▪▫▪▫▪▫▪
Biasanya kita begitu perhatian dengan membangun amal Shalih, tapi kita lupa dengan bagaimana merawatnya. Merawat agar anak itu tetap ada dan abadi. Di antaranya adalah dengan cara menjauhi hal-hal yang merusaknya dan menghapuskannya.
Berikut ini hal-hal yang dapat menghapuskan amal Shalih manusia.
Daftar Isi
1⃣ Murtad
Terhapusnya amal Shalih karena murtad, tertera dalam ayat berikut:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Barangsiapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu terhapus amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
(QS. Al-Baqarah, Ayat 217)
Maka, shalat, puasa, zakat, haji, dan amal Shalih lainnya yang pernah dilakukan oleh orang yang murtad terhapus baik di dunia dan akhirat. Jika dia mati dalam keadaan itu, belum bertobat, maka dia akan menjadi penduduk neraka dan abadi. Hal ini dikarenakan murtad adalah terlepasnya seseorang dari ikatan asasinya terhadap Islam.
Imam Ibnu Jarir Ath Thabariy Rahimahullah menjelaskan:
وَقَوْلِهِ: {فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ} [البقرة: ٢١٧] يَقُولُ:مِنْ يَرْجِعْ عَنْ دِينِهِ دَيْنِ الْإِسْلَامِ، فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ، فَيَمُتْ قَبْلَ أَنْ يَتُوبَ مِنْ كُفْرِهِ، فَهُمُ الَّذِينَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ يَعْنِي بِقَوْلِهِ: {حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ} [البقرة: ٢١٧] بَطَلَتْ وَذَهَبَتْ، وَبِطُولِهَا: ذَهَابُ ثَوَابِهَا، وَبِطُولِ الْأَجْرِ عَلَيْهَا وَالْجَزَاءُ فِي دَارِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَقَوْلُهُ: {وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ} [البقرة: ٢١٧] يَعْنِي الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَنْ دِينَهُمْ فَمَاتُوا عَلَى كُفْرِهِمْ، هُمْ أَهْلُ النَّارِ الْمُخَلَّدُونَ فِيهَا
FirmanNya: “lalu dia mati dalam kekafiran”, yaitu dia keluar dari agamanya yaitu agama Islam, lalu dia mati dalam keadaan kafir, dan dia belum bertobat dari kekafirannya, maka mereka inilah orang-orang yang terhapus amal-amalnya, yaitu sebagaimana firmanNya: “maka mereka itu terhapus amalnya”, yaitu sia-sia dan lenyap, yaitu sia-sia pahalanya, lenyap ganjarannya, dan balasannya di dunia dan akhirat.
FirmanNya: “dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya,” yaitu orang-orang yang murtad dari agamanya, dan mereka mati dalam keadaan kekafiran, maka mereka menjadi penduduk neraka dan kekal abadi.
(Tafsir Ath Thabariy, 2/1154)
Uraian ini sekaligus mengoreksi kalangan liberal dan yang semisalnya, bahwa semua agama sama baik dan benarnya. Sama-sama menuju surga tapi berbeda jalan. Ini adalah kebohongan mereka dalam memanipulasi hakikat agama yang diridhai Allah, yaitu Islam, dan menyamakannya dengan agama lain.
2⃣ Syirik
Syirik adalah dosa terbesar di antara dosa-dosa besar, yaitu menyekutukan Allah Ta’ala dalam peribadatan, keyakinan, dan penyembahan.
Maksud “menyekutukan” yaitu seorang yang menyembah, mengabdi, beribadah kepada Allah Ta’ala, namun dia menyembah, mengabdi, beribadah kepada yang lain juga. Maka, apa jadinya bagi orang yang sama sekali tidak menyembah Allah Ta’ala dan hanya menyembah yang lainnya saja, sebagaimana yang dilakukan sebagian manusia?
Dari sekian banyak bahaya kesyirikan, di antaranya adalah terhapusnya amal Shalih.
Allah ﷻ berfirman:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Telah diwahyukan kepadamu dan orang-orang sebelum kamu, jika kamu melakukan kesyirikan niscaya benar-benar terhapus amalmu dan kamu benar-benar termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Az Zumar: 65)
Duh, sayang ‘kan sudah beramal tapi tidak ada hasilnya.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah mengatakan:
يعم كل عمل، ففي نبوة جميع الأنبياء، أن الشرك محبط لجميع الأعمال، كما قال تعالى في سورة الأنعام – لما عدد كثيرا من أنبيائه ورسله قال عنهم: {ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
“Ini berlaku bagi semua amal, maka terdapat pada nubuwwah seluruh nabi bahwa syirik menghapuskan seluruh amal, sebagaimana firman Allah ﷻ dalam surat Al An’am –yang membicarakan banyak para Nabi dan Rasul: “Itulah petunjuk dari Allah, Dialah yang memberikan petunjuk bagi yang Dia kehendaki, dan barang siapa di antara mereka menyekutukan Allah maka terhapus amal-amal yang telah mereka lakukan.”
( Taysir Al Karim Ar Rahman fi Tafsir Al Kalam Al Manan, Hal. 729. Cet. 1, 1420H-2000M. Muasasah Ar Risalah)
3⃣ Riya’
Yaitu beramal dengan tujuan dilihat orang lain, yang dengan itu dia mendapat pujian baik langsung atau tidak langsung.
Riya’ termasuk syirik (kecil), ditegaskan dalam ayat berikut:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al Kahfi: 110)
Para ulama mengatakan tentang makna ayat ini: لا يرائي – janganlah menjadi orang yang riya. (Sunan At Tirmidzi No. 1535)
Dari Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ يَسِيرَ الرِّيَاءِ شِرْكٌ
Sesungguhnya riya tersembunyi itu syirik. (HR. Ibnu Majah No. 3989, Al Qudha’i No. 1298, Al Baihaqi dalam Al Kubra No. 6393, dll. Didhaifkan oleh Syaikh Al Albani. Dhaiful Jami’ No. 2029)
Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah berkata:
الإشراك في العبادة وهو الرياء: وهو أن يفعل العبد شيئا من العبادات التي أمر اللّه بفعلها له لغيره
Syirik dalam ibadah adalah riya’, yaitu seorang hamba yang melaksanakan peribadatan yang Allah ﷻ perintahkan kepadanya tapi dia tujukan untuk selainNya. (At Tafsir Al Munir, 5/72)
Maka, masuknya riya’ dalam lingkup syirik, membuat amal yang didalamnya ada unsur riya’ akan terhapus. Bahkan, menjadi SYIRIK AKBAR jika memang sama sekali tidak ada lagi tujuan akhirat, semuanya adalah murni ingin dilihat, didengar (sum’ah), dan dipuji manusia, alias caper (cari perhatian).
Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ
“Barangsiapa menuntut ilmu untuk mendebat para ulama, atau untuk mendebat orang bodoh atau untuk MENGALIHKAN PERHATIAN MANUSIA kepadanya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam neraka”. (HR. At Tirmidzi no. 2654, Hasan)
4⃣ Melakukan Amal akhirat Tapi Dengan Niat Duniawi
Ini lebih umum dari riya’, kalau riya’ hanya karena ingin dilihat orang, tapi ini keinginan dunia lainnya, seperti kedudukan, kekayaan, dan lainnya.
Seperti menghadiri majelis ilmu hanya untuk modal debat di medsos, atau supaya dianggap faqih (paham) agama.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيَصْرِفَ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ فَهُوَ فِي النَّارِ
Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk mendebat orang bodoh, atau berbangga di depan ulama, atau mencari perhatian manusia kepadanya, maka dia di neraka.
(HR. Ibnu Majah No. 253. At Tirmidzi No. 2654. Hasan)
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ لِتُبَاهُوا بِهِ الْعُلَمَاءَ وَلَا لِتُمَارُوا بِهِ السُّفَهَاءَ وَلَا تَخَيَّرُوا بِهِ الْمَجَالِسَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَالنَّارُ النَّارُ
Janganlah kalian menuntut ilmu dengan maksud berbangga di depan ulama, mendebat orang bodoh, dan memilih-milih majelis. Barangsiapa yang melakukan itu maka dia di neraka, di neraka.
(HR. Ibnu Majah No. 254, Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 1725, Ibnu Hibban No. 77, Al Hakim, Al Mustadrak ‘alash Shahihain, No. 290. Shahih)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا
Barangsiapa yang menuntut ilmu yang dengannya dia menginginkan wajah Allah, (tetapi) dia tidak mempelajarinya melainkan karena kekayaan dunia, maka dia tidak akan mendapatkan harumnya surga pada hari kiamat.
(HR. Abu Daud No. 3664, Ibnu Majah No. 252, Ibnu Hibban No. 78, Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain, No. 288, katanya: SHAHIH sesuai syarat Bukhari-Muslim)
Dari Ubai bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:
Barangsiapa diantara mereka beramal amalan akhirat dengan tujuan dunia, maka dia tidak mendapatkan bagian apa-apa di akhirat.
(HR. Ahmad No. 20275. Ibnu Hibban No. 405, Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain No. 7862, katanya: sanadnya SHAHIH. Imam Al Haitsami mengatakan: diriwayatkan oleh Ahmad dan anaknya dari berbagai jalur dan perawi dari Ahmad adalah shahih, Majma’ Az Zawaid 10/220. Darul Kutub Al Ilmiyah)
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا لِغَيْرِ اللَّهِ أَوْ أَرَادَ بِهِ غَيْرَ اللَّهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk selain Allah atau dia maksudkan dengannya selain Allah, maka disediakan baginya kursi di neraka.
(HR. At Tirmidzi No. 2655, katanya: hasan)
5⃣ Mengungkit Sedekah dan Menyakiti Penerimanya
Mengungkit Sedekah kepada seseorang atau lembaga, masjid, yayasan, untuk menunjukkan jasa kepada penerimanya, ada salah satu penghapus amal Shalih. Apalagi, jika dilakukan sambil menyakiti penerimanya; baik dengan menghina, memposisikan ketinggian diri dan kerendahan mereka, maka ini lebih buruk lagi.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima).
(QS. Al-Baqarah: 264)
Imam Abul Faraj bin Al Jauzi Rahimahullah berkata:
قوله تعالى: لا تُبْطِلُوا صَدَقاتِكُمْ، أي: لا تبطلوا ثوابها، كما تبطل ثواب صدقة المرائي
Firman Allah Ta’ala (Janganlah kamu merusak sedekahmu) yaitu jangan batalkan pahalanya, seperti batalnya pahala orang-orang yang riya’.
(Zaadul Masiir, 1/239)
Ada pun yang dimaksud “dengan menyebut-nyebut/ mengungkit” adalah:
أراد بالمن الإنعام. وأما الوجه المذموم، فهو أن يقال: منّ فلان على فلان، إذا استعظم ما أعطاه، وافتخر بذلك
Maksud “dengan menyebut-nyebut” yaitu mengungkit pemberian. Ada pun dgn cara yang buruk, yaitu dikatakan: Si Fulan telah memberikan kepada si Fulan, jika dibesar-besarkan dan membanggakan pemberian itu.
(Ibid, 1/239)
Ada pun makna “menyakiti” :
وفي الأذى قولان: أحدهما: أنه مواجهة الفقير بما يؤذيه، مثل أن يقول له: أنت أبداً فقير، وقد بليت بك، وأراحني الله منك. والثاني: أنه يخبر بإحسانه إلى الفقير، من يكره الفقير إطلاعه على ذلك، وكلا القولين يؤذي الفقير وليس من صفة المخلصين في الصدقة
Ada dua makna:
1. Menatap si fakir dengan cara yang menyakitinya, semisal perkataan: “Ente fakir terus-terusan! Ente telah dikasih bencana, ane Allah lapangkan melalui ente!”
2. Dia menceritakan kebaikannya kepada orang fakir itu, di mana orang fakir itu tidak suka mendengarnya.
Kedua perkataan ini menyakiti orang fakir dan bukan sifat orang yang Mukhlis dalam sedekah. (Ibid)
Ada pun menceritakan amal Shalih, termasuk sedekah, jika diperlukan untuk menceritakan, tanpa maksud berbangga tanpae menyakiti penerimanya tidaklah termasuk pembahasan ini.
Seperti karyawan yang melaporkan pekerjannya kepada atasannya, seorang siswa melaporkan PRnya kepada guru, pelamar kerja menulis CV tentang apa yang pernah dia lakukan, .. semua ini tuntutan profesionalitas, tidak masalah.
6⃣ Menyakiti Manusia Dengan Lisan, Tangan, dan Memakan Harta Saudaranya Tanpa Hak
Yaitu lisan yang menuduh saudaranya tanpa bukti, memaki dan mencela, menyakiti fisiknya tanpa hak, dan memakan harta yang bukan haknya.
Nabi ﷺ menyebut orang seperti ini muflis (bangkrut), karena shalat, puasa, dan zakatnya terhapus dan pindah kepada yang menjadi korbannya.
Nabi ﷺ bertanya:
أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Apakah kalian tahu siapa muflis (orang yang bangkrut) itu?”
Para sahabat menjawab,
“Muflis itu adalah yang tidak mempunyai dirham maupun harta benda.”
Tetapi Nabi ﷺ berkata : “Muflis dari umatku ialah, orang yang datang pada hari Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun (ketika di dunia) dia telah mencaci ini, menuduh orang lain (tanpa hak), makan harta si anu, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak). Maka orang-orang yang menjadi korbannya akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka (korban) akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka”
(HR. Muslim No. 2581)
Imam Al Maziriy Rahimahullah berkata:
وَزَعَمَ بَعْضُ الْمُبْتَدِعَةِ أَنَّ هَذَا الْحَدِيثَ مُعَارِضٌ لِقَوْلِهِ تعالى ولا تزر وازرة وزر أخرى وَهَذَا الِاعْتِرَاضُ غَلَطٌ مِنْهُ وَجَهَالَةٌ بَيِّنَةٌ لِأَنَّهُ إِنَّمَا عُوقِبَ بِفِعْلِهِ وَوِزْرِهِ وَظُلْمِهِ فَتَوَجَّهَتْ عَلَيْهِ حُقُوقٌ لِغُرَمَائِهِ فَدُفِعَتْ إِلَيْهِمْ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَلَمَّا فَرَغَتْ وَبَقِيَتْ بَقِيَّةٌ قُوبِلَتْ عَلَى حَسَبِ مَا اقْتَضَتْهُ حِكْمَةُ اللَّهِ تَعَالَى فِي خَلْقِهِ وَعَدْلِهِ فِي عِبَادِهِ فَأُخِذَ قَدْرُهَا مِنْ سَيِّئَاتِ خُصُومِهِ فَوُضِعَ عَلَيْهِ فَعُوقِبَ بِهِ فِي النَّارِ
Sebagian pelaku bid’ah menyangka bahwa hadits ini bertentangan dengan ayat: “Seorang yang berdosa tidak menanggung dosa orang lain”, ini merupakan persangkaan yang keliru dan kebodohan yang begitu jelas. Sesungguhnya dia dihukum karena perbuatan, dosanya, dan kezalimannya sendiri, maka dia mempertanggungjawabkannya atas orang yang pernah menjadi korban kejahatannya dengan mengembalikan haknya, maka kebaikan-kebaikan dirinya diperuntukan untuk mereka, jika sudah habis maka keburukan mereka yg akan dipindahkan kepada dia sesuai kadarnya, lalu dia dimasukan ke dalam neraka. Ini merupakan kebijaksanaan Allah atas makhlukNya dan keadilanNya pada hambaNya.
(Syarh Shahih Muslim, 6/103)
Demikian. Wallahu a’lam
🌻🌿🌸🍃🍄🌷 💐
✍ Farid Nu’man Hasan