Rakaat Ketiga dan Keempat; Baca Al Fatihah Sajakah atau Ditambah Baca Surat?

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum. Saya mau tanya, tentang shalat. Tentang shalat fardhu. Kan kita tahunya shalat fardhu itu seperti yang dicontohkan nabi pada raka’at pertama dan kedua yang ada tambahan bacaan surat lain, untuk raka’at selanjutnya tidak ada. Saudari saya dia dan suaminya pernah di debat seorang muslimah yang berjilbab lebar, kata adik saya, karna saya juga berjilbab lebar, jilbabnya lebar sama seperti saya. Muslimah tersebut menyatakan intinya seperti ini shalat fardhu itu pada raka’at ketiga dan empat itu harus ditambahkan surat lain, kalau tidak berarti shalatnya salah. Logikanya al Qur’an itu kan terdiri dari banyak surat, masa iya al Qur’an yang stebal itu pada raka’at ketiga dan keempat yang dibaca hanya surat al fatihah saja. Waktu itu saya kaget dan syok, saya belum mahir ilmu agama. Tapi saya hanya jawab, yang dicontohkan nabi demikian (hanya di rakaat pertama dan kedua saja ada penambahan surat lain setelah surat al fatihah) bukan demikian, sperti yg disampaikan muslimah itu. Tapi jawaban saya terasa belum kuat, saudari saya ini suka sekali jidal dengan saya, logikanya mendominasi dalam beberapa hal. Mohon jawabannya ya ustadz, setidaknya mungkin ada kaidah atau ushul, dalil kuat yang bisa saya sampaikan atau berikan padanya ketika saya bertemu dia nanti. Karena dia sudah mempraktekkan menambahkan surat lain pada raka’at ketiga dan keempat tersebut.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah ..,
Bismillah wal Hamdulillah wash shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Hanya membaca Al Fatihah pada rakaat ketiga dan keempat adalah SHAHIH, sebagaimana riwayat dari Abu Qatadah Radhiallahu ‘Anhu:

أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في الركعتين الأوليين من الظهر والعصر بفاتحة الكتاب وسورة ويسمعنا الآية أحيانا ويقرأ في الركعتين الأخريين بفاتحة الكتاب

Bahwa Nabi ﷺ membaca pada dua rakaat pertama di shalat zhuhur dan ‘ashr surat Al Fatihah dan sebuah surat, dan kami mendengarkan ayat tersebut kadang-kadang (maksudnya nabi suaranya dikeraskan), dan BELIAU MEMBACA PADA DUA RAKAAT TERAKHIR SURAT AL FATIHAH SAJA. (HR. Muslim No. 451)

Maka, sikap menyalahkan perbuatan ini adalah sikap berlebihan dan tidak pantas. Sebab justru inilah pendapat MAYORITAS ulama. Berkata Imam Ibnu Rajab Rahimahullah:

وقد ذهب أكثر العلماء إلى القول بذلك ، وأنه لا يزيد في الركعتين الأخريين والثالثة من المغرب على فاتحة الكتاب

Mayoritas ulama berpendapat dengan pendapat ini, bahwasanya tidak ada tambahan -pada dua rakaat terakhir, dan juga pada rakaat ketiga dishalat Maghrib- atas bacaan surat Al Fatihah. (Fathul Bari, 4/476)

Justru tambahan membaca surat di rakaat ketiga dan keempat dianggap sebagai pendapat lemah, sebab tidak adanya hadits shahih yang mendukungnya.

Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah menjelaskan:

ولم يثبت عنه أنه قرأ في الركعتين الأخريين بعد الفاتحة شيئاً، وقد ذهب الشافعي في أحد قوليه وغيره إلى استحباب القراءة بما زاد على الفاتحة في الأخريين، واحتج لهذا القولِ بحديث أبي سعيد الذي في “الصحيح”: حزرْنَا قيامَ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في الظهر في الركعتين الأوليين قَدْر قِراءة (ألم تنزيلَ السَّجدة)، وحزرنا قيامَه في الركعتين الأخريين قَدْرَ النصف مِن ذلك، وحزرنا قيامَه في الركعتين الأوليين من العصر على قدر قيامه في الركعتين الأُخْرَيَيْنِ من الظهر، وفي الأُخريين من العصر على النصف من ذلك. وحديث أبي قتادة المتفق عليه ظاهرٌ في الاقتصار على فاتحة الكتاب في الركعتين الأُخريين.
قال أبو قتادة رضي الله عنه: وكانَ رسولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصلي بنا، فيقرأ في الظُّهر والعصر في الركعتين الأوليين بفاتحة الكتاب وسُورتين، ويُسمعنا

“Tidak ada hadits yang shahih dari Nabi ﷺ bahwa beliau membaca sesuatu dari Al Quran setelah Al Fatihah di dua rakaat terakhir. Imam Asy Syafi’i dalam salah satu pendapat di antara dua pendapatnya, dan ulama lainnya, berpendapat bahwa dianjurkannya menambahkan bacaan setelah Al Fatihah di dalamnya (dua rakaat terakhir), berdasarkan hadits Abu Sa’id dalam “Ash Shahih”, “Kami memperkirakan lama berdirinya Rasulullah ﷺ pada dua rakaat pertama di sholat zhuhur selama bacaan Alif Lam Tanzil As Sajdah, dan lama berdirinya di dua rakaat terakhir setengah dari itu.

Lama berdirinya di dua rakaat pertama saat shalat ‘ashar, setara dengan berdirinya di dua rakaat terakhir pada shalat zhuhur, dan dua rakaat terakhir pada shalat ‘ashar setara dengan setengah dari itu.”
Dalam Hadits Abu Qatadah, telah muttafaq ‘alaih, bahwa zhahirnya mencukupkan dengan membaca Al Fatihah di dua rakaat terakhir saat shalat zhuhur dan ‘ashar.”

Abu Qatadah berkata: “Dahulu Rasulullah ﷺ shalat bersama kami, Beliau membaca pada shalat zhuhur dan ashar di rakaat pertama dan kedua surat Al Fatihah dan Surat, dan kadang dia memperdengarkan bacaannya kepada kami (maksudnya mengeraskan bacaannya).” (Zaadul Ma’ad, 1/246-247)

📌 Maka, benarlah yang membaca Al Fatihah saja tanpa surat dalam rakaat ketiga dan keempat shalat zhuhur dan ‘ashar, atau rakaat ketiga shalat maghrib, sebagaimana mayoritas ulama, berdasarkan riwayat Abu Qatadah.

📌 Benar pula yang mau menambahkannya dengan membaca surat sebagaimana salah satu pendapat Imam Asy Syafi’i dan lainnya, berdasarkan riwayat Abu Sa’id.

Yang salah adalah orang yang terburu-buru menyalahkan orang yang tidak salah tanpa dasar.

Semoga Allah ﷻ melapangkan dada kita untuk menerima petunjuk dan kebenaran.

Wallahu A’lam

🍃🌺☘🌹💚🌻🌴🌿

✏ Farid Nu’man Hasan

Amalan Sunnah Selama Mengisi Ramadhan

◼◽◼◽◼◽◼

Berikut ini adalah amalan yang sesuai sunah Nabi, baik sunah qauliyah dan fi’liyah yang bisa kita lakukan selama bulan Ramadhan.

1. Bersahur

Dalilnya:

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً

“Bersahurlah kalian, karena pada santap sahur itu ada keberkahan.” (HR. Bukhari No. 1923, Muslim No. 1095)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

وقد أجمعت الامة على استحبابه، وأنه لا إثم على من تركه

Umat telah ijma’ atas kesunahannya, dan tidak berdosa meninggalkannya. (Fiqhus Sunnah, 1/455)

Beliau menambahkan:

وسبب البركة: أنه يقوي الصائم، وينشطه، ويهون عليه الصيام

Sebab keberkahannya adalah karena sahur dapat menguatkan orang yang berpuasa, menggiatkannya, dan membuatnya ringan menjalankannya. (Ibid, 1/456)

Keutamaannya:

Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ، فَلَا تَدَعُوهُ، وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ

Makan sahur adalah berkah, maka janganlah kalian meninggalkannya, walau kalian hanya meminum seteguk air, karena Allah ‘Azza wa Jalla dan para malaikat mendoakan orang yang makan sahur. (HR. Ahmad No. 11086, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: sanadnya shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 11086)

Dari Amru bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السُّحُور

“Perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab adalah pada makan sahur.” (HR. Muslim No. 1096)

Dari hadits dua ini ada beberapa faedah:

– Anjurannya begitu kuat, sampai nabi meminta untuk jangan ditinggalkan

– Sahur sudah mencukupi walau dengan seteguk air minum

– Allah ‘Azza wa Jalla dan para malaikat mendoakan (bershalawat) kepada yang makan sahur

– Orang kafir Ahli Kitab juga berpuasa, tapi tanpa sahur

– Berpuasa tanpa sahur secara sengaja dan terus menerus adalah menyerupai Ahli kitab

Disunnahkan menta’khirkan sahur:

Dari ‘Amru bin Maimun Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كان أصحاب محمد صلى الله عليه و سلم أعجل الناس إفطارا وأبطأهم سحورا

Para sahabat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling bersegera dalam berbuka puasa, dan paling akhir dalam sahurnya. (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7916. Al Faryabi dalam Ash Shiyam No. 52. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 9025)

Imam An Nawawi mengatakan: “sanadnya shahih.” (Lihat Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 6/362), begitu pula dishahihkan oleh Imam Ibnu Abdil Bar, bahkan menurutnya keshahihan hadits tentang bersegera buka puasa dan mengakhirkan sahur adalah mutawatir. (Lihat Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 17/9. Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 4/199)

2. Tadarus Al Quran dan Mengkhatamkannya

Bulan Ramadhan adalah bulan yang amat erat hubungannya dengan Al Quran, karena saat itulah Al Quran diturunkan. Oleh karenanya aktifitas bertadarus (membaca sekaligus mengkaji) adalah hal yang sangat utama saat itu, dan telah menjadi aktifitas utama sejak masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan generasi terbaik.

Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma menceritakan:

وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ

Jibril menemuinya pada tiap malam malam bulan Ramadhan, dan dia (Jibril) bertadarus Al Quran bersamanya. (HR. Bukhari No. 3220)

Faedah dalam hadits ini adalah:

– Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga melakukan tadarus Al Quran bersama Malaikat Jibril

– Beliau melakukannya setiap malam, dan dipilihnya malam karena waktu tersebut biasanya waktu kosong dari aktifitas keseharian, dan malam hari suasana lebih kondusif dan khusyu.’

Bukan hanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tetapi ini juga perilaku para sahabat dan generasi setelah mereka.

Imam An Nawawi Rahimahullah menceritakan dalam kitab At Tibyan

fi Aadab Hamalatil Quran, bahwa diriwayatlan oleh As Sayyid Al Jalil Ahmad Ad Dawraqi dengan sanadnya, dari Manshur bin Zaadaan, dari para ahli ibadah tabi’in – semoga Allah meridhainya- bahwasanya pada bulan Ramadhan dia mengkhatamkan Al Quran antara zhuhur dan ashar, dan juga mengkhatamkan antara maghrib dan isya, dan mereka mengakhirkan isya hingga seperampat malam.

Imam Abu Daud meriwayatkan dengan sanad yang shahih, bahwa Mujahid mengkhatamkan Al Quran antara maghrib dan isya. Dari Manshur, katanya bahwa Al Azdi mengkhatamkan Al Quran setiap malam antara maghrib dan isya pada bulan Ramadhan.

Ibrahim bin Sa’ad menceritakan: bahwa ayahku kuat menahan duduk dan sekaligus mengkhatamkan Al Quran dalam sekali duduk. Ada pun yang sekali khatam dalam satu rakaat shalat tidak terhitung jumlahnya karena banyak manusia yang melakukannya, seperti Utsman bin ‘Affan, At Tamim Ad Dari, Sa’id bin Jubeir –semoga Allah meridhai mereka- yang khatam satu rakaat ketika shalat di dalam Ka’bah.

Ada juga yang khatam dalam sepekan, seperti Utsman bin ‘Affan, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka’ab, dan segolongan tabi’in seperti Abdurrahman bin Yazid, Al Qamah, dan Ibrahim – semoga Allah merahmati mereka semua.

(Lingkapnya lihat Imam An Nawawi, At Tibyan, Hal. 60-61)

3. Bersedekah

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai teladan kita telah mencontohkan akhlak yang luar biasa yaitu kedermawanan. Hal itu semakin menjadi-jadi ketika bulan Ramadhan.

Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, menceritakan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَأَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling dermawan, dan kedermawanannya semakin menjadi-jadi saat Ramadhan apalagi ketika Jibril menemuinya. Dan, Jibril menemuinya setiap malam bulan Ramadhan dia bertadarus Al Quran bersamanya. Maka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam benar-benar sangat dermawan dengan kebaikan laksana angin yang berhembus. (HR. Bukhari No. 3220)

4. Memberikan makanan atau minuman buat orang yang berbuka puasa

Dari Zaid bin Khalid Al Juhani Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

Barang siapa yang memberikan makanan untuk berbuka bagi orang berpuasa maka dia akan mendapatkan pahala sebagaimana orang tersebut, tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang itu.

(HR. At Tirmidzi No. 807, katanya: hasan shahih. Ahmad No. 21676, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 3332. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 3952. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 6415. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan lighairih. Lihat ta’liq Musnad Ahmad No. 21676, Al Bazzar dalam Musnadnya No. 3775)

Para ulama berbeda pendapat tentang batasan “memberikan makanan untuk berbuka”. Sebagian menilai itu adalah makanan yang mengenyangkan selayaknya makanan yang wajar. Sebagian lain mengatakan bahwa hal itu sudah cukup walau memberikan satu butir kurma dan seteguk air.

Pendapat yang lebih kuat adalah –Wallahu A’lam- pendapat yang kedua, bahwa apa yang tertulis dalam hadits ini sudah mencukupi walau sekedar memberikan seteguk air minum dan sebutir kurma, sebab hal itu sudah cukup bagi seseorang dikatakan telah ifthar (berbuka puasa).

5. Memperbanyak doa

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوم

Ada tiga manusia yang doa mereka tidak akan ditolak: 1. Doa orang yang berpuasa sampai dia berbuka, 2. Pemimpin yang adil, 3. Doa orang teraniaya. (HR. At Tirmidzi No. 2526, 3598, katanya: hasan. Ibnu Hibban No. 7387, Imam Ibnul Mulaqin mengatakan: “

hadits ini shahih.” Lihat Badrul Munir, 5/152. Dishahihkan oleh Imam Al Baihaqi. Lihat Shahih Kunuz As sunnah An Nabawiyah, 1/85. Sementara Syaikh Al Albani mendhaifkannya. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2526)

Berdoa diwaktu berbuka puasa juga diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Berikut ini adalah doanya:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika sedang berbuka puasa dia membaca: “Dzahaba Azh Zhama’u wab talatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah.” (HR. Abu Daud No. 2357, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7922, Ad Daruquthni, 2/185, katanya: “isnadnya hasan.” An Nasa’i dalam As sunan Al Kubra No. 3329, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1536, katanya: “Shahih sesuai syarat Bukhari- Muslim”. Al Bazzar No. 4395. Dihasankan Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 4678)

Sedangkan doa berbuka puasa: Allahumma laka shumtu … dst, dengan berbagai macam versinya telah didhaifkan para ulama, baik yang dari jalur Muadz bin Zuhrah secara mursal, juga jalur Anas bin Malik, dan Ibnu Abbas.

(Lihat Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir, 2/444-445. Imam An Nawawi, Al Adzkar, 1/62. Imam Abu Daud, Al Maraasiil, 1/124, Imam Al Haitsami, Majma’ Az Zawaid, 3/371. Syaikh Al Albani juga mendhaifkan dalam berbagai kitabnya)

Tapi, para ahli fiqih diberbagai madzhab membolehkan menggunakan doa ini sebab itu lingkup Fadhailul A’mal yang tidak mengapa dengan hadits dhaif selama tidak sampai palsu, isinya tidak bertentangan dengan Islam, dan tidak menyandarkan ke Rasulullah ﷺ.

6. Menyegerakan berbuka puasa

Dari ‘Amru bin Maimun Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كان أصحاب محمد صلى الله عليه و سلم أعجل الناس إفطارا وأبطأهم سحورا

Para sahabat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling bersegera dalam berbuka puasa, dan paling akhir dalam sahurnya. (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7916. Al Faryabi dalam Ash Shiyam No. 52. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 9025)

Imam An Nawawi mengatakan: “sanadnya shahih.” (Lihat Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 6/362), begitu pula dishahihkan oleh Imam Ibnu Abdil Bar, bahkan menurutnya keshahihan hadits tentang bersegera buka puasa dan mengakhirkan sahur adalah mutawatir. (Lihat Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 17/9. Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 4/199)

7. I’tikaf di – ‘asyrul awakhir

Dalilnya berdasarkan Al Quran, As Sunnah, dan Ijma’, yakni sebagai berikut:

– Al Quran

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

Janganlah kalian mencampuri mereka (Istri), sedang kalian sedang I’tikaf di masjid. (QS. Al Baqarah : 187)

– As Sunnah

Dari ‘Aisyah Radiallahu ‘Anha:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau diwafatka Allah, kemudian istri-istrinya pun I’tikaf setelah itu.(HR. Bukhari, No. 2026, Muslim No. 1171, Abu Daud No. 2462. Ahmad No. 24613, dan lainnya)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam I’tikaf di setiap Ramadhan 10 hari, tatkala pada tahun beliau wafat, beliau I’tikaf 20 hari. (HR. Bukhari No. 694, Ahmad No. 8662, Ibnu Hibban No. 2228, Al Baghawi No. 839, Abu Ya’la No. 5843, Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan, 2/53)

– Ijma’

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menceritakan adanya ijma’ tentang syariat I’tikaf:

وقد أجمع العلماء على أنه مشروع، فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يعتكف في كل رمضان عشرة أيام، فلما كان العام الذي قبض فيه اعتكف عشرين يوما

Ulama telah ijma’ bahwa I’tikaf adalah disyariatkan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf setiap Ramadhan 10 hari, dan 20 hari ketika tahun beliau wafat. (Fiqhus Sunnah, 1/475)

Hukumnya

Hukumnya adalah sunnah alias tidak wajib, kecuali I’tikaf karena nazar. Kesunahan ini juga berlaku bagi kaum wanita, dengan syarat aman dari fitnah, dan izin dari walinya, dan masjidnya kondusif.

Imam Asy Syaukani Rahimahullah mengatakan:

وقد وقع الإجماع على أنه ليس بواجب ، وعلى أنه لا يكون إلا في مسجد

Telah terjadi ijma’ bahwa I’tikaf bukan kewajiban, dan bahwa dia tidak bisa dilaksanakan kecuali di masjid. (Fathul Qadir, 1/245)

Namun jika ada seorang yang bernazar untuk beri’tikaf, maka wajib baginya beri’tikaf.

Khadimus Sunnah Asy Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:

الاعتكاف ينقسم إلى مسنون وإلى واجب، فالمسنون ما تطوع به المسلم تقربا إلى الله، وطلبا لثوابه، واقتداء بالرسول صلوات الله وسلامه عليه، ويتأكد ذلك في العشر الاواخر من رمضان لما تقدم، والاعتكاف الواجب ما أوجبه المرء على نفسه، إما بالنذر المطلق، مثل أن يقول: لله علي أن أعتكف كذا، أو بالنذر المعلق كقوله: إن شفا الله مريضي لاعتكفن كذا.
وفي صحيح البخاري أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” من نذر أن يطيع الله فليطعه “

I’tikaf terbagi menjadi dua bagian; sunah dan wajib. I’tikaf sunah adalah I’tikaf yang dilakukan secara suka rela oleh seorang muslim dalam rangka taqarrub ilallahi (mendekatkan diri kepada Allah), dalam rangka mencari pahalaNya dan mengikuti sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hal itu ditekankan pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sebagaimana penjelasan sebelumnya.
I’tikaf wajib adalah apa-apa yang diwajibkan seseorang atas dirinya sendiri, baik karena nazar secara mutlak, seperti perkataan: wajib atasku untuk beri’tikaf sekian karena Allah. Atau karena nazar yang mu’alaq (terkait dengan sesuatu), seperti perkataan: jika Allah menyembuhkan penyakitku saya akan I’tikaf sekian ..

Dalam shahih Bukhari disebutkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barang siapa yang bernazar untuk mentaati Allah maka taatilah (tunaikanlah).” (Fiqhus Sunnah, 1/475)

Wallahu A’lam

8. Qiyamur Ramadhan (Shalat Tarawih)

– Keutamaannya:

Shalat Tarawih memiliki keutamaan dan ganjaran yang besar, sebagaimana yang disebutkan oleh berbagai hadits shahih, yakni di antaranya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang shalat malam pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap ganjaran dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No. 37, Muslim No. 759)

Hadits lain:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِ

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dia bersabda: “Barangsiapa yang shalat malam ketika lailatul qadar karena iman dan mengharap ganjaran dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No. 1901, Muslim No. 760, ini lafaz Bukhari)

Mengomentari hadits di atas, Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

أَنْ يُقَال قِيَام رَمَضَان مِنْ غَيْر مُوَافَقَةِ لَيْلَة الْقَدْر وَمَعْرِفَتهَا سَبَب لِغُفْرَانِ الذُّنُوب ، وَقِيَام لَيْلَة الْقَدْر لِمَنْ وَافَقَهَا وَعَرَفَهَا سَبَب لِلْغُفْرَانِ وَإِنْ لَمْ يَقُمْ غَيْرهَا

“Bahwa dikatakan, shalat malam pada bulan Ramadhan yang tidak bertepatan dengan lailatul qadar dan tidak mengetahuinya, merupakan sebab diampunya dosa-dosa. Begitu pula shalat malam pada bulan Ramadhan yang bertepatan dan mengetahui lailatul qadar, itu merupakan sebab diampuni dosa-dosa, walau pun dia tidak shalat malam pada malam-malam lainnya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/41)

Imam Abu Thayyib Muhammad Syamsuddin Abadi Rahimahullah berkata dala kitabnya, ‘Aunul Ma’bud:

( إِيمَانًا ) : أَيْ مُؤْمِنًا بِاللَّهِ وَمُصَدِّقًا بِأَنَّهُ تَقَرُّب إِلَيْهِ ( وَاحْتِسَابًا ) : أَيْ مُحْتَسِبًا بِمَا فَعَلَهُ عِنْد اللَّه أَجْرًا لَمْ يَقْصِد بِهِ غَيْره

“(Dengan keimanan) maksudnya adalah dengan keimanan kepada Allah, dan meyakini bahwa hal itu merupakan taqarrub kepada Allah Ta’ala. (Ihtisab) maksudnya adalah mengharapkan bahwa apa yang dilakukannya akan mendapat pahala dari Allah, dan tidak mengharapkan yang lainnya.” (‘Aunul Ma’bud, 4/171)

Begitu pula yang dikatakan oleh Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah:

وَالْمُرَاد بِالْإِيمَانِ الِاعْتِقَاد بِحَقِّ فَرْضِيَّةِ صَوْمِهِ ، وَبِالِاحْتِسَابِ طَلَب الثَّوَابِ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى

“Yang dimaksud ‘dengan keimanan’ adalah keyakinan dengan benar terhadap kewajiban puasanya, dan yang dimaksud dengan ‘ihtisab’ adalah mengharap pahala dari Allah Ta’ala.” (Fathul Bari, 4/115)

– Hukumnya

Hukum shalat tarawih adalah sunah bagi muslim dan muslimah, dan itu merupakan ijma’ (kesepakatan) para ulama sejak dahulu.

Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

وَاجْتَمَعَتْ الْأُمَّة أَنَّ قِيَام رَمَضَان لَيْسَ بِوَاجِبٍ بَلْ هُوَ مَنْدُوب

“Umat telah ijma’ bahwa qiyam ramadhan (tarawih) tidaklah wajib, melainkan sunah.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/40, Imam Abu Thayyib, ‘Aunul Ma’bud, 4/171)

Sunahnya tarawih, karena tak lain dan tak bukan adalah ia merupakan tahajudnya manusia pada bulan Ramadhan, oleh karena itu ia disebut Qiyam Ramadhan, dan istilah tarawih baru ada belakangan. Sedangkan tahajjud adalah sunah (mustahab/ mandub/ tathawwu’/nafilah).

Allah Ta’ala berfirman:

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ

“Dan pada sebagian malam, lakukanlah tahajjud sebagai nafilah (tambahan) bagimu.” (QS. Al Isra’ (17): 79)

Imam Qatadah Radhiallahu ‘Anhu berkata tentang maksud ayat “ nafilah bagimu”:

تطوّعا وفضيلة لك

“Sunah dan keutamaan bagimu.” (Imam Abu Ja’far Ath Thabari, Jami’ Al Bayan Fi Ta’wil Al Quran, 17/526)

– Boleh dilakukan sendiri, tapi berjamaah lebih afdhal

Shalat terawih dapat dilakukan berjamaah atau sendiri, keduanya pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Berkata Asy Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

قيام رمضان يجوز أن يصلى في جماعة كما يجوز أن يصلى على انفراد، ولكن صلاته جماعة في المسجد أفضل عند الجمهور

“Qiyam Ramadhan boleh dilakukan secara berjamaah sebagaimana boleh pula dilakukan secara sendiri, tetapi dilakukan secara berjamaah adalah lebih utama menurut pandangan jumhur (mayoritas) ulama.” (Fiqhus Sunnah, 1/207)

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di masjid, lalu manusia mengikutinya, keesokannya shalat lagi dan manusia semakin banyak, lalu pada malam ketiga atau keempat mereka berkumpul namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak keluar bersama mereka, ketika pagi hari beliau bersabda:

قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ

“Aku melihat apa yang kalian lakukan, dan tidak ada yang mencegahku keluar menuju kalian melainkan aku khawatir hal itu kalian anggap kewajiban.” Itu terjadi pada bulan Ramadhan. (HR. Bukhari No. 1129, Muslim No. 761)

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

فَفِيهِ : جَوَاز النَّافِلَة جَمَاعَة ، وَلَكِنَّ الِاخْتِيَار فِيهَا الِانْفِرَاد إِلَّا فِي نَوَافِل مَخْصُوصَة وَهِيَ : الْعِيد وَالْكُسُوف وَالِاسْتِسْقَاء وَكَذَا التَّرَاوِيح عِنْد الْجُمْهُور كَمَا سَبَق

“Dalam hadits ini, menunjukkan bolehnya shalat nafilah dilakukan berjamaah, tetapi lebih diutamakan adalah sendiri, kecuali shalat-shalat nafilah tertentu (yang memang dilakukan berjamaah, pen) seperti: shalat ‘Ied, shalat gerhana, shalat minta hujan, demikian juga tarawih menurut pandangan jumhur, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/41)

Di dalam sejarah, sejak saat itu, manusia melakukan shalat tarawih sendiri-sendiri, hingga akhirnya pada zaman Umar Radhiallahu ‘Anhu, dia melihat manusia shalat tarawih sendiri-sendiri dan semrawut, akhirnya dia menunjuk Ubay bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu untuk menjadi imam shalat tarawih mereka, lalu Umar berkata:

نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

“Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari No. 2010)

– Jumlah Rakaat

Masalah jumlah rakaat shalat tarawih sejak dahulu telah menjadi polemik hingga hari ini. Antara yang menganjurkan 8 rakaat dengan 3 rakaat witir, atau 20 rakaat dengan 3 rakaat witir, bahkan ada yang lebih dari itu. Manakah yang sebaiknya kita jadikan pegangan? Ataukah semuanya benar, karena memang tak ada ketentuan baku walau pun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sepanjang hidupnya hanya melaksanakan 11 rakaat? Dan apakah yang dilakukan oleh nabi tidak berarti wajib, melainkan hanya contoh saja?

Tarawih Pada Masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata:

مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة

“Bahwa Rasulullah tidak pernah menambah lebih dari sebelas rakaat shalat malam, baik pada bulan Ramadhan atau selainnya.” (HR. Bukhari No. 2013, 3569, Muslim No. 738)

Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

جاء أبي بن كعب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ، إن كان مني الليلة شيء يعني في رمضان ، قال : « وما ذاك يا أبي ؟ » ، قال : نسوة في داري ، قلن : إنا لا نقرأ القرآن فنصلي بصلاتك ، قال : فصليت بهن ثمان ركعات ، ثم أوترت ، قال : فكان شبه الرضا ولم يقل شيئا

Ubay bin Ka’ab datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, semalam ada peristiwa pada diri saya (yaitu pada bulan Ramadhan).” Rasulullah bertanya: “Kejadian apa itu Ubay?”, Ubay menjawab: “Ada beberapa wanita di rumahku, mereka berkata: “Kami tidak membaca Al Quran, maka kami akan shalat bersamamu.” Lalu Ubay berkata: “Lalu aku shalat bersama mereka sebanyak delapan rakaat, lalu aku witir,” lalu Ubay berkata: “Nampaknya nabi ridha dan dia tidak mengatakan apa-apa.” (HR. Abu Ya’la dalam Musnadnya No. 1801. Ibnu Hibban No. 2550, Imam Al Haitsami mengatakan: sanadnya hasan. Lihat Majma’ az Zawaid, Juz. 2, Hal. 74)

Dari keterangan dua hadits di atas, kita bisa mengetahui bahwa shalat tarawih pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih hidup adalah delapan rakaat, dan ditambah witir, dan tidak sampai dua puluh rakaat. Oleh karena itu Syaikh Sayyid Sabiq berkomentar:

هذا هو المسنون الوارد عن النبي صلى الله عليه وسلم ولم يصح عنه شئ غير ذلك

“Inilah sunah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan tidak ada sesuatu pun yang shahih selain ini.” (Fiqhus Sunnah, 1/206)

Imam Ibnu Hajar Al Asqalani berkata:

وَأَمَّا مَا رَوَاهُ اِبْنُ أَبِي شَيْبَةَ مِنْ حَدِيث اِبْن عَبَّاسٍ ” كَانَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي رَمَضَان عِشْرِينَ رَكْعَة وَالْوِتْرَ ” فَإِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ ، وَقَدْ عَارَضَهُ حَدِيثُ عَائِشَة هَذَا الَّذِي فِي الصَّحِيحَيْن

“Dan ada pun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dari hadits Ibnu Abbas, “Bahwa dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan ditambah witir” maka sanadnya dha’if, dan telah bertentangan dengan hadits dari ‘Aisyah yang terdapat dalam shahihain (Bukhari dan Muslim).” (Fathul Bari, 4/253) Imam Al Haitsami juga mengatakan: Dhaif. Lihat Majma’ Az Zawaid, 3/ 172)

Demikian keadaan shalat Tarawih pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih hidup.

Tarawih Pada masa Sahabat Radhiallahu ‘Anhum dan generasi setelahnya

Pada masa sahabat, khususnya sejak masa khalifah Umar bin Al Khathab Radhilallahu ‘Anhu dan seterusnya, manusia saat itu melaksanakan shalat tarawih dua puluh rakaat.

وصح أن الناس كانوا يصلون على عهد عمر وعثمان وعلي عشرين ركعة، وهو رأي جمهور الفقهاء من الحنفية والحنابلة وداود، قال الترمذي: وأكثر أهل العلم على ما روي عن عمر وعلي وغيرهما من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم عشرين ركعة، وهو قول الثوري وابن المبارك والشافعي، وقال: هكذا أدركت الناس بمكة يصلون عشرين ركعة

“Dan telah shah, bahwa manusia shalat pada masa Umar, Utsman, dan Ali sebanyak 20 rakaat, dan itulah pendapat jumhur (mayoritas) ahli fiqih dari kalangan Hanafi, Hambali, dan Daud. Berkata At Tirmidzi: ‘Kebanyakan ulama berpendapat seperti yang diriwayatkan dari Umar dan Ali, dan selain keduanya dari kalangan sahabat nabi yakni sebanyak 20 rakaat. Itulah pendapat Ats Tsauri, Ibnul Mubarak. Berkata Asy Syafi’i: “Demikianlah, aku melihat manusia di Mekkah mereka shalat 20 rakaat.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/206

Imam Ibnu Hajar menyebutkan:

وَعَنْ يَزِيد بْن رُومَانَ قَالَ ” كَانَ النَّاس يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَر بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ ” وَرَوَى مُحَمَّد بْن نَصْر مِنْ طَرِيق عَطَاء قَالَ ” أَدْرَكْتهمْ فِي رَمَضَان يُصَلُّونَ عِشْرِينَ رَكْعَة وَثَلَاثَ رَكَعَاتِ الْوِتْر “

“Dari Yazid bin Ruman, dia berkata: “Dahulu manusia pada zaman Umar melakukan 23 rakaat.” Dan Muhammad bin Nashr meriwayatkan dari Atha’, dia berkata: “Aku berjumpa dengan mereka pada bulan Ramadhan, mereka shalat 20 rakaat dan tiga rakaat witir.” (Fathul Bari, 4/253)

Beliau melanjutkan:

وَرَوَى مُحَمَّد اِبْن نَصْر مِنْ طَرِيق دَاوُدَ بْن قَيْس قَالَ ” أَدْرَكْت النَّاس فِي إِمَارَة أَبَانَ بْن عُثْمَان وَعُمْر بْن عَبْد الْعَزِيز – يَعْنِي بِالْمَدِينَةِ – يَقُومُونَ بِسِتٍّ وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثٍ ” وَقَالَ مَالِك هُوَ الْأَمْرُ الْقَدِيمُ عِنْدَنَا . وَعَنْ الزَّعْفَرَانِيِّ عَنْ الشَّافِعِيِّ ” رَأَيْت النَّاس يَقُومُونَ بِالْمَدِينَةِ بِتِسْعٍ وَثَلَاثِينَ وَبِمَكَّة بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ ، وَلَيْسَ فِي شَيْء مِنْ ذَلِكَ ضِيقٌ “

Muhammad bin Nashr meriwayatkan dari jalur Daud bin Qais, dia berkata: “Aku menjumpai manusia pada masa pemerintahan Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz –yakni di Madinah- mereka shalat 39 rakaat dan ditambah witir tiga rakaat.” Imam Malik berkata,”Menurut saya itu adalah perkara yang sudah lama.” Dari Az Za’farani, dari Asy Syafi’i: “Aku melihat manusia shalat di Madinah 39 rakaat, dan 23 di Mekkah, dan ini adalah masalah yang lapang.” (Ibid)

Sementara itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika mengomentari tarawih-nya Ubay bin Ka’ab yang 20 rakaat, beliau berkata:

فَرَأَى كَثِيرٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ أَنَّ ذَلِكَ هُوَ السُّنَّةُ ؛ لِأَنَّهُ أَقَامَهُ بَيْن الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَلَمْ يُنْكِرْهُ مُنْكِرٌ . وَاسْتَحَبَّ آخَرُونَ : تِسْعَةً وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً ؛ بِنَاءً عَلَى أَنَّهُ عَمَلُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ الْقَدِيمِ

“Kebanyakan ulama berpendapat bahwa itu adalah sunah, karena itu ditegakkan di antara kaum Muhajirin dan Anshar dan tidak ada yang mengingkarinya. Sedangkan ulama lainnya menyunnahkan 39 rakaat, lantaran itu adalah perbuatan penduduk Madinah yang telah lampau.” (Majmu’ Al Fatawa, 23/112)

Lalu, yang lebih baik dari semua ini? Imam Ibnu Taimiyah berkata:

وَالصَّوَابُ أَنَّ ذَلِكَ جَمِيعَهُ حَسَنٌ كَمَا قَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ الْإِمَامُ أَحْمَد رَضِيَ اللَّهُ عَنْه

“Yang benar adalah bahwa itu semua adalah baik, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam Ahmad Radhiallahu ‘Anhu.” (Ibid). Semoga Allah merahmati Imam IbnuTaimiyah.

Telah masyhur dalam madzhab Imam Malik adalah 39 rakaat, demikian keterangannya:

وذهب مالك الى أن عددها ست وثلاثون ركعة غير الوتر
قال الزرقاني: وذكر ابن حبان أن التراويح كانت أولا إحدى عشرة ركعة، وكانوا يطيلون القراءة فثقل عليهم فخففوا القراءة وزادوا في عدد الركعات فكانوا يصلون عشرين ركعة غير الشفع والوتر بقراءة متوسطة، ثم خففوا القراءة وجعلوا الركعات ستا وثلاثين غير الشفع والوتر، ومضى الامر على ذلك

“Dan madzhab Imam Malik adalah 39 rakaat belum termasuk witir. Berkata Imam Az Zarqani: ‘Ibnu Hibban menyebutkan bahwa shalat Tarawih dahulunya adalah sebelas rakaat, mereka membaca surat yang panjang dan itu memberatkan bagi mereka, lalu mereka meringankan bacaan namun menambah rakaat, maka mereka shalat 20 rakaat belum termasuk witir dengan bacaan yang sedang-sedang, kemudian mereka meringankan lagi bacaannya dan rakaatnya menjadi 39 rakaat belum termasuk witir, dan perkara ini telah berlangsung sejak lama.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/206, cat kaki no. 2)

Jadi, para imam ini, tidak mempermasalahkan banyak sedikitnya rakaat. Namun mereka melihat pada esensinya yakni ketenangan dan kekhusyu’an. Jika mereka ingin membaca surat yang panjang, mereka menyedikitkan jumlah rakaat, jika mereka memendekkan bacaan, maka mereka memperbanyak jumlah rakaat.

Berkata Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu:

إِنْ أَطَالُوا الْقِيَامَ وَأَقَلُّوا السُّجُودَ فَحَسَنٌ ، وَإِنْ أَكْثَرُوا السُّجُود وَأَخَفُّوا الْقِرَاءَةَ فَحَسَنٌ ، وَالْأَوَّل أَحَبُّ إِلَيَّ

“Sesungguhnya mereka memanjangkan berdiri dan menyedikitkan sujud maka itu baik, dan jika mereka memperbanyak sujud dan meringankan bacaan, maka itu juga baik, dan yang pertama lebih aku sukai.” (Fathul Bari, 4/253)

Demikianlah pandangany bijak para imam kaum muslimin tentang perbedaan jumlah rakaat tarawih, mereka memandangnya bukan suatu hal yang saling bertentangan. Tetapi, semuanya benar dan baik, dan yang terpenting adalah mana yang paling dekat membawa kekhusyuan dan ketenangan bagi manusianya.

9. Umrah ketika Ramadhan adalah sebanding pahalanya seperti haji bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada seorang wanita Anshar bernama Ummu Sinan:

فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً أَوْ حَجَّةً مَعِي

“Sesungguhnya Umrah ketika bulan Ramadhan sama dengan memunaikan haji atau haji bersamaku.” (HR. Bukhari No. 1863, Muslim No. 1256)

10. Menjauhi perbuatan yang merusak puasa

Perbuatan seperti menggunjing (ghibah), adu domba (namimah), menuruti syahwat (rafats), berjudi, dan berbagai perbuatan fasik lainnya, mesti dijauhi sejauh-jauhnya agar shaum kita tidak sia-sia.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ

Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar saja. (HR. Ahmad No. 9685, Ibnu Majah No. 1690, Ad Darimi No. 2720)

Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 9685), Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: hadits ini shahih. (Sunan Ad Darimi No. 2720. Cet. 1, 1407H. Darul Kitab Al ‘Arabi, Beirut)

Sekian. Wallahu A’lam

🌷🍃🌸☘🌿🌺🌻

✍ Farid Nu’man Hasan

Niscaya Yang di Langit Akan Menyayangimu, Siapa maksudnya?

▫▪▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

Afwan tadz, mau tanya hadits “Sayangilah yang dibumi, niscaya yang dilangit akan menyayangimu”. Yang di langit itu siapa maksudnya? Saya sering baca di internet katanya yg dilangit itu Allah, siapa yang tidak mengartikan seperti itu maka dia sesat. Apa benar begitu?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim ..

Hadits yang antum maksud adalah sebagai berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

Dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

“Orang-orang yang mengasihi akan dikasihi oleh Ar Rahman, berkasih sayanglah kepada siapapun yang ada dibumi, niscaya Yang ada di langit akan mengasihi kalian.”

(HR. At Tirmidzi no. 1924, Hasan Shahih)

Apa maksud “yang di langit” dalam hadits ini? Para ulama sejak dahulu memang berbeda pendapat; ada yang mengatakan itu adalah Allah, ada pula yang mengatakan itu adalah Malaikat. Kedua makna ini disebutkan oleh Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuriy Rahimahullah.

Beliau berkata:

أَيِ اللَّهُ تَعَالَى وَقِيلَ الْمُرَادُ مَنْ سَكَنَ فِيهَا وَهُمُ الْمَلَائِكَةُ فَإِنَّهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ لِلْمُؤْمِنِينَ

Yaitu Allah Ta’ala, dan dikatakan pula maksud “yang bertempat tinggal di langit” mereka adalah para malaikat, mereka memohonkan ampun bagi orang-orang beriman.

(Tuhfah Al Ahwadzi, 6/43)

Pemaparan Syaikh Al Mubarkafuriy ini bagus, tidak menyerang satu sama lainnya.

Jika antum katakan ada pihak yang menyebut “sesat” jika itu diartikan selain Allah, justru Al ‘Allamah As Sindiy Rahimahullah menyatakan yang menyebut itu “Allah” adalah tafsiran yang jauh.

Beliau berkata

سكان السماء من الملائكة الكرام، ورحمتهم بالاستغفار لهم وللدعاء، وتفسيره بالله بعيد

Yaitu yang bertempat tinggal di langit dari kalangan Malaikat yang mulia, yang merahmati mereka dengan memohonkan ampunan dan doa bagi mereka. Tafsir kalimat ini dengan “Allah” adalah tafsiran yang jauh. (Hasyiyah ‘Ala Musnad Ahmad, 4/297)

Imam Al Qurthubi Rahimahullah – seorang ahli tafsir sangat terkenal- berkata tentang ayat “apakah kalian merasa aman dengan yang ada di langit” ?

وقيل: هو إشارة إلى الملائكة. وقيل: إلى جبريل وهو الملك الموكل بالعذاب

Dikatakan bahwa itu isyarat kepada para malaikat. Dikatakan, itu adalah Jibril yang diberikan wewenang untuk menurunkan azab. (Tafsir Al Qurthubi, 18/215)

Demikian, dan masih banyak lagi para imam yang memaknai itu adalah para malaikat, bukan Allah Ta’ala. Insya Allah para imam itu adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bukan “sesat”.

Sebagian imam memang memaknai itu adalah Allah Ta’ala, sesuai Zahir Nash secara apa adanya.

Ali bin Al Hasan bin Syaqiq berkata:

قلت لعبد الله بن المبارك : كيف نعرف ربنا ؟
قال : في السماء السابعة على عرشه . وفي لفظ : على السماء السابعة على عرشه ، ولا نقول كما تقول الجهمية إنه ها هنا في الأرض .
فقيل لأحمد بن حنبل ، فقال : هكذا هو عندنا

Aku bertanya kepada Abdullah bin Al Mubarak: “Bagaimana kita mengetahui Rabb kita?”

Beliau menjawab: “Di langit yang tujuh, di atas ArsyNya”. Dalam lafazh lain: “Di atas langit yang ke tujuh di atas ArsyNya, dan kita tidak mengatakan seperti yang dikatakan kaum Jahmiyah bahwa Dia di sini, di Bumi.”

Lalu ditanyakan kepada Ahmad bin Hambal, Beliau menjawab: “Seperti itu juga menurut pendapat kami.” (Selesai)

Imam Adz Dzahabi mengatakan tentang riwayat di atas: “Shahih dari Ibnul Mubarak dan Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhuma”.

(Al ‘Arsy, 2/189)

Saudaraku .. perselisihan ini sangat keras, sdh terjadi sejak masa lalu. Ada yang saling mengkafirkan satu sama lain, dan suasana itu masih terasa saat ini …

Mempelajari Aqidah itu agar kita semakin mengimani dan mencintai Allah Ta’ala dengan benar. Semakin tunduk dan takut kepadaNya, serta mencintai Nabi ﷺ dan risalah yang dibawanya. Ini substansinya.

Kita tidak berharap mempelajari Aqidah itu justru muncul sikap berlebihan terhadap saudara sesama ahlul kiblat; saling serang dan mengkafirkan. Seharusnya perdebatan ini jangan sampai menghilangkan mahabbah (cinta) sesama muslim.

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, walau Beliau ikut pendapat bahwa Allah itu di atas langit, Beliau sangat perhatian untuk bersatu dengan pihak yang berseberangan dengannya.

Itu terungkap dalam Majmu’ Al-Fatawa nya:

وَالنَّاسُ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ كَانَ بَيْنَ الْحَنْبَلِيَّةِ وَالْأَشْعَرِيَّةِ وَحْشَةٌ وَمُنَافَرَةٌ. وَأَنَا كُنْت مِنْ أَعْظَمِ النَّاسِ تَأْلِيفًا لِقُلُوبِ الْمُسْلِمِينَ وَطَلَبًا لِاتِّفَاقِ كَلِمَتِهِمْ وَاتِّبَاعًا لِمَا أُمِرْنَا بِهِ مِنْ الِاعْتِصَامِ بِحَبْلِ اللَّهِ وَأَزَلْت عَامَّةَ مَا كَانَ فِي النُّفُوسِ مِنْ الْوَحْشَةِ وَبَيَّنْت لَهُمْ أَنَّ الْأَشْعَرِيَّ كَانَ مِنْ أَجَلِّ الْمُتَكَلِّمِينَ الْمُنْتَسِبِينَ إلَى الْإِمَامِ أَحْمَدَ رَحِمَهُ اللَّهُ وَنَحْوِهِ الْمُنْتَصِرِينَ لِطَرِيقِهِ كَمَا يَذْكُرُ الْأَشْعَرِيُّ ذَلِكَ فِي كُتُبِهِ

“Orang-orang tahu bahwa terjadi pertikaian sengit antara Hambaliyyah dan Asy’ariyah, dan saya adalah salah satu yg sangat berperan menyatukan hati kaum muslimin dan menuntut kesamaan kalimat mereka serta mematuhi perintah Allah untuk berpegang pada tali agama-Nya. Saya juga menghilangkan kebencian yg ada dalam jiwa dan saya terangkan kepada mereka bahwa Asy’ariyyah itu termasuk ahli kalam yg paling dekat penisbatannya kepada Imam Ahmad dan semisalnya serta sangat membela metode beliau sebagaimana yg diakui oleh Al-Asy’ariy sendiri dalam buku-bukunya.”

(Majmu’ Al Fatawa, 3/227)

Inilah akhlak, inilah ilmu. Keduanya mesti saling menghiasi, bukan berjauhan.

Semoga Allah satukan hati-hati kaum muslimin .. aamiin.

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷 💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Sholat Berjamaah dengan Imam yang Lupa Berwudhu’

▫▪▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum wa Rachmatullahi wa Barakaatuh, mohon pencerahan ustad…bila imam lupa berwudhu setelah sholat taraweh 20 rakaat + witir 3 rakaat baru ingat, …apakah ma’mum perlu mengulang lagi ngikutin imamx? Makasih 🙏🙏 (+62 852-1670-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Untuk imam jelas batalnya, dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini.

Untuk makmum, ada dua keadaan:

1. Makmum TAHU bahwa imam belum wudhu dan dalam keadaan belum suci, maka makmum juga batal.

2. Makmum TIDAK TAHU, Maka para ulama berbeda pendapat. Namun, pendapat yang lebih kuat adalah makmum TIDAK BATAL, hanya imam yang batal.

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata:

إذا صلى الإمام بالجماعة محدثا , أو جنبا , غير عالم بحدثه , فلم يعلم هو ولا المأمومون , حتى فرغوا من الصلاة , فصلاتهم صحيحة , وصلاة الإمام باطلة . روي ذلك عن عمر وعثمان وعلي وابن عمر رضي الله عنهم , وبه قال مالك والشافعي

Jika imam shalat berjamaah dalam keadaan berhadats, atau junub, atau tidak tahu hadatsnya, dia dan makmum sama-sama tidak tahu sampai selesainya shalat, maka SHALAT MEREKA TETAP SAH, dan si imam batal. Hal seperti ini diriwayatkan dari Umar, Utsman, Ali, Ibnu Umar, dan ini pendapat Malik dan Asy Syafi’iy.

روي أن عمر رضي الله عنه صلى بالناس الصبح , ثم وجد في ثوبه احتلاما , فأعاد ولم يعيدوا

Di riwayatkan bahwa Umar Radhiallahu ‘Anhu shalat subuh bersama manusia, lalu dia dapatkan di pakaiannya bekas mimpi basah, maka dia mengulangi shalatnya, tapi mereka (jamaah) tidak mengulanginya.

وصلى عثمان رضي الله عنه بالناس صلاة الفجر , فلما أصبح وارتفع النهار فإذا هو بأثر الجنابة, فأعاد الصلاة , ولم يأمرهم أن يعيدوا

Diriwayatkan bahwa Utsman Radhiallahu ‘Anhu shalat subuh bersama manusia. Begitu pagi harinya dan agak siang dia mendapatkan bekas junub, maka dia ulang shalatnya dan tidak memerintahkan orang-orang untuk mengulangi shalatnya.

وعن علي رضي الله عنه أنه قال : إذا صلى الجنب بالقوم فأتم بهم الصلاة آمره أن يغتسل ويعيد , ولا آمرهم أن يعيدوا

Dari Ali Radhiyallahu ‘Anhu bahwa dia berkata: Jika orang junub shalat bersama dengan sebuah kaum, lalu dia menyelesaikan shalatnya bersama mereka, maka perintahkan dia untuk mandi dan mengulang shalatnya, tapi jangan perintahkan manusia untuk mengulanginya.

وعن ابن عمر رضي الله عنهما أنه صلى بهم الغداة , ثم ذكر أنه صلى بغير وضوء , فأعاد ولم يعيدوا . رواه كله الأثرم

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma bahwa dia shalat dipagi hari, lalu dia teringat bahwa dia belum wudhu. Maka dia mengulang, dan tidak memerintahkan orang-orang untuk mengulang. Semua ini diriwayatkan oleh Al Atsram

(Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 1/419)

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷 💐

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top