Hukum Membaca Al Qur’an Hanya Di Hati?

▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

Assalaamu’alaikum. Ustadz, mau bertanya tentang membaca Al qur’an didalam hati (ketika di kereta atau diruang kantor, yg jika dikeraskan khawatir mengganggu orang lain). Apakah kita akan mendapatkan pahalanya seperti ketika dibaca dengan suara keras? Terima kasih (+62 813-3330-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah ..

Membaca Al Qur’an dihati, belum dikatakan “tilawah”. Kecuali membaca satu ayat di sebuah buku pelajaran, majalah, dalam rangka merenungkannya .. tidak apa-apa.

Imam Al Kasani Rahimahullah berkata:

القراءة لا تكون إلا بتحريك اللسان بالحروف ، ألا ترى أن المصلي القادر على القراءة إذا لم يحرك لسانه بالحروف لا تجوز صلاته

Membaca Al Qur’an tidaklah terwujud kecuali dengan menggerakkan lisan terhadap hurufnya, apakah Anda tidak melihat orang yang shalat jika tidak menggerakkan lisannya terhadap huruf-huruf maka shalatnya tidak diperbolehkan?

(Bada’iy Shana’iy, 4/118)

Imam Malik Rahimahullah pernah ditanya tentang orang yang shalat namun bacaannya tidak terdengar oleh orang lain dan dirinya. Beliau menjawab:

ليست هذه قراءة ، وإنما القراءة ما حرك له اللسان

Ini bukanlah membaca Al Qur’an, membaca itu hanyalah bagi yg menggerakkan lisannya.

(Imam Ibnu Rusyd, Al Bayan wat Tahshil, 1/490)

Jadi, saran saya gerakkan bibir, bacalah sesuai tajwid, minimal didengar untuk diri sendiri.

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Berburuk Sangka Kepada Non Muslim

▪▫▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

Ustadz,apakah kita diharuskan khusnudzn kpada org2 kafir? (+62 897-6060-xxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal hamdulillah ..

Berbaik sangka (Husnuzhzhan) adalah wajib, yaitu kepada Allah dan muslim secara umum.

Imam Al ‘Aini Rahimahullah menyebutkan:

إِحْسَان الظَّن بِاللَّه عز وَجل وبالمسلمين وَاجِب

Berbaik sangka kepada Allah dan kaum muslimin adalah wajib. (‘Umdatul Qaari, 20/133)

Ada pun kepada muslim yang ZAHIRnya buruk, jahat, dikenal sebagai orang yang tidak baik, boleh su’uzh zhan kepadanya.

Imam Al Bahutiy Rahimahullah mengatakan:

وَيَحْرُمُ سُوءُ الظَّنِّ بِاَللَّهِ وَبِمُسْلِمٍ ظَاهِرِ الْعَدَالَةِ، قَالَهُ الْقَاضِي وَغَيْرُهُ وَيَجِبُ حُسْنُ الظَّنِّ بِاَللَّهِ تَعَالَى وَيُسْتَحَبُّ ظَنُّ الْخَيْرِ بِالْمُسْلِمِ وَلَا يَنْبَغِي تَحْقِيقُ ظَنِّهِ فِي رِيبَةٍ وَلَا حَرَجَ بِظَنِّ السَّوْءِ بِمَنْ ظَاهِرُهُ الشَّرُّ

Diharamkan berburuk sangka kepada Allah dan kepada muslim yang zahirnya menunjukkan seorang yang shalih dan adil. Al Qadhi dan selainnya mengatakan: wajib berbaik sangka kepada Allah Ta’ala dan disukai berbaik sangka kepada muslim, dan tidak selayaknya menerapkan prasangka dalam hal yang masih ragu-ragu.

Namun tidak apa-apa berprasangka buruk kepada orang yang memang ZAHIRnya itu buruk.

(Kasysyaaf Al Qinaa’, 2/102)

📌 Lalu Bagaimana berbaik sangka dengan Non Muslim?

Melihat penjelasan para ulama, yaitu jika kepada muslim yang buruk dan jahat saja boleh berburuk sangka, maka apalagi kepada orang kafir.

Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin Rahimahullah mengatakan:

ويحرم سوء الظن بمسلم ظاهره العدالة ـ أي: يحرم سوء الظن بمسلم، أما الكافر فلا يحرم سوء الظن فيه، لأنه أهل لذلك، وأما من عُرف بالفسوق والفجور، فلا حرج أن نسيء الظن به، لأنه أهل لذلك، ومع هذا لا ينبغي للإنسان أن يتتبع عورات الناس، ويبحث عنها، لأنه قد يكون متجسساً بهذا العمل

Diharamkan buruk sangka kepada seorang muslim yang zahirnya menunjukkan adil (Shalih), yaitu haram su’uzh zhan kepada muslim, ada pun kepada orang kafir tidak diharamkan su’uzh zhan kepadanya karena dia berhak untuk itu. Sedangkan orang yang dikenal fasik dan jahatnya tidak apa-apa kita su’uzh zhan kepadanya karena dia berhak untuk itu. Namun bersamaan dengan ini tidak selayaknya seorang muslim menguntit aib manusia, mencari-carinya, sebab itu merupakan aktifitas mencari-cari kesalahan orang.

(Syarhul Mumti’, 5/300)

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah mengatakan:

فلا يجب على المسلم إحسان الظن بالكافر، وإذا كان سوء الظن بمن ظاهره الفسق من المسلمين جائزا، فسوء الظن بالكافر أولى أن يكون كذلك

Tidak wajib bagi kaum muslimin berbaik sangka kepada orang kafir. Jika kepada orang yang menampakkan kefasikannya saja dibolehkan untuk berburuk sangka, maka kepada orang kafir lebih utama untuk dibolehkan.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 177159)

Ada pun hadits-hadits yang menyertakan larangan berburuk sangka, mereka memaknai sebagai buruk sangka yang tanpa dasar tanpa hak. Ada pun kepada orang yang punya track record buruk, dia berhak itu disikapi seperti itu, maka itu bukan termasuk larangan yg dimaksud dalam hadits tsb.

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Menghadiahi Pahala Shalat Untuk Mayit (Hukum Sholat Hadiah)

▪▫▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum Ustadz. Ana mau bertanya tentang sholat hadiah untuk mayyit? Apakah ini memang ada tuntunannya? Jazakallahu khayran Ustadz. (+81 80-7013-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah…

Bismillah wal hamdulillah ..

Shalat dengan niat pahalanya untuk orang yg sudah wafat adalah zona debatable para ulama. Sebagian ulama mengatakan tidak sampai dan tidak ada contohnya, sebagian lain mengatakan boleh dan sampai.

Namun para ulama sepakat bahwa doa, sedekah, haji, dan umrah, adalah sampai pahalanya kepada mayit. Begitu pula nadzar dan waqaf yang dulu pernah direncanakan oleh mayit dimasa hidupnya, lalu kemudian ditunaikan oleh keluarganya. Semua ini tidak ada perselisihan: boleh dan sampai.

Ada pun membaca Al Qur’an, shalat, shaum, qurban, aqiqah, adalah hal yang diperdebatkan para imam sejak dulu.

📌 Pihak yang membolehkan

Ini dimotori oleh Hambaliyah generasi awal dan pertengahan, serta Hanafiyah, dan sekelompok Syafi’iyyah dan Malikiyah. Alasannya adalah Qiyas dengan kebolehan sedekah, haji, dan umrah untuk mayit.

Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah berkata:

الْمَيِّتُ يَصِلُ إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ الْخَيْرِ مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ صَلَاةٍ أَوْ غَيْرِهِ لِلْأَخْبَارِ

Sampai kepada mayit   semua bentuk amal kebaikan, baik berupa sedekah, shalat, dan amal shalih lainnya, karena adanya riwayat tentang itu.

(Imam Al Bahutiy, Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16)

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah mengatakan:

وعلى القول الراجح بجواز إهداء ثواب الصلاة للميت، فيجوز أن تكون هذه الصلاة جماعة أو فرادى

Pendapat yg lebih kuat adalah BOLEHNYA menghadiahkan pahala SHALAT untuk mayit, dan boleh shalat ini dilakukan secara berjamaah atau sendirian.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 121425)

Namun demikian, Syaikh Abdullah Al Faqih tetap mengutamakan mengikuti perilaku salaf dengan melakukan hal-hal yang disepakati saja. Kata Beliau:

ولهذا فالأفضل والأكمل أن يقتصر المسلم على ما وردت به السنة كالدعاء للميت والصدقة، والصيام عنه إذا كان عليه صوم واجب، وكذلك الحج عنه إذا كان عليه حج واجب، لأدلة كثيرة

Oleh karenanya, maka yang lebih utama dan lebih sempurna adalah seorang muslim mencukupkan diri pada apa-apa yang sampai dari Sunnah, seperti doa buat mayit, sedekah, puasa jika dia masih ada kewajiban puasa, demikian juga haji untuknya jika dia masih ada kewajiban haji, karena dalil-dalilnya banyak.

(Ibid, no. 8132)

Apa yg dikatakan Syaikh tentang puasa utk mayit adalah hal yang diperselisihkan ulama, di mana Syafi’iyah mengatakan boleh berdasarkan hadits Shahih Muslim, sementara Jumhur mengatakan tidak, kecuali puasa nadzar.

Semetara itu, Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, mengatakan bahwa hadiah pahala Shalat untuk mayit adalah BOLEH menurut banyak ulama, Namun walau pun boleh tapi hal itu BUKAN KEBIASAAN ulama salaf, dan lebih utama adalah mengikuti salaf, bukan menyelisihi mereka.

Berikut ini perkataannya:

وقد صح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه أمر بالصدقة على الميت، وأمر أن يصام عنه الصوم، فالصدقة عن الموتى من الأعمال الصالحة، وكذلك ما جاءت به السنة في الصوم عنهم. وبهذا وغيره احتج من قال من العلماء: إنه يجوز إهداء ثواب العبادات المالية والبدنية إلى موتى المسلمين. كما هو مذهب أحمد وأبي حنيفة، وطائفة من أصحاب مالك والشافعي
فإذا أهدي لميت ثواب صيام أو صلاة أو قراءة جاز ذلك وأكثر أصحاب مالك والشافعي يقولون: إنما شرع ذلك في العبادات المالية.
ومع هذا لم يكن من عادة السلف إذا صلوا تطوعاً وصاموا وحجوا أو قرأوا القرآن، يهدون ثواب ذلك لموتاهم المسلمين، ولا بخصوصهم، بل كان عادتهم كما تقدم- أي فعل العبادة لأنفسهم مع الدعاء والصدقة للميت- فلا ينبغي للناس أن يبدلوا طريق السلف، فإنه أفضل وأكمل

Telah Shahih dari Nabi Shalallahu’Alaihi wa Sallam bahwa Beliau memerintahkan sedekah untuk mayit, dan juga berpuasa untuk untuknya. Maka, sedekah untuk mayit adalah termasuk amal Shalih, demikian pula tentang sunahnya puasa untuk mereka.

Oleh karena itu, berdasarkan ini dan selainnya, di antara ulama ada yang mengatakan: “Bolehnya menghadiahkan pahala ibadah badan dan harta kepada mayat kaum muslimin.” Sebagaimana pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, segolongan dari pengikut Imam Malik dan Imam Asy Syafi’iy.

Maka, jika dihadiahkan pahala untuk mayit berupa pahala puasa, atau SHALAT, atau membaca Al Qur’an, hal itu BOLEH.

Tapi, MAYORITAS para pengikut Malik dan Asy Syafi’iy mengatakan itu hanya disyariatkan pada ibadah HARTA saja.

Disamping memang hal ini TIDAK PERNAH menjadi kebiasaan kaum salaf, jika mereka shalat, puasa, haji, membaca Al Qur’an, menghadiahkan pahalanya tidak untuk mayit kaum muslimin, dan tidak pula dikhususkan untuk mereka.

Bahkan dahulu kebiasaan mereka -seperti yang dijelaskan sebelumnya – bahwa bersamaan dengan ibadah untuk diri mereka sendiri mereka juga berdoa dan bersedekah untuk mayit. Maka tidak sepatutnya manusia mengganti jalan kaum salaf, karena itu lebih utama dan lebih sempurna.

(Al Fatawa Al Kubra, 3/37)

Sementara itu, ada pula yang mengatakan kebolehan ini hanya khusus shalat Sunnah, itulah yang masyhur di kalangan Hambaliyah.

Imam Al Bahutiy mengatakan:

ولو صلى فرضاً وأهدى ثوابه لميت لم يصح في الأشهر، وقال القاضي: يصح

Seandainya shalat wajib lalu pahalanya dihadiahkan untuk mayit maka itu TIDAK SAH menurut pendapat yang terkenal (dalam madzhab Hambali). Al Qadhi berkata: SAH.

(Syarh Al Muntaha Al Iradat, 1/385)

📌 Pihak Yang Mengatakan Tidak Sampai

Alasannya adalah karena hal ini tidak ada dasarnya, dan perkara peribadatan tidak bisa diqiyaskan.

Inilah mayoritas Malikiyah dan Syafi’iyah, seperti yang dikatakan Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:

أَمَّا وُصُولُ ثَوَابِ الْعِبَادَاتِ الْبَدَنِيَّةِ: كَالْقِرَاءَةِ وَالصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ فَمَذْهَبُ أَحْمَد وَأَبِي حَنِيفَةَ وَطَائِفَةٍ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ إلَى أَنَّهَا تَصِلُ وَذَهَبَ أَكْثَرُ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ إلَى أَنَّهَا لَا تَصِلُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

Ada pun sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Al Qur’an, SHALAT, dan shaum, maka madzhab Ahmad, Abu Hanifah, dan segolongan pengikut Malik dan Asy Syafi’iy bahwa semua ini SAMPAI. Ada pun mayoritas pengikut Malik dan Asy Syafi’iy mengatakan itu TIDAK SAMPAI. Wallahu a’lam.

(Majmu’ Al Fatawa, 24/324)

Ini juga pendapat Hambaliyah kontemporer, seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah;

أما الصلاة لها، فلا أصل لذلك؛ لأنه لم يشرع لنا أن نصلي عن الأموات

Ada pun Shalat untuknya (mayit) itu tidak ada dasarnya, karena kita tidak disyariatkan shalat untuk orang yang sudah wafat.

(Lihat: https://www.binbaz.org.sa/fatawa/1091)

Fatwa Al Lajnah Ad Daimah no. 7482, menyebutkan justru itu BID’AH, sebab hal itu tidak ada dasarnya:

لا يجوز أن تهب ثواب ما صليت للميت، بل هو بدعة لأنه لم يثبت عن ا لنبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ ولا عن الصحابة ـ رضي الله عنهم

Tidak boleh menghadiahkan pahala shalat yang Anda lakukan untuk mayit, bahkan itu bid’ah karena itu tidak Shahih dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak pula dari sahabat Radhiallahu Anhum.

Maka, lebih baik dan tidak kontroversi adalah lakukan amal-amal yang pasti ada dalam Sunnah saja seperti mendoakan, sedekah, haji, dan umrah. Walau tetap tasamuh (lapang dada) terhadap perbedaan yg ada.

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Mencela dan Mencopot Pemimpin yang Zalim

▪▫▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum pak ustadz
Pernah dengar tentang tidak bolehnya mencela pemimpin, dan harus patuhnya kita pada pemimpin walau dia zalim sekalipun
Dan berdosanya kita kalo berusaha menjatuhkan pemimpin yg tidak baik itu. Terima kasih pak ustadz (+62 811-811-xxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Pada dasarnya mencela tidak boleh, sesama muslim, yaitu janganlah saling mencela baik pemimpin atau bukan.

Nabi Shalallahu’Alaihi wa Sallam bersabda:

سباب المسلم فسوق

Memaki seorang muslim adalah perbuatan fasiq. (HR. Bukhari no. 6044)

Tapi kalau menasihati tidak apa-apa, karena menasihati pemimpin bagian dr perintah agama.

Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama itu adalah nasihat.” Kami bertanya, “Nasihat untuk siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para pemimpin kaum muslimin, serta kaum awam mereka.”

(HR. Muslim no. 55)

Tentunya mencela dan menasihati berbeda. Menasihati pemimpin bisa tertutup bisa terbuka, tergantung jenis kesalahan dan efektifitas. Maka, para ulama sejak masa sahabat nabi melakukan kedua cara ini. Begitu pula ulama-ulama selanjutnya.

Bahkan ini termasuk JIHAD paling utama:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ

“Dari Abu Said al Khudri, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang ‘adil di depan penguasa atau pemimpin yang zhalim.”

(HR. Abu Daud No. 4344. At Tirmidzi No. 2174, katanya: hadits ini hasan gharib. Ibnu Majah No. 4011, Ahmad No. 18830, dalam riwayat Ahmad tertulis Kalimatul haq (perkataan yang benar). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 18830)

Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

سيد الشهداء حمزة بن عبد المطلب ، ورجل قال إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله

“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang menghadapi penguasa kejam, ia melarang dan memerintah, namun akhirnya ia mati terbunuh.”

(HR. Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 4079, Al Hakim, Al Mustdarak ‘Ala ash Shaihain, No. 4884, katanya shahih, tetapi Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya. Al Bazzar No. 1285. Syaikh Al Albany mengatakan shahih dalam kitabnya, As Silsilah Ash Shahihah No. 374 )

Maka, upaya nasihat atau kritik kepada pemimpin yang salah adalah bagian dari ajaran Islam sejak dahulu. Ada pun ajakan menyerah dengan keadaan pemimpin yang zalim, bukan bagian dari ajaran Islam dan salah paham terhadap dalil dan sejarah para ulama Salaf.

Jangan Mendukung Orang Zalim

Sebagian kalangan, sayangnya mereka juga berasal dari aktifis Islam, justru menjadi bumper bagi penguasa yg zalim. Membungkus pembelaannya kepada penguasa zalim dengan memelintir dalil-dalil yang ujungnya adalah agar manusia diam saja walaupun harta mereka dirampas, yang penting pemimpin itu masih shalat. Pemikiran ini bertentangan dengan Al Qur’an, As Sunnah, dan Sirah para salaf.

Allah Ta’ala melarang keras condong kepada orang zalim, maka bagaimana bisa seorang muslim malah jadi pelindungnya? Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ

Dan janganlah kamu cenderung kepada orang yang zhalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, sedangkan kamu tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, sehingga kamu tidak akan diberi pertolongan. (QS. Hud: 113)

Dalam ayat lain:

“Dan janganlah kamu taati orang-orang yang melampuai batas.(yaitu) mereka yang membuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan.”. (QS. Asy Syu’ara: 151-152)

Ayat lain:

“Dan janganlah kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk mengingat Kami dan ia mengikuti hawa nafsu dan perintahnya yang sangat berlebihan.”

(QS. Al Kahfi: 28)

Taat kepada penguasa yang zalim merupakan bentuk ta’awun (tolong menolong) dalam dosa dan kesalahan, padahal Allah Ta’ala berfirman:

“Dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan kesalahan.” (QS. Al Maidah:2)

Dalam As Sunnah pun, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebut para pelindung, pendukung pemimpin yang zalim bukanlah termasuk umat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan tidak akan mendapatkan telaganya.

Nabi Shalallahu’Alaihi wa Sallam bersabda:

«اسْمَعُوا، هَلْ سَمِعْتُمْ أَنَّهُ سَيَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ؟ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ الحَوْضَ،َ»

“Dengarkanlah, apakah kalian telah mendengar bahwa sesudahku nanti akan ada para pemimpin?

Siapa yang masuk kepada mereka, lalu membenarkan kedustaan mereka dan mendukung kezaliman mereka, maka dia bukan golonganku, aku juga bukan golongannya. Dia juga tak akan menemuiku di telaga.”

(HR. At Tirmidzi no. 2259, An Nasa’i no. 4208, Shahih)

Maka, sangat tidak pantas mereka selalu membenarkan kezaliman penguasa zalim, membelanya dimimbar-mimbar ta’lim, BC, medsos, dan mengklaimnya sebagai ajaran salaf.

Nama-nama besar generasi salaf dan khalaf menghiasai sejarah perjuangan ulama dihadapan penguasa yang zalim, seperti Said bin Jubeir, Abdullah bin Az Zubeir, Ibnu Al Asy’ats, Amir Asy Sya’biy, Ibnu Sirin, Sufyan Ats Tsauriy, imam yang empat, Izzuddin bin Abdissalam, An Nawawi, Ibnu Taimiyah, dan lainnya.

Bagaimana Dengan Mendoakan Keburukan Kepada Pemimpin Yang Zalim?

Yang terbaik tentunya mendoakan kebaikan, agar Allah Ta’ala memberikan hidayah lalu kemudian dia menjadi pembela Islam.

Tapi, para ulama membolehkan mendoakan keburukan kepada pemimpin yang memang dikenal tirani dan zalimnya.

Dalilnya adalah:

لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنْ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ

”Allah tidak menyukai ucapan buruk yang diucapkan terang-terangan kecuali oleh orang yang dianiaya/di zhalimi.”

(QS An-Nisaa’ ayat 148).

Juga, Sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:

اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ هَذِهِ أُمَّتِي شَيْئاً فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ. وَمَنْ شَقَّ عَلَيْهَا فَاشْفُقْ عَلَيْهِ. رواه مسلم

“Ya Allah, siapa saja yang memimpin/mengurus urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah ia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka SUSAHKANLAH DIA”.

(HR. Muslim no. 1828)

Ulama sekelas Imam Hasan Al Bashri Rahimahullah, yang melarang berontak kepada pemimpin zalim pun pernah berdoa buruk kepada pemimpin zalim pada masanya:

اللَّهُمَّ يَا قَاصِمَ الْجَبَابِرَةِ اقْصِمِ الْحَجَّاجَ ابن يوسوف…

“Ya Allah yang maha perkasa atas orang-orang zalim, hancurkan dan binasakanlah Hajjaj Bin Yusuf…”

(Imam Ibnu Katsir, Al Bidayah wan Nihayah, 9/117)

Imam An Nawawi dalam Al Adzkar membuat bab berjudul:

بابُ جَواز دُعاء الإِنسان على مَنْ ظَلَمَ المسلمين أو ظلَمه وحدَه

Bab BOLEHNYA doa seseorang (dgn doa keburukan) kepada orang yang menzalimi kaum muslimin atau menzalimi dirinya seorang.

Beliau Rahimahullah menjelaskan:

وَقَدْ تَظَاهَرَ عَلىَ جَوَازِهِ نُصُوْصُ الْكِتَابِ وَالسُنَةِ وَأَفْعَالُ سَلَفِ الْأُمَةِ وَخَلَفِهَا

“Telah jelas kebolehan hal tersebut, berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah. Juga berdasarkan perbuatan generasi umat Islam terdahulu (yaitu salaf) maupun generasi terkemudian (khalaf).”

(Al Adzkar, 1/493)

Kapankah Pemimpin Boleh Dima’zulkan/Dicopot?

Berikut ini pandangan Imam Abul Hasan Al Mawardi dalam Al Ahkam As Sulthaniyah tentang keadaan yang membuat dibolehkannya dicopotnya seorang pemimpin:

وإذا قام الإمام بما ذكرناه من حقوق الأمة فقد أدى حق الله تعالى فيما لهم وعليهم ، ووجب له عليهم حقان الطاعة والنصرة ما لم يتغير حاله والذي يتغير به حاله فيخرج به عن الإمامة شيئان : أحدهما جرح في عدالته والثاني نقص في بدنه . فأما الجرح في عدالته وهو الفسق فهو على ضربين : أحدهما ما تابع فيه الشهوة .
والثاني ما تعلق فيه بشبهة، فأما الأول منهما فمتعلق بأفعال الجوارح وهو ارتكابه للمحظورات وإقدامه على المنكرات تحكيما للشهوة وانقيادا للهوى ، فهذا فسق يمنع من انعقاد الإمامة ومن استدامتها ، فإذا طرأ على من انعقدت إمامته خرج منها ، فلو عاد إلى العدالة لم يعد إلى الإمامة إلا بعقد جديد …..

Jika imam (pemimpin) sudah menunaikan hak-hak umat seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, maka otomatis ia telah menunaikan hak-hak Allah Ta’ala, hak-hak mereka, dan kewajiban-kewajiban mereka. Jika itu telah dia lakukan, maka dia punya dua hak dari umatnya.

Pertama, ketaatan kepadanya.

Kedua, membelanya selama keadaan dirinya belum berubah.

Ada pun dua hal yang dapat merubah keadaan dirinya, yang dengan berubahnya kedua hal itu dia mesti mundur dari kepemimpinannya:

1⃣ Adanya cacat dalam ke- ’adalah-annya.
2⃣ Cacat tubuhnya

Ada pun cacat dalam ‘adalah (keadilan) yaitu kefasikan, ini pun ada dua macam; Pertama, dia mengikuti syahwat (dalam prilaku); Kedua, terkait dengan syubhat (pemikiran).

Bagian pertama (fasik karena syahwat) terkait dengan perbuatan anggota badan, yaitu dia menjalankan berbagai larangan dan kemungkaran, baik karena menuruti hawa syahwat, dan tunduk kepada hawa nafsu. Kefasikan ini membuat seseorang tidak boleh diangkat menjadi imam (pemimpin), dan juga sebagai pemutus kelangsungan imamah (kepemimpinan)-nya.

Jika sifat tersebut terjadi pada seorang pemimpin, maka dia harus mengundurkan diri dari imamah-nya. Jika ia kembali adil (tidak fasik), maka imamah tidak otomatis kembali kepadanya, kecuali dengan pengangkatan baru. ………. (Imam Abul Hasan Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 28. Mawqi’ Al Islam)

Jika seorang pemimpin fasiq bisa dicopot, tentunya pemimpin kafir radikal lebih layak untuk dicopot.

Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah berkata:

أَنَّهُ يَنْعَزِلُ بِالْكُفْرِ إِجْمَاعًا فَيَجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ الْقِيَامُ فِي ذَلِكَ فَمَنْ قَوِيَ عَلَى ذَلِكَ فَلَهُ الثَّوَابُ وَمَنْ دَاهَنَ فِعْلَيْهِ الْإِثْمُ وَمَنْ عَجَزَ وَجَبَتْ عَلَيْهِ الْهِجْرَةُ من تِلْكَ الأَرْض

” Sesungguhnya pemimpin dilengserkan karena kekufuran yang meraka lakukan menurut ijma’ ulama. Wajib setiap muslim melakukan hal itu. Siapa yang mampu melakukannya, maka dia mendapat pahala. Dan siapa yang basa-basi dengan mereka, maka dia mendapat dosa. Dan siapa yang tidak mampu, wajib baginya untuk hijrah dari daerah itu”. ( Fathul Bari, 13/123)

Cara mencopotnya tentu dengan cara yang paling minim madharatnya, walau dalam sejarah umat ini bisa dilakukan oleh Ahlul Halli wal Aqdi, atau pernah dengan people power.

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

scroll to top