)

Untuk pembahasan shalat sendiri di belakang shaf ada kajian tersendiri, dan bukan di sini pembahasan detailnya. Insya Allah.

✔ Pendapat kedua. Shalat ma’mum tetap sah tapi bersyarat. Ini pendapat Malikiyah yaitu dengan syarat ma’mum masih bisa melihat dan mendengar  imam, ada pun larangan terputusnya shaf bagi Malikiyah berlaku untuk shalat Jumat, bukan shalat lainnya.  Sedangkan Imam Syafi’i mensyaratkan jarak terpisahnya gedung tidak boleh lebih dari 300 dzira’ (hasta), jika kurang dari itu maka tidak sah.

Diriwayatkan oleh Shalih bin Ibrahim:

أَنَّهُ رَأَى أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ صَلَّى الْجُمُعَةَ فِي دَارِ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بِصَلَاةِ الْوَلِيدِ بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ وَبَيْنَهُمَا طَرِيقٌ

Bahwasanya dia melihat Anas bin Malik shalat Jumat di rumah Humaid bin Abdirrahman, yang menjadi imam adalah Al Walid bin Abdil Malik, dan di antara keduanya terpisahkan oleh jalan.  (Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 4887)

Walau ini diperselisihkan, tetaplah shalat tersebut jika dalam keadaan tidak normal, jika dalam keadaan normal maka di masjid bersama imam dan kaum muslimin sepakat oleh semuanya untuk diikuti. Di sisi lain, hikmah berjamaah dan kebersamaan baru bisa kita rasakan dengan berjamaah di masjid, bukan memisahkan diri di rumah.

Wallahu A’lam

🍃🌴🍃🌴🍃🌴

✏ Farid Nu’man Hasan

Muntah Apakah Membatalkan Puasa?

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustadz. Apa hukumnya kalau wanita hamil muda muntah(ngidam) dalam keadaan puasa romadhon. Apakah puasa nya batal atau tidak?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa ‘Alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Muntah ada dua keadaan, SENGAJA dan TIDAK SENGAJA. Keduanya memiliki hukum yang berbeda.

Jika SENGAJA, maka itu batal dan mesti qadha di hari lain, jika TIDAK SENGAJA tidak batal dan tidak ada qadha. Ini berdasarkan hadits berikut:

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

Barang siapa yang terdesak oleh muntah, dan dia sedang puasa, maka tidak ada qadha baginya, jika dia sengaja maka dia mesti qadha. 1]

Maka, jika muntah seorang wanita hamil tidak sengaja, tapi disebabkan mual umumnya kehamilan muda, maka itu tidak membuat batal shaumnya.

Imam Al Khathabi berkata:

لا أعلم خلافا بين أهل العلم، في أن من ذرعه القئ، فإنه لا قضاء عليه، ولا في أن من استقاء عامدا، فعليه القضاء.

Tidak aku ketahui adanya perselisihan pendapat di antara ulama tentang orang yang TIDAK SENGAJA muntah, bahwa itu tidak membuatnya mengqadha puasanya, begitu pula bagi yang SENGAJA muntah itu juga tidak ada perselisihan bahwa baginya wajib qadha. 2]

Demikian. Wallahu A’lam

🌺🌴🍃🌷☘🌾🌸🌻

✏ Farid Nu’man Hasan


🍃🍃🍃🍃🍃

[1] (HR. Abu Daud No. 2382, At Tirmdzi No. 720, 1676. Ibnu Hibban No. 3518, Ibnu Khuzaimah No. 1961, Amad No. 10463, Al Hakim No. 1557. Para ulama menyatakan hadits ini shahih, seperi Imam Al Hakim (Al Mustadrak, 1/427), Syaikh Al Albani (Shahihul Jami’ No. 6243, Ash Shahihah No. 923, dll), Syaikh Syu’aib Al Arnauth (Ta’liq Musnad Ahmad No. 10463)

[2] (Fiqhus Sunnah, 1/466)

 

 

Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 19)

Sebelumnya:

Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 18)

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

SYARAH HADITS KETIGA, lanjutan

📌 Bagaimana Haji Yang Sukses ?

Haji yang sukses bukan hanya sah hajinya, orang yang sudah memenuhi syarat dan rukunnya. Tidak hanya itu. Tetapi kemampuan seseorang dalam menghayati nilai ibadah haji yang agung ini. Di sinilah kebanyakan manusia gagal dalam meraihnya. Mereka sudah merasa puas diri ketika pulang ke tanah air dengan gelar hajinya dan dengan pakaian kebesarannya. Tapi, secara perilaku, ilmu, akhlak, kekuatan spiritual, dan kesolehan sosial, sama sekali tidak ada perubahan.

Gelarnya haji tetapi korupsi dan mengambil harta yang bukan haknya. Gelarnya haji tetapi bakhilnya luar biasa dan tidak dekat dengan rakyat kecil, fuqara (orang fakir) dan masakin (orang miskin). Gelarnya haji tetapi masih doyan maksiat bahkan terang-terangan tidak ada rasa malu. Gelarnya haji tetapi jarang shalat berjamaah ke masjid. Gelarnya haji tetapi mudah sekali memusuhi saudara sesama muslim. Gelarnya haji tetapi jiwanya rapuh, jika ada masalah bukan mengadu kepada Allah Ta’ala tetapi kepada para dukun. Gelarnya haji tetapi tidak dekat dengan majelis ilmu bahkan menjauhi majelis ilmu, namun anehnya merasa sudah berilmu. Gelarnya haji tetapi tidak rendah hati bahkan cenderung sombong terhadap sesama umat Islam.

Ini semua bukan sifat haji yang sukses. Justru inilah tanda haji yang gagal, walau prosesi ritual ibadah hajinya adalah sah. Seluruh manasik dijalankan secara lengkap dan sempurna. Sungguh, sangat disayangkan dana yang dikorbankan, tenaga yang dikeluarkan, waktu yang diberikan, serta peluh yang mengucur, itu semua menjadi tiada makna lantaran sikapnya sendiri yang tidak mau berubah. Lebih menjadikan haji sebagai sarana unjuk gengsi dan prestise di masyarakat. Sehingga hatinya tetap keras bahkan telah mati, namun dia tidak menyadarinya.

Ada pun orang yang sukses hajinya. Mereka semakin tawadhu (rendah hati). Semakin takut kepada Allah Ta’ala, semakin khawatir apa yang dilakukannya belum diterima Tuhannya; karena dia tahu bahwa Allah Ta’ala hanya menerima amal orang-orang yang bertaqwa. Sedangkan dirinya merasa masih jauh dari taqwa. Selain itu, dia dekat dengan saudaranya yang kesulitan, fuqara dan masakin, baginya tidak penting manusia mengetahui apa yang dilakukannya atau tidak, yang terpenting adalah Allah mau menerima apa yang dilakukannya. Dia tidak mau dirinya disebut-disebut kebaikannya di depan umum, dia malu kepada Allah jika ada orang yang memujinya, sedangkan dia tahu bahwa dirinya masih banyak kekurangan yang tidak diketahui orang lain.

Penampilan pun sederhana, pandai menjaga perasaan saudaranya yang tidak seberuntung dia. Bahkan banyak manusia tidak mengetahui kalau dia sudah haji. Penampilan pun bersahaja dan sederhana, tak ada bedanya antara dirinya dengan orang-orang lain yang ada di sekitarnya. Tidak pernah membedakan pergaulan, kaya dan miskin, haji dan bukan haji, kecil dan besar, semua adalah sahabat dan saudaranya.

Dari sisi ibadah juga semakin baik. Masjid adalah rumahnya yang kedua. Jamaah masjid adalah perkumpulan yang amat dirindukannya. Adzan adalah suara yang paling dinantikannya. Kalimat takbir adalah ungkapan yang paling meluluhkan hatinya. Majelis taklim adalah majelis favoritnya untuk menempa diri dari noda hawa nafsu manusia, serta menggali ilmu-ilmu agama yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya.

Subhanallah … tanpa disadarinya, bisa jadi, dialah salah satu wali Allah … kekasih Allah .. walau bisa jadi ada manusia yang merendahkannya. Dianggap bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Melecehkan keshalihannya, dan mengejek kerendahhatiannya.

📌 Kewajiban Haji Hanya Sekali

Kewajiban haji hanyalah sekali seumur hidup, dan ini menjadi ketetapan seluruh ulama Ahlus Sunnah Al Jama’ah. Ada pun haji kedua dan seterusnya adalah tathawwu’ (sunah), tetapi bagi yang bernadzar haji, maka wajib baginya untuk menunaikannya. Hal ini berdasarkan riwayat berikut:

أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ الْحَجَّ فَحُجُّوا فَقَالَ رَجُلٌ أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ

فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلَاثًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ ثُمَّ قَالَ ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوهُ

“Wahai manusia! Allah telah mewajibkan atas kalian haji, maka berhajilah! Lalu ada seorang yang bertanya: “Apakah tiap tahun ya Rasulullah?” Beliau terdiam hingga tiga kali ditanya demikian. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Seandainya saya bilang “Ya” maka itu menjadi wajib dan kalian tidak akan mampu.” Kemudian beliau berkata: “Biarkanlah, jangan kamu usik apa yang tidak saya sebutkan, sesungguhnya binasanya orang terdahulu sebelum kalian karena banyaknya bertanya dan mereka berselisih dengan bai-nabi mereka. Jika saya perintahkan kalian dengan sesuatu maka jalankan semampu kalian, dan jika saya larang kalian dari sesuatu maka jauhkanlah.” (HR. Muslim No. 1337)

Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:

أجمع العلماء على أن الحج لا يتكرر، وأنه لا يجب في العمر إلا مرة واحدة – إلا أن ينذره فيجب الوفاء بالنذر – وما زاد فهو تطوع

“Ulama telah ijma’ (sepakat) bahwa haji tidaklah dilakukan berulang-ulang, dia tidaklah wajib sepanjang umur melainkan hanya sekali –kecuali jika dia nazar maka wajib memenuhi nazarnya itu. Sedangkan lebih dari sekali hanyalah tathawwu’ (sunah).” (Fiqhus Sunnah, 1/628)

Perhatikanlah ini wahai para haji ….! Tidak sedikit para haji yang tidak memahami fiqih aulawiyat (fiqih prioritas). Mereka melaksanakan haji yang sunah, yakni yang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya, padahal kewajibannya masih banyak yang belum dijalankan.

Kanan kiri rumahnya banyak orang kelaparan, banyak muallaf yang perlu dibina dan diberi bantuan, banyak pula anak yatim dan faqir miskin. Memperhatikan mereka, memenuhi kebutuhan hidup mereka adalah lebih utama dan lebih wajib dibanding menjalankan haji yang sunah. Sayangnya, ini tidak mau dipedulikan oleh sebagian para haji, mereka egois hanya demi kenikmatan ibadah dirinya sendiri padahal tetangganya hampir mati kelaparan. Tidak demikian seharusnya, justru berhaji membuat kita semakin dermawan bukan semakin tidak peduli dengan sesama.
Imam Abdullah bin Mubarak pernah memimpin sebuah rombongan haji. Dalam perjalanan mereka melihat seorang wanita yang sedang mengais tumpukan sampah. Lalu Abdullah bin Mubarak bertanya: “Apa yang kau lakukan?”

Wanita itu menjawab: “Aku mencari makanan, untuk anak-anakku.”

Lalu Abdullah bin Mubarak bertanya lagi: “Apa yang kau dapatkan?”

Wanita itu menjawab: “Seekor bangkai ayam.”

Mendengar ini, Abdullah bin Mubarak berkata kepada rombongan yang dibawanya: “Kumpulkan perbekalan kalian, berikan kepada si ibu ini, mari kita kembali ke rumah!”

Salah seorang dari mereka bertanya: “Wahai Syaikh, bukankah kita mau pergi haji?”

Abdullah bin Mubarak menjawab: “Ya, tapi kita sudah berkali-kali haji, dan ini hanya sunah, sedangkan membantu wanita ini adalah wajib dan lebih utama, mari kumpulkan perbekalan kita dan kita pulang saja.” Akhirnya mereka mengurungkan niatnya untuk berangkat haji.

Inilah kedalaman ketajaman ilmu Abdullah bin Mubarak dan kelembutan hatinya. Semoga Allah merahmati Imam Abdullah bin Mubarak.

Apa lagi yang kita harapkan setelah haji ..? jika kita renungkan perjalanan haji dari awal hingga akhirnya, maka di sana ada pelajaran besar yang dapat kita ambil. Haji merupakan ibadah totalitas penghambaan kepada Allah Ta’ala. Kita berasal dariNya dan akan kembali kepadaNya.

Di sana, kita menanggalkan pakaian kebesaran dan pakaian keduniawian, hanya selembar kain ihram tanpa peci, minyak wangi, dan celak mata. Jutaan manusia seperti itu di tempat yang sama, di sana tidak ada kelebihan yang satu dibanding yang lain. Pangkat, kedudukan, dan jabatan tidak ada artinya dan manfaatnya. Begitulah kondisi semua manusia di akhirat nanti.

Orang kuat, lemah, pejabat, orang kecil, saudagar, pembantu, semua melepaskan status dunianya; semuanya hanyalah hamba Allah Ta’ala, yang membedakan hanya ketaqwaannya.

Haji yang benar, akan meluluhkan kesombongan, melunturkan kebakhilan, melenyapkan sikap ananiyah (egoisme), memandang semua muslim adalah saudara dan kawan. Memandang mereka dengan mata cinta dan keridhaan, bukan mata benci dan dendam.

Buat yang akan pergi haji, mari sama-sama meluruskan niat, kuatkan tekad, dan melipatkan kesabaran, agar menjadi tamu Allah yang dicintai oleh makhluk dan diridhai oleh sang Khaliq. Buat yang sudah haji, mari kita introspeksi dan evaluasi, apakah haji yang sudah kita lakukan sudah berhasil merubah diri kita ke arah yang lebih baik. Apakah sudah bisa merubah amal kita baik kualitas dan kuantitasnya? Semoga Allah Ta’ala memudahkan langkah kita semua untuk menjadi hambaNya yang pandai bersyukur dan bersabar.

Wallahu A’lam

Bersambung … Masih hadits ke-3

🌿🌻☘🌸🍃🌾🌳🍁🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Berikutnya:

Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 20)

scroll to top