Sepatu, Tas, Dompet, dari kulit Ular, Emang Boleh?

◽◼◽◼◽◼

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum wr wb.
Ada titipan pertanyaan ustadz…

Ada teman mo beli tas dari kulit sapi, dan ternyata produsen juga bikin tas dari kulit ular piton.

Halalkah tas kulit sapinya Ustadz? (Berhubung alat2 produksi yg digunakan sama)

Krn utk kulit ular yg disamak ada yg menghalalkan tapi ada juga yg mengharamkan.
Wallahu’alam. (+62 852-7281-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaihimussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Untuk kulit sapi BOLEH, berdasarkan hadits berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ

Dari Ibnu Abbas ia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda: “Kulit apapun jika disamak, maka ia menjadi suci.”

(HR. At Tirmidzi no. 1728, Shahih)

Imam At Tirmidzi menjelaskan:

وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ قَالُوا فِي جُلُودِ الْمَيْتَةِ إِذَا دُبِغَتْ فَقَدْ طَهُرَتْ قَالَ أَبُو عِيسَى قَالَ الشَّافِعِيُّ أَيُّمَا إِهَابِ مَيْتَةٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ إِلَّا الْكَلْبَ وَالْخِنْزِيرَ

Mayoritas ulama menjadikan hadits ini sebagai landasan untuk diamalkan, kata mereka bahwa kulit bangkai jika sudah disamak maka menjadi suci.

Abu Isa (At Tirmidzi) berkata: “Asy Syafi’iy mengatakan bahwa kulit apa pun jika sudah disamak akan menjadi suci kecuali kulit anjing dan babi.” (Sunan At Tirmidzi no. 1728)

Maka, kulit Sapi sama sekali tidak masalah.

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mengatakan:

وَاتَّفَقُوا أَن جلد مَا يُؤْكَل لَحْمه إذا ذكي : طَاهِر ، جَائِز استعماله ، وَبيعه

Para ulama sepakat bahwa kulit dari hewan yg bisa dimakan makan dagingnya, jika disembelih maka itu suci, boleh menggunakannya dan menjualnya.

(Maratibul Ijma’, hal. 23)

Jika tidak disembelih, alias menjadi bangkai, tapi disamak dulu maka juga menjadi suci sebagaimana hadits Ibnu Abbas di atas.

Lalu, bagaimana dgn kulit ular?

Ada dua pendapat ulama, yaitu:

Pertama. Tidak Boleh, sebab itu termasuk hewan yang tidak bisa dimakan dan buas

Ada pun kulit hewan buas, seperti ular, harimau, dan semisalnya, para ulama sejak masa sahabat memakruhkannya. Pembolehan hanya berlaku untuk kulit hewan yang bisa dimakan dagingnya.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

والأظهر أن جلد الحيوان الذي لا يؤكل لحمه غير طاهر ، سواء دبغ أم لم يدبغ ؛ لأن الجلود النجسة لا تطهر بالدباغ

Pendapat yg benar bahwa kulit hewan yang tidak bisa dimakan tidaklah suci, sama saja apakah disamak atau tidak, sebab kulit yang najis tidaklah menjadi suci walau disamak.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no.147632)

Imam At Tirmidzi berkata:

و قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ إِنَّهُمْ كَرِهُوا جُلُودَ السِّبَاعِ وَإِنْ دُبِغَ وَهُوَ قَوْلُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَقَ وَشَدَّدُوا فِي لُبْسِهَا وَالصَّلَاةِ فِيهَا قَالَ إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ إِنَّمَا مَعْنَى قَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ جِلْدُ مَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ هَكَذَا فَسَّرَهُ النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ و قَالَ إِسْحَقُ قَالَ النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ إِنَّمَا يُقَالُ الْإِهَابُ لِجِلْدِ مَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ

Sebagian ulama` dari kalangan sahabat Nabi ﷺ dan selain mereka tetap memakruhkan kulit binatang buas meskipun telah disamak. Ini adalah pendapat Abdullah Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq.

Dan mereka bersikap tegas dalam memakainya, serta mengenakannya dalam shalat. Ishaq bin Ibrahim berkata, “Sesungguhnya makna dari sabda Rasulullah ﷺ, ‘Kulit apapun jika disamak, maka ia menjadi suci’, maksudnya adalah kulit dari hewan yang boleh dimakan dagingnya. Demikianlah yang dijelaskan oleh An Nadhr bin Syumail.”

Ishaq berkata lagi, Nadhar bin Syumail mengatakan; ungkapan disamak, adalah untuk kulit dari binatang yang dagingnya boleh dimakan.” (Ibid)

Dalil-Dalil pelarangan begitu kuat, di antaranya:

Dari Abul Malih bin Usamah, dari ayahnya, dia berkata:

أنَّ رَسولَ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم نهى عن جُلودِ السِّباعِ

Bahwa Rasulullah ﷺ melarang kulit hewan buas.

(HR. Abu Daud no. 4132, At Tirmidzi no. 1771, Imam An Nawawi mengatakan: Shahih. Lihat Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdab, 1/220)

Hadits lain:

عَنْ خَالِدٍ قَالَ وَفَدَ الْمِقْدَامُ بْنُ مَعْدِيكَرِبَ عَلَى مُعَاوِيَةَ فَقَالَ لَهُ
أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ هَلْ تَعْلَمُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ لُبُوسِ جُلُودِ السِّبَاعِ وَالرُّكُوبِ عَلَيْهَا قَالَ نَعَمْ

Dari Khalid, ia berkata; Al Miqdam bin Ma’dikarib datang kepada Mu’awiyah sebagai utusan kemudian berkata; saya bersumpah kepada Allah dan bertanya kepadamu, apakah engkau mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ melarang memakai kulit binatang buas dan menaikinya? Ia berkata; ya.

(HR. An Nasa’i no. 4255, Shahih)

Kedua. BOLEH

BOLEH digunakan selama sudah disamak sesuai keumuman hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Kulit apapun jika disamak, maka ia menjadi suci.”

Ada pun larangan memakai kulit hewan buas maksudnya adalah jika kulit itu belum disamak.

Imam Taqiyuddin Al Hishniy Rahimahullah mengatakan:

الْحَيَوَان الَّذِي ينجس بِالْمَوْتِ إِذا دبغ جلده يطهر بالدباغ سَوَاء فِي ذَلِك مَأْكُول اللَّحْم وَغَيره

Hewan yang menjadi najis karena matinya, jika disamak kulitnya maka akan menjadi suci karena samak itu, sama saja apakah hewan itu bisa dimakan atau tidak.

(Kifayatul Akhyar, Hal. 18)

Syaikh Yasir Burhamiy berkata:

فالصحيح أن جلد الثعبان داخل في عموم قول النبي -صلى الله عليه وسلم-: (أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ) (رواه أحمد والترمذي، وصححه الألباني)، وعند مسلم: (إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ).

Yang benar adalah kulit ular termasuk keumuman hadits Nabi ﷺ : “Kulit apa pun yang disamak maka itu menjadi suci.” (HR. At Tirmidzi, Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani)

Dan Shahih Muslim: “Jika kulit sudah disamak maka itu mensucikan.” (selesai)

Demikian …

Jalan keluarnya adalah walau kulit ular diperselisihkan, lebih baik ditinggalkan.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

أنه لا حرج في استعمال الأشياء المصنوعة من جلد الحيوان المأكول اللحم ، وأما المصنوع من جلود السباع ، فلا يجوز استعماله مطلقا
وأما ما صنع من جلد حيوان غير مأكول اللحم ، فالأولى ترك استعماله ؛ لقوة الخلاف فيه

Tidak masalah memanfaatkan apa saja yang terbuat dari kulit hewan yang bisa dimakan dagingnya, ada pun yang terbuat dari kulit hewan buas tidak boleh memakainya secara muthlaq.

Ada pun apa-apa yang terbuat dari kulit hewan yang tidak bisa dimakan dagingnya, maka lebih utama ditinggalkan, karena begitu kuat perselisihan tentang itu.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 221753)

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Sebab-Sebab “Lenyapnya” Islam

💦💥💦💥💦💥

Berkata Muhammad bin Al Fadhl Rahimahullah:

ذهاب الإسلام من أربعة: لا يعملون بما يعلمون، ويعملون بما لا يعلمون، ولا يتعلمون ما لا يعلمون، ويمنعون الناس من العلم

Hilangnya Islam karena empat hal:

📌 Tidak melaksanakan apa yang diketahui

📌 Melaksanakan apa yang tidak diketahui

📌 Tidak mau belajar apa yang tidak diketahui

📌 Mencegah manusia dari ilmu pengetahuan

🍃🌴🌻🌷🌺☘🌸🌾

📚 Hikam wa Aqwaal As Salaf Ash Shaalih

✏ Farid Nu’man Hasan

Wudhunya Orang Bertato

▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum. Ustadz?
Bagaimana Wudhunya Orang Yg Bertato? (+62 897-7011-xxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaihimussalam wa Rahmatullah ..

Membuat tato adalah berdosa besar ya, sebab masuk kategori mughayyirat al khalqallah (mengubah ciptaan Allah).

Namun demikian, Tato tidak menghalangi wudhu, dan tidak menghalangi SAH-nya shalat, maka wudhu seperti biasa saja.

Dalam fatwa Asy Syabakah Al Islamiyyah:

فلا يخفى عليك أن وضع الوشم على الجسد ذنب عظيم، ومع ذلك لا تأثير له على صحة الصلاة

Maka, tidak samar atas diri Anda bahwa membuat tato di badan adalah dosa besar, namun demikian hal itu tidak berdampak pada sahnya shalat.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 18959)

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Wanita Bernyanyi Di Depan Laki-Laki Bukan Mahram

◼◽◼◽◼◽◼

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustadz
Mohon maaf sebelumnya kalau ternyata sdh pernah dibahas disini 🙏🏼
Mau menanyakan, bolehkah wanita menyanyikan lagu yg suaranya diperdengarkan untuk umum? (+62 851-0075-xxxx)

📬 JAWABAN

============

Wa’alaihimussalam wa Rahmatullah ..

Bismillahirrahmanirrahim alhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ba’d:

Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat; melarang secara mutlak dan ada pula yang membolehkan dengan syarat aman dari fitnah.

📗 Pihak yang melarang. Memiliki sejumlah argumentasi, di antaranya:

1. Dalam syariat Islam wanita tidak dianjurkan mengucapkan SUBHANALLAH saat meluruskan kesalahan imam shalat, tapi bertepuk tangan.

2. Ketika shalat berjamaah, wanita dianjurkan men-sirr-kan (melirihkan) bacaan aminnya jika ada laki-laki yang bukan mahramnya dalam jamaah itu. Kecuali saat bersama dengan sesama wanita dan laki-laki yang mahramnya atau suaminya.

3. Wanita tidak dibenarkan adzan dan iqamah, saat bersama jamaah kaum laki-laki, kecuali untuk sesama kaum wanita saja.

4. Wanita dilarang menghentakkan perhiasan dikakinya sehingga menimbulkan suara, maka suara mereka dalam nyanyian lebih layak untuk dilarang.

Maka, kenyataan ini menunjukkan tidak pantas bagi kaum wanita bernyanyi lalu diperdengarkan laki-laki yang bukan mahramnya, atau bukan suaminya. Padahal membaca subhanallah, amin, dan adzan, adalah dzikir .. maka apalagi nyanyian yang kadang mendayu-dayu, melengking, merendah, dan seterusnya, maka dia lebih layak dilarang lagi.

Syakh Abdurraman Al Jazairi Rahimahullah menjelaskan:

فقد نهى الله تعالى عن استماع صوت خلخالها لأنه يدل على زينتها فحرمة رفع صوتها أولى من ذلك ولذلك كره الفقهاء أذان المرأة لأنه يحتاج فيه إلى رفع الصوت والمرأة منهية عن ذلك وعلى هذا فيحرم رفع صوت المرأة بالغناء إذا سمعها الأجانب سواء أكان الغناء على آلة لهو أو كان بغيرها وتزيد الحرمة إذا كان الغناء مشتملا على أوصاف مهيجة للشهوة كذكر الحب والغرام وأوصاف النساء والدعوة إلى الفجور وغير ذلك

Allah ﷻ telah melarang sengaja mendengarkan suara wanita karena hal itu menunjukkan perhiasan wanita, maka haramnya meninggikan suaranya lebih pantas diharamkan, oleh karena itu para ahli fiqih memakruhkan azan kaum wanita karena azan membutuhkan suara yang ditinggikan dan wanita dilarang untuk itu. Oleh karena itu, diharamkan meninggikan suara wanita dalam nyanyian jika yang mendengarkannya adalah laki-laki bukan mahramnya sama saja apakah pakai alat musik, atau tidak, dan keharamannya bertambah jika nyanyian tersebut mengandung penyifatan yang bisa menimbulkan syahwat seperti senandung cinta, rindu, penggambaran tentang wanita, dan ajakan kepada perbuatan keji dan lainnya.[1]

📕 Pihak yang membolehkan. Mereka memberikan sejumlah argumentasi, di antaranya sebagai berikut:

1. Nabi Muhammad ﷺ dan sebagian sahabat yang paling utama pernah mendengarkan wanita bernyanyi

Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu katanya:

خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ جَاءَتْ جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ سَالِمًا أَنْ أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْكَ بِالدُّفِّ وَأَتَغَنَّى، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِي وَإِلاَّ فَلاَ. فَجَعَلَتْ تَضْرِبُ، فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَأَلْقَتِ الدُّفَّ تَحْتَ اسْتِهَا، ثُمَّ قَعَدَتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَخَافُ مِنْكَ يَا عُمَرُ، إِنِّي كُنْتُ جَالِسًا وَهِيَ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ، فَلَمَّا دَخَلْتَ أَنْتَ يَا عُمَرُ أَلْقَتِ الدُّفَّ

Rasulullah ﷺ keluar melakukan peperangan, ketika sudah kembali datanglah kepadanya seorang budak wanita berkulit hitam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku bernadzar jika engkau kembali dalam keadaan selamat aku akan memainkan rebana dan BERNYANYI di hadapanmu.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Jika engkau sudah bernadzar maka pukullah rebana itu, jika tidak bernadzar maka tidak usah dipukul rebananya.” Maka wanita itu pun memainkan rebananya, lalu masuklah Abu Bakar dia masih memainkannya. Masuklah Ali dia masih memainkannya. Masuklah Utsman dia masih memainkannya. Lalu ketika Umar yang masuk, dibantinglah rebana itu dan dia duduk (ketakutan). Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai Umar syetan saja benar-benar takut kepadamu, ketika aku duduk dia memukul rebana, ketika Abu Bakar masuk dia masih memainkannya, ketika Ali datang dia masih memainkannya, ketika Utsman datang dia masih memainkannya, tapi ketika Engkau yang datang dia lempar rebana itu. [2]

Imam Ali Al-Qari Rahimahullah mengomentari kisah ini:

دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ سَمَاعَ صَوْتِ الْمَرْأَةِ بِالْغِنَاءِ مُبَاحٌ إِذَا خَلَا عَنِ الْفِتْنَةِ

Ini merupakan dalil bahwa mendengarkan suara wanita yang bernyanyi adalah mubah jika tidak ada fitnah. [3]

2. Nabi Muhammad ﷺ juga mendengarkan beberapa gadis wanita bernyanyi saat resepsi pernikahan

Ar Rubayyi binti Mu’awidz Radhiallahu ‘Anha bercerita:

دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عُرْسِي، فَقَعَدَ فِي مَوْضِعِ فِرَاشِي هَذَا، وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تَضْرِبَانِ بِالدُّفِّ، وَتَنْدُبَانِ آبَائِي الَّذِينَ قُتِلُوا يَوْمَ بَدْرٍ، فَقَالَتَا فِيمَا تَقُولَانِ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا يَكُونُ فِي الْيَوْمِ وَفِي غَدٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا هَذَا، فَلَا تَقُولَاهُ

Pada hari pernikahanku Rasulullah ﷺ datang, dia duduk di permadaniku ini, aku memiliki dua jariyah (budak wanita remaja) yang sedang memainkan rebana, mereka menyanyikan lagu tentang ayah-ayah kami ketika terbunuh dalam perang Badar, maka mereka berkata, “Di tengah kita ada seorang nabi yang mengetahui apa yang terjadi hari ini dan esok.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Ucapan yang ini, janganlah kalian berdua ucapkan.” [4]

Syakh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah – sebagian kalangan mnyebutnya Imam An Nawawinya zaman ini- juga mengatakan:

فلا يحرم سماع صوت المرأة ولو مغنية، إلا عند خوف الفتنة

Maka, tidaklah diharamkan mendengarkan suara wanita walau wanita penyanyi kecuali jika khawatir terjadinya fitnah. [5]

Jadi, tidak ada pembolehan secara mutlak. Pihak yang membolehkan pun memberikan syarat yaitu tidak memunculkan fitnah bagi pendengarnya; yaitu munculnya syahwat atau angan-angan syahwat. Sementara di sisi penyanyinya, mesti sopan dan berpakaian yang dibenarkan syariat, ada pun yang penampilannya seronok, tarian, goyangan, dan lirik lagunya pun berisikan kekejian akhlak, maka tidak syak lagi keharamannya, walaupun penyanyinya laki-laki pun tidak dibenarkan yang seperti itu.

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah berkata:

صوت المرأة عند الجمهور ليس بعورة؛ لأن الصحابة كانوا يستمعون إلى نساء النبي صلّى الله عليه وسلم لمعرفة أحكام الدين، لكن يحرم سماع صوتها بالتطريب والتنغيم ولو بتلاوة القرآن، بسبب خوف الفتنة

Suara wanita menurut mayoritas ulama bukanlah aurat karena dahulu para sahabat Nabi ﷺ mendengarkan dari istri-istri Nabi ﷺ untuk mempelajari hukum-hukum agama, tetapi diharamkan mendengarkan suara wanita jika melahirkan gairah dan mendayu-dayu walau pun membaca Al Quran, disebabkan khawatir lahirnya fitnah. [6]

“Munculnya fitnah” kadang menjadi sesuatu yang sulit diukur karena masing-masing orang berbeda dampaknya, dan jangan dikira ini hanya dialami laki-laki, wanita pun bisa mengalami hal serupa saat mendengarkan nyanyian atau rayuan laki-laki. Oleh karena itu, mengambil sikap hati-hati dan mengambil sadd adz dzara’i (preventif) adalah lebih utama dan lebih aman bagi manusia yang cemburu kepada agama dan akhlak yang luhur.

Syaikh Muhammad Sulaiman Abdullah Al Asyqar Hafizhahullah berkata dalam Al Waadhih:

سد الذرائع : هو منع الأمر المباح الذى يتواصل به الى المحرم، سواء قصد به فاعله الوصول الى المحرم، أو لم يقصد ذلك، فيمنع لئلا يتوصل به إلى المحرم غيره من الناس

Sadd Adz Dzara’i adalah larangan terhadap perkara yang mubah yang bisa mengantarkan kepada hal yang diharamkan. Sama saja, apakah dia memaksudkan dari perbuatan itu sampai kepada perkara haram atau dia tidak memaksudkannya, maka ini dilarang agar dia dan orang lain tidak sampai kepada hal yang diharamkan.[7]

Demikian. Wallahu A’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan


🍃🍃🍃🍃🍃🍃

[1] Syaikh Abdurrahman Al Jazairiy, Al Fiqh ‘Alal Madzaahib Al Arba’ah, 5/26

[2] HR. At Tirmdzi No. 3690, katanya: hasan shahih

[3] Imam Ali Al Qari, Mirqah Al-Mafatih, 9/3902

[4]HR. Ahmad No. 27021. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan: shahih sesuai syarat Imam Muslim. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad, 44/570

[5] Syaikh Wahbah Az Zuhailiy, Al Fiqh Al Islamiy wa Adillatuhu, 2/116

[6] Ibid, 1/665

[7] Syaikh Muhammad Sulaiman Abdullah Al Asyqar, Al Waadhih fi Ushul Al Fiqh, Hal. 159

 

scroll to top